UJI RESISTENSI NEISSERIA GONORRHOEAE TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIKA PADA PENDERITA GONORE.
i
TESIS
UJI RESISTENSI
NEISSERIA GONORRHOEAE
TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIKA PADA
PENDERITA GONORE
DESAK MADE PUTRI PIDARI NIM 1114088107
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH DENPASAR
(2)
ii
UJI RESISTENSI
NEISSERIA GONORRHOEAE
TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIKA PADA
PENDERITA GONORE
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana
DESAK MADE PUTRI PIDARI NIM 1114088107
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(3)
iii
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 21 Juli 2016
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. dr. A. A. G. P. Wiraguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV
NIP. 195609121984121001
Prof.dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV,FAADV
NIP 195201011980031003
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK NIP. 195805211985031002
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K) NIP. 19530811198102001
(4)
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 21 Juli 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No 3360 / UN 14.4/HK/ 2016 Tanggal 21 Juli 2016
Ketua : Dr. dr. A. A. G. P. Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV Sekretaris : Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Anggota :
1. Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV 2. Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV 3. Dr. dr. I. G. A. A. Praharsini, Sp.KK, FINSDV
(5)
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “ Uji Resistensi Neisseria Gonnorrhoeae Pada Penderita Gonore” dapat diselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. AAGP Wiraguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV dan Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan semangat, bimbingan dan saran dalam penyusunan karya akhir ini. Saya menyadari tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tugas akhir ini tidak akan terlaksana dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. DR. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, M.Kes, FICS, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis I di Universitas Udayana. Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) dan Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree), Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program
(6)
vi
Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree). Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A. Sri Saraswati, M.Kes, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada DR. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV, Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan penguji, yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak awal sampai akhir pendidikan penulis, Dr. dr Made Wardhana, SpKK, FINSDV, FAADV, Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, SpKK, FINSDV, FAADV dan Dr. dr. I.G.A.A. Praharsini, Sp.KK, FINSDV selaku penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan, penyelesaian karya akhir ini. Seluruh guru-guru dan dosen yang telah mengajar dan membimbing penulis mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Laboratorium Mikrobiologi Universitas Udayana Denpasar, atas sarana dan prasarana untuk kelancaran penelitian ini. Kepada teman-teman seperjuangan dr. Azhar Ramadhan Nonci, dr. Tjok Istri Oka Handayani Prasetya, dr. Dulce Madalena da costa Alberto, dr. Herjuni Oematan, dr. Ida Ayu Putu Utami Dewi, dr. Made Dina Pranidya Ari dan seluruh teman-teman residen lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya dalam suka dan duka selama
(7)
vii
menempuh pendidikan. Seluruh tenaga paramedis dan non medis di unit rawat jalan dan rawat inap yang telah membantu dan memberikan dukungan sehingga memungkinkan penulis untuk menyelesaikan pendidikan.
Rasa hormat dan sembah bakti juga penulis sampaikan kepada ayah Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH dan ibu A. A. Sagung Mas Partini, selaku orang tua yang telah mengasuh, membesarkan, memberikan dukungan moril dan materiil yang tiada henti serta tanpa pamrih., Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis akhir ini sangat jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati penulis tetap mohon petunjuk kearah perbaikan sehingga hasil yang tertuang dalam karya akhir ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.
(8)
viii ABSTRAK
UJI RESISTENSI NEISSERIA GONORRHOEAE TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIKA PADA PENDERITA GONORE
Prevalensi infeksi gonore pada masih tinggi dan menurut data Surveilans Terpadu Badan Pusat pada tahun 2013 didapatkan prevalensi gonore dan klamidia merupakan penyakit IMS dengan kejadian terbanyak. Prevalensi infeksi gonore pada tahun 2011 didapatkan sebesar 38 % dan salah satu faktor angka prevalensi yang tinggi ini dapat diakibatkan oleh adanya resistensi terhadap pengobatan. Perilaku wanita penjaja seks dan kelompok risiko lain seperti laki heteroseksual dan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki-laki-laki yang berisiko tinggi karena berganti-ganti pasangan dan dengan prevalensi infeksi gonore yang tinggi dapat menimbulkan dampak peningkatan angka kejadian HIV.
Saat ini, di Denpasar pada khususnya belum pernah dilakukan kajian mengenai uji resistensi antibiotika terhadap infeksi gonore sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap resistensi beberapa antibiotik terhadap Neisseria gonorrhoeae
sehingga akan dapat membantu dalam penanganan infeksi gonore, mengurangi insiden gonore dan membantu dalam mengurangi penularan infeksi HIV
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Terdapat 45 sampel isolat yang memenuhi kriteria penerimaan sampel. Data umum mengenai karakteristik penderita diperoleh dengan wawancara. Bahan sampel dari swab duh tubuh endoserviks dan meatus uretra yang kemudian dilakukan kultur dan dilakukan tes resistensi terhadap beberapa antibiotika. Metode tes resistensi yang digunakan pada penelitian ini mengikuti standar Clinical Laboratory Standard Institute. Obat antibiotika yang dilakukan tes kepekaan terhadap Neisseria gonorrhoeae adalah sefiksim, seftriakson, tetrasiklin, siprofloksasin, asitromisin. Data mengenai uji resistensi kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif.
Dari 45 sampel isolat Neisseria gonorrhoeae didapatkan bahwa antibiotika yang memiliki sensitivitas tertinggi terhadap Neisseria gonorrhoeae adalah asitromisin (76%), seftriakson (37,9 %), sefiksim (48,8 %), sedangkan tidak ada isolat yang memiliki kepekaan terhadap antibiotika siprofloksasin dan tetrasiklin.
(9)
ix
ABSTRACT
RESISTANCE TEST OF NEISSERIA GONORRHOEAE TO SEVERAL ANTIBIOTICS IN GONORE PATIENT
Prevalence of gonorrhea infection is still high and according to data IBBS in 2013 the prevalence of gonorrhea and chlamydia is an sexually transmitted diseases with the highest incidence. Prevalence of gonorrhea infections in 2011 obtained 38% and one of the factors of this high prevalence rate can be caused by resistance to treatment. The behavior of female sex workers and other risk groups who have multiple sexual partners and with a high prevalence of gonorrhea infection can cause impacts increase in the incidence of HIV.
Currently, in Denpasar in particular has never done a study of antibiotic resistance testing against gonorrhea infection so it is necessary to study the resistance of some antibiotics against Neisseria gonorrhoeae that will assist in the handling of gonorrhea infection, reducing the incidence of gonorrhea and assist in reducing the transmission of HIV infection
This study using descriptive method. There are 45 samples of isolates that meet the criteria for receipt of samples. General data on patient characteristics obtained by interview. Material samples from endocervical urethral meatus swab were then cultured and performed resistance tests to several antibiotics. Data on resistance tests were then processed and analyzed descriptively.
According to this research, 45 samples of Neisseria gonorrhoeae isolates found that antibiotics had the highest sensitivity to Neisseria gonorrhoeae is azithromycin (76%), ceftriaxone (37.9%), cefixime (48.8%), whereas no isolates were sensitive to the antibiotic ciprofloxacin and tetracycline.
(10)
x DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ……… i
PRASYARAT GELAR……… ii
LEMBAR PERSETUJUAN……… iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI……… v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……… vi
UCAPAN TERIMA KASIH……… vii
ABSTRAK………... x
ABSTRACT………. xi
DAFTAR ISI ……….. xii
DAFTAR TABEL ……….. xiii
DAFTAR GAMBAR ……….. Xix DAFTAR SINGKATAN ……… Xx DAFTAR LAMPIRAN ……… xxi
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
1.1 Latar Belakang ….………... 1
1.2 Rumusan Masalah ..………... 4
1.3 Tujuan Penelitian ..……… 5
(11)
xi
1.3.2 Tujuan khusus ………. 5
1.4 Manfaat Penelitian .………... 5
1.4.1 Manfaat teoritis ….……… 5
1.4.2 Manfaat praktis ………... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ……….. 7
2.1 Biologi Neisseria Gonorrhoeae... 7
2.1.1 Morfologi neisseria gonorrhoeae………... 7
2.1.2 Klasifikasi dan variasi antigenik neisseria gonorrhoeae... 8
2.1.2.1 Klasifikasi neisseria gonorrhoeae... 8
2.1.2.2 Variasi antigenik neisseria gonorrhoeae... 10
2.2 Patogenitas Neisseria Gonorrhoeae... 12
2.3 Manifestasi Klinis Infeksi Gonore... 14
2.4 Diagnosis Infeksi Gonore... 16
2.4.1 Pengecatan gram... 16
2.4.2 Kultur...... 17
2.4.3 Tes nucleic acid amplification... 18
2.5 Penatalaksanaan... 18
(12)
xii
2.6.1 Definisi dan klasifikasi resistensi bakteri terhadap resistensi antibiotika......
20
2.6.2 Mekanisme resistensi bakteri secara umum...... 20
2.7 Mekanisme Resistensi Neisseria Gonorrhoeae...... 22
2.7.1 Resistensi neisseria gonorrhoeae terhadap beberapa antibiotika...... 24 2.7.2 Faktor yang berperan dalam penyebaran resistensi……… 25
2.8 Sejarah Perkembangan Resistensi Neisseria Gonorrhoeae Terhadap Antibiotika………. 24 2.8.1 Era pra kuinolon………... 26
2.8.2 Era kuinolon……….. 27
2.8.3 Era paska kuinolon ………... 28
2.9 Resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap Sefalosporin………. 29
2.9.1 Karakteristik umum dan mekanisme kerja sefalosporin……….. 29 2.9.1.2 Sefalosporin oral untuk gonore……… 30
2.9.1.3 Sefalosporin parenteral untuk gonore……….. 30
2.9.2 Definisi resistensi neisseria gonorrhoeae terhadap sefalosporin……… 31 2.9.3 Epidemiologi resistensi sefalosporin………. 31
(13)
xiii
2.9.4 Mekanisme resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap
sefalosporin………...
33
2.9.4.1 Perubahan penicillin binding protein……… 33
2.9.4.2 Reduksi konsentrasi antimikroba intraseluler…….. 34
2.9.4.3 Metode untuk medeteksi resistensi terhadap sefalosporin ……….. 35 2.9.5 Pilihan pengobatan gonore yang resisten terhadap Sefalosporin 36 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ……… 41 3.1 Kerangka Berpikir ……… 41
BAB IV METODE PENELITIAN ………. 43
4.1 Rancangan Penelitian ..………. 43
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..……….. 44
4.3 Penentuan Sumber Data ……….. 44
4.3.1 Populasi target………. 44
4.3.2 Populasi terjangkau………. 44
4.3.2.1 Kriteria inklusi penelitian ... 44
(14)
xiv
4.3.3 Teknik pengambilan sampel………... 45
4.3.4 Besar sampel ……….. 45
4.4 Variabel Penelitian ……….. 46
4.5.1 Definisi operasional variabel……… 46
4.5 Bahan Penelitian ...……….……….. 49
4.6 Instrumen Penelitian... 48
4.6.1 Instrumen ………. 49
4.6.2 Reagen dan media……… 50
4.6.2.1 Reagen dan media uji identifikasi ……….. 50
4.6.2.2 Reagen dan media uji resistensi dan sensitivitas antibiotika……….. 50 4.7 Prosedur Penelitian……… 51
4.7.1 Prosedur pembuatan media………... 53
4.7.1.1 Media modified thayer martin (saponin GC agar base)……… 53 4.7.1.2 Media chocolate agar……… 54
4.7.2 Prosedur identifikasi bakteri neisseria gonorrhoeae……… 55
(15)
xv
4.7.4 Alur penelitian……….. 59
4.8 Analisis Data ……….. 60
4.9 Etika Penelitian……….. 60
BAB V HASIL PENELITIAN 60
5.1 Jumlah Sampel ……… 61
5.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Jenis Kelamin ……….. 61
5.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Umur……… 62
5.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Faktor Risiko……… 63
5.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan………. 64
5.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Jumlah Pasangan Seksual dalam 1 Minggu Terakhir ………. 63 5.6 Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sendiri……… 64
5.7 Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Terinfeksi HIV…………. 65 5.8 Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Terinfeksi Gonore
Sebelumnya
66
5.9 Distribusi Sampel Berdasarkan Hasil Uji Kepekaan terhadap Antibiotika
67
(16)
xvi
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian………..……….. 68
6.2 Karakteristik Infeksi Gonore yang Resisten terhadap Sefiksim……… 71
6.3 Karakteristik Infeksi Gonore yang Resisten terhadap Seftriakson…… 74
6.4 Karakteristik Infeksi Gonore yang Resisten terhadap Asitromisin… 76 6.5 Karakteristik Infeksi Gonore yang Resisten terhadap Tetrasiklin…… 77
6.5 Karakteristik Infeksi Gonore yang Resisten terhadap Siproflokasin…. 79 BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan……… 82
7.2 Saran………. 82
DAFTAR PUSTAKA……… 83
LAMPIRAN ……… 88
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Patogenesis Gonore tanpa Komplikasi………14
(17)
xvii
Gambar 2.3 Neisseria Gonorrhoeae pada Pengecatan Gram………..17 Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Cross Sectional...43
Gambar 4.2 Alur Penelitian ………59
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
(18)
xviii
Lampiran 2 : Surat Ijin Penelitian……….. Lampiran 3 : Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian ………..
88 90 Lampiran 4 : Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian ……… 93 Lampiran 5 : Kuesioner Penelitian ……….……….
Lampiran 6: Data Sampel penelitian……….
Lampiran 7 : Foto Prosedur Penelitian………...
94 99 102
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Struktur N.Gonorrhoeae yang Terlibat pada Patogenesis Gonore……….11 Tabel 2.2 Mekanisme Resistensi Antibiotika dan Rekomendasi Pengobatan
(19)
xix
untuk N. Gonorrhoeae………...………...15
Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Jenis Kelamin ………..….67
Tabel 5.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Umur…………...…………...68
Tabel 5.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Faktor Risiko……….69
Tabel 5.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan………..…70
Tabel 5.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Jumlah Pasangan Seksual dalam 1 Minggu Terakhir ……….72
Tabel 5.6 Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sendiri………...73
Tabel 5.7 Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Terinfeksi HIV………..…..76
Tabel 5.8 Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Terinfeksi Gonore Sebelumnya…..78
Tabel 5.9 Distribusi Sampel Berdasarkan Hasil Uji Kepekaan terhadap Antibiotika ....80
(20)
xx
Arg : Arginin
AGSP : Australian Gonococcal Surveillance Programme
AHU : Arg, hiposantin dan urasil
CDC : Center for disease control and prevention
CLSI : Clinical and Laboratory Standards Institute
DNA : Deoxyribonucleic Acid
ECDPC : European Centre for Disease Prevention and Control (ECDPC)
Euro-GASP : European Gonococcal Antimicrobial Survelillance Programme
ESSTI : Eropa Surveillance of Sexually Transmitted Infection
GRAPS : Gonococcal Resistance Antimicrobial Surveillance Programme
Frps : iron or oxygen-represible protein
LOS : Lipo-oligosacharida
MIC : Minimum Inhibitory Concentration
M : metionin
Op : Opak
(21)
xxi PID : Pelvic Inflammatory Disease
PCR : Polymerase Chain Reaction
PPNG : Penicillinase Producing Neisseria Gonorrhoea
PBPs : Penicillin Binding Proteins
PRP : penyakit radang panggul
IMS : infeksi menular seksual
WPS : wanita penjaja seks
STBP : Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku
Tr : transparan
U : urasil
WHO : World Health Organization
Pro : prolin
Rmp : Reduction modifiable protein
LOS : Lipo-oligosacharida
GISP : Gonococcal Isolate Surveillance Project
(22)
xxii penA : Penicilin binding protein A Gene
penB : Penicilin binding protein B gene
(23)
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Gonore merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual yang sering terjadi dan merupakan tantangan kesehatan umum yang dijumpai saat ini. Meskipun gonore telah diketahui menginfeksi manusia sejak lama, akan tetapi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Angka kejadian infeksi gonore tinggi pada kelompok berisiko tinggi seperti wanita penjaja seks (WPS), akan berpengaruh pada penularan ke masyarakat yang lebih luas dan meningkatkan risiko penularan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pada beberapa negara tingginya angka kejadian gonore dikaitkan pula dengan terdapatnya resistensi pengobatan terhadap infeksi ini. Kepekaan terhadap pengobatan yang semakin menurun akan menyebabkan angka kesembuhan menurun, pengobatan yang tidak tuntas, angka kekambuhan yang semakin meningkat dan angka penularan yang semakin tinggi.
Gonore disebabkan oleh bakteri neisserria gonorrhoeae yaitu suatu bakteri diplokokus gram negatif yang bersifat fakultatif anaerob yang ditandai khas adanya duh tubuh uretra atau serviks mukopurulen. Gonore merupakan infeksi tersering kedua di Amerika Serikat yaitu sekitar lebih dari 333.004 kasus dilaporkan pada tahun 2013. Center for disease control and prevention (CDC) memperkirakan sekitar 820.000 kasus gonore muncul setiap tahunnya di AS (CDC, 2015). Terjadi penurunan
(24)
2
angka infeksi gonore dari 106,7 kasus per 100.000 populasi pada tahun 2012 menjadi 106,1 kasus per 100.000 populasi pada tahun 2013, namun selama periode 2009 hingga 2013 angka infeksi meningkat sekitar 8,2%. Prevalensi gonore berdasarkan data dari Survei Terpadu Biologis Perilaku (STBP) pada tahun 2013 di beberapa kota di Indonesia, dilaporkan mengalami peningkatan pada pria berisiko tinggi dari 0,7% pada tahun 2009 menjadi 8,5% pada tahun 2013, dan pada laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL) juga terjadi peningkatan dari sekitar 17% pada tahun 2009 menjadi 21,2% pada tahun 2013. Prevalensi infeksi gonore pada WPS langsung di Indonesia menurut STBP pada tahun 2013 adalah sebesar 32,2 % dan 34,8 % pada tahun 2009. Prevalensi infeksi gonore pada WPS tidak langsung adalah sebesar 17,7 % pada tahun 2013 dan 17,7 % pada tahun 2009. Prevalensi infeksi gonore pada WPS di Denpasar menurun dari 60,5 % pada tahun 1997 menjadi 22 % pada tahun 2010 (STBP, 2013). Berdasarkan register pasien yang berkunjung ke poliklinik Kulit dan Kelamin sub divisi IMS Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar pada tahun 2015 terdapat 39 kasus gonore.
Masih tingginya angka prevalensi gonore erat kaitannya dengan terjadinya resistensi terhadap pengobatan infeksi gonore. Infeksi gonore umumnya diobati dengan antibiotika dosis tunggal yang dapat memberikan kesembuhan lebih dari 95% kasus. Kecenderungan resistensi terhadap N. gonorrhoeae diklasifikasikan menjadi tiga yaitu era pra kuinolon, era kuinolon, dan era paska kuinolon. Era pra kuinolon ditandai dengan pemakaian sulfonamid, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan penisilin. Era kuinolon ditandai dengan penggunaan turunan kuinolon sebagai pilihan
(25)
3
terapi dan era post kuinolon ditandai dengan penggunaan sefalosorin generasi ketiga sebagai pilihan (Latel dkk, 2011). Menurut European Gonococcal Antimicrobial Survelillance Programme (Euro-GASP) didapatkan peningkatan angka resistensi terhadap sefiksim yang meningkat menjadi 7,6 % dari 5,1 % pada isolat yang dideteksi pada tahun 2009. Sepuluh isolat didapatkan resisten terhadap seftriakson pada tahun 2011, tujuh diantaranya juga resisten terhadap sefiksim. Angka resistensi terhadap pengobatan siprofloksasin adalah 48,7 % dan asitromisin didapatkan 5,3 % (Michelle dkk., 2014). Penelitian mengenai uji kepekaan terhadap sefiksim pada wanita penjaja seks di Surabaya didapatkan 3 dari 12 isolat resisten terhadap sefiksim dan 9 dari 12 isolat (75 %) sensitif terhadap sefiksim. Beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan resistensi antibiotika antara lain akibat pengobatan sendiri oleh penderita, adanya reinfeksi, penggunaan antibiotika yang tidak rasional, infeksi gonore pada heterokseksual, usia lebih dari 25 tahun, dan koinfeksi gonore dengan klamidia (Cole dkk, 2014).
Metode untuk tes suseptibilitas dapat dikerjakan dengan berbagai teknik. Metode yang sering digunakan adalah menggunakan cakram difusi dan agar dilusi menurut kriteria Clinical Laboratory Standard Institute yang pertama kali dijabarkan oleh Bauer dkk dan merupakan modifikasi dari National Commitee for Clinical Laboratory Standards (NCLLS) dan yang paling terbaru adalah penggunaan Etest. Etest merupakan modifikasi dari cakram difusi dan agar dilusi dengan menggunakan strip antibiotika dan dapat mengetahui minimal inhibitory concentration (MIC). Penggunaan cakram difusi dengan metode CLSI merupakan suatu teknik yang dapat
(26)
4
dikerjakan pada negara dengan keterbatasan fasilitas laboratorium, lebih murah dan dapat mudah diaplikasikan untuk mengetahui nilai zona hambat suatu antibiotika (Vikram, 2012).
Berdasarkan pedoman Clinical laboratory Standard Institute antibiotika yang direkomendasikan untuk dilakukan tes suseptibilitas terhadap Neisseria gonorrhoeae
adalah tetrasiklin, siprofloksasin, sefiksim, seftiakson (CLSI, 2015). Antibiotika sefiksim dan seftriakson yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan pertama dalam pengobatan infeksi gonore menurut pedoman infeksi menular seksual di Indonesia, sedangkan tetrasiklin dan siprofloksasin sudah tidak pernah dipergunakan lagi sebagai pilihan terapi (Pedoman, 2011).
Pentingnya penanganan infeksi gonore untuk mengurangi prevalensi gonore yang cukup tinggi memberikan dasar untuk melakukan penelitian uji resistensi antibiotik terhadap Neisseria Gonorrhoeae. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberi kontribusi mengenai pola resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap beberapa antibiotika pada penderita gonore dan sebagai saran dalam menentukan strategi pengobatan infeksi gonore tanpa komplikasi. Saat ini masih sedikit data mengenai sensitivitas dan resistensi infeksi gonore terhadap antimikroba sehingga dibutuhkan monitoring berkelanjutan sebagai bagian dari pencegahan penggunaan antibiotik yang tidak efektif dalam pengobatan infeksi gonore.
(27)
5
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah pola resistensi antibiotika sefiksim, seftriakson, tetraskilin siprofloksasin, asitromisin terhadap Neisseria gonorrhoeae?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pola resistensi antibiotika sefiksim, seftriakson, tetrasiklin, siprofloksasin, asitromisin terhadap Neisseria gonorrhoeae
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui proporsi resistensi antibiotika sefiksim terhadap Neisseria gonorrhoeae
2. Untuk mengetahui proporsi resistensi antibiotika seftriakson terhadap
Neisseria gonorrhoeae
3. Untuk mengetahui proporsi resistensi antibiotika siprofloksasin terhadap
Neisseria gonorrhoeae
4. Untuk mengetahui proporsi resistensi antibiotika tetrasiklin terhadap
Neisseria gonorrhoeae
5. Untuk mengetahui proporsi resistensi antibiotika asitromisin terhadap
(28)
6
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis
Untuk kepentingan ilmu pengetahuan sebagai data dasar epidemiologi resistensi pengobatan Neisseria gonorrhoeae
1.4.2 Manfaat praktis
1. Untuk kepentingan praktisi kesehatan sebagai pedoman dalam dasar pemilihan antibiotika yang tepat pada pasien gonore
2. Untuk kepentingan pemegang kebijakan dalam menyusun program penatalaksanaan dalam penanggulangan IMS pada umumnya dan infeksi gonore pada khususnya.
(29)
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Biologi Neisseria gonorrhoeae 2.1.1. Morfologi neisseria gonorrhoeae
Gonore adalah infeksi bakteri yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae (N. gonorrhoeae), suatu diplokokus gram negatif. Pada tahun 1879, N. gonorrhoeae ditemukan oleh Neisser dengan pulasan sediaan hapusan dari eksudat uretra, vagina dan konjungtiva. Transmisi penyakit gonore terjadi melalui inokulasi langsung dari sekresi mukosa yang terinfeksi pada satu tempat ke tempat lainnya melalui kontak genital-genital, genital-anorektal, oro-genital, atau dari ibu yang terinfeksi ke bayinya pada proses persalinan (Sparling, 2008).
Gonokokus adalah diplokokus gram negatif, tidak bergerak dan tidak berspora. Bentuk dari gonokokus menyerupai biji kopi dengan lebar 0,8 µ dan panjang 1,6 µ yang secara karakteristik tumbuh berpasangan dan bagian yang berdekatan adalah datar (rata). (Sparling, 2008). Gonokokus bersifat anaerob obligat, tidak tahan lama diudara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan zat desinfektan, hidup optimal pada suhu 25,5ºC dan pH 7,4. Untuk pertumbuhan optimal diperlukan kadar CO2 2-10% (Sparling , 2008).
Penentuan tipe gonokokus secara morfologi didasarkan pada dua hal, yang pertama berdasarkan bentuk koloni yang terjadi bila gonokokus dibiakkan pada
(30)
8
media agar jernih, dan yang kedua berdasarkan opasitas koloni. Berdasarkan bentuk koloni gonokokus dibagi menjadi empat tipe. Koloni berbentuk kecil, cembung dan berkilau terdiri dari dua tipe yaitu tipe 1 dan tipe 2, koloni ini memiliki pili (piliated) dan ditandai dengan P+. Sedangkan koloni berbentuk besar dan datar juga dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe 3 dan tipe 4, tidak memiliki pili (nonpiliated) dan ditandai dengan P-. Dalam penelitian in vitro didapatkan koloni P+ bersifat virulen sedangkan koloni P- mengalami penurunan kemampuan untuk menimbulkan infeksi. Beberapa koloni memiliki kemampuan mengalami konversi dari P+ menjadi P- atau sebaliknya beberapa koloni P- dapat mengalami konversi menjadi P+ (Sparling, 2008; Criss dkk, 2005)
Berdasarkan opasitasnya, koloni dibagi menjadi koloni yang opak (Op) tampak lebih gelap dan bergranuler bila dibandingkan dengan koloni yang transparan (Tr). Dasar biokimia perbedaan antara koloni Op dan Tr adalah adanya variasi ekspresi famili protein membran luar yang disebut protein II (P II), yang saat ini dikenal dengan istilah Opa. Koloni Op terdiri dari sel-sel yang menunjukkan Opa sedangkan Tr mengandung sel-sel yang tidak mengandung Opa (Sparling, 2005; Simms dan Jerse, 2006)
2.1.2. Klasifikasi dan variasi antigenik Nesisseria gonorrhoeae 2.1.2.1. Klasifikasi nesisseria gonorrhoeae
Klasifikasi strain typing Neisseria gonorrhoeae sangat diperlukan untuk studi epidemiologi. Terdapat sejumlah metode untuk penentuan strain typing ini, yaitu
(31)
9
auksotipe, serotipe, kepekaan terhadap antimikroba dan genotipe. Metode auksotipe dan serotipe lebih sering digunakan secara luas dalam penelitian epidemiologi gonore (Simms dan Jerse, 2006)
Auksotipe mengklasifikasikan gonokokus berdasarkan stabilitas kebutuhan nutrisi terhadap nukleotida dan asam amino yang bervariasi, baik dalam bentuk tersendiri maupun kombinasi. Contoh dari auksotipe yang sering dijumpai adalah strain yang memerlukan arginin (Arg), prolin (Pro), urasil (U), metionin (M) atau Arg, hiposantin dan urasil (AHU) untuk pertumbuhannya. Gonokokus yang tidak memerlukan satupun substrat dikenal dengan istilah prototropik (Proto) atau dikenal sebagai tipe yang jinak oleh beberapa penulis (Hook dan Handsfield, 2008).
Serotipe protein I berdasarkan pada stabilitas perbedaan antigenik dari protein I, protein yang terdapat dalam jumlah banyak pada membran bagian luar gonokokus. Protein I dibagi menjadi dua klas yang berbeda satu, yaitu protein IA dan protein IB, yang mana masing-masing dapat dibagi lebih lanjut menjadi serovar-serovar dengan pemeriksaan koagulasi menggunakan reagen antibodi monoklonal spesifik. Masing-masing serovar ditandai oleh protein tipe I (IA atau IB) dan diberi angka berdasarkan pola koagulasi (misalnya IA-4, IB-3) (Cornelissen, 2011).
Dengan kombinasi tehnik analisa auksotipe dan serovar tersebut, gonokokus dapat dibagi menjadi klas-klas auksotipe/serovar (A/S) yang berbeda dan dalam jumlah yang besar (lebih dari 70 strain) misalnya AHU/IA-1, Pro/IB-3, Proto/IB-12. Strain-strain tersebut umumnya terdapat secara serentak pada masyarakat dan strain yang baru dapat dideteksi sepanjang waktu. Masing-masing strain gonokokus
(32)
10
memiliki sifat serta berhubungan dengan manifestasi klinis penyakit yang spesifik, misalnya strain AHU/IA-1 dan AHU/IA-2 memiliki sifat tumbuh lebih lambat daripada kebanyakan gonokokus lainnya dan cenderung menjadi resisten (Sparling, 2006).
2.1.2.2. Variasi antigenik Nesisseria gonorrhoeae
Neisseria gonorrhoeae mengandung beberapa protein antigenik yang berperan dalam patogenitasnya. Protein antigenik tersebut antara lain pili, porin protein (PI atau Por), opacity protein (PII atau opa), reduction modifiable protein
(PIII atau Rmp), protein H.8, iron or oxygen-represible protein (Frps), IgAI protease,
lipo-oligosacharida (LOS) serta struktur permukaan lainnya. Mayoritas dari protein-protein tersebut terletak pada membran bagian luar gonokokus. Peranan dari masing-masing protein antigenik dalam patogenitas gonokokus dapat dilihat pada tabel 1 (Sparling, 2008).
(33)
11
Tabel 2.1
Struktur N.Gonorrhoeae yang Terlibat pada Patogenesis Gonore (Sparling,2008)
Struktur Peranan dalam Infeksi
Por Insersi ke dalam membran sel host
Target untuk bakterisidal, antibodi opsonik
Opa Perlekatan
Rmp Target untuk blokade antibodi
Pili Perlekatan
Lipooligosakarida Resisten terhadap neutrofil Peptidoglikan Toksik terhadap jaringan
Iron repressible protein Iron uptake dari transferin, laktoferin, hemoglobin
Ada dua prinsip sistem untuk melakukan analisa genetik terhadap gonokokus yaitu transformasi dan konyugasi. Tidak seperti banyak transformable species lain yang kompetensinya terbatas pada fase tertentu dari siklus pertumbuhan, pada gonokokus yang kompeten, setiap sel memiliki kemampuan pada semua stadium pertumbuhan. Transformasi ini digunakan untuk transfer gen diantara strain gonokokus yang berbeda. Hal ini penting terutama dalam transfer chromosomal antibiotic resistance gene atau pilin silent gen (Criss, 2006).
(34)
12
Dalam proses konyugasi gonokokal, yang berperan adalah plasmid konyugal 36-kb, yang dapat secara efisien memindahkan transfer seksual beberapa plasmid
nonself lain. Plasmid juga berperan dalam resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap antibiotika, diantaranya adalah plasmid yang mengandung penisilinase 4,5-kb atau 7,2-kb, tetracycline resistance dan plasmid gonococcal β-lactamase. Plasmid konyugatif 36-kb juga memindahkan transfer mereka sendiri dengan efisiensi tinggi, namun tidak terdeteksi memindahkan gen kromosomal antar gonokokal (Cox, 2013).
2.2. Patogenitas Neisseria Gonorrhoeae
Kemampuan N. gonorrhoeae untuk menginvansi host dan menentukan patogenitasnya diperankan oleh beberapa protein antigenik yang terkandung pada membran luar bakteri yang telah dijabarkan pada tabel 1.
Patogenesis terjadinya infeksi oleh N. gonorrhoeae diawali dengan perlekatan (adherence) bakteri pada sel-sel mukosa kolumnar atau kuboid, sel epitel yang tidak mengalami kornifikasi melalui perantaraan pili dan Opa. Selanjutnya terjadi interaksi antara bakteri dan neutrofil, dimana sebagian besar bakteri (gonokokus tidak mengandung pili) akan mengalami fagositosis oleh neutrofil sehingga berada di dalam sel (Neisseria intraseluler). Sedangkan gonokokus yang mengandung pili mampu melekat lebih baik dan menghindar dari fagositosis. Perlekatan pada neutrofil diperankan oleh protein Opa dan porin bekerja menghambat maturasi fagosom dan fungsi neutrofil, menurunkan ekspresi opsonin-dependent receptor CR3, serta mengubah myeloperoxiadase-mediated oxidative killing. Perlekatan bakteri secara
(35)
13
selektif pada sel-sel yang mensekresikan mukus tanpa silia akan mengalami invasi ke dalam sel, untuk mengadakan multiplikasi dan pembelahan intraseluler. Saat berada di dalam sel epitel, bakteri mampu bertahan dari antibodi, komplemen atau neutrofil. Invasi diperankan oleh P1A, protein Opa, dan LOS pendek nonsialylated. Kerusakan jaringan terjadi akibat enzim (fosfolipase, peptidase) yang dihasilkan oleh LOS dan peptidoglikan. (Sparling, 2008). Selama infeksi, lipopolisakarida (LOS) dan peptidoglikan bakteri dilepaskan melalui autolisis sel. Lipooligosakarida akan memicu produksi Tumor Necrosis Factor (TNF) yang menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel mukosa yang progresif dan invasi submukosa akan disertai dengan respon leukositik polimorfonuklear yang banyak, pembentukan mikroabses, dan eksudasi material purulen ke dalam lumen organ yang terinfeksi. Pada keadaan infeksi yang tidak terobati, leukosit polimorfonuklear secara gradual akan digantikan oleh sel mononuclear (Cornelissen, 2011). Selain kerusakan jaringan secara lokal, dapat terjadi diseminasi (bakterimia dengan atau tanpa disertai artritis septik). Diseminasi terjadi akibat kemampuan bakteri bertahan dari antibodi dan komplemen pada serum manusia (resistensi serum). Bakteri yang resisten terhadap serum manusia merupakan bakteri dengan LOS panjang. Resistensi serum terjadi pula akibat blokade akses antibodi pada LOS yang diperankan oleh Rmp dan Por (C4bp dan faktor H yang berikatan pada loops dari Por) yang menghambat deposit dan aktivasi komplemen (Hook dan Handsfield, 2008).
(36)
14
Gambar 2.1
Patogenesis gonore tanpa komplikasi (Todar , 2012)
2.3 Manifestasi klinis infeksi gonore
Manifestasi klinis gonore merupakan suatu spektrum yang meliputi infeksi asimptomatis, infeksi simptomatis lokal, infeksi komplikata lokal, dan diseminasi sistemik. Pria yang terinfeksi gonokokal dapat mengalami infeksi asimptomatis sebesar 10%, sedangkan pada wanita yang terinfeksi gonokokal, 50% adalah asimptomatis (Hook, 2008). Uretritis asimptomatis pada pria merupakan reservoir transmisi gonokokal yang terpenting. Manifestasi klinis gonokokal pada pria yang tersering adalah uretritis anterior akut. Infeksi urogenital pada wanita yang disebabkan oleh infeksi Neisseria gonorrhoeae paling sering terjadi pada endoserviks, yang merupakan infeksi primer. Infeksi gonokokal pada vagina jarang
(37)
15
terjadi pada wanita masa reproduksi, karena terjadinya penebalan epitel kolumnar pada vagina dan oleh karena kuatnya pertahanan biologiknya. Sedangkan pada infeksi gonore pada anak-anak, wanita hamil dan pada wanita sesudah menopause mudah untuk terkena infeksi gonokokal pada vagina.Kolonisasi uretra terdapat pada 70-90% wanita yang terinfeksi, dan jarang terjadi bila tidak terdapat infeksi endoserviks. Tetapi, setelah histerektomi, tempat infeksi umumnya terdapat pada uretra. Infeksi pada kelenjar periuretra (skene) atau duktus kelenjar Bartholin juga sering terjadi, tetapi kejadiannya jarang bila tidak terdapat infeksi endoserviks atau uretra. Pada wanita yang mengalami servisitis gonokokal juga dapat terjadi infeksi pada mukosa rektum, dengan angka kejadian sebesar 35-50% (Todar, 2012)
Masa inkubasi pada pria bervariasi antara 1-14 hari atau lebih panjang, tetapi mayoritas gejala pada pria muncul dalam waktu 2-5 hari. Gejala predominan adalah duh tubuh uretra yang awalnya dapat bersifat mukoid atau mukopurulen, kemudian dalam 24 jam setelah onset akan menjadi purulen dan profus. Disuria umumnya muncul setelah tampak adanya duh tubuh. Masa inkubasi gonore pada wanita lebih bervariasi dibandingkan pada laki-laki. Gejala lokal umumnya muncul 10 hari setelah infeksi, dengan gejala utama meliputi peningkatan eksudat dari vagina yang berasal dari endoserviks yang bersifat purulen, tipis dan agak berbau. Beberapa pasien dengan servisitis gonore kadang mempunyai gejala yang minimal. Gejala lainnya dapat berupa disuria yaitu keluar sedikit duh tubuh dari uretra yang mungkin disebabkan oleh uretritis yang menyertai servisitis. Dapat juga terjadi nyeri perut bagian bawah atau dispareunia, nyeri ini dapat diakibatkan dari menjalarnya infeksi
(38)
16
ke endometrium, tuba falopi, ovarium dan peritoneum. Nyeri bisa terjadi bilateral, unilateral, dan tepat pada garis tengah. Dapat disertai panas badan, mual dan muntah. Nyeri pada perut bagian kanan atas dari perihepatitis (Fitz-Hugh-Curtis syndrome) dapat terjadi melalui penyebaran bakteri ke atas melalui peritoneum. (Hook dan Handsfield, 2008) Gejala lainnya dapat berupa perdarahan uterus diantara masa menstruasi dan menorrhagia. Masing-masing gejala tersebut dapat terjadi sendiri atau kombinasi dengan derajat minimal sampai berat.Komplikasi lokal pada wanita dapat berupa penyakit radang panggul (PRP) akut yang terdiri dari salfingitis dan kadang-kadang dapat terjadi endometritis, abses tubo-ovarium, atau peritonitis pelvis, komplikasi ini terjadi pada 10-20% pasien wanita dengan infeksi gonokokus akut. (Berggren, 2011).
2.4 Diagnosis infeksi gonore 2.4.1 Pengecatan gram
Pengecatan gram merupakan tes yang cepat dan tidak mahal. Pengecatan gram mempunyai sensitivitas sebesar 50-60% dan spesifisitas sebesar 82-97%. Adanya lebih dari 30 sel polymorphonuclear (PMN) per lapangan pandang besar dari hapusan endoserviks mencerminkan adanya servisitis. Sensitivitas tertinggi dari pengecatan gram didapatkan dari spesimen uretra laki-laki yang simptomatis, yaitu sebesar 90-95%. Sensitivitas dan spesifisitas pengecatan gram lebih rendah pada spesimen endoservikal dan rektal. Pada pengecatan akan ditemukan diplokokus gram negatif,
(39)
17
diameter kira-kira 0,8 m. Bila sendiri-sendiri, kokus berbentuk seperti ginjal dan bila organisme ini terlihat berpasangan bagian yang rata atau cekung saling berdekatan (Garcia, 2011).
Gambar 2.3
Neisseria gonorrhoeae pada pengecatan gram (Todar, 2012)
2.4.2 Kultur
Kultur spesifik hapusan dari tempat infeksi merupakan kriteria standar diagnosis dan juga dapat digunakan sebagai pedoman pengobatan dengan memperoleh informasi mengenai kerentanan antibiotika terhadap organisme tersebut. Kultur sangat berguna pada saat diagnostik tidak jelas atau ketika terjadi kegagalan pengobatan. Neisseria gonorrhoeae adalah organisme yang memerlukan kelembaban, CO2 yang tinggi, dan tumbuh pada media yang diperkaya agar coklat yang berisi darah (Hook, 2008). Kultur endoserviks dengan menggunakan media selektif mempunyai sensitivitas sebesar 80-90%. Media selektif untuk N. gonorrhoeae adalah
(40)
18
media Thayer Martin yang memiliki sensitivitas 80-95% (Sparling, 2008). Kultur Thayer Martin mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan kuman gram positif, kolimestat untuk menekan pertumbuhan bakteri gram negatif, nistatin untuk menekan pertumbuhan jamur, trimetroprim untuk menekan pertumbuhan kuman Proteus spp. Pada kultur akan tampak koloni berwarna putih keabuan, mengkilat dan cembung. Media lain adalah agar coklat Mcleod, tetapi media ini dapat ditumbuhi oleh kuman lain selain gonococcus (Papp, 2014).
2.4.3 Tes nucleic acid amplification
Tes ini lebih sensitif dan spesifik daripada tehnik amplifikasi, didesain untuk memperkuat rangkaian DNA. Tes ini dapat mendeteksi N. gonorrhoeae pada spesimen yang diperoleh dari hapusan uretra pada laki-laki dan spesimen urin yang diperoleh dari laki-laki maupun wanita. Tes ini lebih cepat daripada kultur, lebih spesifik daripada immunoassay serta tidak memerlukan organisme viabel. Tes ini tidak direkomendasikan untuk rektal dan faring. Tes nucleic acid amplification
meliputi polymerase chain reaction (PCR), transcription-mediated amplification, dan
strand displacement amplification.
2.5. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan gonore lebih bersifat epidemiologi daripada individual, oleh karena itu data epidemiologi mengenai resistensi gonokokus terhadap berbagai antibiotika adalah penting untuk pedoman menetapkan rekomendasi pengobatan
(41)
19
infeksi gonokokus. The Centers for Disease Control and prevention (CDC) dan
World Health Organization (WHO) akan merubah rekomendasi pengobatan bila dijumpai prevalensi resistensi terhadap suatu antibiotika melampaui 5%.
Selain itu terdapat beberapa kriteria dalam menetapkan regimen pengobatan gonore, yaitu harga murah, toksisitas dapat diterima, dosis tunggal, pemberian oral, tidak kontraindikasi untuk ibu hamil dan ibu menyusui serta tidak atau lambat terjadi resistensi mikrobial. Sedangkan kriteria khusus dalam menetapkan regimen pengobatan untuk infeksi gonokokus adalah obat tersebut harus memiliki efikasi yang tinggi yaitu memiliki angka kesembuhan diatas 95% dengan batas terendah dari 95% CI minimal 95%. Kriteria efikasi klinis ini telah digunakan untuk menentukan rekomendasi regimen pengobatan gonore oleh CDC sejak tahun 1993. Karena adanya perbedaan kepekaan gonokokus yang bervariasi luas pada wilayah geografi yang berbeda, maka regimen pengobatan yang berbeda pada masing-masing daerah harus tersedia.
Menurut Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2011 untuk terapi infeksi gonore tanpa komplikasi di Indonesia dapat dilakukan dengan regimen sebagai berikut
1. Sefiksim 400 mg dosis tunggal, per oral atau 2. Levofloksasin 500 mg dosis tunggal, per oral atau 3. Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis tunggal atau 4. Tiamfenikol 4,5 g per oral dosis tunggal atau 5. Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis tunggal
(42)
20
2.6. Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Antibiotika
2.6.1. Definisi dan Klasifikasi Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotika
Resistensi bakteri terhadap antibiotika adalah kemampuan alamiah bakteri untuk mempertahankan diri terhadap efek antibiotika. Berdasarkan mekanisme molekuler, resistensi dapat terjadi secara intrinsik atau dapat juga karena didapat (Giedraitiene dkk, 2011)
Resistensi intrinsik terjadi akibat adanya struktur inherent atau karakteristik fungsional, sehingga sejak kemunculan bakteri tersebut tidak pernah sensitif terhadap antibiotika tertentu. Resistensi intrinsik dapat berhubungan dengan kurangnya afinitas obat pada target kerja bakteri, tidak tersedianya akses obat ke dalam sel bakteri, ekstrusi obat secara kromosomal yang dikoding oleh eksporter aktif, dan produksi alamiah enzim-enzim yang menginaktivasi antibiotika (Cox, 2014).
Resistensi didapat terjadi melalui suatu proses:1) mutasi pada gen sel (mutasi kromosomal) yang dapat memicu resistensi silang, atau 2) transfer genetik dari satu mikroorganisme ke mikroorganisme lainnya oleh plasmid (pada proses konyugasi atau transformasi), transposon (konyugasi), integron dan bakteriofaga (transduksi) (Tenover, 2005).
2.6.2. Mekanisme Resistensi Bakteri Secara Umum
Mekanisme resistensi antibiotika secara umum dapat terjadi melalui beberapa peristiwa biomekanik seperti: 1) inaktivasi antibiotik (melalui proses hidrolisis,
(43)
21
transfer grup dan proses redoks), 2) modifikasi target kerja (perubahan struktur peptidoglikan, hambatan sintesis protein dan asam nukleat), 3) perubahan permeabilitas membran luar dan efflux pumps,dan 4) jalur pintas penghambatan antibiotika (Tenover, 2006 ; Lind, 1997).
Inaktivasi atau modifikasi antibiotika diperankan oleh 3 enzim utama yaitu betalaktamase, aminoglikosida dan asetiltransferase kloramfenikol. Betalaktamase salah satunya dihasilkan oleh bakteri negatif Gram, yang dikodekan pada kromosom dan plasmid. Gen yang mengkodekan betalaktamase ditransfer oleh transposon juga ditemukan pada integron. Enzim ini dapat menghidrolisis semua antibiotika golongan betalaktam yang memiliki ikatan ester dan amida seperti penisilin, sefalosporin, monobaktam, dan karbapenem (Tenover, 2006).
Modifikasi pada target kerja dapat mempengaruhi ikatan antibiotika pada target kerja. Perubahan dapat terjadi pada struktur peptidoglikan, gangguan sintesis protein dan DNA. Mekanisme resistensi terkait ganguan sintesis DNA dapat terjadi melalui dua modifikasi enzim yaitu DNA girase (mutasi gen gyrA dan gyrB). Mutasi pada gyrA dan gyrC yang diikuti dengan kegagalan replikasi sehingga menyebabkan ikatan kuinolon dan fluorokuinolon tidak dapat berikatan dengan bakteri (Tenover, 2006).
Efflux pump dan permeabilitas membran luar akan mempertahankan konsentrasi rendah antibiotik intraseluler. Efflux pump bersifat spesifik terhadap antibiotika. Kebanyakan mikrobakteria memiliki multidrug transporter yang mampu memompa berbagai antibiotika yang tidak berhubungan. Perubahan pada komponen
(44)
22
efflux pump seperti peningkatan ekspresi MexAb-OprM menyebabkan minimal inhibition concentration (MIC) yang lebih tinggi terhadap penisilin, kuinolon, makrolid, sefalosporin, kloramfenikol, fluorokuinolon, novobiosin, sulfonamid, tetrasiklin, trimethoprim. Perpindahan molekul obat ke dalam sel terjadi melalui mekanisme difusi melalui porin, difusi melalui bilayer, dan melalui self-promoted uptake. Mekanisme masuknya obat tergantung pada komposisi kimia molekul obat. Molekul hidrofilik berukuran kecil seperti betalaktam dan kuinolon dapat menembus membran luar hanya melalui porin, sedangkan aminoglikosida dan kolistin tidak dapat melalui porin, sehingga memerlukan self-promoted uptake menuju sel yang diawali dengan ikatan terhadap LOS. Penurunan permeabilitias membran luar akan menyebabkan penurunan pengambilan anitibiotika (Tenover, 2006).
Mekanisme resistensi bakteri yang keempat yaitu melalui jalur pintas penghambatan antibiotika yang bersifat spesifik. Bakteri memproduksi target alternatif (biasanya enzim) yang resisten terhadap penghambatan oleh antibiotika, seperti misalnya MRSA yang menghasilkan PBP alternatif. Pada saat bersamaan bakteri juga menghasilkan native target yang sensitif terhadap antibiotika. Adanya terget kerja alternatif memungkinkan bakteri bertahan dengan mengadopsi peran
native protein (Tapsal, 2005).
2.7. Mekanisme Resistensi Nesisseria gonorrhoeae
Resistensi menurut definisinya adalah suatu fenomena in vitro. Resistensi bisa
(45)
23
suatu proses mutasi atau transfer genetik. Mekanisme resistensi yang didapat terdiri dari 5 kategori sebagai berikut: 1) modifikasi enzimatik atau destruksi antibiotika; 2) penurunan uptake antibiotika ke dalam bakteri; 3) peningkatan efflux antibiotika dari bakteri; 4) perubahan atau pembuatan daerah target yang baru, dan 5) over ekspresi dari target obat. Beberapa bakteri bisa mempunyai lebih dari satu mekanisme (Giedraitiene, 2011).
Secara genetik mekanisme resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap semua antimikroba terutama terdiri dari 2 tipe yaitu plasmid mediated (yang dimediasi plasmid) dan kromosomal. Oleh karena plasmid terletak diluar kromosom, maka resistensi yang dimediasi oleh plasmid disebut juga sebagai resistensi ekstra kromosomal. Sedangkan resistensi yang dimediasi struktur dalam kromosom seperti transposon, insertion sequences dan integron disebut juga sebagai resistensi kromosomal (Tenover, 2006).
Plasmid merupakan elemen genetik ekstra kromosom, berbentuk bulat, dengan rantai ganda DNA yang dapat memperbanyak diri dalam sel. Dalam satu bakteri dapat ditemukan bermacam plasmid. Fungsi dari plasmid antara lain sebagai pembawa resistensi antibiotika, merupakan virulen faktor, dan untuk metabolisme. Ada dua jenis plasmid yaitu plasmid yang berpindah sendiri disebut self tranmissible plasmid. Plasmid ini mempunyai gen khusus yang mengkode protein yang
dibutuhkan untuk proses konyugasi. Gen ini disebut “tra genes”. Plasmid yang lain
adalah plasmid yang tidak bisa berpindah sendiri akan tetapi butuh self transmissible plasmid untuk dapat berpindah, disebut mobilizable plasmid. Resistensi terhadap
(46)
24
antibiotika dapat terjadi karena satu bakteri mempunyai berbagai mekanisme resistensi dalam satu plasmid, sehingga satu plasmid dapat menjadikan bakteri resisten terhadap berbagai obat (Lind, 1997).
Resistensi kromosomal terjadi akibat mutasi dalam gen yang memberi kode pada setiap tempat target obat atau sistim transport pada membran sel yang akan mengatur pengambilan obat, sehingga obat dalam sel kuman berkurang. Mutasi gen ini dapat terjadi spontan maupun akibat rangsangan sehingga kuman dapat bertahan terhadap pengaruh lingkungan. Resistensi kromosomal mengakibatkan penurunan sensitivitas tahap demi tahap akibat akumulasi gradual dari mutasi kromosomal yang terjadi perlahan-lahan bersama waktu. Deteksi resistensi kromosomal bisa melalui metode dilusi agar atau disk diffusion. Dalam periode 1988-1994, data dari
Gonococcal Isolate Surveillance Project (GISP) Amerika Serikat, didapatkan resistensi total terhadap gonokokus sebesar 30,5%, yang mana 14,3% disebabkan karena resistensi plasmid dan 16,2% resistensi kromosomal (Tapsal, 2005).
2.7.1 Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Beberapa Antibiotika
Mekanisme resistensi antibiotika pada N.gonorrhoeae dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pertama yang melibatkan penurunan akses antibiotika menuju target kerja, dan kedua yang melibatkan perubahan pada target kerja itu sendiri (Latel, 2011; Lind, 1997)
Akses antibiotika menuju target kerja dibatasi oleh beberapa faktor seperti: 1) penurunan permeabilitas selubung sel akibat adanya perubahan pada protein porin, 2)
(47)
25
adanya pengeluaran antibiotika secara aktif dari sel melalui efflux pump, dan 3) kerusakan antibiotika sebelum berinteraksi dengan target kerja. Sedangkan perubahan atau delesi target kerja antibiotika merupakan hasil dari penurunan afinitasnya terhadap antibiotika. Perubahan ini diperantarai oleh faktor kromosomal maupun ekstrakromosomal (plasmid) (Tapsal, 2005).
Resistensi pada N.gonorrhoeae yang diperantarai kromosomal pada umumnya muncul secara lambat dan diseminata. Resistensi yang diperantarai plasmid, saat ini terbatas resistensi terhadap penisilin dan tetrasiklin terjadi melalui proses konyugasi. Plasmid yang mengalami konyugasi akan memobilisasi plasmid yang membawa determinan resistensi. Karena tidak semua strain membentuk plasmid terkonyugasi, maka angka penyebaran resistensi bersifat terbatas. Namun plasmid terkonyugasi dapat dipindahkan saat konyugasi sehingga strain resipien dapat menjadi donor dengan sendirinya (Lind, 1997).
.
2.7.2 Faktor Penyebaran Resistensi
Resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap antibiotik banyak dijumpai di daerah dengan sektor kesehatan yang meresepkan penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol. Resistensi terhadap penicillin tersebar di Asia tenggara. Para pekerja seksual di Asia mengkonsumsi kuinolon oral sebagai profilaksis dan hal ini dapat menjadi faktor kontribusi resistensi antimikroba.
Peranan meningkatnya jumlah wisatawan dan penyebaran infeksi menular seksual telah diamati. Wisatawan tersebut dapat memperantarai penyebaran strain
(48)
26
yang resisten dari satu negara ke negara lain selama masa inkubasi infeksi. Laporan kasus di Swedia menunjukkan tingginya angka resistensi penicillin lebih banyak dijumpai pada warganya yang sering keluar negeri. Selain itu terdapat kelompok yang berpotensi mentransmisikan infeksi menular seksual diantaranya adalah sopir truk jarak jauh, pekerja imigran dan pelaut. Imigran gelap bertanggung jawab terhadap resistensi penisillin dan kuinolon di Sydney Australia. Kelompok “sex tourist” juga bertanggung jawab terhadap penyebaran infeksi yang memang mereka berlibur dengan tujuan kesenangan seksual. Mulhall merekomendasikan pendekatan program kesehatan seksual pada kelompok wisatawan (Cole, 2014).
2.8. Sejarah Perkembangan Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Antibiotika 2.8.1. Era Pra kuinolon
Pada tahun 1937, sulfonamid adalah antibiotika yang direkomendasikan untuk
N. gonorrhoeae dan resistensi bakteri terhadap agen ini terjadi dalam dua tahun kemudian. Sementara pada waktu yang bersamaan, Alexander Flemming melaporkan efektifitas penisilin dalam menghambat N. gonorrhoeae, dan menjadi pilihan sebagai pengobatan gonore sejak tahun 1943 selama beberapa dekade. Resistensi N. gonorrhoeae terhadap penisilin dinilai berdasarkan MIC, dimana pada tahun awal terapi gonore dengan penisilin nilai MIC yang sensitif adalah kurang dari 0,0125 mg/L (0,02 IU/L). Kemudian terjadi peningkatan MIC secara bertahap hingga lebih dari 0,12 mg/L, selanjutnya menjadi lebih dari 0,5 mg/L. Peningkatan MIC ini berdampak pada peningkatan dosis penisilin dari 50.000 unit pada tahun 1945
(49)
27
menjadi 4,8 juta unit pada tahun 1970. Pada tahun 1989 penisilin tidak lagi direkomendasikan untuk pengobatan gonore karena tingginya tingkat resistensi, diawali di Madras pada tahun 1981 dilaporkan isolat N. gonorrhoeae betalaktamase.
Tahun 1990 di India penisilin sudah tidak dipergunakan sebagai terapi gonore. Pada tahun 2000 dan 2001 dilaporkan peningkatan isolasi Penicillinase Producing Neisseria Gonorrhoea (PPNG). Bersamaan dengan resistensi terhadap penisilin juga terjadi resistensi N. gonorrhoeae terhadap beberapa antibiotika lain seperti tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan streptomisin (Latel, 2011).
2.8.2. Era Kuinolon
Sebagai respon meningkatnya frekuensi isolat strain N. gonorrhoeae yang resisten penisilin, terasiklin, streptomisin, dan spektinomisin pada tahun 1989 di Amerika Serikat dan di seluruh dunia, maka CDC merekomendasikan antibiotika sefalosporin dan fluorokuinolon spektrum luas untuk pengobatan gonore primer tanpa komplikasi. Sebagian besar negara-negara di dunia mengikuti kebijakan penggantian regimen terapi. Kuinolon generasi kedua (siprofloksasin, norfloksasin dan ofloksasin) secara luas mulai menggantikan penisilin. Fluorokuinolon dilaporkan memiliki efektifitas paling baik diantara kuinolon dalam hal absorpsi oral dan distribusi ke jaringan, yang menghasilkan kadar dalam jaringan interstitial dan penetrasi ke makrofag yang baik, disertai efek samping toksik serius yang minimal, serta menurunkan mutasi satu langkah secara spontan. Sejak tahun 1993 fluorokuinolon
(50)
28
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pengobatan gonore di seluruh dunia (Latel, 2011).
Selama 20 tahun pemakaian secara luas kuinolon, mulai muncul reesistensi akibat penggunaan antibiotika yang salah. Kriteria Knapp merupakan kriteria untuk menilai resistensi terhadap kuinolon secara in vitro. Nilai MIC siprofloksasin yang kurang sensitif meningkat menjadi 1 mg/L (resistensi intermediet), selanjutnya menjadi 16 mg/L (resisten). Pada tahun 2004 CDC menghentikan penggunaan siprofloksasin sebagai terapi gonore (Tapsal, 2011)
2.8.3. Era Paska kuinolon
Peningkatan resistensi N. Gonorrhoeae terhadap kuinolon menyebabkan CDC tahun 2010 merekomendasikan sefalosporin generasi ketiga sebagai regimen pengobatan gonore seperti injeksi (seftriakson) maupun oral (cefiksim dan cefdinir). Pada kasus alergi sefalosporin, spektinomisin merupakan pilihan yang lain (Latel dkk, 2011)
Sefalosporin merupakan antibiotika golongan betalaktam yang ditemukan pada tahun 1945, bekerja sebagai antibiotika dengan menghambat sintesis dinding sel melalui binding dan menghambat kerja enzim-enzim yang berperan pada insersi peptidoglikan ke dalam dinding sel (Ross dan Lewis, 2012)
Resistensi terhadap sefalosporin pertama kali dilaporkan pada tahun 1996 dan kemudian di Jepang pada tahun 2000. Kegagalan pengobatan gonore dengan
(51)
29
sefalosporin oral pertama kali dilaporkan di Jepang pada tahun 2001 dan selanjutnya dilaporkan di berapa daerah lainnya (Sparling, 2008).
2.9. Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Sefalosporin
2.9.1. Karakteristik Umum dan Mekanisme Kerja Sefalosporin
Sefalosporin ditemukan oleh Guiseppe Brotzu pada tahun 1945 ketika ia mengisolasi jamur dari limbah di Sardinia, Italia yang memiliki aktivitas antimikroba spektrum luas. Sefalosporin diklasifikasikan menjadi beberapa generasi berdasarkan spektrum aktivitas antimikrobanya. Sefalosporin generasi pertama merupakan antimikroba yang paling efektif melawan bakteri kokus Gram positif termasuk Stafilokokus aureus, generasi kedua lebih efektif melawan bakteri Gram negatif dan kurang efektif terhadap Gram positif. Generasi ketiga memiliki aktifitas melawan Gram negatif dengan spektrum yang lebih luas dibandingkan generasi kedua. Generasi keempat seperti sefipim memiliki aktivitas baik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negative (Andes dan Craig, 2005).
Sefalosporin generasi ketiga (oral maupun parenteral) merupakan antibiotika yang paling efektif melawan N.gonorrhoeeae. Mekanisme kerja sefalosporin dengan menghambat sintesis dinding sel melalui ikatan dan hambatan pada enzim yang berperan pada insersi peptidoglikan pada dinding sel. Enzim–enzim tersebut antara lain transpeptidase, karboksipeptidase, endopeptidase atau yang disebut sebagai enzim penicillin binding proteins (PBPs) (Barry dan Klausner, 2009).
(52)
30
2.9.1.2. Sefalosporin Oral untuk Gonore
Sefalosporin oral yang efektif melawan N.gonorrhoeae antara lain sefuroksim aksetil, sefaklor, sefpodoksim proksetil, seftibuten, sefdinir, sefoperazon. World Health Organization merekomendasikan sefiksim 400 mg dan di AS, adalah satu-satunya agen oral yang direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena memiliki angka kesembuhan lebih dari 95%. Sefiksim juga digunakan di Inggris dan Indonesia. Di AS, sefiksim sempat tidak tersedia dari tahun 2002 hingga 2008, diganti dengan sefpodoksim 400 mg, sedangkan di Hongkong memakai seftibuten, dan di Jepang menggunakan sefditoren serta sefdinir sebagai terapi pilihan (Barry dan Klausner, 2009)
2.9.1.3. Sefalosporin Parenteral untuk Gonore
Agen parenteral sefalosporin yang menjadi pilihan lini pertama pengobatan gonore adalah seftriakson. Seftriakson memiliki struktur kimia tiometil heterosiklik pada R2 (C3) sehingga memiliki waktu paruh lebih panjang akibat adanya perluasan dari ikatan protein. Dosis seftriakson masih sering menjadi perdebatan, di beberapa negara seperti di AS dan oleh WHO merekomendasikan 125 mg, sedangkan negara lain merekomendasikan 250 mg. Di Jepang merekomendasikan 100 mg intravena. Agen parenteral lainnya sebagai terapi alternatif adalah sefoksitin 2 gram intramuskuler (IM) dikombinasi dengan probenezid 1 gram dan sefotaksim 500 mg IM. Sefuroksim 1,5 gram IM direkomendasikan di Inggris, sedangkan sefodizim juga
(53)
31
sebagai efektif melawan isolat resisten multi obat di Jepang (Barry dan Klausner ,2009).
2.9.2. Definisi Resistensi N. Gonorrhoeae Terhadap Sefalosporin
Definisi resistensi terhadap sefalosporin belum ditentukan secara standar karena terbatasnya data mengenai kegagalan pengobatan. Kebanyakan definisi resistensi berdasarkan pada MIC seftriakson terhadap N.gonorrhoeae. Beberapa
peneliti mendefinisikan resistensi dengan peningkatan MIC seftriakson ≥ 0,06 mg/L,
≥ 0,125 mg/L oleh Gonococcal Resistance Antimicrobial Surveillance Programme
(GRAPS) UK, > 0,125 mg/L oleh Eropa Surveillance of Sexually Transmitted Infection (ESSTI), Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) menentukan
MIC ≤ 0,25 mg/L sebagai sensitif dan ≥ 0,5 mg/L sebagai tidak sensitive (Barry dan
Klausner, 2009).
2.9.3. Epidemiologi Resistensi Sefalosporin
Resistensi terhadap sefalosporin telah terjadi dan meluas di Asia, Australia dan Eropa. Di Jepang kegagalan pengobatan gonore dengan sefalosporin telah dilaporkan sejak awal tahun 2000 dengan peningkatan MIC pada pemakaian sefpodoksim dan sefdinir. Pada tahun 2006, sefiksim tidak lagi digunakan sebagai terapi lini pertama dan hanya merekomendasikan seftriakson dan spektinomisin sebagai terapi lini pertama (Takahata dkk, 2006).
(54)
32
Australian Gonococcal Surveillance Programme (AGSP) berhasil mengidentifikasi isolat dengan MIC seftriakson sebesar 0,06-0,5 mg/L (kurang sensitif) pada tahun 2001. Isolat ini terutama ditemukan pada daerah urban, para turis internasional dan mitra seksualnya, juga diduga terjadi transmisi secara domestik.
Resistensi terhadap sefalosporin juga muncul di China dengan adanya peningkatan MIC pada isolat dari beberapa wilayah berbeda selama tahun 1990. Di Hongkong selama periode Oktober 2006 hingga Agustus 2007 melaporkan angka kegagalan seftibuten 400 mg dosis tunggal sebesar 3,7%. Dari 42 orang yang gagal dengan seftibuten, 7 orang memiliki MIC ≥1 mg/L, dan sekitar 23 isolat memiliki MIC terhadap seftriakson sebesar 0,06 atau 0,125 mg/L. Di Taiwan juga dilaporkan resistensi terhadap sefalosporin oral (Barry dan Klausner, 2009)
Di beberapa negara Asia seperti Vietnam, Thailand dan Filipina melaporkan isolat dengan MIC seftriakson ≥0,5 mg/L. India, Bangladesh, Nepal dan Srilanka melaporkan isolat yang signifikan kurang sensitif/intermediet terhadap seftriakson (Barry dan Klausner, 2009)
Eropa Surveillance of Sexually Transmitted Infection berhasil mengidentifikasi isolat dengan MIC seftriakson 0,25 mg/L dari Italia dan Swedia. Kriteria penurunan sensitifitas terhadap seftriakson menurut ESSTI adalah >0,125 mg/L. Sedangkan UK GRASP melaporkan 2 isolat dengan penurunan sensitifitas terhadap sefiksim pada tahun 2007 dengan MIC > 0,25 mg/L. Denmark, Spanyol, Swedia, dan Yunani juga melaporkan isolat dengan peningkatan MIC terhadap sefalosporin (Carannante dkk, 2012).
(55)
33
Gonococcal Isolat Surveillance Programme (GISP) AS melaporkan 4 isolat dengan MIC seftriakson 0,5 mg/L di San Diego (1987), Cincinnati (1992 dan 1993), dan Philadelphia (1997). GISP juga menguji sefiksim pada tahun 1992 hingga tahun 2006 teradapat 48 isolat dengan MIC sefiksim 0,5-2,0 mg/L. Di Hawai pada tahun 2001 ditemukan isolat dengan MIC sefiksim 0,25-0,5 mg/L dan MIC seftriakson 0,125 mg/L. Penelitian di Kanada pada tahun 2008 melaporkan penurunan sensitifitas sefalosporin dengan MIC dari 0,125 hingga 0,25 mg/L. Data terbatas dari Afrika dan Amerika Latin melaporkan resistensi namun tanpa disertai dokumentasi peningkatan MIC terhadap sefalosporin (Barry dan Klausner, 2009).
2.9.5. Mekanisme Resistensi N.Gonorrhoeae Terhadap Sefalosporin 2.9.5.1. Perubahan Penicillin Binding Proteins
Neisseria gonorrhoeae memiliki 3 tipe PBP yaitu PBP1, 2, dan 3. Penicilline Binding Protein2 memiliki afinitas terhadap penisilin G 10 kali lebih tinggi dibandingkan PBP1 dan merupakan target ikatan utama untuk antimikroba betalaktam seperti sefalosporin. Perubahan pada PBP2 yang dikode oleh gen penA merupakan penyebab menurunnya ikatan terhadap penisilin melalui insersi tunggal asam amino. Perubahan ini juga ditemukan pada isolat yang resisten sefalosporin. Namun belum banyak diketahui mengenai mutasi spesifik pada PBPs, interaksi dan perubahan pada gen lainnya (Takahata dkk, 2006).
Perubahan PBPs terkait resistensi sefalosporin yang paling sering adalah perubahan PBP2 yang terkait resistensi sefiksim di Jepang pada uretritis laki-laki
(56)
34
yang diisolasi oleh Ameyama dan kawan-kawan pada tahun 2002 (Barry dan Klausner, 2009)
2.9.5.2. Reduksi Konsentrasi Antimikroba Intraseluler
Mekanisme dasar lain resistensi terhadap antimikroba adalah penurunan konsentrasi antimikroba. Penurunan konsentrasi antimikroba dapat terjadi melalui penghambatan masuknya antimikroba ke dalam sel atau aktivasi efflux pumpsel bakteri. Mutasi pada gen mtrR yang berperan untuk menekan sistem MtrC-D-E meningkatkan efflux pump dan memicu resistensi terhadap penisilin, tetrasiklin, makrolid, dan kemungkinan pada fluorokuinolon. Mekanisme mutasi ini pada reesistensi terhadap sefalosporin belum diketahui dengan jelas. Tanaka dan kawan-kawan melaporkan isolat yang resisten seftriakson dengan MIC 0.5 mg/L memiliki mutasi pada gen mtrR. Linberg dan kawan-kawan menemukan sekitar 13 dari 18 isolat dengan MIC seftriakson ≥ 0,06 mg/L memiliki mutasi pada gen mtrR, penA,
penB, dan ponA (Barry dan Klausner, 2009).
Mutasi pada penB suatu gen pada porin akan menurunkan permeabilitas terhadap antimikroba hidrofilik seperti penisilin dan tetrasiklin yang juga disertai dengan mutasi pada mtrR. Namun peranannya pada resistensi sefalosporin belum jelas dipahami. Betalaktamase tidak berperan pada resistensi terhadap sefalosporin (Barry dan Klausner, 2009)
Ameyama dan kawan-kawan menemukan peranan mosaic penA dalam meningkatkan MIC sefiksim dari 0,001 menjadi 0,06 mg/L, dan MIC seftriakson dari
(57)
35
0,00025 menjadi 0,002 mg/L. Peneliti lain melaporkan mosaic penA meningkatkan MIC sefiksim 100 kali lipat menjadi 0,12 mg/L dan MIC seftriakson 20 kali lipat menjadi 0,012 mg/L. Mosaic penA disertai yang disisipkan pada isolat resisten penisilin dengan beberapa mutasi (ponA, mtrR, penB) meningkatkan MIC seftriakson menjadi 0,25 mg/L, dan sefiksim menjadi 0,5 mg/L. Linberg dan kawan-kawan melaporkan bahwa mutasi multipel pada PBP2 diperlukan untuk meningkatkan MIC sefalosporin (Ohnisi dkk, 2011).
Tanaka dan kawan-kawan melaporkan isolat resisten seftriakson dengan MIC 0,5 mg/L memiliki mosaic PBP2 juga memiliki mutasi pada ponA (L421P), penB (A120 dan A121), dan mtrR (Ohnisi dkk, 2011).
2.9.6. Metode untuk Mendeteksi Resistensi Terhadap Sefalosporin
Metode untuk mendeteksi resistensi terhadap sefalosporin yang tersedia saat ini adalah melalui isolasi dan uji sensitibilitas. Kultur sebagai baku emas dalam menentukan MIC adalah dilusi agar. Namun dengan menurunnya penegakan diagnosis infeksi gonokokal berdasarkan kultur, maka makin sedikit isolat yang tersedia sebagai bahan uji sensitibilitas. Hal ini memungkinkan penggunaan uji molekuler untuk mendeteksi penanda resistensi pada spesimen yang dikumpulkan untuk uji diagnostik berbasis asam nukleat. Uji tersebut sudah dikembangkan untuk mendeteksi resistensi siprofloksasin namun belum digunakan untuk kepentingan klinis secara luas. Uji ini memliki keterbatasan karena tergantung pada pengetahuan mengenai mutasi tertentu yang mempengaruhi resistensi dan bagaimana mutasi
(58)
36
tersebut berhubungan dengan MIC secara in vitrodan dengan hasil klinis, sedangkan imformasi tersebut belum tersedia untuk resistensi sefalosporin (Ng dan Martin, 2005)
Uji PCR untuk identifikasi gen mosaic penA sudah dipublikasikan, dan bermanfaat untuk mengidentifikasi organisme dengan mosaic penA dari spesimen klinis, namun pentingnya genotip ini belum dipahami secara lengkap, sehingga interpretasi hasilnya masih belum jelas (Low dkk, 2014).
2.9.7 Pilihan Pengobatan Gonore yang Resisten Terhadap Sefalosporin
Selain penggunaan uji diagnostik yang sensitif dan spesifik, serta edukasi yang baik pada pasien, pengobatan dengan antibiotika yang efektif merupakan komponen utama dalam strategi kontrol gonore dengan ketidaktersediaan vaksin. Antibiotika yang dipilih sebaiknya memiliki efikasi dan kualitas yang tinggi, tidak toksik, dan memberikan keberhasilan lebih dari 95% bila diberikan secara empiris (Barry dan Klausner, 2009).
Pengobatan gonore selama ini menggunakan antibiotika dosis tunggal yang diminum langsung di bawah pengawasan petugas. Hal ini mengakibatkan kegagalan agen antimikroba secara berturut-turut yang digantikan dengan antibiotika baru yang tidak atau jarang menyebabkan resistensi. Adanya penurunan kerentanan dan kegagalan pengobatan dengan sefalosporin spektrum luas, terbatasnya ketersediaan antimikroba alternatif, menimbulkan gonore yang sulit diobati bahkan tidak bisa diobati. Dalam upaya mengatasi hal tersebut, CDC dan European Centre for Disease
(59)
37
Prevention and Control (ECDPC) merekomendasikan strategi pengobatan terkini dalam upaya meningkatkan efektifitas pengobatan gonore (Unemo dan Shafer, 2014).
Strategi yang pertama ditempuh adalah dengan meningkatkan dosis seftriakson parenteral. Dosis awal seftriakson 250 gram dilaporkan tidak cukup untuk membunuh gonokokus sehingga diperlukan peningkatan dosis. Di beberapa negara seperti Jepang, China, Azerbaijan dan Belaruz, direkomendasikan seftriakson 1 gram dosis tungal, bahkan dosis dapat ditingkatkan hingga 2 gram berdasarkan pengobatan untuk community acquired pneumonia. Peningkatan dosis menjadi 500 mg hingga 1 gram direkomendasikan oleh beberapa pedoman pengobatan untuk gonore, dan dosis ini dilaporkan cukup untuk membunuh kuman gonokokus, namun metode ini hanya merupakan solusi jangka pendek. (Unemo dan Shafer, 2014).
Selain dengan metode peningkatan dosis monoterapi seftriakson, alternatif lain adalah dengan pengobatan antimikroba ganda. Pengobatan alternatif tersebut sudah mulai direkomendasikan di Amerika Serikat, Inggris dan seluruh Eropa seperti yang ditunjukkan pada tabel 2 dibawah ini. (Ross dan Lewis, 2012)
Dua modalitas terapi lainnya yang memberikan harapan baru dalam pengobatan gonore telah dilaporkan oleh CDC. Regimen terapi tersebut adalah gentamisin 240 mg injeksi intramuskuler dikombinasi dengan azitromisin 2 gram oral atau gemifloksasin 320 mg oral dikombinasi dengan azitromisin 2 gram oral. Kedua regimen terapi ini telah melalui uji klinis dan masing-masing memberikan efektifitas terapi sebesar 100% dan 99,5% pada pengobatan gonore tanpa komplikasi. Namun
(60)
38
efek samping gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare membatasi penggunaan regimen ini secara rutin (Tenover, 2006).
Spektinomisin 2 gram intramuskuler efektif untuk pengobatan gonore namun tidak efektif untuk pengobatan gonore pada faring. Di Jepang spektinomisin merupakan salah satu dari 3 terapi lini pertama dimana resistensi sefalosporin oral sering terjadi. Resistensi terhadap spektinomisin dapat terjadi melalui satu tahap mutasi, dan berkembang dengan cepat akibat penggunaan secara luas pada tentara Amerika di masa lalu. Namun secara umum resistensi terhadap agen ini masih jarang dilaporkan dan terjadi secara sporadik. Resistensi terhadap kanamisin belum pernah dilaporkan, sedangkan resistensi terhadap gentamisin pernah dilaporkan di Malawi apabila digunakan sebagi agen tunggal. Rifampin merupakan obat yang tidak mahal namun dapat berkembang resistensi apabila digunakan sebagai terapi tunggal (Stefanelii, 2011).
(61)
39
Tabel 2.2
Mekanisme Resistensi Antibiotika dan Rekomendasi Pengobatan untuk N. Gonorrhoeae (Unemo dan Shafer,2014)
ANTIBIOTIKA MEKANISME RESISTENSI REKOMENDASI TERKINI Sulfonamid Sintesis p-aminobenzoic acid
berlebihan
Mutasi kromosomal pada dihydroteroate synthetase gene Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan
Tidak direkomendasikan
Tiamfenikol Mutasi kromosomal pada gen penB, mtrR dan chl
Resistensi yang diperantarai plasmid tidak dilaporkan
Tidak direkomendasikan
Penisilin Mutasi kromosomal pada gen penA, penB, ponA, promotor mtrR dan mtrR
Mutasi kromosomal pada gen penC (pilQ2) namun mutasi berdampak pada formasi pilus dan masih meragukan sebagai infeksi didapat alamiah Perubahan ekspresi gen pem Produksi betalaktamase
diperantarai plasmid
Direkomendasikan hanya pada wilayah dimana data dikumpulkan secara reguler dari program surveilen lokal yang mengkonfirmasi lebih dari 95% isolat yang sensitif terhadap penisilin
Tetrasiklin Mutasi kromosomal pada gen rpsJ, penB, promotor mtrR, mtrR Mutasi kromosomal pada gen
penC (pilQ2) ) namun mutasi berdampak pada formasi pilus dan masih meragukan sebagai infeksi didapat alamiah Perubahan ekspresi gen pem Produksi protein TetM
diperantarai Plasmid
Tidak direkomendasikan
Spektinomisin Mutasi kromosomal pada gen spc Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan
Tidak
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena dapat
(1)
0,00025 menjadi 0,002 mg/L. Peneliti lain melaporkan mosaic penA meningkatkan MIC sefiksim 100 kali lipat menjadi 0,12 mg/L dan MIC seftriakson 20 kali lipat menjadi 0,012 mg/L. Mosaic penA disertai yang disisipkan pada isolat resisten penisilin dengan beberapa mutasi (ponA, mtrR, penB) meningkatkan MIC seftriakson menjadi 0,25 mg/L, dan sefiksim menjadi 0,5 mg/L. Linberg dan kawan-kawan melaporkan bahwa mutasi multipel pada PBP2 diperlukan untuk meningkatkan MIC sefalosporin (Ohnisi dkk, 2011).
Tanaka dan kawan-kawan melaporkan isolat resisten seftriakson dengan MIC 0,5 mg/L memiliki mosaic PBP2 juga memiliki mutasi pada ponA (L421P), penB (A120 dan A121), dan mtrR (Ohnisi dkk, 2011).
2.9.6. Metode untuk Mendeteksi Resistensi Terhadap Sefalosporin
Metode untuk mendeteksi resistensi terhadap sefalosporin yang tersedia saat ini adalah melalui isolasi dan uji sensitibilitas. Kultur sebagai baku emas dalam menentukan MIC adalah dilusi agar. Namun dengan menurunnya penegakan diagnosis infeksi gonokokal berdasarkan kultur, maka makin sedikit isolat yang tersedia sebagai bahan uji sensitibilitas. Hal ini memungkinkan penggunaan uji molekuler untuk mendeteksi penanda resistensi pada spesimen yang dikumpulkan untuk uji diagnostik berbasis asam nukleat. Uji tersebut sudah dikembangkan untuk mendeteksi resistensi siprofloksasin namun belum digunakan untuk kepentingan klinis secara luas. Uji ini memliki keterbatasan karena tergantung pada pengetahuan mengenai mutasi tertentu yang mempengaruhi resistensi dan bagaimana mutasi
(2)
tersebut berhubungan dengan MIC secara in vitrodan dengan hasil klinis, sedangkan imformasi tersebut belum tersedia untuk resistensi sefalosporin (Ng dan Martin, 2005)
Uji PCR untuk identifikasi gen mosaic penA sudah dipublikasikan, dan bermanfaat untuk mengidentifikasi organisme dengan mosaic penA dari spesimen klinis, namun pentingnya genotip ini belum dipahami secara lengkap, sehingga interpretasi hasilnya masih belum jelas (Low dkk, 2014).
2.9.7 Pilihan Pengobatan Gonore yang Resisten Terhadap Sefalosporin
Selain penggunaan uji diagnostik yang sensitif dan spesifik, serta edukasi yang baik pada pasien, pengobatan dengan antibiotika yang efektif merupakan komponen utama dalam strategi kontrol gonore dengan ketidaktersediaan vaksin. Antibiotika yang dipilih sebaiknya memiliki efikasi dan kualitas yang tinggi, tidak toksik, dan memberikan keberhasilan lebih dari 95% bila diberikan secara empiris (Barry dan Klausner, 2009).
Pengobatan gonore selama ini menggunakan antibiotika dosis tunggal yang diminum langsung di bawah pengawasan petugas. Hal ini mengakibatkan kegagalan agen antimikroba secara berturut-turut yang digantikan dengan antibiotika baru yang tidak atau jarang menyebabkan resistensi. Adanya penurunan kerentanan dan kegagalan pengobatan dengan sefalosporin spektrum luas, terbatasnya ketersediaan antimikroba alternatif, menimbulkan gonore yang sulit diobati bahkan tidak bisa diobati. Dalam upaya mengatasi hal tersebut, CDC dan European Centre for Disease
(3)
Prevention and Control (ECDPC) merekomendasikan strategi pengobatan terkini dalam upaya meningkatkan efektifitas pengobatan gonore (Unemo dan Shafer, 2014).
Strategi yang pertama ditempuh adalah dengan meningkatkan dosis seftriakson parenteral. Dosis awal seftriakson 250 gram dilaporkan tidak cukup untuk membunuh gonokokus sehingga diperlukan peningkatan dosis. Di beberapa negara seperti Jepang, China, Azerbaijan dan Belaruz, direkomendasikan seftriakson 1 gram dosis tungal, bahkan dosis dapat ditingkatkan hingga 2 gram berdasarkan pengobatan untuk community acquired pneumonia. Peningkatan dosis menjadi 500 mg hingga 1 gram direkomendasikan oleh beberapa pedoman pengobatan untuk gonore, dan dosis ini dilaporkan cukup untuk membunuh kuman gonokokus, namun metode ini hanya merupakan solusi jangka pendek. (Unemo dan Shafer, 2014).
Selain dengan metode peningkatan dosis monoterapi seftriakson, alternatif lain adalah dengan pengobatan antimikroba ganda. Pengobatan alternatif tersebut sudah mulai direkomendasikan di Amerika Serikat, Inggris dan seluruh Eropa seperti yang ditunjukkan pada tabel 2 dibawah ini. (Ross dan Lewis, 2012)
Dua modalitas terapi lainnya yang memberikan harapan baru dalam pengobatan gonore telah dilaporkan oleh CDC. Regimen terapi tersebut adalah gentamisin 240 mg injeksi intramuskuler dikombinasi dengan azitromisin 2 gram oral atau gemifloksasin 320 mg oral dikombinasi dengan azitromisin 2 gram oral. Kedua regimen terapi ini telah melalui uji klinis dan masing-masing memberikan efektifitas terapi sebesar 100% dan 99,5% pada pengobatan gonore tanpa komplikasi. Namun
(4)
efek samping gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare membatasi penggunaan regimen ini secara rutin (Tenover, 2006).
Spektinomisin 2 gram intramuskuler efektif untuk pengobatan gonore namun tidak efektif untuk pengobatan gonore pada faring. Di Jepang spektinomisin merupakan salah satu dari 3 terapi lini pertama dimana resistensi sefalosporin oral sering terjadi. Resistensi terhadap spektinomisin dapat terjadi melalui satu tahap mutasi, dan berkembang dengan cepat akibat penggunaan secara luas pada tentara Amerika di masa lalu. Namun secara umum resistensi terhadap agen ini masih jarang dilaporkan dan terjadi secara sporadik. Resistensi terhadap kanamisin belum pernah dilaporkan, sedangkan resistensi terhadap gentamisin pernah dilaporkan di Malawi apabila digunakan sebagi agen tunggal. Rifampin merupakan obat yang tidak mahal namun dapat berkembang resistensi apabila digunakan sebagai terapi tunggal (Stefanelii, 2011).
(5)
Tabel 2.2
Mekanisme Resistensi Antibiotika dan Rekomendasi Pengobatan untuk N. Gonorrhoeae (Unemo dan Shafer,2014)
ANTIBIOTIKA MEKANISME RESISTENSI REKOMENDASI
TERKINI Sulfonamid Sintesis p-aminobenzoic acid
berlebihan
Mutasi kromosomal pada
dihydroteroate synthetase gene
Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan
Tidak direkomendasikan
Tiamfenikol Mutasi kromosomal pada gen
penB, mtrR dan chl
Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan
Tidak direkomendasikan
Penisilin Mutasi kromosomal pada gen
penA, penB, ponA, promotor
mtrR dan mtrR
Mutasi kromosomal pada gen
penC (pilQ2) namun mutasi berdampak pada formasi pilus dan masih meragukan sebagai infeksi didapat alamiah
Perubahan ekspresi gen pem
Produksi betalaktamase
diperantarai plasmid
Direkomendasikan hanya pada wilayah dimana data dikumpulkan secara reguler dari program surveilen lokal yang mengkonfirmasi lebih dari 95% isolat yang sensitif terhadap penisilin
Tetrasiklin Mutasi kromosomal pada gen
rpsJ, penB, promotor mtrR, mtrR
Mutasi kromosomal pada gen
penC (pilQ2) ) namun mutasi berdampak pada formasi pilus dan masih meragukan sebagai infeksi didapat alamiah
Perubahan ekspresi gen pem
Produksi protein TetM
diperantarai Plasmid
Tidak direkomendasikan
Spektinomisin Mutasi kromosomal pada gen spc
Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan
Tidak
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena dapat
(6)
muncul resistensi
Direkomendasikan
sebagai terapi lini kedua dan ketiga
Aminoglikosida Mutasi kromosomal pada gen
kan
Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan
Secara umum tidak
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama meskipun kanamisin, gentamisin masih dipergunakan di negara-negara miskin
Direkomendasikan
sebagai terapi lini kedua dan ketiga
Makrolid Mutasi kromosomal pada gen
23sRNA rrl, promotor mtrR/
mtrC, mtrR dan mtrC
Ekspresi kromosomal gen yang
mengkode metilase ermB, ermC
dan ermF
Peranan gen yang mengkode mef
secara kromosom belum pasti
Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan
Azitromisin tidak
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama dapat terjadi resistensi
Azitromisin dapat
direkomendasikan sebagai terapi lini kedua dan ketiga
Kuinolon Mutasi kromosomal gen gyrA
dan parC
Resistensi yang diperantarai
plasmid tidak dilaporkan
Direkomendasikan
hanya pada wilayah dengan data yang dapat diperoleh dari hasil program surveilen lokal yang
mengkonfirmasi lebih dari 95% isolat yang rentan terhadap kuinolon