HASIL DAN PEMBAHASAN Pengendalian Nyeri (Pain Control) pada Pasien Kanker Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian serta pembahasan mengenai pengendalian nyeri pain control pada pasien kanker RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan terhadap 30 orang responden yaitu pasien kanker di ruang rawat inap Rindu B2A RSUP Haji Adam Malik Medan pada tanggal 04 Mei 2015 sampai tanggal 04 Juni 2015. 1. Hasil penelitian Hasil penelitian ini dibagi atas 2 bagian yaitu: data demografi responden dan pengendalian nyeri pain control pasien kanker kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan. 1.1 Karakteristik demografi responden Responden pada penelitian ini adalah seluruh pasien kanker yang mengalami nyeri kronik atau nyeri lebih dari 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden 83 berada pada rentang usia 41-60 tahun dengan rata-rata usia 46.40 dan SD = 9.467. Mayoritas responden penelitian berjenis kelamin perempuan 80. Hampir seluruh responden 90 beragama Islam. Tingkat pendidikan terakhir responden terbanyak adalah SD dan SMA masing masing 30. Lebih dari setengah responden 77 sudah menikah. Setengah dari responden 50 tidak memiliki pekerjaan. Berdasarkan hasil, penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden 53 didiagnosa Ca.Mammae. Hampir satu pertiga responden 30 menjalani operasi dan kemoterapi. Lebih dari setengah responden 53 merasakan nyeri pada payudara. Universitas Sumatera Utara Tabel 1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Demografi Responden n=30 Karakteristik Responden f Usia 18-40 tahun 4 13 41-60 tahun 26 87 Jenis kelamin Perempuan 24 80 Laki-laki 6 20 Agama Islam 27 90 Kristen Protestan 3 10 Pendidikan SD 9 30 SMP 6 20 SMA 9 30 Perguruan Tinggi 6 20 Pekerjaan Bertani 5 17 Wiraswasta 5 17 Swasta 4 13 PNS 1 3 Tidak bekerja 15 50 Status pernikahan Menikah 23 77 Belum Menikah 3 10 Janda 3 10 Duda 1 3 Universitas Sumatera Utara Karakteriktik Responden f Diagnosa Ca. Mammae 16 53,3 Ca. Recti 4 13,3 Ca. Tiroid 1 3,3 Ca. Penis 1 3,3 SCC. Ginggira 2 6,7 SCC. Parietal 1 3,3 SCC. Face 1 3,3 Rhabdomyosarcoma 1 3,3 Liposarcoma 1 3,3 Lymphoma 1 3,3 Unkown primary of tumor 1 3,3 Penatalaksanaan Kemoterapi 7 23 Tidak ada 6 20 Operasi 8 27 Operasi kemoterapi 9 30 Lokasi nyeri Kepala dan leher 6 20 Payudara 16 53 Anus 2 7 Daerah abdomen 4 14 Wajah 1 3 Ekstremitas 1 3 1.2 Pengendalian Nyeri Pain Control Pasien Kanker n = 30 Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa pengendalian nyeri pain control memiliki nilai yang cukup dengan mean = 2.19, SD = .85. Tabel 2. Mean Score dan Standard Deviasi Pengendalian Nyeri Pain Control Pasien Kanker n = 30 Pernyataan Mean SD Pengendalian nyeri pain control 2.19 .85 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil penjumlahan pengendalian nyeri pain control pada kuesioner yang diisi oleh responden, lebih dari setengah responden 70 mempunyai pengendalian nyeri pada tingkat cukup, dan pengendalian nyeri pada tingkat kurang baik 30. Tabel 3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengendalian Nyeri Pain Control Pasien Kanker n = 30 Pengendalian nyeri f Cukup 21 70 Kurang baik 9 30 Berdasarkan empat dimensi pengendalian nyeri yang diukur, dimensi psikologis adalah pengendalian yang paling berkontribusi terhadap pengendalian nyeri yang dilakukan responden M = 2.39, SD = 1.11, diikuti dengan dimensi spiritual M = 2.27, SD = 1.16, diikuti dengan dimensi fisik M = 2.21, SD = .59. Dimensi sosial adalah pengendalian nyeri yang kontibusinya paling rendah dalam hal pengendalian nyeri yang dilakukan responden M = 1.85, SD = .94. Tabel 4. Mean dan Standard Deviasi Dimensi Pengendalian Nyeri Pain Control Pasien Kanker Dimensi Mean SD Dimensi psikologis 2.39 1.11 Dimensi spiritual 2.27 1.16 Dimensi fisik 2.21 .59 Dimensi sosial 1.85 .94 Pengendalian nyeri pain control dalam penelitian ini adalah dimensi apa yang digunakan pasien kanker dalam mengendalikanmengontrol nyeri yang dirasakan pasien selama kurun waktu 6 bulan terakhir. Pengendalian nyeri Universitas Sumatera Utara terbagi atas 4 dimensi yaitu dimensi fisik, dimensi sosial, dimensi spiritual, dan dimensi psikologis. 1.2.1 Dimensi fisik Berdasarkan 16 pernyataan pengendalian nyeri pain control secara dimensi fisik bahwa mengkonsumsi obat pereda nyeri adalah pengendalian nyeri yang paling berkontribusi terhadap nyeri yang dirasakan responden M = 3.03, SD = 1.18 diikuti dengan mengubah posisi tubuh ketika merasa nyeri M = 2.97, SD = 1.1.8. Latihan fisik adalah pengendalian nyeri yang kontribusinya paling rendah terhadap nyeri yang dirasakan responden M = 1.10, SD = .30. Tabel 5. Mean dan Standard Deviasi Pengendalian Nyeri Pain Control berdasarkan dimensi fisik No Pernyataan Mean SD 9. Mengkonsumsi obat pereda nyeri 3.03 1.18 1. Mengubah posisi tubuh 2.97 1.18 5. Menyentuh bagian tubuh yang terasa nyeri 2.93 1.31 6. Mengusap-usap bagian tubuh yang terasa nyeri 2.80 1.37 10. Mengkonsumsi obat tradisional 2.60 1.27 12. Tarik nafas dalam 2.60 1.19 8. Mengunjungi pelayanan kesehatan 2.43 1.35 3. Berusaha untuk tidur 2.33 1.37 15. Dudukjongkok ketika nyeri 2.27 1.23 16. Berdiri ketika merasa nyeri 1.90 1.18 2. Berusaha berjalan 1.87 1.07 4. Mengkonsumsi makananminuman 1.83 1.08 7. Mengompres panasdingin 1.73 1.14 11. Menonton ketika merasa nyeri 1.73 1.11 13. Membaca ketika merasa nyeri 1.30 .70 14. Latihan fisik ketika merasa nyeri 1.10 .30 Universitas Sumatera Utara 1.2.2 Dimensi sosial Berdasarkan 6 pernyataan pengendalian nyeri pain control secara dimensi sosial bahwa menyendiri adalah pengendalian nyeri yang paling berkontribusi ketika merasakan nyeri M = 3.40, SD = 1.07 dan berbincang – bincang dengan keluarga M = 2.60, SD = 1.35. Mengikuti komunitas penderita kanker merupakan hal yang kontribusinya paling rendah dalam mengendalikan nyeri M = 1.03, SD = .18. Tabel 6. Mean dan Standard Deviasi Pengendalian Nyeri Pain Control berdasarkan dimensi sosial No Pernyataan Mean SD 21. Menyendiri 3.40 1.07 18. Berbincang bincang dengan keluarga 2.60 1.35 17. Berbincang bincang dengan teman 1.47 .90 22. Mengikuti kegiatan sekitar lingkungan rumah 1.43 .89 19. Mengunjungi teman 1.17 .53 20. Mengikuti komunitas penderita kanker 1.03 .18 1.2.3 Dimensi spiritual Berdasarkan 6 pernyataan pengendalian nyeri pain control secara spiritual bahwa berdoa adalah yang paling berkontribusi ketika responden merasakan nyeri M = 3.93, SD = 0.36 diikuti dengan membaca kitab suci M = 3.27, SD = 1.14. Hal yang kontribusinya paling rendah adalah mengunjungi tempat ibadah M = 1.20, SD = 0.55. Universitas Sumatera Utara Tabel 7. Mean dan Standard Deviasi Pengendalian Nyeri Pain Control berdasarkan dimensi spiritual No Pernyataan Mean SD 23. Berdoa 3.93 0.36 24. Membaca kitab suci 3.27 1.14 27. Meditasi 2.60 1.24 26. Ibadah bersama 1.37 0.71 28. Berperan dalam pelayanan keagamaan 1.30 0.70 25. Mengunjungi tempat ibadah 1.20 0.55 1.2.4 Dimensi psikologis Berdasarkan 7 pernyataan pengendalian nyeri pain control secara dimensi psikologis bahwa fokus pada penyembuhan yang paling berkontribusi dalam mengendalikan nyeri M = 3.93, SD = .25 diikuti dengan berpikir positif M = 3.83, SD = .46. Bernyanyi merupakan hal yang berkontribusi paling rendah ketika responden merasakan nyeri M = 1.13, SD = .50. Tabel 8. Mean dan Standard Deviasi Pengendalian Nyeri Pain Control berdasarkan dimensi psikologis No Pernyataan Mean SD 34. Fokus pada penyembuhan 3.93 .25 29. Berpikir positif 3.83 .46 31. Nyeri terkendali saat didampingi keluarga 2.40 1.27 35. Berkumpul dengan keluarga 2.30 1.29 30. Tidak memikirkan penyakit 1.67 1.12 32. Mendengarkan musik 1.47 .77 33. Bernyanyi 1.13 .50 Universitas Sumatera Utara 2. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian tentang pengendalian nyeri pain control pada pasien kanker di RSUP Haji Adam Malik Medan dapat ditemukan pembahasan sebagai berikut: 2.1 Pengendalian nyeri pain control pada pasien kanker Pengendalian nyeri pain control adalah suatu cara atau metode yang dilakukan pasien itu sendiri dalam hal mengendalikan nyeri yang dirasakannya National Cancer Institute, 2014. Dalam penelitian ini, pengendalian nyeri pain control dibagi atas 4 dimensi. Hal ini didukung oleh pernyataan Setiawan 2003 bahwa nyeri kanker merupakan nyeri kronis yang melibatkan multi dimensi diantaranya dimensi biologisfisik, dimensi psikologis, dimensi sosial, dan dimensi spiritual. Ke empat dimensi tersebut diterapkan dalam tingkat pengendalian nyeri tertentu yaitu, baik, cukup, dan kurang baik. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa lebih dari setengah responden melakukan pengendalian nyeri berada pada tingkat cukup 70 diikuti dengan pengendalian nyeri kurang baik 30. Hal ini dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, diagnosa, pengobatan, dan lokasi nyeri. Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden berada pada rentang usia 41-60 tahun. Hurlock 1999 menjelaskan bahwa rentang usia tersebut termasuk ke dalam masa dewasa madya. Pada penelitian mayoritas responden 87 termasuk ke dalam masa dewasa madya dimana mereka telah Universitas Sumatera Utara mengalami penurunan toleransi nyeri. Brunner Suddart 2001 menyatakan bahwa semakin tinggi usia maka respon terhadap nyeri semakin menurun. Mayoritas responden pada penelitian ini berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 24 orang 80. Muttaqin 2008 menyatakan bahwa secara umum tidak ada perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita dalam berespon terhadap nyeri. Pernyataan ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Woodrow dkk, 1997 dalam Jihan, 2009 yang menemukan bahwa laki-laki dan perempuan mengalami penurunan toleransi nyeri. Tingkat pendidikan terakhir responden terbanyak adalah SD SMA masing-masing 30. Gill 1990 menyatakan bahwa tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap pengalaman dalam menangani nyeri yang dirasakan pasien. Hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari dua pertiga responden 77 sudah menikah. Potter Perry 1993 menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi respon nyeri adalah kehadiran orang terdekat yaitu keluarga. Almaier 1995 menyatakan bahwa seseorang yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan. Kehadiran keluarga juga dapat mengurangi rasa Berkaitan dengan diagnosa penyakit, responden paling banyak mengalami kanker payudara 53,3 dan kanker rektum 13,3. Diananda 2009 menyatakan bahwa kanker payudara merupakan salah satu dari 5 kanker Universitas Sumatera Utara yang paling umum di seluruh dunia. Brunner 2002 menyatakan bahwa penyebab kematian terbesar di Amerika Serikat salah satunya adalah kanker kolorektal. Hal inilah yang menyebabkan kedua diagnosa ini menjadi diagnosa tertinggi pada responden. Pengambilan data dilakukan di RINDU B2A dimana ruang rawat inap tersebut salah satu tempat pasien khusus kanker pada saluran pencernaan digestive. Hal ini didukung oleh lebih dari setengah responden 53 merasakan nyeri pada bagian payudara. Lokasi tersebut adalah lokasi nyeri yang dirasakan pasien setiap harinya dan sudah menjadi suatu pengalaman yang menetap baginya. Rufaidah 2007 menyatakan bahwa jenis kanker dapat mempengaruhi intensitas nyeri yang dirasakan seseorang, semakin meningkat atau menurun nyeri yang dirasakan maka pengendalian terhadap nyeri pun dilakukan oleh pasien kanker. Lokasi nyeri yang paling banyak dirasakan oleh pasien adalah daerah payudara 53 sejalan dengan diagnosa terbanyak yaitu kanker payudara 53. Mihardja Hasan 2008 menyatakan bahwa lokasi kanker mempengaruhi intensitas dan prevalensi nyeri yang dirasakan pasien. Pengobatan yang banyak dijalani responden adalah operasi dan kemoterapi 30. Kemoterapi merupakan penanganan kanker yang cukup efektif dan sistemik, saat tumor terpajan terhadapa agen kemoteraupetik, persentase sel-sel tumor dapat dirusak 20 sampai 99 Brunner Suddarth, 2001. Kemoterapi sering dikombinasikan dengan penanganan kanker lainnya yaitu pembedahan, ini merupakan bentuk pengobatan kanker yang paling tua. Pembedahan jika dilakukan pada beberapa jenis kanker tahap stadium dini Universitas Sumatera Utara dapat disembuhkan. Boediwarsono 2010 menyatakan bahwa nyeri kanker tergantung dari pengobatan yang diberikan. 2.2 Dimensi pengendalian nyeri pasien kanker kronik Berdasarkan hasil penelitian ini dari keempat dimensi yang dilakukan responden, dimensi psikologis M = 2.39, SD = 1.11 dan dimensi spiritual M = 2.27, SD = 1.16 merupakan pengendalian nyeri yang paling berkontribusi terhadap nyeri yang dirasakan pasien kanker kronik. Dimensi fisik M = 2.21, SD = 0.59 dan dimensi sosial M = 1.85, SD = 0.94 merupakan pengendalian nyeri paling rendah kontribusinya terhadap nyeri yang dirasakan pasien kanker kronik. Dimensi psikologis merupakan dimensi pengendalian nyeri pain control yang paling berkontribusi terhadap pengendalian nyeri yang dilakukan oleh responden ketika merasakan nyeri. Dimensi psikologis merupakan kemampuan pasien kanker kronik dalam mengendalikan nyeri yang dirasakannya melalui pikiran dan perasaan. Hal yang paling berkontribusi dalam mengendalikan nyeri adalah fokus pada penyembuhan dan berpikir positif. IASP 1979 menyatakan bahwa nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan. Wolf W. Feurst 1974 menyatakan bahwa nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang menimbulkan ketegangan. Prasetyo 2010 Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa nyeri kronis sebagai suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat aktual maupun potensial. Potter Perry 2006 menyatakan bahwa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental atau status psikologis, sensasi nyeri akibat dari stimuli fisik dan mental atau stimuli emosional. Oleh karena itu, mengkaji nyeri seseorang mencakup pengumpulan informasi tentang penyebab fisik dari nyeri juga faktor mental atau emosional yang mempengaruhi persepsi individu terhadap nyeri. Seseorang memikirkan tentang nyeri yang dialaminya akan memberikan pengaruh terhadap kehidupannya dan terhadap seberapa besar nyeri yang dia rasakan. Junaidi 2008 menyatakan bahwa tertawa dan tetap hidup dengan berpikir positif merupakan obat ampuh melawan kanker. Berpikir positif dapat membuat pasien kanker lebih semangat dan tidak ada kata menyerah dalam menjalani kehidupannya. DiMetteo 1991 menyatakan bahwa pikiran negatif tentang nyeri akan memfokuskan perhatian seseorang terhadap aspek yang tidak menyenangkan dan membuat nyeri yang dirasakan bertambah buruk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 66,7 pasien kanker memikirkan penyakit kedepannya. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Junaidi 2008 bahwa bersikap biasa-biasa saja dan tidak memikirkan penyakit, hal tersebut akan membuat pasien dan keluarga merasa tenang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien kanker merasa nyeri terkendali ketika didampingi keluarga M = 2.40, SD = 1.27. Potter Perry Universitas Sumatera Utara 1993 menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi respon nyeri adalah kehadiran orang terdekat yaitu keluarga. Seseorang dalam keadaan nyeri sangat membutuhkan support, bantuan, bahkan perlindungan. Ketidakhadiran keluarga mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Junaidi 2008 bahwa keluarga dituntut untuk memberi dukungan baik finansial, psikologis, sosial, kultural, maupun spiritual. Hasil penelitian menunjukkan pasien kanker melakukan kegiatan menyanyi dan mendengarkan musik ketika merasa nyeri. Seseorang yang mengalami nyeri atau menjalani perawatan, hal tersebut adalah hal yang sangat tidak menyenangkan. Pasien sering menemukan cara untuk mengendalikanmengontrol nyeri yang ia rasakan baik secara fisik maupun psikologis. Koping yang dilakukan pasien selama nyeri salah satunya adalah bernyanyi, dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport pasien dan menurunkan nyeri pasien. Mendengarkan musik merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan pasien kanker ketika merasa nyeri. Potter Perry 2005 menyatakan bahwa mendengarkan musik dapat menurunkan nyeri. Mendengarkan musik dapat memproduksi zat endhorpin substansi sejenis morfin yang disuplai tubuh yang dapat mengurangi rasa sakitnyeri sehingga sensasi nyeri dapat berkurang. Dimensi spiritual merupakan dimensi pengendalian nyeri pain control yang paling berkontribusi terhadap pengendalian nyeri setelah dimensi psikologis yang dilakukan oleh responden ketika merasakan nyeri. Dimensi spiritual merupakan kemampuan pasien kanker kronik dalam mengendalikan Universitas Sumatera Utara nyeri yang dirasakannya melalui keyakinan dalam dirinya. Hal yang paling berkontribusi dalam mengendalikan nyeri adalah berdoa dan membaca kitab suci ketika merasakan nyeri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Potter Perry 1993 bahwa kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan dengan cara berdoa, ketidaknyamanan yang dirasakan pasien kanker akan teratasi dan memberikan banyak kekuatan pada dirinya dalam menjalani kehidupannya. Junaidi 2008 menyatakan bahwa penyembuhan kanker tidaklah mudah, obat dan terapi tetap dijalankan, namun pasien kanker perlu mengupayakan jalan spiritual yaitu dengan berdoa. Jika secara medis tidak dapat memberikan pertolongan untuk kembali sehat, saat inilah kepercayaan kepada Tuhan mengambil alih situasi, dibutuhkan iman yang kuat untuk memperoleh kesembuhan dari padaNya. Hal kedua yang berkontribusi dalam mengendalikan nyeri adalah membaca kitab suci ketika merasakan nyeri. Hal ini didukung oleh pernyataan LofVander Furhoff 2001 dalam Harahap, 2007 bahwa agama mempengaruhi respon individu terhadap nyeri yang dirasakannya. Individu dapat merespon nyeri dengan kegiatan spiritual seperti berdoa, beribadah, dan kegiatan spiritual lainnya. Potter Perry 1993 menyatakan bahwa salah satu respon pasien terhadap nyeri adalah respon perilaku. Respon perilaku secara interaksi sosial, bahwa pasien yang mengalami nyeri kronik adalah menghindari kontak sosial. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa mengunjungi tempat ibadah ketika merasa nyeri, memilih untuk berkumpul dengan teman seiman untuk Universitas Sumatera Utara ibadah bersama, dan mengambil bagian dalam kegiatan pelayanan keagamaan sehingga nyeri teralihkan merupakan kontribusi paling rendah dalam mengendalikan nyeri. Ketiga hal ini menjadi pilihan minoritas responden, alasan responden adalah semenjak sakit mereka tidak lagi berinteraksi dengan orang sekitar lingkungan rumah dalam kegiatan spiritual apapun, mereka lebih memilih memohon kesembuhan kepada Tuhan dengan berkomunikasi antara individu dan Tuhan. Dimensi fisik merupakan dimensi pengendalian nyeri pain control yang berada pada urutan dimensi ketiga paling berkontribusi terhadap pengendalian nyeri yang dilakukan oleh responden ketika merasakan nyeri. Dimensi fisik merupakan kemampuan pasien kanker kronik dalam mengendalikan nyeri yang dirasakannya melalui aktivitas sehari-hari. Hal yang paling berkontribusi dalam mengendalikan nyeri adalah mengkonsumsi obat pereda nyeri dan mengubah posisi tubuh ketika merasa nyeri. Kee 1994 menyatakan bahwa rasa ketidaknyamanan mendorong individu yang terlibat untuk mencari pengobatan yaitu mengkonsumsi obat- obatan penghilang nyeri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dwiyono 2004 bahwa pengobatan yang tepat untuk nyeri kronis adalah pemberian obat pereda nyeri yang bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri. Pernyataan tersebut didukung pula oleh Potter Perry 2005 bahwa pasien kanker kronik mengalami nyeri kronis malignan, nyeri yang dirasakan pasien merupakan nyeri yang terus-menerus dan tidak terkontrol sehingga sangat diperlukan Universitas Sumatera Utara pemberian obat-obatan anti nyeri untuk mengurangi penderitaan pasien kanker kronik. Desen 2008 menyatakan bahwa penggunaan analgesik atau obat pereda nyeri dapat menimbulkan efek ketegantungan, pemakaian obat yang berulang maka efek obat akan menurun, selanjutnya dosis obat akan dinaikkan untuk dapat mengatasi nyeri. Penggunaan obat nyeri yang digunakan dalam jangka waktu panjang dapat menghilangkan keluhan nyeri, namun tidak bisa dipungkiri obat tersebut dapat menimbulkan efek samping. Hal ini justru semakin meningkat, dikarenakan pasien mendapat pengobatan terkait dengan efek samping dari obat. Hal kedua yang berkontribusi adalah mengubah posisi tubuh ketika merasakan nyeri. Hal ini didukung oleh Gatlin Scholmaister 2007 menyatakan bahwa salah satu terapi komplementer yang sering digunakan adalah pengaturan posisi tubuh, sehingga pasien kanker kronik mencari posisi terbaik dalam mengendalikan nyerinya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Andarmoyo 2013 yang menyatakan bahwa mengubah posisi salah satu upaya yang bisa dilakukan pasien ketika merasakan nyeri. Beberapa contoh posisi tubuh yang sering dilakukan jika merasakan nyeri adalah berjalan, dudukjongkok, dan berdiri. Intermountain Healthcare 2013 menyatakan bahwa seseorang mampu untuk berjalan jika masih merasakan nyeri ringan, hal tersebut akan membuat kekuatanmu kembali dengan cepat dan mudah. Mengurangi nyeri tanpa pengobatan yaitu menemukan posisi paling nyaman di tempat yang tenang. Universitas Sumatera Utara Hal lain yang banyak dilakukan pasien kanker adalah menyentuh dan mengusap-usap bagian tubuh yang terasa nyeri menggunakan tangan. Perilaku nyeri yang dapat dilakukan untuk sikap badan dan isyarat adalah menggosok- gosokkan bagian tubuh yang terasa nyeri Fordyce, 1976 dalam Putri, 2010. Gatlin Scholmaister 2007 menyatakan bahwa salah satu terapi komplementer yang sering digunakan dalam penanganan nyeri adalah terapi masase. Hasil peneltian yang dilakukan oleh Cassileth and Vickers 2004 terhadap 1290 pasien kanker yang mendapatkan terapi masase pada Memorial Sloan-Kettering Cancer Center, menemukan bahwa 50 pasien yang mendapatkan terapi tersebut mengalami penurunan terhadap respon nyeri. Saat penelitian dilakukan, pasien kanker mengatakan jika bagian yang terasa nyeri dipegang, ditekan-tekan, atau diusap-usap mereka merasa lebih nyaman. Hal ini didukung dengan teori pengontrolan nyeri gate control bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat, teori ini menyatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat pertahanan ditutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan terapi menghilangkan nyeri Potter Perry, 2006. Hal ini sejalan dengan pernyataan Prasetyo 2010 bahwa sinyal yang melewati serabut saraf hanya satu impuls dalam satu periode waktu, impuls dan serabut saraf tersebut akan berkompetisi untuk melewati gerbang tersebut, nosiseptor dan reseptor akan masuk secara bergantian ke otak untuk melewati tahap persepsi dan modulasi sehingga nyeri Universitas Sumatera Utara cenderung berkurang. Hal inilah yang mendasari bahwa dengan melakukan masase dapat mengurangi durasi dan intensitas nyeri. Potter Perry 2005 menyatakan bahwa pasien yang mengalami nyeri merasa putus asa dalam mengatasi nyeri sehingga lebih memilih untuk berdukun seperti penggunaan obat gosok khusus, diet, atau peralatan penghilang nyeri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Blake 2004 bahwa tidak sedikit masyarakat mencari pengobatan alternatif seperti menggunakan obat tradisional berupa tanaman herbal karena pengobatan tersebut lebih alamiah, lebih aman tanpa efek samping, dan relatif lebih murah. Distraksi merupakan salah satu tindakan pengalihan perhatian pasien kepada hal lain diluar nyeri sehingga diharapkan dapat menurunkan kewapadaan pasien terhadap nyeri dan meningkatkan toleransi terhadap nyeri Prasetyo, 2010. Hal diantaranya adalah membaca, menonton TV, melakukan latihan fisik. Smeltzer Bare 2002 menyatakan bahwa distraksi tidak akan tercapai pada mereka yang mengalami nyeri hebat, karena pasien tidak dapat berkonsentrasi cukup baik untuk melakukan aktivitas tersebut, hanya pasien yang mengalami nyeri ringan sampai nyeri sedang yang kemungkinan mencapai keberhasilan untuk mengendalikan nyeri yang dirasakan. Distraksi juga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desendens, yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan transmisi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. Universitas Sumatera Utara Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stres, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri Prasetyo, 2010. Teknik tarik nafas dalam merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan pasien kanker ketika sedang merasakan nyeri, manfaat dari teknik ini adalah dapat menurunkan intensitas nyeri Brunner Suddart, 2002. Hal ini didukung oleh pernyataan Intermountain Healthcare 2013 bahwa seseorang jika masih merasakan nyeri ringan dapat melakukan tarik nafas dalam, hal tersebut akan membuat kekuatanmu kembali dengan cepat dan mudah. Otto 2005 menyatakan bahwa efek dari nyeri adalah dapat mempengaruhi pola tidur sehingga akan berpengaruh pada kualitas hidup dan harapan hidup seseorang. Pernyataan ini sejalan dengan Kunderman, et al 2004 bahwa efek dari nyeri yang terjadi karena kanker adalah terjadinya gangguan tidur pada pasien. Fordyce 1976 dalam Putri, 2010 menyatakan bahwa perilaku nyeri yang berbeda dengan keadaan normal meliputi beristirahat dan berbaring secara berlebihan. Gatlin Scholmaister 2007 menyatakan bahwa salah satu terapi komplementer yang sering digunakan dalam penanganan nyeri adalah kompres panas. Penggunaan panas dapat meningkatkan aliran darah yang dapat mempercepat penyembuhan dan penurunan nyeri. Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitifitas reseptor nyeri, agar efektif kompres es diletakkan di area yang terasa nyeri. Hasil penelitian menunjukkan Universitas Sumatera Utara hanya sedikit pasien kanker kronik yang selalu mengompres panas atau dingin bagian tubuh yang terasa nyeri. Dimensi sosial merupakan dimensi pengendalian nyeri pain control yang paling rendah berkontribusi terhadap pengendalian nyeri yang dilakukan oleh responden ketika merasakan nyeri. Dimensi sosial merupakan kemampuan pasien kanker kronik dalam mengendalikan nyeri yang dirasakannya melalui interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Hal yang paling berkontribusi dalam mengendalikan nyeri adalah menyendiri dan berbincang-bincang dengan keluarga ketika merasakan nyeri. Rasa sakit yang diderita akan menggangu aktivitas sehari-hari, tujuan hidup, dan kualitas tidurnya Affleck et al,. dalam Sarafino, 2006. Potter Perry 1993 menyatakan bahwa salah satu respon pasien terhadap nyeri adalah respon perilaku. Respon perilaku secara interaksi sosial, bahwa pasien yang mengalami nyeri kronik menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, hanya berfokus pada aktivitas penurunan nyeri. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa mengunjungi teman, mengikuti komunitas penderita kanker, dan mengikuti kegiatan di sekitar lingkungan rumah adalah kontribusi rendah dalam mengendalikan nyeri. Pasien lebih memilih untuk menyendiri ketika merasakan nyeri yang dirasakannya. Pasien kanker bukan hanya berdampak pada fisiknya tetapi juga pada emosi dan mentalnya yang dapat berpengaruh terhadap hubungannya dengan orang lain seperti hubungan dengan teman, pasangan, dan anggota keluarga Detak, 2007. Nyeri dapat memberikan dampak pada hubungan sosial pasien. Universitas Sumatera Utara Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa dimensi sosial mempunyai nilai mean dan standard deviasi paling rendah sebagai pengendalian nyeri. Pasien kanker memilih berbincang bincang dengan keluarga ketika merasakan nyeri. Hal ini didukung oleh pernyataan Smeltzer Bare 2002 bahwa kunjungan keluarga dan teman-teman sangat efektif dalam meredakan nyeri. Pada saat penelitian, responden mengungkapkan bahwa mereka lebih nyaman dalam mengeluhkan nyeri mereka kepada keluarga terdekat dibandingkan orang lain. Universitas Sumatera Utara

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN