yang resisten dari satu negara ke negara lain selama masa inkubasi infeksi. Laporan kasus di Swedia menunjukkan tingginya angka resistensi penicillin lebih banyak
dijumpai pada warganya yang sering keluar negeri. Selain itu terdapat kelompok yang berpotensi mentransmisikan infeksi menular seksual diantaranya adalah sopir truk
jarak jauh, pekerja imigran dan pelaut. Imigran gelap bertanggung jawab terhadap resistensi penisillin dan kuinolon di Sy
dney Australia. Kelompok “sex tourist” juga bertanggung jawab terhadap penyebaran infeksi yang memang mereka berlibur
dengan tujuan kesenangan seksual. Mulhall merekomendasikan pendekatan program kesehatan seksual pada kelompok wisatawan Cole, 2014.
2.8. Sejarah Perkembangan Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Antibiotika
2.8.1. Era Pra kuinolon
Pada tahun 1937, sulfonamid adalah antibiotika yang direkomendasikan untuk N. gonorrhoeae dan resistensi bakteri terhadap agen ini terjadi dalam dua tahun
kemudian. Sementara pada waktu yang bersamaan, Alexander Flemming melaporkan efektifitas penisilin dalam menghambat N. gonorrhoeae, dan menjadi pilihan sebagai
pengobatan gonore sejak tahun 1943 selama beberapa dekade. Resistensi N. gonorrhoeae terhadap penisilin dinilai berdasarkan MIC, dimana pada tahun awal
terapi gonore dengan penisilin nilai MIC yang sensitif adalah kurang dari 0,0125 mgL 0,02 IUL. Kemudian terjadi peningkatan MIC secara bertahap hingga lebih
dari 0,12 mgL, selanjutnya menjadi lebih dari 0,5 mgL. Peningkatan MIC ini berdampak pada peningkatan dosis penisilin dari 50.000 unit pada tahun 1945
menjadi 4,8 juta unit pada tahun 1970. Pada tahun 1989 penisilin tidak lagi direkomendasikan untuk pengobatan gonore karena tingginya tingkat resistensi,
diawali di Madras pada tahun 1981 dilaporkan isolat N. gonorrhoeae betalaktamase. Tahun 1990 di India penisilin sudah tidak dipergunakan sebagai terapi gonore. Pada
tahun 2000 dan 2001 dilaporkan peningkatan isolasi Penicillinase Producing Neisseria Gonorrhoea PPNG. Bersamaan dengan resistensi terhadap penisilin juga
terjadi resistensi N. gonorrhoeae terhadap beberapa antibiotika lain seperti tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan streptomisin Latel, 2011.
2.8.2. Era Kuinolon
Sebagai respon meningkatnya frekuensi isolat strain N. gonorrhoeae yang resisten penisilin, terasiklin, streptomisin, dan spektinomisin pada tahun 1989 di
Amerika Serikat dan di seluruh dunia, maka CDC merekomendasikan antibiotika sefalosporin dan fluorokuinolon spektrum luas untuk pengobatan gonore primer tanpa
komplikasi. Sebagian besar negara-negara di dunia mengikuti kebijakan penggantian regimen terapi. Kuinolon generasi kedua siprofloksasin, norfloksasin dan ofloksasin
secara luas mulai menggantikan penisilin. Fluorokuinolon dilaporkan memiliki efektifitas paling baik diantara kuinolon dalam hal absorpsi oral dan distribusi ke
jaringan, yang menghasilkan kadar dalam jaringan interstitial dan penetrasi ke makrofag yang baik, disertai efek samping toksik serius yang minimal, serta
menurunkan mutasi satu langkah secara spontan. Sejak tahun 1993 fluorokuinolon
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pengobatan gonore di seluruh dunia Latel, 2011.
Selama 20 tahun pemakaian secara luas kuinolon, mulai muncul reesistensi akibat penggunaan antibiotika yang salah. Kriteria Knapp merupakan kriteria untuk
menilai resistensi terhadap kuinolon secara in vitro. Nilai MIC siprofloksasin yang kurang sensitif meningkat menjadi 1 mgL resistensi intermediet, selanjutnya
menjadi 16 mgL resisten. Pada tahun 2004 CDC menghentikan penggunaan siprofloksasin sebagai terapi gonore Tapsal, 2011
2.8.3. Era Paska kuinolon