HUBUNGAN PERSEPSI REMAJA LAKI LAKI TERHADAP PERAN AYAH DENGAN KENAKALAN REMAJA DI SMK SUKAWATI SRAGEN

(1)

TERHADAP PERAN AYAH DENGAN KENAKALAN

REMAJA DI SMK SUKAWATI SRAGEN

SKRIPSI

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi

oleh Yulia Damayanti

1511409054

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

(3)

(4)

iv

Motto

Syukuri selalu apa yang sudah kita miliki, perjuangkan jika menginginkan sesuatu.

Jangan pernah katakan tidak bisa bila belum pernah mencoba.

Sesungguhnya Tidak ada yang sia-sia dari sebuah usaha, karena semua pasti ada hasilnya, entah sesuai dengan harapan ataupun tidak.

Doa dan Ikhtiar adalah jawaban dari setiap keinginan.

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini dipersembahkan untuk : Bapak Hadi Wongso Santoso

Ibu Paniyem

Adik Untung Sutrisno Adik Ayu Wulan Tri sugesti Alm. Sinah Sutodikromo


(5)

v

melimpahkan segala rahmat, hidayah, dan anugerah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Hubungan Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran Ayah dengan Kenakalan Remaja di SMK Sukawati Sragen”. Bantuan, motivasi, dukungan, dan do’a dari berbagai pihak membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih setulus hati kepada :

1. Drs. Hardjono, M.Pd dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang

2. Dr. Edy Purwanto, M. Si Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang yang telah membantu kelancaran ujian skripsi. 3. Dr. Sri Maryati Deliana, M.Si sebagai penguji utama, terima kasih atas saran

dan bimbingannya.

4. Rulita Hendriyani, S.Psi., M.Si dan Moh. Iqbal Mabruri, S.Psi., M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dan meluangkan waktu sampai terselesaikannya skripsi ini.

5. Rahmawati Prihastuty, S.Psi, M.Si sebagai dosen wali yang selalu memberikan dukungannya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu dosen yang telah membagikan ilmunya, terima kasih atas segala pengajarannya.


(6)

vi

banyak membantu dalam melaksanakan penelitian ini.

9. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu mencurahkan kasih sayang, semangat, dan doa yang tiada henti untuk kesuksesan saya. Selesainya skripsi ini adalah sebuah hadiah kecil dari penulis untuk cinta kasih kalian.

10.Adek Untung dan Ayu, serta mbak Isna yang membuatku semangat dan selalu bersedia membantu serta keluarga besar Loso Sutodikromo dan mbah.Pawiro. 11.Sahabat-sahabatku Laksita, Murti, desti, Annisa, Fajar, Elsa, Ardhinka, Arinta,

Wulan, Tika, Pita, Rani, Nisa Udin, Marthil, Bude dan Nela yang selalu memberikan doa, semangat dan dukungannya.

12.Teman-teman Psikologi 2009 yang telah berjuang bersama-sama selama beberapa semester ini.

13.Semua pihak yang turut membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih setulus hati kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini memberikan manfaat dan kontribusi dalam bidang psikologi dan semua pihak pada umumnya.

Semarang, Juni 2014


(7)

vii

Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I : Rulita Hendriyani, S.Psi., M.Si. Pembimbing II: Moh. Iqbal Mabruri, S.Psi., M.Si.

Kata Kunci:peran ayah; kenakalan remaja

Penelitian ini dilatarbelakangi dari fenomena kenakalan remaja yang jumlahnya semakin mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kenakalan Remaja juga marak terjadi dikota kecil seperti Sragen, mulai dari kebiasaan membolos sekolah, merokok, mabuk-mabukan, perusakan fasilitas umum sampai berhubungan seksual diluar nikah. Kenakalan remaja sendiri lebih banyak dilakukan oleh remaja laki-laki. Kenakalan remaja bisa disebabkan oleh faktor individu itu sendiri maupun faktor eksternal seperti pengaruh orang tua. Gambaran identitas diri remaja yang belum jelas membuat mereka tetap mencari model, dan model yang paling dekat biasanya adalah orang tua terutama yang berjenis kelamin sama, dalam hal ini remaja laki-laki melakukan identifikasi terhadap ayah.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitaif korelasional bertujuan untuk mengetahui hubungan persepsi remaja laki-laki terhadap peran ayah dengan kenakalan remaja kelas XI SMK Sukawati Sragen. Subjek pada penelitian berjumlah 78 subjek. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Simple Random Sampling.

Data penelitian diambil menggunakan skala persepsi remaja laki-laki terhadap peran ayah dan skala kenakalan remaja. Metode analisis data yang digunakan adalah korelasi product moment. Skala persepsi remaja laki-laki terhadap peran ayah terdiri dari 36 item dan koefisien alpha cronbach reliabilitasnya 0,910. Skala kenakalan remaja terdiri dari 63 item dan koefisien

alpha cronbach reliabilitasnya 0,960. Berdasarkan analisis korelasi product

moment diperoleh koefisien korelasi kenakalan remaja dan peran ayah -0,382

dengan taraf signifikansi p = 0,001. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang negatif antara kedua variabel jadi jika persepsi remaja laki-laki terhadap peran ayah tinggi (positif) maka semakin rendah kenakalan remaja. Berdasarkan analisis koefisien korelasi menurut persepsi anak, peran ayah memiliki sumbangan efektif 38.2% terhadap kenakalan remaja. Sedangkan sisanya sebesar 61.8% ditentukan oleh faktor lain yang tidak ditentukan oleh peneliti.


(8)

viii

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xiiii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah... 13

1.3. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. Manfaat Penelitian ... 13

1.4.1. Manfaat Teoritis ... 13


(9)

ix

2.1.1. PengertianPersepsi ... 15

2.2. Remaja ... 16

2.2.1. PengertianRemaja ... 16

2.2.1.1. Kriteria Masa Remaja ... 16

2.2.2. Ciri-Ciri Masa Remaja... 17

2.2.2.1. Ciri-ciri Umum Masa Remaja ... 17

2.2.2.2. Remaja Menurut Masyarakat Indonesia ... 21

2.3. Peran Ayah ... 23

2.3.1. Pengertian Peran Ayah ... 23

2.3.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Peran Ayah ... 25

2.3.3. Peran Ayah Dalam Keluarga ... 27

2.3.3.1. Bentuk-bentuk Keterlibatan Ayah ... 29

2.4. Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran Ayah ... 31

2.5. Kenakalan Remaja ... 31

2.5.1. Pengertian Kenakalan Remaja ... 31

2.5.2. Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja ... 33

2.5.3. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja ... 37

2.6. Peran Ayah dalam Hubungannya dengan Kenakalan Remaja ... 40

2.7. Kerangka Berpikir ... 46


(10)

x

3.1.1. Jenis Penelitian ... 50

3.1.2. Desain Penelitian ... 51

3.2. Variabel Penelitian ... 51

3.2.1. IdentifikasiVariabel Penelitian ... 51

3.2.2. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 52

3.2.2.1. Peran Ayah ... 52

3.2.2.2. Kenakalan Remaja ... 53

3.3. Hubungan Antar Variabel Penelitian ... 53

3.4. Populasi dan Sampel ... 53

3.4.1. Populasi ... 53

3.4.2. Sampel ... 54

3.5. Metode dan Pengumpulan Data ... 54

3.5.1. Skala Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran Ayah ... 55

3.5.2. Skala Kenakalan Remaja ... 57

3.6. Validitas dan Reliabilitas ... 59

3.6.1. Validitas ... 59

3.6.2. Reliabilitas ... 60

3.7. Uji Coba ... 61

3.7.1. Persiapan Uji Coba Instrumen ... 61


(11)

xi

3.7.4. Hasil Uji Coba Reliabilitas ... 70

3.8. Metode Analisis Data ... 71

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 72

4.1. Persiapan Penelitian ... 72

4.1.1. Orientasi Kancah Penelitian ... 72

4.1.2. Penentuan Subjek Penelitian ... 73

4.2. Pelaksanaan Penelitian ... 74

4.2.1. Pengumpulan Data ... 74

4.2.2. Pelaksanaan Skoring ... 74

4.3. Hasil Penelitian ... 75

4.3.1. Analisis Diskriptif... 75

4.3.2. Gambaran Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran Ayah ... 75

4.3.2.1. Gambaran Umum Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran ayah 76

4.3.2.2. Gambaran Spesifik Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran Ayah berdasarkan tiap aspek ... 77

4.3.2.2.1. Gambaran Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran ayah Bedasarkan Aspek Fisik... 77

4.3.2.2.2. Gambaran Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran ayah Bedasarkan Aspek Sosial ... 79

4.3.2.2.3 . Gambaran Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran ayah Bedasarkan Aspek Spiritual... 81


(12)

xii

4.3.3 Gambaran Kenakalan Remaja di SMK Sukawati Sragen ... 88

4.3.3.1. Gambaran Umum Kenakalan Remaja di SMK Sukawati Sragen... 88

4.3.3.2 . Gambaran Spesifik Kenakalan Remaja di SMK Sukawati Sragen berdasarkan tiap aspek ... 90

4.3.3.2.1 . Gambaran Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Kenakalan Yang Menimbulkan Korban Fisik Pada Orang Lain .... 90

4.3.3.2.2. Gambaran Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Kenakalan Yang Menimbulkan Korban Materi ... 92

4.3.3.2.3. Gambaran Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Kenakalan Sosial Yang Tidak Menimbulkan Korban Dipihak Orang Lain ... 94

4.3.3.2.4. Gambaran Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Kenakalan Yang Melawan Status ... 96

4.4. Metode Analisis Data ... 99

4.4.1. Uji Normalitas Data ... 99

4.4.2. Uji Linieritas ... 100

4.4.3. Uji Hipotesis ... 101

4.4.3.1 Analisis Korelasi Product Moment... 101

4.5. Pembahasan ... 103

4.5.1. Pembahasan Analisis Deskriptif Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran Ayah dengan Kenakalan Remaja di SMK Sukawati Sragen ... 103

4.5.1.1 . Pembahasan Analisis Diskriptif Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran Ayah ... 103

4.5.2. Pembahasan Analisis Inferensial Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran Ayah dengan Kenakalan Remaja ... 106


(13)

xiii

5.2. Saran ... 112 DAFTAR PUSTAKA ... 113 LAMPIRAN ... 116


(14)

xiv

3.1. Blue Print Skala Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran Ayah ... 55

3.2. Skoring Item Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran Ayah ... 57

3.3. Blue Print Skala Kenakalan Remaja ... 58

3.4 Skoring Item Skala Kenakalan Remaja ... 59

3.5. Hasil Uji Coba Skala Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran Ayah ... 65

3.6. Sebaran Baru Skala Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran Ayah ... 66

3.7. Hasil Uji Coba Skala Kenakalan Remaja ... 68

3.8. Sebaran Baru Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja ... 69

3.9. Interpretasi Reliabilitas ... 71

3.10. Penggolongan Kriteria Analisis Berdasarkan Mean Hipotik ... 78

4.1. Gambaran Umum Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran Ayah . 76 4.2. Gambaran Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran Ayah berdasarkan aspek fisik ... 78

4.3. Gambaran Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran Ayah berdasarkan aspek Sosial. ... 80

4.4. Gambaran Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran Ayah berdasarkan aspek Spiritual. ... 82

4.5. Gambaran Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran Ayah Berdasarkan aspek Intelektual ... 84

4.6. Gambaran Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran Ayah Berdasarkan aspek Afektif... 86


(15)

xv

4.9. Gambaran Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Kenakalan Yang Menimbulkan Korban Fisik Pada Orang Lain ... 90 4.10. Gambaran Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Kenakalan Yang

Menimbulkan Korban Materi ... 92 4.11. Gambaran Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Kenakalan

Sosial Yang Tidak Menimbulkan Korban dipihak Orang Lain ... 94 4.12. Gambaran Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Kenakalan Yang

Melawan Status... 97 4.13. Ringkasan Deskriptif Kenakalan Remaja SMK Sukawati Sragen... .. 98 4.14. Uji Normalitas Data ... 100 4.15. Uji Linieritas ... 101 4.16. Analisis Korelasi Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran ayah


(16)

xvi

2.1. Kerangka Berpikir Hubungan Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran Ayah Dengan Kenakalan Remaja ... 47 3.1. Hubungan Antar Variabel ... 53 4.1. Gambaran Umum Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran Ayah 77 4.2. Gambaran Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran

Ayah berdasarkan aspek fisik ... 79 4.3. Gambaran Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran Ayah

berdasarkan aspek Sosial ... 81 4.4. Gambaran Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran

Ayah berdasarkan aspek spiritual ... 83 4.5. Gambaran Persepsi Remaja Laki - laki Terhadap Peran

Ayah berdasarkan aspek Intelektual ... 85 4.6. Gambaran Persepsi Remaja Laki – laki Terhadap Peran

AyahBerdasarkan aspek Afektif ... 87 4.7. Ringkasan Deskriptif Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran

Ayah... 89 4.8. Gambaran Umum Kenakalan Remaja ... 90 4.9. Gambaran Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Kenakalan

Yang Menimbulkan Korban Fisik Pada Orang Lain ... 92 4.10. Gambaran Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Kenakalan

Yang Menimbulkan Korban Materi ... 94 4.11. Gambaran Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Kenakalan

Sosial Yang Tidak Menimbulkan Korban dipihak Orang Lain ... 96 4.12. Gambaran Kenakalan Remaja Berdasarkan Aspek Kenakalan

Yang Melawan Status ... 98 4.13. Ringkasan Deskriptif Kenakalan Remaja SMK Sukawati Sragen ... 99


(17)

xvii

1. Instrumen Penelitian 2. Tabulasi Data

3. Uji Validitas dan Uji Reliabiltas Instrumen 4 . Tabulasi Data Penelitian Aspek

5 . Uji Asumsi

6. Surat Ijin Penelitian 7. Dokumentasi


(18)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 tahun sampai masa remaja akhir atau awal usia duapuluhan, dan masa tersebut membawa perubahan besar saling bertautan dalam semua ranah perkembangan. Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang mengandung perubahan besar fisik, kognitif dan psikososial (Papalia, dkk, 2008:534).

Semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, membuat para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa saja belum cukup, maka remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan (Hurlock, 1980:209).

Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan remaja yang dapat berupa perilaku minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan, terlibat perbuatan seks, membolos sekolah,


(19)

perkelahian, mencuri atau perilaku asosial lain yang dapat mengganggu ketenangan umum, merugikan baik diri sendiri maupun orang lain. Perilaku-perilaku tersebut sudah bisa disebut sebagai kenakalan remaja dan bahkan beberapa diantaranya sudah dikategorikan melanggar hukum.

Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2007) menunjukkan jumlah remaja di Indonesia mencapai 30% dari jumlah penduduk, jadi sekitar 1,2 juta jiwa. Hal ini tentunya dapat menjadi aset bangsa jika remaja dapat menunjukkan potensi diri yang positif namun sebaliknya akan menjadi petaka jika remaja tersebut menunjukkan perilaku yang negatif bahkan sampai terlibat dalam kenakalan remaja.

Kenakalan remaja adalah perilaku yang menyimpang dari kebiasaan atau melanggar hukum (Sarwono, 2010: 256). Santrock (2003:519) menjelaskan bahwa kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial, misalnya bersikap berlebihan disekolah sampai pelanggaran status (seperti melarikan diri) hingga tindak kriminal (misalnya pencurian). Kenakalan remaja di Indonesia jumlahnya semakin meningkat setiap tahunnya, berikut beberapa data kenakalan remaja yan terjadi di Indonesia.

Tawuran antar remaja semakin naik daun pasca tawuran pelajar SMAN 70 dengan SMAN 6 yang menewaskan Alawi, siswa kelas X SMA 6. Tawuran pelajar seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perilaku pelajar. Meski sudah banyak jatuh korban, “perang kolosal” ala pelajar terus terjadi. Data dari Komnas Anak, jumlah tawuran pelajar sudah memperlihatkan kenaikan pada


(20)

enam bulan pertama tahun 2012. Hingga bulan Juni, sudah terjadi 139 kasus tawuran di wilayah Jakarta dan sebanyak 12 kasus menyebabkan kematian. Pada 2011, ada 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia (Vivanews.com, 28/09/12).

Penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja semakin meningkat jumlahnya. Penelitian yang pernah dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan bahwa 50 – 60 persen pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Total seluruh pengguna narkoba berdasarkan penelitian yang dilakukan BNN dan UI adalah sebanyak 3,8 sampai 4,2 juta, demikian seperti disampaikan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) BNN, Kombes Pol Sumirat Dwiyanto (detikHealth, Rabu -6/6/2012).

Data resmi dari kementrian pemuda dan olahraga mencatat selama tahun 2008, jumlah tindak kriminalitas yang dilaporkan sebanyak 346.921 kejadian. Dari sejumlah kasus yang dilaporkan, tercatat 197.423 jumlah pelaku laki-laki maupun perempuan. Gambaran pelaku kriminalitas tahun 2008 ditandai kekhawatiran dengan meningkatnya jumlah pelaku tindak kriminalitas yang masih berusia anak-anak dan remaja. Terungkap pada tahun 2008 berdasarkan laporan Polri secara keseluruhan, jumlah anak-anak dan remaja pelaku tindak kriminalitas sebanyak 3.280 orang, yang terdiri dari 2.797 laki-laki dan 483 perempuan, jumlah ini meningkat sebesar 4,3 persen dibandingkan tahun 2007 yang sebesar 3.145 orang (Kementrian Pemuda dan Olahraga, 2009).


(21)

Kenakalan remaja semakin tahun semakin mengalami peningkatan bila dilihat dari data-data diatas. Kenakalan remaja sekarang ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tetapi juga di kota-kota kecil seperti Sragen. Harian Joglo Semar mengungkapkan pada 22 juli 2011 siswa salah satu SMA swasta di Sragen terjaring razia pelajar yang digelar tim gabungan. Tidak hanya itu, siswa yang diketahui anak dari seorang PNS di lingkungan Pemkab Sragen itu juga tertangkap tangan membawa ponsel yang berisi koleksi video porno. Ia tertangkap bersama 10 pelajar bandel lainnya saat nongkrong disejumlah lokasi pada saat jam masih efektif sekolah. Pihak Satpol PP kota Sragen sering mengadakan razia rutin terhadap para pelajar yang berkluyuran diluar sekolah saat jam pelajaran berlangsung. Tak jarang petugas menemukan benda-benda tajam, rokok, ponsel yang berisi video porno bahkan kondom dari tas para siswa tersebut.

Perbuatan tidak senonoh terkadang dilakukan di tempat-tempat umum. Seorang pelajar SMK swasta di Kalijambe (Sragen), MAG (17 tahun) tepergok tengah masyuk dengan teman perempuannya yang juga berstatus pelajar, FNA (16 tahun), di salah satu bilik warung internet (warnet) di Dukuh Lemah Putih, Geneng, Miri, Senin (9/9/2013) sekitar pukul 14.00 WIB. Mereka tidak menyadari ada kamera pengawas di warnet tersebut (boyolalipos, 10/9/2013)

Kehamilan di luar nikah kota Sragen jumlahnya semakin meningkat setiap tahunnya. KUA Gemolong, Sragen mencatat hingga pertengahan tahun 2011 jumlah remaja yang hamil diluar nikah mencapai 20 orang. Jumlah tersebut diketahui berdasarkan surat keterangan dari puskesmas yang terlampir dalam persyaratan permohonan nikah. Hamil diluar nikah ini disebabkan karena perilaku


(22)

seks bebas yang diakibatkan pergaulan sosial yang buruk, kebanyakan dari mereka tidak kuasa menolak ajakan pacar. (Solopos, 20/7/2011). Anggota Polres Sragen juga menemukan beberapa barang bukti yang diduga akan digunakan pasangan muda mudi yang tertangkap di salah satu hotel melati Sragen untuk pesta shabu-shabu (Boyolalipos, 12/92013).

Menurut catatan kepolisian pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan (Kartono, 2005:7) dan berdasarkan data resmi dari kementrian pemuda dan olahraga seperti yang diapaparkan diatas, kenakalan remaja lebih banyak dilakukan oleh remaja laki-laki, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Jensen dalam Sarwono (2010:255-256) bahwa faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja adalah adanya “Male phenomena “,Teori ini percaya bahwa anak laki-laki lebih nakal daripada anak perempuan. Alasannya karena kenakalan memang adalah sifat laki-laki, atau bahwa budaya maskulinitas menyatakan bahwa wajar kalau laki-laki nakal.

Anganthi (2009: 121-129) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa bentuk kenakalan yang paling meresahkan adalah penyalahgunaan NAPZA. Orang tua bisa menjadi penyebab internal sekaligus penyebab eksternal, orang tua bermasalah menjadi sumber penyimpangan perilaku ini. Remaja laki-laki memiliki relasi dengan keluarga yang tidak jauh berbeda dengan informan perempuan, yaitu penuh koflik dan salah paham, namun pada informan laki-laki terdapat lebih banyak konflik yang disebabkan karena sifat egois atau ingin menang sendiri, tidak bersedia mengalah, yang ditampakkan dalam tindakan pergi


(23)

tanpa pamit, perkelahian, pertengkaran, percecokan, mabuk, terutama yang berkaitan dengan masalah keuangan.

Masalah kenakalan remaja perlu mendapat perhatian yang lebih karena perilaku kenakalan remaja mewakili gambaran sosial masyarakat, masalah sosial dan masalah klinis yang signifikan serta masalah kenakalan remaja ini berhubungan dengan perilaku agresif, dan antisosial yang seringkali memberi konsekuensi yang merugikan bagi orang lain dan masyarakat. Selain itu, perilaku antisosial ini selalu menjadi bagian dari perkembangan yang apabila tidak dicegah maka akan lahir kriminal-kriminal dewasa yang lebih mengerikan. Kenakalan remaja juga menimbulkan kerugian, baik kerugian finansial maupun sosial yang cukup besar dampaknya bagi masyarakat dan dirinya sendiri serta membutuhkan biaya untuk rehabilitasinya.

Terdapat banyak faktor pemicu munculnya kenakalan remaja. Diantara faktor-faktor tersebut adalah yang dikemukakan Santrock (2003:253) yaitu pengaruh orang tua. Para pelaku kenakalan seringkali berasal dari keluarga dimana orang tua jarang mengawasi anak-anak remajanya, memberikan mereka sedikit dukungan dan menerapkan pola disiplin secara tidak efektif. Jensen (dalam Sarwono, 2010:254) mengemukakan adanya teori sosiogenik dalam kenakalan remaja, yaitu teori yang mencoba mencari penyebab sumber kenakalan remaja pada faktor lingkungan keluarga dan masyarakat.

Penelitian mengenai dukungan keluarga terhadap perilaku miras remaja desa sambirejo kota Sragen menunjukkan hasil yang signifikan. Remaja yang berperilaku miras memiliki dukungan keluarga yang rendah ( Samiasih & Nanad,


(24)

2010: 51-55). Hal ini tentu dapat dimengerti, karena Keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu, sejak ia lahir sampai datang masanya ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Hubungan yang paling intensif terjadi dalam keluarga. Sebelum anak mengenal lingkungan yang lebih luas, terlebih dahulu dia mengenal keluarganya. Karena itu sebelum dia mengenal norma dan nilai-nilai masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma-norma dan nilai-nilai dalam keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadianya (Sarwono, 2010:138).

Lebih lanjut lagi Sarwono menjelaskan semua itu pada hakikatnya ditimbulkan oleh norma dan nilai yang berlaku dalam keluarga, yang diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua terhadap anak-anak mereka secara turun temurun. Tidak mengherankan jika nlai-nilai yang dianut orang tua akhirnya juga dianut oleh remaja. Tidak mengherankan juga kalau ada pendapat bahwa segala sifat negatif yang ada pada anak sebenarnya ada pula pada orang tuanya (bapak maling, anak maling, bapak pemarah anak pemarah). Hal itu terjadi bukan semata-mata karena faktor bawaan atau keturunan, akan tetapi karena proses pendidikan, proses sosialisasi atau kalau mengutip Sigmund Freud : proses identifikasi (Sarwono, 2010:138).

Gambaran identitas diri remaja yang belum tergambar jelas membuat mereka tetap mencari model, dan model yang paling dekat biasanya adalah orang tua, terutama yang berjenis kelamin sama (Erikson, dalam Bosma, 1994). Terhadap model tersebut mereka berusaha melakukan identifikasi diri, proses dimana individu mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu, seseorang, atau


(25)

institusi dan berpikir, merasa, serta bertingkah laku secara konsisten sesuai dengan gambaran mental dari model tersebut (Benner, dalam Bosma, 1994). Oleh karena itu bagi remaja laki - laki, bagaimana sikap dan perilaku ayah yang dilihatnya sejak ia masih kanak – kanak adalah seringkali menjadi acuan bagaimana sikap dan perilakunya kelak. Selain itu, menyimak kembali bahasan pada alinea – alinea diatas bahwa setiap sikap dan perilaku remaja pasti tidak lepas dari bagaimana sikap dan perilaku orang tuanya karena dalam proses pencarian identitas dirinya, remaja melakukan identifikasi terhadap model, dan model paling dekat adalah orang tua, terutama yang berjenis kelamin sama. Bila ia seorang remaja laki – laki, maka model yang seringkali paling besar pengaruhnya adalah ayahnya.

Suminar (2012:1-6) dalam jurnalnya tentang hubungan kontrol diri dengan kenakalan remaja, memaparkan bahwa hubungan kontrol diri dengan kenakalan remaja tidak terlepas dari faktor eksternal yaitu pengaruh orang tua dan kondisi sosial ekonomi. Faktor ekonomi subjek yang mayoritas rendah dapat dikatan sebagai salah satu penyebab perilaku kenakalan remaja. Korelasi antara kontrol diri dengan kecenderungan perilaku kenakalan remaja dapat dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi orang tua.

Berbicara mengenai keluarga dan kaitannya dengan anak, seringkali fokus kita akan secara langsung menengok pada peran ibu. Secara klasik, ayah digambarkan sebagai orang yang tidak pernah terlibat langsung dalam pemeliharaan anak. Ayah akhirnya seperti sudah terkondisi bukan sebagai pengasuh anak, dan lebih sibuk sebagai pencari nafkah. Ia memilki citra


(26)

keperkasaan dan kekokohan, namun jauh dari anak-anaknya dan seakan melepas tanggung jawab membina kehidupan anak secara langsung. Keadaan ini dikukuhkan dalam kehidupan masyarakat, dan diterima begitu saja seolah sesuatu yang sudah semestinya (Dagun, 2002:1-2).

Ilmu psikologi dalam sejarahnya hampir tidak pernah mengulas secara khusus masalah keayahan, malah cenderung mengabaikannya. Posisi ayah akhirnya menjadi tidak begitu menarik dan penting dalam setiap uraian ilmu psikologi. Secara terbatas sekali, ilmu psikologi menyebut peran ayah dalam fungsinya sebagai orang tua, tetapi sebaliknya sangat menekankan pentingnya tokoh ibu dalam perkembangan anak. Para ahli kini merasa relevan untuk mengkaji secara komprehensif mengenai peranan seorang ayah. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa peranan ayah tidak kalah penting dengan peranan ibu dalam mengasuh anak, maka pembicaraan mengenai ayah menjadi semakin serius. Bukan Karena fungsi ibu semakin menipis oleh berbagai kegiatan diluar rumah, tetapi karena peranan ayah itu sendiri memang penting dalam proses pertumbuhan seorang anak baik fisik maupun psikologis (Dagun, 2002:1-2).

Volpe (1981:136, dalam Sarwono, 2010:87) melakukan penelitian terhadap hubungan antar pribadi antara ibu-anak dan ayah-anak. Penelitian tersebut mencakup 3 hal yaitu : pertama, perasaan positif (bahagia, dicintai, nyaman, santai). Kedua, perasaan negatif (marah, terpojok, tidak bahagia, dingin, berontak). Ketiga adalah keterbukaan (bermain,bebas, mau bicara) hasil penelitiannya adalah remaja lebih bisa merasa terbuka dan memilki perasaan


(27)

positif terhadap ibu daripada terhadap ayah mereka, dan perasaan negatif seperti marah, dingin, tidak nyaman lebih besar mereka dapatkan dari ayah mereka.

Flouri dan Buchanan (2003:63-76) dari hasil penelitiannya menjelaskan bahwa peran ayah memiliki pengaruh pada kesehatan mental anak. Ayah memiliki peran yang penting terhadap ketidakmampuan psikologis anak dan kesulitan-kesulitan yang dialami anak dikemudian hari. Minimnya peranan ayah dapat memunculkan perasaan tidak nyaman, yang lebih fokus pada emosional atau gejala depresi.

National Parent Teacher Asosiation (2002) yang mendasarkan hasil-hasil

penelitian selama 30 tahun terakhir, menyimpulkan manfaat peran ayah bagi anak adalah makin baiknya tumbuh kembang anak secara fisik, sosio emosional, ketrampilan kognitif, pengetahuan. Disamping siswa mendapat nilai yang tinggi, mereka memiliki sikap positif terhadap sekolah sehingga rajin mengikuti kegiatan baik intra maupun ekstrakulikuler, akan menangkal anak dari keterlibatannya dalam kenakalan remaja, seperti mangkir, tawuran, miras, narkoba, kehamilan dini dan kriminalitas. Lebih lanjut lagi ditemukan bahwa absennya ayah jauh lebih signifikan dampak negatifnya bagi anak (seperti diatas) dibanding absennya peranan ibu. Maka wajar jika US departemen of justice pada tahun 1988 menyatakan bahwa ketidak-adanya peran ayah dalam pendidikan anak menjadi prediktor yang paling signifikan bagi tindak kriminal dan kekerasan anak-anaknya (Fathering interprises:1995-1996, dalam http://artikel.us/slameto2.html).

SMK Sukawati Sragen adalah sekolah menengah kejuruan dengan jumlah siswa sebagian besar laki-laki yaitu 876 laki-laki dan 31 siswa perempuan.


(28)

Berdasarkan presensi banyak siswa yang sering tidak masuk tanpa adanya keterangan atau membolos ketika jam pelajaran. Terkadang guru terpaksa menghukum siswanya yang ketahuan merokok, HP yang disita guru-guru BK dari para siswa juga sebagian berisi video porno.

Peneliti melakukan wawancara terhadap 8 siswa SMK Sukawati yang terindikasi nakal, 4 siswa dari kelas X dan 4 siswa dari kelas X1. Ke 8 siswa menyatakan ayah mereka sudah memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, namun untuk urusan uang rata-rata dikendalikan ibu sehingga ketika menginginkan sesuatu mereka lebih sering meminta kepada ibu daripada kepada ayahnya. hal ini mengakibatkan kurangnya komunikasi antara ayah dan anak, anak-anak sendiri mengaku lebih berani meminta uang pada ibu daripada ayah karena memang jarang mengobrol dan mereka takut untuk meminta pada ayahnya. Berbeda kasusnya dengan anak yang tidak tinggal dengan ayahnya, anak yang ditinggal ayah merantau mencari uang, lebih tidak terkontrol dalam pemberian uang. Ayah yang berada jauh dengan anak tidak dapat memantau anaknya sehingga lebih sering meng-iyakan permintaan anaknya.

Ayah lebih sering memarahi ketika anak melakukan kesalahan ketimbang memberikan nasehat dengan baik. Delapan siswa tersebut mengaku merokok, dengan ayah yang merokok pula. Ayah mereka sebenarnya melarang anak-anaknya merokok tapi menurut mereka kenapa mereka harus menuruti perkataan tersebut karena ayah mereka sendiri juga merokok. Disini tampak ayah sebagai


(29)

melarang saja tanpa memberikan contoh yang sesuai dengan perkataannya, sehingga anak tetap melakukan hal yang dilarang tersebut.

Guru Bk di SMK Sukawati rutin melakukan panggilan kepada orang tua yang anaknya sering melakukan pelanggaran diluar batas toleransi, pemanggilan biasanya dilakukan pada akhir pekan. Orang tua yang datang sebagian besar adalah ibu dari siswa, peneliti tidak menemukan adanya ayah yang datang kesekolah tersebut karena alasan bekerja. Sebenarnya beberapa ibu yang datang juga bekerja, namun mereka lebih menyempatkan diri untuk datang memenuhi panggilan guru, maka dapat dilihat disni bahwa masih ada stereotip ibu yang lebih berhak untuk mengurus masalah anak, bukan ayah.

Berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Hubungan Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran dengan Kenakalan Remaja di SMK Sukawati Sragen”. Peneliti ingin mengungkap apakah ada hubungan persepsi remaja laki-laki terhadap peran ayah dengan kenakalan remaja, dengan menggunakan skala pengukuran psikologi berdasarkan aspek-aspek dari peran ayah dan kenakalan remaja.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah yaitu: Bagaimana hubungan persepsi remaja laki-laki terhadap peran ayah dengan kenakalan remaja di SMK Sukawati Sragen?


(30)

1.3.Tujuan penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi remaja laki-laki terhadap peran ayah dengan kenakalan remaja di SMK Sukawati Sragen.

1.4. Manfaat penelitian

Penelitian mengenai hubungan antara persepsi remaja laki-laki terhadap peran ayah dengan kenakalan remaja ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yaitu :

1.4.1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan di bidang ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan, psikologi pendidikan dan psikologi sosial yang berkaitan dengan bagaimana hubungan peran ayah dengan kenakalan remaja. Laporan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya sebagai referensi yang mendukung.

1.4.2. Manfaat praktis 1.4.2.1.Bagi sekolah

Sebagai bahan pertimbangan penyusun kebijakan penanganan pelanggaran tata tertib sekolah dan mekanisme penanganan penyimpangan perilaku secara khusus kenakalan remaja yang dapat mempengaruhi siswa-siswa lain.

1.4.2.2.Bagi guru bimbingan konseling

Membantu guru bimbingan konseling dalam merumuskan masalah anak didiknya yang berkaitan dengan kenakalan remaja. Diharapkan seorang guru


(31)

bimbingan konseling tidak hanya memberi hukuman untuk memberi efek jera , tetapi mencari sumber dari munculnya masalah tersebut.

1.4.2.3.Bagi orang tua

Kenakalan remaja diharapkan dapat diatasi setelah orang tua juga mengetahui seberapa besar kontribusinya terhadap perilaku kenakalan remaja anaknya terutama peran ayah. Orang tua tidak hanya menyalahkan pihak sekolah yang memberikan pendidikan. Sehingga tidak akan saling menyalahkan dari masing-masing pihak, serta diharapkan dapat diselesaikan secara bersama.


(32)

15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Persepsi

2.1.1. Pengertian Persepsi

Walgito (2003:53) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu indera. Proses penginderaan terjadi setiap saat, yaitu pada waktu individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera. Stimulus yang mengenai individu itu kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya, proses ini yang dimaksud dengan persepsi. Moskowitz dan Orgel (dalam Walgito, 2003:54) menyatakan bahwa persepsi merupakan proses yang

intergrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya, sehingga dapat

disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang

integrated dalam diri individu. Karena merupakan aktivitas yang integrated,

maka seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut berperan aktif dalam persepsi itu.

Melalui persepsi individu dapat menyadari, dapat mengerti tentang keadaan lingkungan sekitarnya, dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan (Davidoff dalam Walgito, 2003:54). Dapat dikemukakan bahwa


(33)

dalam persepsi, stimulus bisa berasal dari luar diri individu, tetapi juga datang dari dalam individu yang bersangkutan. Persepsi merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu akan ikut berperan dalam dala persepsi tersebut.

Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi adalah proses pengorganisasian dan penginterpretasian stimulus-stimulus yang diterima oleh pancaindra untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga individu menyadari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Persepsi merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut berperan aktif dalam persepsi itu.

2.2.

Remaja

2.2.1. Pengertian Remaja

Monks (2006:262) mendefinisikan usia remaja berlangsung antara 12 sampai 21 tahun, dan pada masa tersebut terjadi tugas-tugas perkembangan yang merupakan penyempurnaan tugas perkembangan sebelumnya. Hurlock (1980:206) dalam bukunya menuliskan bahwa istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. masa remaja terjadi pada usia 13-18 tahun pada wanita dan 14-18 tahun untuk remaja pria, dan bila remaja tersebut bersekolah maka adalah yang duduk di bangku SMP dan SMU.


(34)

Gunarsa dan suami, walaupun menyatakan ada beberapa kesulitan menentukan batasan usia remaja di Indonesia, akhirnya mereka pun menetapkan bahwa usia antara 12-22 tahun sebagai masa remaja (1981:15-16). Susilo Windradini, menguraikan tentang remaja awal atau early adolensce (13-17 tahun) dan remaja akhir atau late adolenscense (17-21 tahun). Winarno Surachmad setelah meninjau banyak literatur luar negeri, menulis usia 12-22 tahun adalah masa mencakup perkembangan terbesar perkembangan

adolescence ( dalam Panuju, 2005:6-7).

2.2.1.1. Kriteria Masa Remaja

Menurut WHO (World Healt Organization) dalam Sarwono (2010:11) masa remaja mencakup tiga kriteria yaitu: a. Biologik, remaja adalah individu yang berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual; b. psikologik, remaja adalah individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola- pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; c. Sosial ekonomi, remaja adalah individu yang mengalami peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi dan relatif lebih mandiri.

2.2.2. Ciri-Ciri Masa Remaja

2.2.2.1. Ciri-ciri Umum Masa Remaja

Hurlock (1980:207-209) mendefinisikan ciri-ciri umum masa remaja sebagai berikut :


(35)

Hal ini karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku serta akibatnya yang jangka panjang, ada periode penting karena akibat fisik dan psikologis. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental terutama pada masa awal remaja. Semua perkembangan tersebut memerlukan penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Merupakan masa peralihan ketahap perkembangan berikutnya. Artinya, apa yang terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang serta dapat mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ada 4 perubahan yang sama dan hampir bersifat universal, yaitu :

- meningginya emosi yang intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi, karena perubahan emosi biasanya terjadi lebih cepat selama masa awal remaja, maka meningginya emosi lebih menonjol pada masa awal periode akhir masa remaja.

- Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial. Bagi remaja muda, masalah yang timbul tampaknya lebih banyak dan sulit diselesaikan dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya.


(36)

- Dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga berubah. Apa yang pada masa kanak-kanak dianggap penting, sekarang setelah hampir dewasa tidak penting lagi.

- Setiap remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut perubahan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab terhadap akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tangggung jawab tersebut.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masalah pada masa remaja menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Alasan pertama adalah sepanjang masa kanak-kanak masalah sebagian diselesaikan oleh guru dan orang tua. Kedua karena remaja merasa dirinya mandiri, mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengatasi masalah mereka sendiri menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesainnya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pada masa remaja awal penyesuaian diri dengan standar kelompok lebih penting daripada individualistis. Lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-temannya dalam segala hal, tetapi status remaja yang mendua ini menimbulkan suatu dilema yang menyebabkan “krisis identitas” atau masalah identitas-ego pada remaja. Remaja menarik perhatian pada diri sendiri agar


(37)

dipandang sebagai individu tapi pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebayanya.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Stereotip budaya yang menganggap bahwa remaja adalah anak yang

tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggungjawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Stereotip popular juga mempengaruhi konsep diri juga sikap remaja terhadap dirinya sendiri.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistis cita-cita maka ia akan menjadi semakin marah dan sangat kecewa apabila oranglain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan sendiri.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa saja belum cukup. Maka remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yag dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks.


(38)

Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

2.2.2.2. Remaja Menurut Masyarakat Indonesia

Sarwono (2010:11) mendefinisikan remaja menurut masyarakat Indonesia sendiri, dan memang cukup sulit karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat, dan tingkatan sosial-ekonomi maupun pendidikan. Walaupun demikian, sebagai pedoman umum batasan usia remaja adalah 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : a. Usia 11 tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (kriteria fisik); b. dibanyak masyarakat Indonesia, usia sebelas tahun sudah dianggap akil balig baik menurut adat maupun agama sehingga masyarakat tidak lagi menganggap mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial); c. pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erickson), tercapainya fase genital dan perkembangan psikoseksual (menurut freud) dan tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupun moral (Kohlberg) (kriteria psikologis); d. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum bisa memberikan pendapat sendiri dan sebagainya. Dengan kata lain, orang-orang dengan batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis, masih dapat digolongkan sebagai remaja. Golongan ini


(39)

cukup banyak di Indonesia, terutama dari kalangan masyarakat kelas menengah keatas yang mempersyaratkan berbagai hal (terutama pendidikan setinggi-tingginya) untuk mencapai kedewasaan. Akan tetapi, dalam kenyataannya cukup banyak pula orang yang mencapai kedewasaannya sebelum usia tersebut; e. Dalam definisi diatas status perkawinan sangat menentukan, karena arti perkawinan masih sangat penting dimasyarakat kita pada umumnya. Seorang yang sudah menikah pada usia berapapun dianggap dan diperlukan sebagai dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. Karena itu batasan remaja disini dibatasi untuk yang belum menikah.

Berdasarkan pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang mengalami masa transisi dari kanak-kanak kemasa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan ciri-ciri fisik, matang secara perilaku, mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan masa sebelumnya dan sesudahnya, serta memenuhi kriteria sosial tertentu dalam masyarakat, dan dengan rentang usia 12-21 tahun. Dilihat dari ciri-ciri tersebut tak dapat dapat dipungkiri jika kita memandang terkadang seorang remaja mengalami berbagai masalah dalam kehidupannya, seperti terjadinya kenakalan remaja yang disebabkan beberapa hal diatas.


(40)

2.3.

Peran ayah

2.3.1. Pengertian Peran Ayah

Guna mendapatkan definisi mengenai peran ayah (fathering), maka rujukan pertama adalah memahami arti dari peran orang tua (parenthing) atau biasa dikenal sebagai peran pengasuhan. Brooks (2011:10) mendefinisikan orang tua sebagai individu-individu yang mengasuh, melindungi dan memimpin dari bayi hingga tahap dewasa. Orang tua melakukan investasi dan komitmen abadi pada seluruh periode perkembangan yang panjang dalam kehidupan anak, untuk memberikan tanggung jawab dan perhatian yang mencakup: a. kasih sayang dan hubungan dengan anak yang terus berlangsung; b. kebutuhan material seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal; c.akses kebutuhan medis; d. Disiplin yang bertanggung jawab, menghindarkan dari kecelakaan dan kritikan pedas serta hukuman fisik yang berbahaya; e. Pendidikan intelektual dan moral; f. Persiapan untuk bertanggung jawab sebagai orang dewasa; g. Mempertanggungjawabkan tindakan anak kepada masyarakat luas.

Orang tua memberikan perhatian dalam interaksi langsung dengan anak (contohnya memberi makan, mengajar dan bermain dengan anak). Mereka juga memberikan perhatian melalui tindakan tidak langsung yang bisa muncul dalam berbagai bentuk, misalnya orang tua berperan sebagai penasihat bagi anak didalam masyarakat dengan memastikan sekolah dan pendidikan. Pengasuhan tidak berjalan satu arah, dimana orang tua mengarahkan anak menuju tahap kedewasaan. Parenthing adalah proses tindakan dan interaksi antara orang tua


(41)

dan anak. Ini adalah proses dimana kedua pihak saling mengubah satau sama lain saat anak tumbuh menjadi sosok dewasa (Brooks, 2011:10).

Parenthing adalah suatu perilaku yang pada dasarnya mempunyai

kata-kata kunci yaitu hangat, sensitif, penuh penerimaan, bersifat resiprokal, ada pengertian dan respon yang tepat pada kebutuhan anak. Pengasuhan dengan ciri-ciri tersebut melibatkan kemampuan untuk memahami kondisi dan kebutuhan anak, kemampuan untuk memilih respon yang paling tepat baik secara emosional, afektif, maupun instrumental. Selain itu keterlibatan dalam parenting mengandung aspek waktu, interaksi dan perhatian (Andayani & Koentjoro, 2004:15). Parenthing di lain pihak adalah suatu tugas yang berkaitan dengan mengarahkan anak menjadi mandiri di masa dewasanya secara fisik dan psikologis (Andayani & Koentjoro, 2004:13). Idealnya orang tua akan mengambil bagian pendewasaan anak, karena dari orang tua, anak-anak akan belajar mandiri entah melalui proses belajar sosial dengan modelling atau pun melalui proses resiprokal dengan prinsip pertukaran sosial.

Parenthing berbeda dengan Parenthood, menurut Shanock (dalam

Andayani dan Koentjoro, 2004:11) parenthood lebih merujuk pada masa menjadi orang tua dengan kewajiban memenuhi kebutuhan anak yang selalu berubah dari waktu ke waktu sesuai perkembangannya, dalam kalimat lain

parenthood dapat didefinisikan sebagai suatu peran atau bahkan karir karena

parenthood dapat mempengaruhi identitas diri orang dewasa.

Peran ayah atau Fathering lebih merujuk pada pengertian Parenthing. Idealnya ayah dan ibu mengambil peranan yang saling melengkapi dalam


(42)

menjalankan rumah tangga dan perkawinan, termasuk didalamnya berperan memberikan model yang lengkap bagi anak-anak dalam menjalani kehidupan (Andayani & Koentjoro, 2004:12).

Berdasarkan pemahaman diatas, peran ayah (fathering) dapat dijelaskan sebagai suatu peran yang dimainkan seorang ayah dalam kaitannya dengan tugas untuk mengarahkan anak menjadi mandiri dimasa dewasanya, baik secara fisik dan psikologis. Peran ayah sama pentingnya dengan peran ibu dan memiliki pengaruh pada anak walau pada umumnya menghabiskan waktu relatif lebih sedikit dengan anak dibandingkan dengan ibu. Ayah sebagai salah satu orang tua diharapkan untuk lebih terlibat dalam pengasuhan. Ayah sebagaimana ibu adalah bagian dari keluarga. Ayah tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pengasuhan anak. Ia tidak hanya memasuki masa parenthood dengan adanya anak melainkan juga mempunyai hak dan kewajiban untuk menikmati dan mengurus anak.

2.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peran Ayah

Doherty, dkk (dalam Andayani & Koentjoro, 2004:78-81) menyebutkan 5 faktor penting yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak: a. Faktor ibu, ibu sering memberikan evaluasi pada para ayah ketika mereka terlibat dengan anak-anak. Tidak jarang evaluasi ibu akan menjadi ukuran bagi ayah untuk tetap berinteraksi dengan anaknya atau tidak. Simons, dkk (1990) menemukan bahwa sikap, harapan, dan dukungan ibu terhadap ayah akan mempengaruhi keterlibatan ayah pada anaknya. Penilaian dari pasangan akan memperkuat identitas peran ayah yang kemudian akan meningkatkan perhatian


(43)

ayah terhadap anak, atau dengan kata lain meningkatkan pemusatan psikologis

(psychological centrality) tentang petingnya anak bagi si ayah, dengan adanya

pemusatan ini ayah akan menjadi lebih terlibat pada anak; b. Faktor ayah sendiri, Keterlibatan ayah dipengaruhi oleh kepribadiannya, aspek-aspek identifikasi peran ayah, keterampilan pengasuhan, dan komitmen adalah aspek penting dalam keterlibatan ayah yang dapat mengimbangi kurangnya faktor dukungan dari ibu, sosial dan institusional. Demikian pula halnya dengan kesejahteraan psikologis, dan kemampuan penyesuaian psikologis ayah. Trait expressiveness adalah kepribadian feminim yang mengandung unsur kelembutan hati, baik hati dan peduli pada orang lain. Seorang ayah yang mempunyai tingkat trait

expressiveness tinggi akan melibatkan dirinya dalam proses sosialisai anak; c.

Faktor anak, Marsagilo mendapatkan gambaran bahwa ayah cenderung lebih nyaman beriteraksi dengan anak laki-laki daripada anak perempuan, hal ini diduga disebabkan karena anak laki-laki mengidentifikasi diri pada ayahnya, dan komunikasi ayah anak menjadi lebih mudah. Faktor karakteristik anak menurut Belsky meupakan faktor yang tidak kalah penting perannya pada bentuk keterlibatan anak; d. Faktor coparental, faktor kualitas pernikahan menjadi faktor yang penting, ketika hubungan dengan istri kurang memuaskan atau penuh dengan konflik ayah cenderung menjauh dari anak-anak (Ahrons dan Miller). Jika ayah berinteraksi dengan anak ketika kualitas tidak memuaskan, maka pola perilakunya terhadap anak juga cenderung kurang positif dan kurang suportif; e. Faktor kontekstual, Faktor kontekstual yang berperan adalah faktor ekonomi keluarga,


(44)

dukungan sosial, dan bantuan dari orang-orang dekat seperti keluarga asal dan saudara yang lain.

Aspek ekonomi merupakan aspek pendukung identitas diri seorang ayah. Ayah yang mempunyai kemampuan ekonomi yang menurutnya cukup akan mempunyai kesejahteraan psikologis yang lebih baik daripada ayah yang kemampuannya sebagai pencari nafkah kurang memuaskan. Hal ini berkaitan dengan kesuksesan dilingkungan luar keluarga. Kesulitan ekonomi akan membawa ketegangan psikologis yang kemudian akan berpengaruh pada interaksi suami isteri, dan selanjutnya berdampak pada pengasuhan anak.

2.3.3. Peran Ayah dalam Keluarga

Penelitian Andayani (2004:13) masih memberikan gambaran bahwa ayah cenderung mengambil jarak dari anak-anaknya. Ayah lebih sibuk dengan dunia luar keluarga dan sedikit sekali bersinggungan dengan anak-anaknya. Carnoy dan Carnoy (dalam Andayani & Koentjoro, 2004:13) menunjuk pada ayah yang masih mengejar “identitas diri” terutama dalam dunia kerja sebagai ayah yang tidak terlibat dan jauh dari keluarga, dengan kata lain ayah menjadi figur asing bagi anak-anak sehingga anak-anak tidak berani atau enggan berurusan dengan ayah mereka. Kasus-kasus yang ditangani Andayani dan Koentjoro pada anak-anak yang dikonsultasikan bermasalah juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Meski tidak bisa disama ratakan pada semua ayah bahwa keterlibatan ayah masih sangat minimal, dan keterlibatan yang minimal biasanya akan menghasilkan sensitivitas yang rendah terhadap kebutuhan anak.


(45)

Peran ayah dalam parenthing menurut Hoffman (dalam Andayani & Koetjoro, 2004) memiliki paling sedikit empat dimensi. Pertama, orang tua menjadi teladan bagi anak baik melalui perkataan maupun tindakannya. Kedua, orang tua memberikan disiplin pada anak dan memberikan penjelasan mengapa mereka mendukung tingkah laku tertentu dan tidak mendukung tingkah laku yang lain. Ketiga, orang tua sebagai orang yang utama dalam memenuhi kebutuhan kasih sayang anak. Keempat, orang tua bertindak sebagai penghubung antara anak dengan masyarakat yang lebih luas, dengan cara: Membawa tuntutan dan harapan masyarakat kedalam rumah dan melaksanakannya pada anak. Berdasar pada posisi ayah dan ibu dimasyarakat, mereka memberikan status tertentu pada anak yang khususnya menjadi penting ketika anak mulai memahami dunia luar dimana ia berpijak.

Tampak dalam beberapa pembahasan diatas, banyak faktor yang menentukan peran ayah dalam keluarga. Salah satunya adalah persoalan nilai-nilai budaya dimana keluarga tersebut berada. Beberapa penelitian di Amerika Serikat telah mencoba mengggali mengenai beberapa peran ayah dalam keluarga. Beberapa penelitian tersebut antara lain salah satunya dilakukan oleh Parsons (dalam Andayani & Koentjoro, 2004). Berdasar hasil penelitian ia kemudian menyimpulkan bahwa peran yang lebih khusus untuk ayah yaitu mempresentasikan pengambil keputusan, berorientasi pada tindakan, berlaku sebagai penghubung utama antara sistem keluarga dengan sistem sosial di luar keluarga, bertanggung jawab untuk mengenalkan anak pada peran jenis kelamin pada dunia yang lebih luas, dan mendorong anak untuk memperoleh kompetensi


(46)

yang diinginkan untuk beradaptasi dengan dunia yang lebih luas. Gottman dan DeClaire (dalam Andayani & Koentjoro, 2004:14) menekankan pentingnya ayah terlibat langsung pada anak karena gaya laki-laki ayah akan memberi kesempatan pada kecerdasan emosi anak untuk berkembang.

2.3.3.1. Bentuk-bentuk Keterlibatan Ayah

Lamb (dalam Andayani & Koentjoro, 2004:15) dalam menganalisis keterlibatan ayah dan mengkategorikan keterlibatan dalam tiga bentuk, pertama yaitu engagement atau interaction adalah interaksi dengan meliputi kegiatan memberi makan, mengenakan baju, berbincang, bermain, mengerjakan PR, dan sebagainya. Kedua accessibility yaitu bentuk keterlibatan yang lebih rendah. Orang tua ada didekat anak tetapi tidak beriteraksi secara langsung dengan anak. Terakhir Responsibility yang merupakan bentuk keterlibatan paling intens karena melibatkan perencanaan, pengambilan keputusan, dan mengorganisasi. Orang tua yang menyandang tanggung jawab utama biasanya mengalami lebih banyak tekanan, kecemasan, dan kekhawatiran.

Grant (dalam Andayani & Koentjoro, 2004:16) menyatakan bahwa keterlebitan ayah sebaiknya mencakup 4 elemen (four-fold fathering) yaitu, pertama elemen fisik yang mengandung pengertian seorang ayah yang terlibat akan melakukan kontak fisik dengan anaknya baik dalam bentuk sentuhan-sentuhan maupun permainan. Ayah terlibat dengan anak memanfaatkan “kelakiannya” dalam permainan yang cenderung bersifat fisik dan melibatkan motorik kasar. Hal ini akan memberikan pengalaman emosional yang berbeda pada anak dibandingkan dengan ketika beriteraksi dengan ibu nya yang cenderung


(47)

bersifat lebih lembut dan mengeksplorasi kegiatan yang cenderung bersifat intelektual.

Kedua elemen sosial, dalam elemen sosial, ayah menunjukkan attachment yang dapat menimbulkan perasaan aman dan mempercayai lingkungan. Ayah memberikan pengalaman positif yang mengarahkan anak memiliki penghargaan positif pada diri sendiri yang dapat mendukung penyesuaian. Ketiga elemen spiritual, yaitu ayah peduli dengan pendidikan anak secara religi dan mengajarkan nilai serta norma sehingga anak memiliki moralitas yang baik. Keempat elemen intelektual yaitu seorang ayah dengan cara pandanganya yang berbeda dengan ibu, dapat memberikan wawasan pada anak mengenai dunia sehingga anak dapat membangun penghargaan pada perbedaan. Ia akan terlibat dengan pendidikan anak serta dapat menerapakan disiplin yang konsruktif.

Disamping keterlibatan dalam keempat area perkembangan tersebut, konsep keterlibatan yang merupakan konsep ideal adalah seperti yang diungkapkan Benn dan Garbarino (dalam Andayani & Koentjoro, 2004:16) adalah adanya unsur afektif. Ketika seorang ayah memanfaatkan sisi emosionalitasnya ia akan terlibat dengan anak ketika berinteraksi dengan anaknya. Bercanda dan keceriaan dalam berinteraaksi merupakan satu hal yang diinginkan anak-anak ketika berinteraksi dengan orang tua.

Penelitian Ellen Galinsky (dalam Andayani & Koentjoro, 2004:18) mengungkapkan ada 8 indikator yang baik dalam pengasuhan yaitu membuat anak merasa penting dan dicintai, merespon pada tanda-tanda dan isyarat anak,


(48)

menerima anak apa adanya tetapi juga mengharapkan keberhasilan, mengajarkan nilai-nilai yang kuat, menggunakan disiplin yang konstruktif, menyediakan hal-hal yang rutin dan yang bersifat ritual agar hidup lebih terprediksi, terlibat dalam pendidikan anak dan yang terakhir adalah siap membantu dan mendukung anak. 2.4. Persepsi Remaja Laki-laki Terhadap Peran Ayah

Berdasarkan pengertian diatas persepsi remaja laki-laki terhadap peran ayah adalah proses pengorganisasian dan penginterpretasian stimulus-stimulus yang diterima oleh pancaindra untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga individu menyadari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Dalam hal ini adalah persepsi dilakukan oleh seorang remaja laki-laki terhadap peran ayah yaitu suatu peran yang dimainkan seorang ayah dalam kaitannya dengan tugas untuk mengarahkan anak menjadi mandiri dimasa dewasanya baik secara fisik maupun psikologis. Ayah sebagai salah satu orang tua diharapkan untuk lebih terlibat dalam pengasuhan. Ayah sebagaimana ibu adalah bagian dari keluarga. Ayah tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pengasuhan anak. Ia tidak hanya memasuki masa parenthood dengan adanya anak melainkan juga mempunyai hak dan kewajiban untuk menikmati dan mengurus anak.

2.5.

Kenakalan Remaja

2.5.1.

Pengertian Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja adalah perilaku yang menyimpang dari kebiasaan atau melanggar hukum (Sarwono, 2010: 256). Santrock menjelaskan bahwa kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas,


(49)

dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial (misalnya bersikap berlebihan disekolah) sampai pelanggaran status (seperti melarikan diri) hingga tindak kriminal (misalnya pencurian). Untuk alasan hukum, dilakukan pembedaan antara pelanggaran indeks dan pelanggaran status. Pelanggaran indeks (index offenses) adalah tindak kriminal baik yang dilakukan oleh remaja maupun orang dewasa seperti perampokan, tindak penyerangan, perkosaan, pembunuhan. Pelanggaran status (status offenses) adalah tindakan yang tidak terlalu seserius pelanggaran indeks, seperti melarikan diri, membolos, minum-minuman keras dibawah usia yang diperbolehkan, hubungan seks bebas dan anak yang tidak dapat dikendalikan (2003:519).

Kenakalan remaja atau juvenile delinquency adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat atau perbuatan yang antisosial dimana didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif (Simanjuntak dalam Sudarsono, 2004:10). Kenakalan remaja adalah perilaku yang melanggar hukum yang biasanya dilakukan oleh remaja berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sanksi hukum (Mussen dalam Gunawan, 2011:29-30).

Sudarsono (2004:1) mengartikan kenakalan remaja sebagai kejahatan anak, akan tetapi pengertian ini menimbulkan konotasi yang cenderung negatif, bukan negatif sama sekali. Walgito dalam Sudarsono (2004:11) menjelaskan kenakalan remaja merupakan setiap perbuatan yang melanggar aturan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa maka perbuatan tersebut


(50)

merupakan kejahatan, jika dilakukan remaja merupakan perbuatan yang melawan hukum.

Fuhrmann (dalam Gunawan, 2011:30) mengungkapkan bahwa kenakalan remaja adalah suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menganggu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Menurut Gunarsa (2007:19) kenakalan remaja adalah kenakalan yang bersifat a-moral dan a-sosial. Kenakalan ini tidak diatur dalam undang-undang sehingga tidak digolongkan sebagai pelanggaran hukum.

Sedangkan Sarwono (2010:256) mengemukakan, yang dimaksud dengan kenakalan remaja adalah perilaku yang menyimpang dari atau melanggar hukum. Hasan dan Walgito menegaskan bahwasanya kenakalan remaja adalah perbuatan atau kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat melanggar hukum, antisosial, anti susila dan menyalahi norma-norma agama.

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku atau perbuatan remaja yang menyimpang dari norma, hukum serta agama yang ada dan menimbulkan kerusakan pada diri sendiri maupun kerisauan pada orang lain.

2.5.2. Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja

Masalah kenakalan remaja adalah masalah yang harus segera diperhatikan dan harus segera ditangani. Permasalahan kenakalan remaja ini tidak hanya di desa saja ataupun dikota-kota besar saja akan tetapi dimana saja.


(51)

Jensen (dalam Sarwono, 2010:257) membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis, yaitu kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain seperti perkelahian, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. Kenakalan yang menimbulkan korban materi berupa perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain berupa pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin juga dapat dimasukkan hubungan seks sebelum menikah. Terakhir kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka, dan sebagainya.

Hurlock, (1980:209) menjelaskan bahwa pada masa remaja semakin dekat usia kematangan yang sah, sehingga membuat para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa saja belum cukup, maka remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan .

Sudarsono (2004:209-210) membagi bentuk-bentuk kenakalan remaja, yaitu : a. Berupa ancaman terhadap hak milik orang lain yang berupa benda, seperti pencurian. b. Berupa ancaman terhadap keselamatan jiwa orang lain, seperti pembunuhan dan penganiayaan yang menimbulkan meninggalnya orang


(52)

lain; c. Perbuatan-perbuatan ringan lainnya seperti pertengakaran sesama anak, minum-minuman keras, begadang atau keliaran sampai larut malam.

Menurut John W. Santrock istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan disekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri). Demi tujuan-tujuan hukum, dibuat suatu perbedaan antara pelanggaran-pelanggaran indeks

(indeks offens) yaitu tindakan kriminal baik yang dilakukan remaja maupun orang

dewasa. Tindakan-tindakan itu meliputi perampokan, penyerangan dengan kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan. pelanggaran-pelanggaran status

(status offens) Merupakan tindakan pelanggaran yang tidak terlalu serius. Contoh

dari status offens adalah seperti lari dari rumah, bolos dari sekolah, minum-minuman keras yang melanggar ketentuan usia, pelacuran dan ketidakmampuan mengendalikan diri ( Dryfoos dalam Santrock, 2003:519).

Menurut Kartono (2005:21-23) bentuk perilaku kenakalan remaja antara lain adalah :

a. Kebut-kebutan dijalan yang mengganggu keamanan lalu-lintas dan membahayakan diri sendiri serta orang lain.

b. Perilaku ugal-ugalan, berandalan, urakan yang mengacaukan ketentraman lingkungan sekitar.

c. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa.


(53)

d. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan, atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan bermacam-macam eksperimen tindak a-susila.

e. Kriminalitas remaja antara lain berupa perbuatan mengancam, memeras, mencuri, mencopet, menyerang, melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya, mencekik, meracun dan tindak kekerasan.

f. Berpesta pora, sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas yang mengganggu lingkungan.

g. Perkosaan, agresivitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual, atau didorong oleh emosi balas dendam dan kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita.

h. Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan.

i. Tindak-tindak immoral seksual yang secara terang-terangan, tanpa rasa malu degan cara yang kasar, ada seks dan cinta bebas tanpa kendali yang didorong oleh hiperseksualitas.

j. Homoseksualitas, erotisme anal dan oral, dan gangguan seksual lain pada remaja disertai tindakan sadistis.

k. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan, sehingga mengakibatkan kriminalitas.

l. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin.


(54)

m. Tindakan radikal dan ekstrim, dengan cara kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan remaja.

Pada usia mereka, perilaku-perilaku yang dilanggar memang belum melanggar hukum dalam arti yang sesungguhnya karena yang dilanggar adalah status-status dalam lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang memang tidak diatur oleh hukum secara terinci (Jensen dalam Sarwono, 2010:257).

2.5.3. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja

Jensen dalam Sarwono (2010:255-256) mengungkapkan faktor-faktor penyebab kenakalan remaja dapat digolongkan sebagai berikut : a. Rational

Choice, Teori ini mengutamakan faktor individu daripada faktor lingkungan.

Kenakalan yang dilakukannya adalah atas pilihan, interest, motivasi atau kemauannya sendiri. Di Indonesia banyak yang percaya pada teori ini, misalnya kenakalan remaja dianggap sebagai kurang iman sehingga anak dikirim ke pesantern kilat atau dimasukkan ke sekolah agama; b. Social disorganization, kaum positivis pada umumnya lebih mengutamakan faktor budaya, yang menyebabkan kenakalan remaja adalah berkurangnya atau menghilangnya pranata-pranata masyarakat yang selama ini menjaga keseimbangan atau harmoni dalam masyarakat. Orang tua yang sibuk dan guru yang kelebihan beban merupakan penyebab dari berkurangnya fungsi keluarga dan sekolah sebagai pranata kontrol; c. Strain, teori ini dikemukakan oleh Merton yang intinya adalah bahwa tekanan yang besar dalam masyarakat, misalnya kemiskinan dapat menyebabkan sebagian dari anggota masyarakat yang memilih jalan rebellion


(55)

melakukan kejahatan atau kenakalan remaja; d. Differential association, menurut teori ini kenakalan remaja adalah akibat salah pergaulan. Anak-anak nakal karena bergaulnya dengan anak-anak yang nakal juga. Paham ini banyak dianut oleh orang tua diindonesia, yang sering kali melarang anak-anaknya bergaul dengan teman-teman yang dianggap nakal , dan menyuruh anak-anaknya untuk berkawan dengan teman-teman yang pandai dan rajin belajar; e. Labelling, ada pendapat bahwa anak nakal selalu dianggap atau dicap nakal atau diberi label nakal; e. Male

phenomen, teori ini percaya bahwa anak laki-laki lebih nakal daripada anak

perempuan. Alasannya karena kenakalan memang adalah sifat laki-laki, atau bahwa budaya maskulinitas menyatakan bahwa wajar kalau laki-laki nakal.

Graham (dalam Sarwono, 2006:208) membagi faktor-faktor penyebab kenakalan remaja dalam dua golongan, yaitu : a. Faktor lingkungan meliputi : malnutrisi (kekurangan gizi), kemiskinan di kota-kota besar, gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalulintas dan bencana alam), migrasi (urbanisasi dan pengungsian karena perang), faktor sekolah (kesalahan mendidik dan kesalahan kurikulum), keluarga yang tercerai berai (perceraian dan perpisahan yang terlalu lama), gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga (kematian orang tua, orang tua sakit berat atau cacat, hubunga antar anggota keluarga tidak harmonis, orangtua sakit jiwa, dan kesulitan dalam pengasuhan karena pengangguran, kesulitan keuangan, dan tempat tinggal tidak memenuhi syarat); b. Faktor pribadi, meliputi : faktor bakat yang mempengaruhi temperament (menjadi pemarah dan hiperaktif), cacat tubuh, ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri.


(56)

Kartono (2005:93) mengungkapkan faktor-faktor yang menjadi penyebab kenakalan remaja yaitu, struktur keluarga yang berantakan. Lingkungan tetangga yang rusak dan buruk. Subkultur delinkuen sebagai manifestasi ekstrim dari kebudayaan remaja. Tradisi delinkuen di daerah-daerah rawan. Kondisi sekolah yang kurang menguntungkan, sehingga banyak terdapat kasus cepat putus sekolah. Disorganisasi sosial, penyimpangan sosial, formalisme dari lembaga-lembaga sosial. Sempitnya lapangan pekerjaan, sukar mendapatkan, suatu pekerjaan, dan jenis pekerjaan yang tidak cocok dengan ambisi serta keinginan anak muda zaman sekarang. Konstitusi jasmaniah dan rohaniah (psikis) yang lemah, defek mental dan beberapa jenis gangguan kejiwaan yang merangsang remaja menjadi delinkuen. Penggunaan mekanisme pelarian diri dan pembelaan diri yang negatif oleh remaja yang mengalami gangguan emosional, kemudian menstimulir remaja menjadi kriminal.

Santrock (2003;523) menjabarkan beberapa pemicu dari kenakalan remaja, yaitu: a. Identitas, Erickson percaya bahwa kenakalan terjadi karena remaja gagal menemukan suatu identitas peran; b. kontrol diri, beberapa anak dan remaja gagal memperoleh kontrol yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan; c. Usia, Munculnya tigkahlaku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan serius nantinya dimasa remaja. Namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan; d. jenis kelamin, anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku antisosial daripada anak-anak perempuan, walaupun anak perempuan lebih banyak yang kabur. Anak laki-laki lebih banyak


(57)

melakukan tindak kekerasan; e. harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai disekolah, remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan dan juga nilai-nilai yang rendah disekolah. Kemampuan verbal mereka seringkali tergolong kurang; f. pengaruh orang tua, Para pelaku kenakalan seringkali berasal dari keluarga dimana orang tua jarang mengawasi anak-anak remajanya, memberikan mereka sedikit dukungan dan menerapkan pola disiplin secara tidak efektif; g. pengaruh teman sebaya, memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan; h. status sosial ekonomi, Penyerangan serius lebih sering dilakukan oleh laki-laki dari kelas sosial ekonomi yang rendah; i. kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal, masyarakat seringkali memupuk kriminalitas. Tinggal disuatu daerah dengan tingkat kriminalitas yang tinggi, yang juga ditandai dengan kemiskinan dan kondisi pemukiman yang padat, meningkatkan kemungkinan seorang anak akan melakukan kenakalan. Komunitas seperti ini seringkali memilki sekolah yang sangat tidak memadai. 2.6. Peran Ayah dalam Hubungannya dengan Kenakalan Remaja

Laki-laki

Kenakalan remaja jumlahnya selalu mengalami peningkatan, hal ini tentu semakin menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Menurut catatan kepolisian pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan (Kartono, 2005: 7), dan berdasarkan data resmi dari kementrian pemuda dan olahraga kenakalan remaja lebih banyak dilakukan oleh remaja laki-laki, hal ini


(58)

sesuai dengan yang dikemukakan Jensen dalam Sarwono (2010: 255-256) bahwa faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja adalah adanya “Male phenomena “,Teori ini percaya bahwa anak laki-laki lebih nakal daripada anak perempuan. Alasannya karena kenakalan memang adalah sifat laki-laki, atau bahwa budaya maskulinitas menyatakan wajar kalau laki-laki nakal.

Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak (kartono, 2005:57). Santrock (2003:523) menjelaskan bahwa para pelaku kenakalan seringkali berasal dari keluarga dimana orang tua jarang mengawasi anak-anak remajanya, memberikan mereka sedikit dukungan dan menerapkan pola disiplin secara tidak efektif. Dipandang dari segi pendidikan masa remaja adalah masa yang sukar karena mereka meninggalkan dunia dengan pedoman-pedoman lama dan belum mendapat pedoman baru, mereka mudah terkena pengaruh. Mereka sebenarnya butuh orang yang dapat membantu kesukaran-kesukarannya. Orang tua hendaknya menghadapi anak-anaknya dengan lebih bijaksana (Panuju, 2005:15).

Kebutuhan akan kasih sayang dan rasa kekeluargaan adalah salah satu bentuk kebutuhan dari remaja. Kasih sayang adalah kebutuhan jiwa yang paling mendasar dan pokok dalam hidup manusia. Remaja yang merasa kurang disayang oleh ibu dan bapaknya akan menderita batinnya. Kesehatannya akan terganggu dan mungkin kecerdasannya akan terhambat pertumbuhannya, kelakuannya mungkin menjadi nakal, bandel, keras kepala dan sebagainya (Panuju, 2005:31).


(59)

Kriminalitas remaja umumnya adalah akibat dari kegagalan sistem pengontrol diri, yaitu gagal mengawasi dan mengatur perbuatan instinktif mereka. Jadi, merupakan produk ketidakmampuan anak remaja dalam mengendalikan emosi primitif mereka, yang kemudian disalurkan dalam perbuatan jahat (Kartono, 2005:8).

Kenakalan remaja bukan merupakan peristiwa herediter, bukan merupakan warisan bawaan sejak lahir. Banyak bukti menyatakan bahwa tingkah-laku asusila dan kriminal orang tua serta angota keluarga lainnya memberikan dampak menular dan infeksius pada jiwa anak-anak. Anak mengoper dan kejangkitan sifat-sifat yang tidak susila dari orang dewasa. Anak seorang pencuri biasanya cenderung menjadi pencuri pula. Kejadian ini bukan disebabkan sifat dan kebiasan pencuri itu diwariskan kepada anak-anaknya sebagai ciri-ciri karakteristik yang herediter, akan tetapi karena pekerjaan mencuri itu adalah semacam usaha “home industry” (kegiatan keluarga) yang bisa mengkondisionir serta mempengaruhi pola tingkah-laku dan sikap hidup para anggota keluarga lainnya. Dalam hal ini berlangsung proses pengkondisian atau proses pembentukan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, yang dialami oleh anak-anak dan para remaja, baik secara sadar maupun tidak sadar (Kartono, 2005:58).

Kartono (2005:58) menjelaskan pola kriminal ayah, ibu atau salah seorang anggota keluarga dapat mencetak pola kriminal hampir semua anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu, sikap hidup, kebiasaan dan filsafat hidup keluarga besar sekali pengaruhnya dalam membentuk tingkah-laku dan sikap


(60)

semua anggota keluarga. Semua bentuk ketegangan dan konflik dalam keluarga mengakibatkan bentuk ketidakseimbangan kehidupan psikis anak. Disamping itu juga menyebabkan tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki. Sehingga anak berkembang menjadi kasar, binal, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan kriminal (Kartono, 2005:61).

Penolakan oleh orang tua terhadap anak laki-lakinya, terutama penolakan oleh ayah, merangsang kemunculan suatu kenakalan. Pada umumnya, ayah dari anak-anak delinkuen tersebut sangat menolak anak laki-lakinya, atau paling minimal memperhina dan meremehkana anaknya. Kurang lebih 85% dari anak-anak yang melakukan kenakalan tersebut berasal dari keluarga dengan ayah yang kejam, yang secara terbuka bersifat keras dan sadistis kejam terhadap anaknya. Biasanya ayah-ayah tadi jarang berada dirumah, dan tidak memperhatikan nasib istri serta anaknya, tidak bertanggung jawab dan tidak dewasa secara psikis. Sebaliknya anak-anak yang tidak melakukan suatu kenakalan remaja, jarang sekali atau sedikit sekali jumlahnya yang ditolak oleh orang tuanya, khususnya ditolak ayahnya (Kartono, 2005:62-63).

Hasil penelitian belakangan ini telah memberikan pikiran baru bahwa seorang ayah itu penting, tidak hanya melalui pengaruh yang bersifat langsung. Misalnya melakukan interaksi dengan istrinya, dengan mendukung istrinya sang ayah secara tidak langsung mempengaruhi anaknya. Istri yang merasa disayangi suaminya secara tidak langsung mempengaruhi sikap terhadap anaknya.

Temperament orang tua, terutama ayah yang agresif meledak-ledak , suka marah dan sewenang, serta kriminal, tidak hanya akan mentranformasikan


(61)

efek temperamennya saja, akan tetapi juga menimbulkan iklim yang mendemoralisir secara psikis. Sekaligus juga merangsang reaksi emosional yang sangat impulsive pada anak-anaknya. Pengaruh sedemikian ini menjadi sedemikian buruk terhadap jiwa anak-anak remaja, sehingga mudah dijangkit kebiasaan kriminal tersebut (Kartono, 2005:59).

Hasil penelitian terhadap perkembangan anak yang tidak mendapat asuhan dan perhatian ayah menyimpulkan, perkembangan anak menjada pincang. Kelompok anak yang kurang mendapat perhatian ayahnya cenderung memilki kemampuan akademis menurun, aktivitas sosial terhambat. Bahkan bagi anak laki-laki, ciri maskulinnya (ciri-ciri kelakian) bisa menjadi kabur (Dagun, 2002:13).

National Parent Teacher Asosiation yang mendasarkan hasil-hasil

penelitian selama 30 tahun terakhir, menyimpulkan manfaat peran ayah bagi anak adalah makin baiknya tumbuh kembang anak secara fisik, sosio emosional, ketrampilan kognitif, pengetahuan. Disamping siswa mendapat nilai yang tinggi, mereka memiliki sikap positif terhadap sekolah sehingga rajin mengikuti kegiatan baik intra maupun ekstrakulikuler, akan menangkal anak dari keterlibatannya dalam kenakalan remaja, seperti mangkir, tawuran, miras, narkoba, kehamilan dini dan kriminalitas. Lebih lanjut lagi ditemukan bahwa absennya ayah jauh lebih signifikan dampak negatifnya bagi anak (seperti diatas) dibanding absennya peranan ibu. Maka wajar jika US departemen of justice pada tahun 1988 menyatakan bahwa ketidak-adanya peran ayah dalam pendidikan anak menjadi prediktor yang paling signifikan bagi tindak kriminal


(62)

dan kekerasan anak-anaknya (Fathering interprises:1995-1996, dalam

http://artikel.us/slameto2.html).

Flouri dan Buchanan (2003:63-76) dari hasil penelitiannya menjelaskan bahwa peran ayah memiliki pengaruh pada kesehatan mental anak. Ayah memiliki peran yang penting terhadap ketidakmampuan psikologis anak dan kesulitan-kesulitan yang dialami anak dikemudian hari. Minimnya peranan ayah dapat memunculkan perasaan tidak nyaman, yang lebih fokus pada emosional atau gejala depresi.

Berdasarkan penelitian Indirawati mengenai hubungan persepsi remaja awal terhadap peran ayah dalam keluarga dengan keterampilan sosial pada remaja di dapatkan hasil yang signifikan antara persepsi peran ayah dalam keluarga dengan keterampilan sosial pada remaja. Semakin positif persepsi peran ayah dalam keluarga maka akan semakin tinggi keterampilan sosial pada remaja awal (Indirawati, 2007:17).

Widiastuti dan Theresia (2004:18) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kualitas relasi ayah dengan harga diri remaja putra. Menurut Bezirganian dan Cohen bahwa remaja putra menunjukkan identifikasi lebih besar dengan ayah dan memperlihatkan keterlibatan lebih besar dengan ayah mereka. Keterlibatan sang ayah dengan anak mereka selama masa remaja merupakan hal yang penting untuk harga diri dibandingkan keterlibatan sang ibu. Melihat adanya kecenderungan bahwa remaja putra akan merasa lebih dekat dengan ayah, mengakibatkan peran ayah dalam proses perkembangan harga diri amatlah


(63)

besar. Demikian pula dengan hasil perhitungan dan analisis data, yang mengatakan bahwa kualitas relasi ayah berpengaruh pada perkembangan harga diri remaja putra. Menurut Coopersmith remaja yang memiliki harga diri tinggi akan menunjukkan ciri-ciri mempunyai relasi erat dengan orang tuanya. Remaja yang memiliki harga diri tinggi adalah individu yang aktif dan berhasil serta tidak mengalami kesulitan untuk membina persahabatan dan mampu mengekspresikan pendapatnya sendiri.

2.7.

Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir yang melandasi penelitian ini menunjukkan adanya hubungan persepsi remaja laki-laki terhadap peran ayah dengan kenakalan remaja laki-laki, seperti digambarkan berikut:


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

LAMPIRAN 7


(6)