Kesimpulan tentang keber- pihakan media

59 Walaupun “pencatatan pernikahan” s e b a g a i i s u y a n g t e r k a i t d e n g a n k e b i j a k a n p e r k a w i n a n m e n e r i m a perhatian yang paling tinggi, berdasarkan data dapat diasumsikan bahwa hal ini disebabkan oleh satu kasus yang terjadi pada bulan Februari. Selain itu, hal yang terkait dengan kebijakan perkawinan tidak banyak mendapat perhatian. Dapat disimpulkan, terkait isu kesetaraan gender, dalam kajian ini – s e c a r a u m u m – m e d i a s u d a h memberikan liputan yang lebih tinggi. Namun, dalam hal isu menyangkut kebijakan perkawinan, media masih terlihat lemah atau kurang menguasai. Hal ini bisa dilihat dari jumlah total atas isu yang diliput media, yakni hanya mencapai 30 dibandingkan dengan liputan atas hak perempuan secara umum yang mencapai 70.

3. Keberpihakan media terhadap kesetaraan gender

mencapai 50 saja. Hasil penelitian ini menyebutkan kecenderungan media massa memberikan dukungan terhadap isu kesetaraan gender, mencapai 340 berita 50. Sementara penerbitan yang netral mencapai 267 berita 39, dan yang menolak kesetaraan gender atau lebih mendukung nilai patriarki ada 38 berita 6. Kesimpulannya adalah: media massa yang diteliti rata-rata bisa dianggap cukup peka gender 50, dengan komposisi suratkabar nasional paling mendukung kesetaraan gender 54, sedangkan suratkabar dari provinsi menunjukkan tendensi nonkesetaraan gender paling tinggi 8 dari semua artikel yang disusun di tingkat provinsi. Televisi bisa dikatakan bahwa laporannya bernada netral 60.

4. Isu hak-hak perempuan biasanya diberitakan dalam berita

langsung. Kecenderungan umum pemberitaan media mengenai kesetaraan gender bertumpu pada jenis penulisan berita langsung 66, disusul penulisan feature 19 dan opini penulis luar 13. Yang paling sedikit ditemukan terkait dengan isu kesetaraan gender, hak asasi perempuan, atau kebijakan perkawinan ada dalam tajuk rencana dengan jumlah total 16 buah item berita 2. Mengingat tajuk rencana merupakan wadah untuk membahas isu yang dianggap penting oleh redaksi media, angka 2 itu menunjukkan bahwa secara rata-rata isu terkait dengan hak asasi perempuan belum dianggap krusial oleh media yang dikaji. Yang mengherankan adalah bahwa 4 2 d a r i s t r a i g h t n e w s j u g a memperkenalkan isu terkait hak asasi 60 perempuan dengan pandangan yang m e n d u k u n g k e s e t a r a a n g e n d e r, walaupun jenis berita straight news b i a s a n y a l e b i h b e r s i f a t n e t r a l . Pemberitaan yang lebih menggambarkan p e r s p e k t i f p a t r i a r k i s a t a u t i d a k mendukung kesetaraan gender terutama dapat ditemukan di jenis berita “tajuk rencana”: 25 dari semua tajuk rencana yang dikaji tidak mendukung perspektif kesetaraan gender. Sedangkan berita yang mengandung posisi netral paling mudah didapatkan dalam jenis berita straight news, sesuai dengan sifat berita ini yang memang bisa dianggap pelaporan netral tentang suatu kejadian.

5. Kepekaan terhadap dampak kebijakan perkawinan masih perlu

ditingkatkan. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa dukungan media terhadap kesetaraan gender tampak lebih tinggi untuk isu terkait dengan hak asasi perempuan – seperti “partisipasi dalam ranah publik”, “kekerasan dalam rumah tangga”, “akses kepada pelayanan”, dan lain-lain. Diskriminasi perempuan yang disebabkan oleh kebijakan perkawinan hanya diangkat melalui persoalan pencatatan pernikahan. Ini berarti bahwa media belum terlalu peka terhadap keterkaitan antara kesetaraan gender, kerentanan perempuan, dan kebijakan perkawinan. Georgia Wimhöfer adalah Team Leader Proyek Strengthening Women’s Rights SWR atau Penguatan Hak-hak Perempuan. Ignatius Haryanto adalah Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan LSPP.