Penggunaan Debt collector Dalam Penyelesaian Kredit Macet Pada Bank Standard Chartered (Analisis Putusan MA Nomor 3192 K/Pdt/2012)

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

SHINTA DWININGTHYAS NIM: 1111048000028

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(Analisis Putusan MA Nomor 3192 K/Pdt/2012)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

SHINTA DWININGTHYAS NIM: 1111048000028

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

i

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh:

Shinta Dwiningthyas NIM: 1111048000028

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. Aliya Sandra Dewi, SH., MKn.

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(4)

ii

PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA BANK STANDARD CHARTERED

(Analisis Putusan MA Nomor 3192 K/Pdt/2012) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 02 April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu Hukum dengan Konsentrasi Hukum Bisnis.

Jakarta, 02 April 2015 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.

NIP. 19691216 199603 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH:

1. Ketua : Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH. (…………...…..….….) NIP. 19551015 197903 1 002

2. Sekertaris : Arip Purkon, MA. (……....…...….…..) NIP. 19790427 200312 1 002

3. Pembimbing 1 : Dra. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. (………...…….) 4. Pembimbing 2 : Aliya Sandra Dewi, SH., MKn. (………..………....) 5. Penguji 1 : Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH. (………..….……...)

NIP. 19551015 197903 1 002

6. Penguji 2 : Arip Purkon, MA. (………..…….…...) NIP. 19790427 200312 1 002


(5)

iii

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 Maret 2015


(6)

iv

CHARTERED (Analisis Putusan MA Nomor 3192 K/Pdt/2012). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 74 halaman + 30 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan terhadap penggunaan debt collector dalam penyelesaian kredit macet yang terjadi di dunia perbankan dan untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi terhadap penggunaan debt collector dalam penyelesaian kredit macet pada dunia perbankan. Latar belakang skripsi ini adalah penagihan kredit macet yang dilakukan oleh jasa pihak ketiga (debt collector) pada pelaksanaannya tidak sesuai dengan peraturan pokok-pokok etika penagihan yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia karena seringkali menimbulkan kerugian bagi konsumen kartu kredit, seperti kasus pada Putusan MA Nomor 3192 K/Pdt/2012 yang merugikan nasabah Bank Standard

Chartered karena jasa pihak ketiga (debt collector) yang dikuasakan oleh pihak bank

tidak bekerja secara profesional dan menggunakan pendekatan intimidasi serta premanisme. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penyelesaian kredit macet diperbolehkan dan pengaturannya terdapat di dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012, Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012, Peraturan Bank Indonesia No. 13/25/PBI/2011, Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014. Dalam Putusan MA Nomor 3192 K/Pdt/2012 Majelis Hakim menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar ganti rugi kepada Termohon Kasasi, putusan tersebut menurut penulis sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini terkait dengan penggunaan jasa penagihan kartu kredit.

Kata Kunci : Debt Collector, Kartu Kredit, Hubungan

Hukum Bank dengan Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector), Putusan Hakim.

Pembimbing : 1. Dra. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. 2. Aliya Sandra Dewi, SH., M.Kn. Daftar Pustaka : Tahun 1984 s.d. Tahun 2015.


(7)

v

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGGUNAAN DEBT COLLECTOR

DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA BANK STANDARD

CHARTERED(Analisis Putusan MA Nomor 3192 K/Pdt/2012)”. Salawat serta salam

senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH. selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purkon, MA selaku sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dra. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. dan Aliya Sandra Dewi, SH., M.Kn. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian


(8)

vi

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis.

5. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda Priyono A.W. dan Ibunda tersayang, Sri Rahayu S.Pd. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi, dukungan, doa, perhatian, ilmu pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala hal yang selalu diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. Begitu pula untuk kakak dan adikku tersayang, Dita Yusuf Pambudi dan Abdul Ajis Adi Putra. Terima kasih atas segala dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang telah kalian berikan. 6. Teman hidup penulis, Waldan Mufathir yang telah membantu, memberi

semangat, arahan, serta menemani penulis setiap waktu baik suka maupun duka. Terima kasih atas perhatian, cinta, kasih sayang, dan waktunya yang diberikan kepada penulis. Semoga Allah senantiasa memberkahi dan meridhai kebersamaan kita.

7. Kak Laras, Kak Mario, Mbak Indri, Kak Rino, Mas Adrian yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan, motivasi, dan pengetahuan yang sudah diberikan kepada penulis. Semoga semua kebaikan yang kalian berikan senantiasa dibalas oleh Allah Swt.


(9)

vii

Novita, Dita, Citra, Clara, Banun, Fitriana, Lidia, Liana, Ayang, teman-teman Hukum Bisnis dan Hukum Kelembagaan Negara yang lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu karena banyak sekali yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis

9. Teman-teman KKN MPR, khususnya Rida Fauzia Qinvi yang banyak memberikan motivasi, dukungan, perhatian, pengalaman hidup untuk saling berbagi disetiap kesempatan waktu.

10.Pihak perpustakaan UI dan UIN Jakarta, terima kasih karena telah menyediakan buku-buku yang lengkap sehingga penulis tidak kebingungan mencari referensi buku yang dibutuhkan.

Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis berdoa semoga Allah Swt memberi balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, Maret 2015 Shinta Dwiningthyas


(10)

viii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... i

LEMBAR PENGESAHAN………... ii

LEMBAR PERNYATAAN………. iii

ABSTRAK………... iv

KATA PENGANTAR………... v

DAFTAR ISI………... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah……….... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu...………. 13

F. Metode Penelitian...………. 15

G. Sistematika Penulisan...………... 19

BAB II KARTU KREDIT DALAM HUKUM PERDATA DI INDONESIA A. Pengertian Kartu Kredit...……….... 21

B. Jenis – Jenis Kartu Kredit... 23

C. Kartu Kredit Dalam KUH Perdata... 26


(11)

ix

A. Bank dan Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector)…... 35

B. Tata Cara Penagihan Oleh Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector)... 37

C. Pengaturan Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector) di Indonesia... 39

D. Bentuk Hubungan Hukum Bank dengan Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector)………...………... 42

E. Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Oleh Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector) ………... 45

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3192 K/Pdt/2012 A. Tentang Bank Standard Chartered...……… 51

B. Posisi Kasus………... 52

1. Sikap Para Pihak…...………... 52

2. Pertimbangan Majelis Hakim…...………... 58

3. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 3192 K/Pdt/2012... 60

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terhadap Penggunaan Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector) Dalam Penagihan Kredit Macet...………... 65

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan………..……... 68


(12)

x


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi di bidang ekonomi telah membawa dampak yang luar biasa dalam bidang hukum bisnis. Salah satu yang paling terkena dampak dari globalisasi tersebut ialah lembaga perbankan. Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan pokoknya menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit.1

Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang ada, bank memiliki berbagai fasilitas-fasilitas yang dapat dinikmati dan digunakan oleh masyarakat luas. Banyaknya fasilitas yang diberikan oleh jasa perbankan dalam menunjang kegiatan usaha bank, ditujukan untuk memikat masyarakat supaya menggunakan fasilitas bank yang dapat memenuhi kebutuhan transaksi pembayaran secara mudah dan cepat. Fasilitas yang dimaksud tersebut adalah kartu kredit.

Fasilitas kartu kredit pada saat ini sudah bukan barang yang asing lagi bagi masyarakat, tetapi menjadi kebutuhan pokok yang tidak dapat dipisahkan

1

Kasmir, Dasar-dasar Perbankan Edisi Revisi 10, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), h. 36.


(14)

dari alat pembayaran sehari-hari. Produsen kartu kredit mencoba memberikan pemahaman bahwa dengan menggunakan kartu kredit semuanya beres. Praktis dan aman penggunaannya. Dalam konteks ini pengguna kartu kredit mengemas dirinya dalam lingkaran kehidupan yang dikendalikan oleh aktivitas hutang. Semakin banyak kartu kredit yang dimilikinya, semakin bebas membelanjakan uangnya. Semakin banyak hutang yang dimiliki, maka mereka dinobatkan sebagai warga masyarakat modern. Lewat tawaran diskon, promosi, dan rayuan dahsyat yang lainnya, para pemilik kartu kredit dikondisikan sedemikian rupa untuk selalu berbelanja, agar para konsumen ini mendapatkan reward point atas objek barang dan jasa yang dibelinya.2

Penggunaan kartu kredit yang tidak bijaksana, maka akan mendatangkan masalah bagi pemiliknya. Permasalahan kartu kredit yang sering terjadi adalah keterlambatan kewajiban pembayaran yang pada akhirnya menimbulkan kemacetan, atau biasa disebut dengan kredit macet.

Kartu kredit yang sudah macet akan menimbulkan masalah baru bagi pemiliknya dan bagi pihak bank yang menerbitkan kartu kredit tersebut. Pada umumnya yang terjadi adalah permasalahan dalam hal penagihan hutang kartu kredit yang macet. Nasabah sering merasa keberatan apabila sudah terjadi jatuh tempo penagihan kartu kreditnya yang macet. Nasabah merasa keberatan apabila dalam proses penagihan kredit macetnya dilakukan dengan

2

Sumbo Tinarbuko, Mendengarkan Dinding Fesbuker, (Yogyakarta : Multicom, 2009), h. 96.


(15)

menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector). Pengguna kartu kredit yang terlilit hutang dalam jumlah yang besar dan tidak mampu melunasi tagihan yang diminta oleh bank harus berurusan dengan debt collector.

Debt collector sebagai pihak yang dikuasakan oleh bank untuk

menagih hutang kartu kredit konsumen pada dasarnya bekerja sesuai dengan target yang diamanatkan oleh bank penerbit kartu kredit kepada badan usaha tersebut. Debt collector disini merupakan badan usaha yang bekerja sama dengan lembaga perbankan jika terjadi masalah penunggakan hutang dalam pelunasan tagihan kartu kredit, yang pada intinya bank tidak ingin adanya wanprestasi dalam perjanjian pemberian kartu kredit.

Tetapi penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) pada dasarnya merupakan pihak yang berpotensi untuk menimbulkan kerugian pada konsumen. Adakalanya pula debt collector tidak bekerja dengan profesional seperti yang diharapkan oleh bank. Terkadang untuk mendapatkan hutang yang ditagihnya mereka melakukan tindakan melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi nasabah yang ditagih hutangnya tersebut.

Pada dasarnya jika mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia SEBI No. 14/17/DASP/2012 penggunaan jasa pihak ketiga ini diperbolehkan, dan keberadaannya telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia, yaitu pengaturan kerjasama dengan pihak lain dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia No. 13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain


(16)

dan Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK).

Dalam hal ini, terdapat sejumlah ketentuan yang dapat dilihat pada Pasal 17B dan Pasal 21 ayat 1 dimana disebutkan bahwa pertama, penerbit kartu yang menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan kartu kredit wajib mematuhi pokok-pokok etika penagihan hutang kartu kredit sesuai dengan ketentuan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bank dalam melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain. Kedua, dalam hal penagihan hutang kartu kredit menggunakan jasa pihak lain, bank penerbit kartu wajib menjamin kualitas pelaksanaan penagihannya sama dengan jika dilakukan sendiri oleh bank penerbit kartu tersebut, dan dapat ditagih hanya untuk hutang kartu kredit dengan kualitas tertentu yaitu jika termasuk ke dalam tingkat kolektibilitas macet.3 Ketiga, dalam perjanjian kerjasama antara penerbit kartu dengan perusahaan penyedia jasa penagihan kartu kredit harus memuat klausul tentang tata cara, pokok-pokok etika penagihan, dan hal-hal yang dilarang dalam melakukan penagihan kartu kredit sebagaimana yang

3

Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK), Pasal 17B.


(17)

telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia SEBI No. 14/17/DASP/2012 yang tercantum pada ketentuan butir VII.D angka 4, serta mencantumkan pula klausul tentang tanggung jawab penerbit kartu terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat kerjasama dengan pihak lain.4

Selain itu di dalam Booklet Perbankan Indonesia (BPI) Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh OJK, diatur pula mengenai Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain pada bagian Prinsip Kehati-hatian Dalam Penyerahan Pekerjaan Penagihan Kredit, yang diantaranya pertama, mengenai cakupan penagihan kredit yang dalam ketentuan ini adalah penagihan kredit secara umum, termasuk penagihan kredit tanpa agunan dan utang kartu kredit. Kedua, mengenai penagihan kredit yang dapat dialihkan penagihannya kepada pihak lain adalah kredit dengan kualitas macet sesuai ketentuan yang berlaku mengenai penilaian kualitas aset bank umum. Ketiga, perjanjian kerjasama antara bank dan PPJ harus dilakukan dalam bentuk perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja, dan yang ke empat, bank wajib memiliki kebijakan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku.5

4

Surat Edaran Bank Indonesia, SEBI No. 14/17/DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, ketentuan butir VII.D angka 4.

5

Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014, Bab VI. Ketentuan-Ketentuan Pokok Perbankan bagian C tentang Ketentuan Kehati-hatian mengenai Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak


(18)

Penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penagihan hutang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen akibat ketidakprofesionalan dalam melaksanakan tugasnya. Seperti kasus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3192 K/Pdt/2012 terkait dengan penagihan hutang kredit macet oleh

Standard Chartered Bank kepada nasabahnya Victoria Silvia Beltiny yang

sudah menunggak pembayaran hutangnya karena mengalami kesulitan keuangan pada saat membayar cicilannya, sehingga pihak bank menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector) untuk menyelesaikan kredit macetnya.

Tetapi pada saat pelaksanaannya, jasa penagih hutang (debt collector) tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum seperti mengintimidasi, melakukan penekanan, pengancaman, dan teror, bahkan sampai kepada pencemaran nama baik si nasabah. Karena tidak tahan dengan kondisi seperti itu yang dilakukan secara terus menerus dan mengganggu kenyamanan Victoria, maka nasabah Standard Chartered Bank tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang pada akhirnya gugatan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tetapi pihak bank disini masih tidak terima dengan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tingkat Pertama maupun Pengadilan Tingkat Tinggi, sehingga pihak Standard Chartered Bank mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung yang pada putusan akhirnya menetapkan bahwa pihak

Lain pada bagian Prinsip Kehati-hatian Dalam Penyerahan Pekerjaan Penagihan Kredit, (Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan, 2014), h. 140-142.


(19)

bank bersalah karena melakukan penagihan kredit dengan cara yang tidak profesional dengan menggunakan pendekatan intimidasi dan premanisme dari pada pendekatan yang lain.6

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Penggunaan Debt Collector Dalam Penyelesaian Kredit Macet Pada Bank Standard Chartered (Analisis Putusan MA Nomor 3192 K/Pdt/2012)”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan mengenai permasalahan kredit di dunia Perbankan Indonesia, maka ruang lingkup permasalahan penulis batasi hanya dilihat dari penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penyelesaian kredit macet yang terjadi pada kasus Bank Standard

Chartered yang ditinjau dari segi yuridis, yaitu berdasarkan ketentuan

Peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini.

2. Rumusan Masalah

6

Kompas.com, “Teror Nasabah lewat Debt collector, Stanchart Dihukum Rp 1 Miliar”, artikel diakses pada tanggal 22 Januari 2015 dari

bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/08/14/194407226/Teror.Nasabah.lewat.Debt.Collect or. Stanchart.Dihukum.Rp.1.Miliar.


(20)

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaturan terhadap penggunaan jasa pihak ketiga

(debt collector) dalam penyelesaian kredit macet?

b. Faktor apa saja yang mempengaruhi terhadap penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penagihan kredit macet?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian memerlukan suatu penelitian yang dapat memberikan arah pada penelitian yang dilakukan. Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan diatas, maka disusun tujuan penelitian sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan terhadap penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penyelesaian kredit macet.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penagihan kredit macet.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan terkait dengan nilai guna dari penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu:


(21)

Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoritis berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum perbankan mengenai penyelesaian kredit macet dan aspek-aspek hukumnya yang berkaitan dengan kebijakan penyelesaian kredit macet dengan menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector).

b. Manfaat Praktis

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat membantu jika suatu saat dihadapkan pada kasus serupa yang berkaitan dengan penyelesaian kredit macet dengan menggunakan jasa pihak ketiga

(debt collector), sehingga dapat dimengerti mengenai

pengaturan-pengaturan yang terdapat didalamnya dan menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere, yang berarti percaya atau credo atau creditum yang berarti saya percaya.7 Sedangkan Subarjo Joyosumarto merumuskan kredit macet sebagai berikut:

a. Kredit yang angsuran pokok dan bunganya tidak dapat dilunasi selama lebih dari 2 masa angsuran ditambah 21 bulan.

7

Johannes Ibrahim, Kartu Kredit – Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, (Bandung : PT Refika Aditama, 2004), h. 7.


(22)

b. Penyelesaiannya telah diserahkan kepada pengadilan/BUPLN. c. Penyelesaiannya telah diajukan ganti kerugian kepada perusahaan

asuransi kredit.8

Kredit macet selalu dilihat dan diukur dari kolektibilitas kredit yang bersangkutan. Kolektibilitas adalah keadaan pembayaran pokok (angsuran pokok) dan bunga kredit oleh nasabah (debitur) serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana tersebut. Kolektibilitas kredit diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum pada Pasal 12 ayat 3.

Secara hukum, penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) untuk menyelesaikan kredit macet didalam perbankan diperbolehkan, dan keberadaannya telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia SEBI No. 14/17/DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) ketentuan butir VII.D angka 4, Peraturan Bank Indonesia No. 13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain pada Bab II tentang Alih Daya

(outsourcing), Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tentang

Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) pada Pasal 17B dan Pasal 21 ayat 1, dan Booklet Perbankan Indonesia (BPI) Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh OJK, mengenai Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan

8

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia Cet. Keempat Revisi, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti), 2010, h. 321.


(23)

Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain pada bagian Prinsip Kehati-hatian Dalam Penyerahan Pekerjaan Penagihan Kredit.9

2. Kerangka Konseptual

Untuk memberikan arah atau pedoman yang jelas dalam penelitian ini, maka perlu memahami definisi-definisi berikut:

a. Pemilik kartu kredit adalah pihak yang menggunakan kartu kredit untuk transaksi pembelian barang atau jasa.10

b. Penerbit kartu kredit adalah lembaga keuangan baik bank maupun nonbank yang mengeluarkan kartu kredit untuk kebutuhan transaksi pembelian barang bagi pemilik kartu kredit.11

c. Kartu kredit adalah alat pembayaran berbentuk kartu dan berfungsi sebagai pengganti uang tunai, dan kartu ini digunakan sebagai alat pembayaran atas transaksi pembelian barang dan jasa. Pembayaran atas transaksi pembelian tersebut dilakukan setelah adanya tagihan

9

Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014, Bab VI. Ketentuan-Ketentuan Pokok Perbankan bagian C tentang Ketentuan Kehati-hatian mengenai Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain pada bagian Prinsip Kehati-hatian Dalam Penyerahan Pekerjaan Penagihan Kredit, (Jakarta : Otoritas Jasa Keuangan, 2014), h. 140-142.

10

Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, (Jakarta : PT INDEKS Kelompok Gramedia, 2006), h. 105.

11

Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, h. 105.


(24)

dari penerbit kartu kredit, dan pembayaran dilaksanakan melalui bank penerbit kartu.12

d. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank.

e. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

f. Kredit macet adalah suatu keadaan dimana seorang nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya.13

g. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.14

h. Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

12

Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, h. 104.

13

Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Cet. Kedua Edisi Revisi, (Jakarta : Djambatan, 1996), h. 131.

14


(25)

i. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

j. Debt Collector adalah orang atau sekumpulan orang sebagai pihak

ketiga yang dimintai jasanya oleh perbankan dan lembaga keuangan untuk menagih hutang atau kredit yang bermasalah dari nasabahnya. Penggunaan jasa penagih hutang ini sudah sangat lazim, bahkan bisa dikatakan menjadi bagian tak terpisahkan dari industri perbankan dan lembaga keuangan.15

E. Tinjauan Review Studi Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Siska Hidayatur Rohma, dkk dari

Universitas Jember, tahun 2013, yang berjudul “Kajian Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Penagih Hutang Kartu Kredit.” Penelitian tersebut

menjelaskan tentang analisis akibat hukum apabila penagih hutang kartu

15

Moch. Arif Budiman, “Debt collector, Budaya Berutang dan Bahaya Riba: Zona Ekonomi Islam”, artikel diakses pada tanggal 8 Novenmber 2014 dari


(26)

kredit melakukan perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.

Skripsi yang disusun oleh Jerika L. Silalahi dari Universitas Indonesia,

tahun 2012, yang berjudul “Tanggung Gugat Bank Atas Perbuatan Melawan

Hukum Yang Dilakukan Oleh Debt Collector Dalam Penagihan Tunggakan

Kartu Kredit.” Penelitian tersebut menjelaskan mengenai perbuatan melawan

hukum yang dilakukan debt collector dan tanggung gugat bank atas perbuatan melawan hukum tersebut.

Buku yang berjudul “Panduan Bantuan Hukum di Indonesia:

Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum”, diterbitkan

oleh kerjasama YLBHI dan PSHK, Jakarta, tahun 2007. Buku ini hanya menguraikan definisi dan teori-teori penyelesaian kredit bermasalah dalam perbankan, buku tersebut juga menjelaskan upaya penyelesaian kredit macet dengan menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector) melalui perlindungan konsumen, yang secara tidak langsung berhubungan dengan pembahasan skripsi penulis, tetapi dalam buku tersebut tidak membahas mengenai peraturan penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector).

Sebagai perbandingan sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis menguraikan perihal analisis putusan yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Agung terkait dengan penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penyelesaian kredit macet, serta apa saja faktor yang mempengaruhi terhadap


(27)

penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penagihan kredit macet. Pada kenyataannya tindakan yang dilakukan oleh jasa penagih hutang tidak sesuai dengan aturan pokok-pokok etika yang sudah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Jadi terdapat perbedaan pembahasan dan masalah yang diangkat penulis dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya.

F. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang ditinjau melalui aspek hukum, peraturan-peraturan yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau praktek yang terjadi di lapangan. Penulis juga mencari fakta-fakta yang akurat tentang peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

Sedangkan bila dilihat dari sifatnya adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau


(28)

kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala,16 yang dalam hal ini yaitu memberikan data mengenai pengaturan penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penyelesaian kredit macet.

2. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen atau kepustakaan (library

research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai

sumber bacaan seperti buku-buku, peraturan-peraturan terkait penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector), putusan MA yang sudah ditetapkan oleh majelis hakim, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus, dan juga berita dari internet.

3. Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus.

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)

Terkait dengan peraturan-peraturan yang terkait dengan pembahasan, seperti Peraturan Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014, Undang-Undang Perbankan terbaru, KUH Perdata.

16

Sri Mamuji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 4.


(29)

b. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Kasus yang sudah diputus oleh Mahkamah Agung Nomor 3192 K/Pdt/2012 terkait dengan penagihan hutang kartu kredit yang menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector) oleh Standard

Chartered Bank kepada nasabahnya Victoria Silvia Beltiny.

4. Data dan Sumber Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data sekunder dan data tersier. Data primer merupakan data aktual yang di dapat dari penelitian lapangan dengan berkomunikasi pada anggota masyarakat dilokasi tempat penelitian dilakukan. Termasuk didalamnya yaitu perundang-undangan, putusan-putusan hakim, buku-buku atau dokumentasi yang diperoleh peneliti dilapangan, walaupun sifatnya merupakan data sekunder.

Data sekunder adalah data-data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan atau milik pribadi peneliti.17 Data sekunder antara lain

17

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat Cet.3, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), h. 1.


(30)

mencakup dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.18

Data tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas data primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia, kamus, website, atau sumber yang lain yang mencakup pada pokok permasalahan materi.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis data kualitatif. Metode analisis kualitatif adalah bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintetiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Sehingga dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.

6. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku

Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

18

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2005), h. 12.


(31)

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun menjadi lima bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan kesimpulan serta saran-saran yang dianggap perlu. Adapun penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I. Pendahuluan. Bab ini berisi mengenai latar belakang masalah yang akan menjelaskan alasan pemilihan judul penulisan hukum. Bab ini juga memaparkan identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah yang akan diteliti, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, tinjauan (review) studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II. Kartu Kredit Dalam Hukum Perdata di Indonesia. Dalam bab ini akan membahas mengenai pengertian kartu kredit, jenis-jenis kartu kredit, kartu kredit dalam KUH Perdata, dan risiko-risiko kerugian dalam penggunaan kartu kredit.

Bab III. Hubungan Hukum Antara Bank Dengan Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector). Dalam bab ini akan diuraikan mengenai bank dan jasa pihak ketiga (debt collector), tata cara penagihan oleh jasa pihak ketiga (debt

collector), pengaturan jasa pihak ketiga (debt collector) di Indonesia, bentuk

hubungan hukum bank dengan jasa pihak ketiga (debt collector), perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh jasa pihak ketiga (debt collector).


(32)

Bab IV. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 3192 K/Pdt/2012.

Dalam bab ini berisi pembahasan dan analisa data yang berusaha dikumpulkan untuk mengkaji secara ilmiah terhadap data yang telah dikumpul selama penelitian dilakukan, di mana pada bab ini ditelaah dan dianalisa mengenai posisi kasus Standard Chartered Bank dengan Victoria, analisis putusan Mahkamah Agung, dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penagihan kredit macet.

Bab V. Penutup. Dalam bab ini berisi mengenai kesimpulan yang dapat ditarik yang mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan dan saran-saran yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian dan pengulasannya dalam skripsi.


(33)

21

BAB II

KARTU KREDIT DALAM HUKUM PERDATA DI INDONESIA

A. Pengertian Kartu Kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere, yang berarti percaya atau credo atau creditum yang berarti saya percaya.1 Sedangkan pengertian kartu kredit (credit card) adalah kartu plastik yang digunakan sebagai alat pembayaran pengganti uang tunai atas transaksi pembelian barang dan jasa, dimana dalam pembayarannya tersebut dilakukan melalui bank penerbit kartu atau bank yang menjalin kerjasama dengan penerbit kartu.2

Kartu kredit (credit card) diterbitkan oleh bank atau lembaga pengelola kartu kredit untuk kepentingan nasabahnya, dan dapat digunakan oleh pemegangnya sebagai alat pembayaran yang sah secara kredit.3 Pedagang

(merchant) menerima pembayaran dengan kartu kredit, kemudian ia menagih

pembayarannya kepada bank atau pengelola kartu kredit tersebut. Selanjutnya bank atau lembaga pengelola kartu kredit tersebut akan menagih pembayaran

1

Johannes Ibrahim, Kartu Kredit – Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan,

(Bandung : PT Refika Aditama, 2004), h. 7.

2

Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank,

(Jakarta : PT INDEKS Kelompok Gramedia, 2006), h. 104.

3

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2011), h.


(34)

dari pemegang kartu kredit atau mendebet secara langsung dari rekening nasabah yang bersangkutan.

Selain itu kartu kredit juga dapat diartikan sebagai uang plastik yang diterbitkan oleh suatu institusi yang memungkinkan pemegang kartu untuk memperoleh kredit atas transaksi yang dilakukannya dan pembayarannya dapat dilakukan secara angsuran dengan membayar sejumlah bunga (finance

charge) atau sekaligus pada waktu yang ditentukan.4

Sedangkan pengertian kartu kredit menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, adalah:

“Kartu Kredit adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh

acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan

pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan pembayaran secara angsuran”.5

Berdasarkan definisi di atas jelas bahwa kartu kredit hanya sebagai alat pembayaran. Kartu kredit adalah alat pembayaran pengganti uang tunai atau cek.6 Sedangkan hutang kartu kredit terbentuk karena acquirer atau bank

4

Johannes Ibrahim, Kartu Kredit – Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan,

(Bandung : PT Refika Aditama, 2004), h. 11.

5

Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, Pasal 1 angka 4.

6

Thomas Suyatno, Djuhaepah, Marala, et.al. Kelembagaan Perbankan, (Jakarta :


(35)

penerbit menalangi kewajiban cardholder kepada merchant atas transaksi

retail atau kepada bank atas transaksi penarikan tunai. Timbulnya hutang

inilah yang menjadi bisnis bagi penerbit kartu kredit karena menghasilkan pendapatan bunga atau fee based income. Potensi dari pendapatan inilah yang mendorong banyak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk terjun ke dalam bisnis kartu kredit.

B. Jenis - Jenis Kartu Kredit

Dalam menggunakan kartu kredit, kebebasan atas transaksi yang dilakukan oleh nasabah dibatasi dari jenis kartu kredit yang dimiliki nasabah. Setiap jenis kartu kredit memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Oleh karena itu, nasabah harus pandai dalam memilih kartu kredit yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya dengan memperhatikan jenis-jenis kartu kredit yang ada.7

Adapun jenis-jenis kartu kredit dapat digolongkan berdasarkan fungsi dan wilayah berlakunya, antara lain yaitu:8

1. Berdasarkan Fungsinya

a. Charge Card

Merupakan kartu kredit di mana pemegang kartu harus melunasi semua tagihan yang terjadi atas transaksinya sekaligus pada saat

7

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), h. 174.

8


(36)

jatuh tempo. Contohnya seperti seorang nasabah melakukan transaksi sebesar Rp. 100.000,-, maka pada saat sebelum jatuh tempo seluruh tagihannya harus dibayar sekaligus Rp. 100.000,- dan tidak dapat dicicil.

b. Credit Card

Merupakan kartu kredit di mana pemegang kartu dapat melunasi penagihan yang terjadi atas dirinya secara cicilan (angsuran) pada saat jatuh tempo. Sama seperti kasus Charge card, hanya bedanya dalam hal ini dapat dicicil sesuai kemampuan nasabah dan biasanya diatas minimal yang telah ditetapkan, misalnya 10% dari nilai transaksi atau lebih besar dari Rp. 50.000,-.

c. Debet Card

Merupakan kartu kredit yang pembayaran atas penagihan nasabah melalui pendebitan rekening nasabah yang ada di bank pada saat membuka kartu kredit. Dengan pendebitan tersebut maka otomatis rekening nasabah akan berkurang sejumlah transaksi yang dilakukan dengan kartu kreditnya.

d. Cash Card

Merupakan kartu yang berfungsi sebagai alat penarikan tunai pada ATM (Automated Teller Machine) ataupun langsung pada


(37)

teller atau kasir bank. Namun pembayaran cash ini tidak dapat dilakukan di luar kedua lembaga yang disebutkan di atas.9

e. Check Guarantee

Merupakan kartu yang digunakan sebagai jaminan dalam penarikan cek dan dapat pula digunakan untuk menarik uang tunai.

f. Smart Card

Merupakan kartu yang berfungsi sebagai rekening terpadu, kartu ini dapat dihubungkan dengan rekening pribadi dan dapat menyimpan serta memperbarui data dalam microchip, sehingga pemegang kartu dapat mengetahui keadaan semua rekeningnya.10

g. Private Label Card

Merupakan kartu yang bukan diterbitkan oleh bank, melainkan oleh suatu badan usaha seperti supermarket, hotel, dan perusahaan lainnya. Pemakaian kartu ini hanya terbatas pada perusahaan yang mengeluarkannya.11

2. Berdasarkan Wilayah Berlakunya

a. Kartu Kredit Nasional

9

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, h. 174-175.

10

Johannes Ibrahim, Kartu Kredit – Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan,

(Bandung : PT. Refika Aditama, 2004), h. 15.

11


(38)

Merupakan kartu kredit yang hanya dilakukan dalam suatu wilayah tertentu. Misalnya hanya berlaku di satu negara saja.

b. Kartu Kredit Internasional

Merupakan kartu kredit yang dapat digunakan di berbagai negara, tergantung dari bank yang mengeluarkannya. Contohnya seperti Visa Card, Master Card, Dinner Card atau American Card.

C. Kartu Kredit Dalam KUH Perdata

Penerbitan kartu kredit antara pihak bank dengan nasabah tidak terlepas dari perikatan yang dibuat antara kedua belah pihak, yaitu bersumber dari perjanjian.

Perjanjian dalam KUH Perdata diatur pada Buku Ketiga tentang Perikatan. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan suatu perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.12

Sedangkan menurut Subekti, suatu perjanjian adalah “suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu

saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.13

Dengan demikian, unsur-unsur dari suatu perjanjian atau kontrak ialah adanya para pihak, terdapat pokok yang disetujui, terdapat pertimbangan

12

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

13


(39)

hukum, adanya perjanjian timbal balik, serta terdapat hak dan kewajiban timbal balik.

Penerbitan kartu kredit merupakan salah satu perjanjian yang lahir untuk memenuhi tuntutan masyarakat dalam sistem pembayaran melalui lembaga keuangan secara efisien. Sebagai suatu perjanjian, penerbitan kartu kredit harus memenuhi unsur-unsur perjanjian yang harus diperhatikan seperti unsur essensialia, unsur naturalia dan unsur accidentalia.

Pertama, unsur essensialia adalah unsur mutlak yang harus selalu ada di dalam suatu perjanjian dan tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada. Unsur essensialia terdiri dari:

1. Kata sepakat dari para pihak yang melakukan perjanjian. Hal ini didasari pada pernyataan kehendak dari para pihak.

2. Ada dua pihak atau lebih yang berdiri sendiri.

3. Kata sepakat yang tercapai antara para pihak tersebut tergantung satu dengan lainnya.

4. Para pihak menghendaki agar perjanjian itu mempunyai akibat hukum.

5. Akibat hukum tersebut adalah untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain, atau timbal balik yaitu untuk kepentingan dan beban kedua belah pihak.

6. Memperhatikan kententuan undang-undang yang berlaku, khususnya bagi perjanjian formil, di mana diharuskan adanya suatu bentuk tertentu.14

Kedua, unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-undang telah diatur, seperti contohnya jaminan keamanan, kenyamanan, serta tidak adanya penipuan dari penjual kepada pembeli dalam perjanjian jual beli.

14

Herlien Budiono, Diktat Kuliah Kapita Selekta Hukum Bisnis, (Bandung :


(40)

Ketiga, unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang secara khusus diperjanjikan oleh para pihak, di mana undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut.

Apabila salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi, maka tidak ada perjanjian, yang berarti tidak mempunyai akibat hukum bagi para pihak. Setelah mengetahui adanya suatu perjanjian, maka selanjutnya melihat syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang harus dipenuhi oleh para pihak. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya.

Syarat pertama adalah “sepakat”. Para pihak dalam transaksi kartu

kredit terdiri atas card center dari Bank dan cardholder atau pemegang kartu. Yang dimaksud dengan card center dari Bank adalah suatu bagian dalam struktur organisasi Bank yang bertindak untuk dan atas nama Bank dalam hal pelayanan kartu kredit. Sedangkan yang dimaksud dengan

cardholder atau pemegang kartu adalah seseorang yang namanya

tercantum pada kartu dan yang berhak menggunakan kartu tersebut, yang terdiri atas pemegang kartu utama dan pemegang kartu tambahan. Pemegang kartu utama adalah orang yang menerima kartu utama dan bertanggung jawab untuk seluruh pembayaran atas transaksi-transaksi yang dilakukan dengan kartu utama maupun kartu tambahan. Pemegang kartu tambahan adalah orang yang menerima kartu tambahan berdasarkan ijin


(41)

yang diberikan oleh pemegang kartu utama serta mendapat persetujuan dari Bank.15

Kesepakatan dalam penerbitan kartu kredit dilakukan oleh pemohon baik untuk pemegang kartu utama dan kartu tambahan dengan mengisi dan menandatangani aplikasi atau permohonan penerbitan kartu di Bank yang bersangkutan. Setelah melengkapi persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak Bank, maka pihak Bank akan memproses aplikasi tersebut. Bank akan melakukan analisis kelayakan dari aplikasi pemohon. Apabila permohonan dinilai layak, Bank akan menerbitkan kartu kredit dan mempersiapkan perjanjian dan ketentuan pemegang kartu kredit. Pemberitahuan pihak Bank yang diterima oleh pemohon merupakan kesepakatan yang terjadi antara kedua belah pihak.

2. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan.

Syarat kedua adalah “kecakapan”. Unsur kecakapan dalam penerbitan

kartu kredit seperti halnya dalam perjanjian pada umumnya. Pada asasnya, setiap orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata dapat dijelaskan secara lebih lanjut mengenai pengaturan usia dewasa dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang berbunyi:

“Tak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah: a. Orang-orang yang belum dewasa;

15

Johannes Ibrahim, Kartu Kredit – Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan,


(42)

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

persetujuan-persetujuan tertentu.”

Dapat disimpulkan bahwa dewasa dalam hal ini adalah mereka yang telah berumur 21 tahun, telah menikah (termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun, tetapi sudah menikah), tidak ditaruh di bawah pengampuan.16

3. Suatu Hal Tertentu.

Syarat ketiga adalah “suatu hal tertentu”. Suatu hal tertentu dapat mengacu pada Pasal 1132, Pasal 1333, Pasal 1334 KUH Perdata yang pada intinya adalah objek perjanjian harus berupa suatu hal atau suatu barang atau benda yang dapat ditentukan jenisnya.

Di mana jika dikaitkan dalam kartu kredit, objek dari penerbitan kartu

kredit tersebut tidak dikategorikan sebagai barang tetapi “suatu hal” yaitu

berupa jasa. Dalam konteks penerbitan kartu kredit adalah fasilitas kredit berupa pinjaman yang diberikan kepada pemegang kartu yang merupakan gabungan antara kartu utama dan kartu tambahan. Fasilitas pinjaman ini diberikan batas kredit atau dikenal dengan sebutan plafond (pagu kredit), artinya limit yang boleh digunakan oleh pemegang kartu, penarikan yang melebihi batas kredit harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak Bank. Jika pemegang kartu menggunakan kartu melebihi batas kredit

16


(43)

yang diberikan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Bank, maka pemegang kartu harus segera melunasi kelebihan tersebut, dan atas kelebihan jumlah pemakaian tersebut akan dikenakan denda yang besarnya ditetapkan oleh Bank. Bank berhak merubah besarnya batas kredit tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemegang kartu.17

4. Suatu Sebab yang Halal.

Syarat keempat adalah “suatu sebab yang halal”.18Perkataan “sebab”19 merupakan padanan kata dari bahasa Belanda “oorzaak” dan bahasa latin

causa” dalam perjanjian penerbitan kartu kredit tentunya tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik dan ketertiban umum.

Penjelasan lebih lanjut mengenai suatu sebab yang halal, dapat dilihat dalam Pasal 1335, Pasal 1336, Pasal 1337 KUH Perdata. Berdasarkan persyaratan keempat dapat disimpulkan bahwa penerbitan kartu kredit harus ada tujuan dari perjanjian tersebut, yaitu sebagai alat pengganti dalam lalu lintas pembayaran sebagai uang giral dan menciptakan efisiensi dalam transaksi barang dan jasa.

17

Johannes Ibrahim, Kartu Kredit – Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, h.

47-48.

18

Johannes Ibrahim, Kartu Kredit – Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, h.

48-49.

19

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur


(44)

D. Risiko – Risiko Kartu Kredit

Bagi nasabah yang memiliki kartu kredit, tidak dipungkiri terdapat beberapa risiko-risiko kerugian yang dapat dialaminya pada saat menggunakan kartu kredit tersebut. Sebagaimana ada keuntungan dari pemakaian pasti ada pula kerugian dari suatu pemakaian kartu kredit. Risiko-risiko kerugian yang dapat dialami oleh nasabah yaitu seperti:20

1. Apabila terjadi kredit macet.

a. Nasabah akan berhadapan dengan debt collector.

Debt collector biasanya merupakan orang-orang yang

menyeramkan dan menakutkan. Bicaranya keras, kasar, dan tidak enak didengar. Penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) merupakan usaha bank untuk mengembalikan dana.21

b. Namanya akan terdaftar dalam daftar negatif yang dikeluarkan oleh Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) dan kredit macet dalam Sistem Informasi Debitur yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Guna mencegah dan menurunkan jumlah kartu kredit macet, Asosiasi Kartu Kredit Indonesia mengelola sebuah sistem informasi untuk menyimpan profile-profile para debitur macet. Melalui sistem ini, sebelum menindaklanjuti permohonan calon debitur

20

Pulo Siregar, Risiko Kartu Kredit: Solusi, BI Checking dan Media Perbankan,

(Jakarta : Papas Sinar Sinanti, 2010), h. 10-19.

21

Pulo Siregar, Risiko Kartu Kredit: Solusi, BI Checking dan Media Perbankan, h.


(45)

masing anggota akan terlebih dahulu mengecek profile dalam sistem informasi daftar negatif AKKI tersebut dengan maksud apabila nasabah termasuk dalam daftar, maka permohonan kartu kreditnya akan ditolak. Penerbit kartu kredit memiliki dua sistem informasi untuk mengecek profile calon nasabahnya, yaitu sistem informasi daftar negatif yang dikelola AKKI dan Sistem Informasi Debitur yang dikelola Bank Indonesia.

c. Saldo hutang akan bertambah terus, dari hasil perhitungan bunga-berbunga berikut denda.

2. Kemungkinan adanya trik-trik perampokan secara halus.

Modus operandi untuk tujuan tersebut dapat dilihat dari cara-cara penerbit kartu kredit mempersulit nasabah yang ingin menghentikan kartu kredit. Sangat sering nasabah merasa kesulitan untuk menutup rekening khususnya bagi mereka yang tidak ingin memperpanjang.

3. Data pribadi dapat beredar ke pihak lain.

Data pribadi nasabah yang seharusnya dijaga dengan baik dapat beredar ke pihak lain untuk menjadi target pasar pihak lain.

4. Iming-iming yang tidak sesuai dengan realisasi.

Untuk mengoptimalkan program, penerbit kartu kredit sering menjanjikan suatu iming-iming. Baik berupa hadiah, fasilitas, voucher, diskon atau yang lainnya. Namun tak jarang iming-iming tersebut tidak sesuai dengan yang dijanjikan.


(46)

5. Laporan kehilangan tidak segera di respons.

Dalam merespons laporan kehilangan kartu kredit oleh nasabahnya, penerbit kartu kredit terkadang tidak cepat tanggap sehingga membuat kartu kredit yang hilang sempat untuk dibobol.

6. Promo yang menjebak.

Promosi yang dilakukan penerbit kartu kredit terkadang terkesan menjebak.


(47)

35

BAB III

HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK DENGAN JASA PIHAK KETIGA (DEBT COLLECTOR)

A. Bank dan Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector)

Secara etimologi bank berasal dari bahasa Italia yaitu banca yang berarti

bence yaitu suatu bangku tempat duduk. Sebab pada zaman pertengahan, pihak

bankir Italia yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut

dengan duduk di bangku-bangku di halaman pasar.1

Namun seiring berjalannya waktu, pengertian bank meluas menjadi suatu bentuk pranata sosial yang bersifat finansial, yang melakukan kegiatan keuangan dan melaksanakan jasa-jasa keuangan. Pengertian mengenai perbankan ini juga diatur secara jelas di dalam peraturan perundang-undangan, seperti dalam Booklet

Perbankan Indonesia Tahun 2014 pada Bab II tentang Perbankan, bahwa definisi Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.2

1

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, cet.1, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,

2003), h. 13.

2

Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014, Bab II tentang Perbankan dalam Definisi Bank, (Jakarta : Otoritas Jasa Keuangan, 2014), h. 9.


(48)

Sistem perbankan Indonesia adalah sebuah tata cara, aturan-aturan dan pola bagaimana sebuah sektor perbankan (dalam hal ini bank-bank yang ada) menjalankan usahanya sesuai dengan ketentuan (sistem) yang dibuat oleh pemerintah.3 Sistem perbankan di Indonesia dibangun dengan konsep yang dilandaskan pada sistem perekonomian yang ada. Indonesia menetapkan sistem perekonomiannya sebagai sistem ekonomi yang demokratis sesuai dengan landasan negara yaitu Pancasila.

Hal ini diatur dalam Undang-Undang Tentang Perbankan Indonesia, pada

Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014 dalam Bab II tentang Perbankan, yang

berbunyi “Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan

demokrasi ekonomi dan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Demokrasi

ekonomi yang dimaksud adalah demokrasi ekonomi berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

Jasa pihak ketiga (Debt Collector) atau penagih hutang mempunyai definisi yang dicoba untuk dibuat oleh banyak orang. Dalam majalah Jet dimuat:

“If you use credits card, owe money on a personal loan, or are paying on a home mortgage, you are a “debtor”, and the people who call when your payments are late (or if an error is made on your account) are called “debt collectors”.4

Yang artinya adalah:

3

Dahlan Siamat, Prita Nurmalia, dan Fitri Agustin, Manajemen Lembaga Keuangan,

(Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005), h. 67.

4


(49)

“Jika anda memiliki kartu kredit, pinjaman uang, atau pinjaman pribadi,

atau pembayaran cicilan rumah, anda adalah seorang debitur, dan pihak yang menagih jika anda terlambat membayar adalah debt collector (penagih

hutang).”

Dalam dunia perbankan, jasa pihak ketiga (debt collector) mempunyai tugas untuk menagih tagihan kartu kredit nasabah bank yang sudah jatuh tempo. Dari sudut psikologi kartu kredit memfasilitasi pengeluaran. Bila orang membayar dengan kartu kredit mereka cenderung membelanjakan lebih. Ini sebagian dari akibat mudahnya menggunakan kartu kredit dibandingkan dengan metode pembayaran lainnya. Faktor lainnya adalah tidak akuratnya pengeluaran dan kemampuan membayar di masa depan dari mereka yang mempunyai kartu kredit. Praktek perusahaan kartu kredit juga menambah besarnya hutang kartu kredit.5 Karena besarnya hutang kartu kredit yang dimiliki konsumen maka bank menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector) untuk menagih hutang-hutang nasabah tersebut.

B. Tata Cara Penagihan Oleh Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector)

Di dalam tata cara penagihan oleh jasa pihak ketiga (debt collector) terdapat beberapa tahapan dimana debt collector dapat melakukan penagihan kredit kepada nasabah yang mengalami tunggakan hutang, yaitu:6

1. Desk Collector

5

Jeffrey Kimball Paulsen, “Credit Card Disclosures and The Elderly: Will The Proposed

Amendments to Regulation Z Help the Elderly Understand Credit Card Documents?”, Elder Law Jurnal, 2009, h. 129.

6

Purbantoro, “Debt collector”, artikel diakses pada tanggal 25 Januari 2015 dari http://purbantoro.wordpress.com/2008/11/13/debt collector/.


(50)

Tahapan ini merupakan awal mula debt collector menagih kredit terhadap nasabahnya dengan cara mengingatkan tanggal jatuh tempo dari cicilan hutang nasabah yang dilakukan melalui telepon. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan nasabah atas kewajibannya dalam membayar cicilan hutang kepada bank.

2. Debt Collector

Dalam tahapan ini, debt collector mulai mendatangi nasabah yang bertujuan untuk mengetahui kondisi dan situasi keuangan nasabah. Di mana dalam hal ini debt collector memberikan penjelasan secara persuasif mengenai kewajiban nasabah untuk membayar angsuran atas tunggakan hutangnya, menjelaskan kepada nasabah akibat-akibat yang akan timbul jika tunggakan hutangnya masih belum dibayarkan, dan juga memberikan kesempatan atau tenggang waktu bagi nasabah untuk dapat membayar angsurannya yang tidak lebih dari tujuh hari kerja.

3. Collector Remedial

Pada tahapan terakhir ini, biasanya debt collector melakukan penagihan hutang dengan cara mengambil barang jaminan milik nasabah (bila kredit yang disepakati memiliki jaminan). Cara-cara yang dilakukan oleh debt

collector disini, tergantung dari itikad baik atau tanggapan nasabah dalam

memenuhi kewajiban pelunasan hutangnya seperti menyerahkan jaminan kreditnya dengan kesadaran nasabah sendiri.


(51)

Tetapi dalam hal ini biasanya nasabah sering menolak untuk memberikan jaminan kreditnya, sehingga debt collector dalam melakukan kewajibannya menggunakan cara kekerasan seperti membentak, merampas, mengintimidasi, bahkan sampai kepada pencemaran nama baik nasabah. Padahal secara hukum sudah diatur mengenai pokok-pokok etika penagihan yang harus dipatuhi oleh jasa penagih (debt collector) dalam melakukan penyelesaian kredit macet.

C. Pengaturan Jasa Pihak Ketiga (Debt Collector) di Indonesia

Pada dasarnya jika mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia penggunaan jasa pihak ketiga ini diperbolehkan, hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Namun untuk melakukan hal ini, terdapat sejumlah ketentuan yang dapat dilihat pada Ketentuan butir VII.D angka 4 Surat Edaran tersebut, yang menyebutkan bahwa dalam bekerja sama dengan perusahaan penyedia jasa penagihan Kartu Kredit, Penerbit APMK wajib memperhatikan dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. Penagihan Kartu Kredit dengan menggunakan perusahaan penyedia jasa penagihan hanya dapat dilakukan terhadap tagihan Kartu Kredit yang telah macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas kredit;

2. Kualitas pelaksanaan penagihan Kartu Kredit oleh perusahaan penyedia jasa penagihan harus sama dengan pelaksanaan penagihan Kartu Kredit yang dilakukan sendiri oleh Penerbit Kartu Kredit;


(52)

3. Tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait dengan tugas penagihan dan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku;

4. Identitas setiap tenaga penagihan ditatausahakan dengan baik oleh Penerbit Kartu Kredit;

5. Tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok-pokok etika penagihan sebagai berikut:

a. menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan Penerbit Kartu Kredit, yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan; b. penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman,

kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan Pemegang Kartu Kredit;

c. penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal;

d. penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain Pemegang Kartu Kredit;

e. penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu;

f. penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili Pemegang Kartu Kredit;

g. penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu alamat Pemegang Kartu Kredit; dan h. penagihan di luar tempat dan/atau waktu sebagaimana dimaksud

pada huruf f) dan huruf g) hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan Pemegang Kartu Kredit terlebih dahulu.

Selain itu, Penerbit Kartu Kredit juga harus memastikan bahwa perusahaan jasa penagihan juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan oleh asosiasi penyelenggara APMK.7

Di dalam Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 pada Pasal 17B dan Pasal 21 ayat 1 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan

7

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, Ketentuan butir VII.D angka 4.


(53)

Menggunakan Kartu, juga dijelaskan mengenai pengaturan mengenai penggunaan jasa pihak ketiga untuk penagihan hutang kartu kredit, yang menyatakan bahwa:8

Dalam Pasal 17B

(1) Dalam melakukan penagihan Kartu Kredit, Penerbit wajib mematuhi pokok-pokok etika penagihan utang Kartu Kredit.

(2) Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin bahwa penagihan utang Kartu Kredit, baik yang dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit sendiri atau menggunakan penyedia jasa penagihan, dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Dalam hal penagihan utang Kartu Kredit menggunakan jasa pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit wajib menjamin bahwa:

a. kualitas pelaksanaan penagihannya sama dengan jika dilakukan sendiri oleh Penerbit;

b. pelaksanaan penagihan utang Kartu Kredit hanya untuk utang Kartu Kredit dengan kualitas tertentu.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pokok-pokok etika penagihan utang Kartu Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kualitas utang Kartu Kredit yang penagihannya dapat dialihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Dalam Pasal 21 ayat 1

(1) Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK, maka Penerbit wajib:

a. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi Bank yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain;

b. melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK kepada Bank Indonesia; dan

c. mensyaratkan kepada pihak lain yang menyediakan jasa penunjang dalam penyelenggaraan APMK untuk menjaga kerahasiaan data dan informasi.

8

Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, Pasal 17B dan Pasal 21 ayat 1.


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

26. Bahwa oleh karena Judex Facti PT DKI Jakarta jo. Judex Facti PN Jaksel telah melakukan kesalahan dalam menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dengan mempersamakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang ditentukan Pasal 1365 KUH Perdata dengan kriteria-kriteria perbuatan yang merupakan perbuatan melawan hukum dan Judex Facti

telah melakukan kesalahan dalam menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku karena tidak dapat membuktikan dan merinci kerugian dalam perkara a quo sebagaimana yang telah diuraikan oleh Pemohon Kasasi, maka telah sesuai secara hukum bahwa unsur kausalitas yang ditentukan oleh Pasal 1365 KUH Perdata tidak terpenuhi dan amatlah bijaksana dan telah sesuai dengan hukum apabila Majelis Hakim Kasasi pada Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa Pemohon Kasasi tidak dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dan oleh karenanya harus membatalkan Putusan Judex Facti PT DKI Jakarta jo. Putusan Judex Facti PN Jaksel tersebut;

27. Bahwa berdasarkan pada uraian-uraian di atas, maka dengan sangat jelas dan terang terlihat bahwa Judex Facti PT DKI Jakarta yang mengambil alih seluruh pertimbangan hukum dalam putusan Judex Facti

PN Jaksel, telah melakukan kesalahan dalam menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

II. KEBERATAN KEDUA

Judex Facti telah salah dalam menentukan besaran ganti rugi dalam perkara

a quo

28. Bahwa Pemohon Kasasi dengan tegas menyatakan menolak seluruh pertimbangan hukum dan Putusan Judex Facti PT DKI Jakarta yang menghukum Pemohon Kasasi secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada Termohon Kasasi sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah);

29. Bahwa menghukum Pemohon Kasasi secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi kepada Termohon Kasasi sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah) adalah hal yang sangat tidak berlandaskan asas keadilan, oleh karena Judex Facti PT DKI Jakarta yang mengambil alih seluruh pertimbangan hukum dalam putusan Judex Facti PN Jaksel, telah

Hal. 25 dari 27 hal. Put. No.3192 K/Pdt/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

melakukan kesalahan dalam menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, sebagaimana yang diuraikan oleh Pemohon Kasasi di atas; 30. Bahwa sebagai bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Agung Kasasi

pada Mahkamah Agung yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo, Termohon Kasasi adalah debitur dari Pemohon Kasasi yang mempunyai hutang sebesar Rp34.309.431,00 (tiga puluh empat juta tiga ratus sembilan ribu empat ratus tiga puluh satu Rupiah) yang harus dibayar kepada Pemohon Kasasi;

31. Bahwa oleh karena Pemohon Kasasi telah menagih utang yang telah lama tertunggak, yang merupakan kewajiban Termohon Kasasi kepada Pemohon Kasasi, Pemohon Kasasi, oleh Judex Facti, telah dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dan dihukum secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada Termohon Kasasi sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah);

Pertanyaannya adalah: dimana letaknya keadilan, jika Pemohon Kasasi yang menagih hutang Termohon Kasasi sebesar Rp34.309.431,00 (tiga puluh empat juta tiga ratus sembilan ribu empat ratus tiga puluh satu Rupiah) dinyatakan bersalah karena telah melakukan perbuatan melawan hukum lalu dihukum secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada Termohon Kasasi sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah)?

32. Bahwa Pemohon Kasasi memohon kepada Majelis Hakim Agung Kasasi agar dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo, tetap mempertimbangkan kedudukan dan kesalahan Termohon Kasasi, dimana pertimbangan mengenai kedudukan kemasyarakatan dan kesalahan masing-masing pihak telah diterapkan dalam Yurisprudensi No.196K/SIP/1974 tanggal 7 Oktober 1976 yang dalam pertimbangannya tidak semata-mata memutus atas dasar kesalahan Tergugat asal, akan tetapi juga mempertimbangkan kelalaian dari Penggugat asal yang menjadi dasar perbuatan dari Tergugat asal;

33. Bahwa untuk menghindari penggunaan putusan ini sebagai preseden buruk bagi para debitur yang menghindar dari kewajiban membayar hutang kepada kreditur, Pemohon Kasasi mohon kepada Majelis Hakim Agung Kasasi yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo,

Hal. 26 dari 27 hal. Put. No.3192 K/Pdt/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

untuk membatalkan Putusan Judex Facti PT DKI Jakarta jo. Putusan

Judex Facti PN Jaksel tersebut dan menyatakan menolak Gugatan Termohon Kasasi/Pembanding/Penggugat tersebut;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan dan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak salah dalam menerapkan hukum kecuali mengenai besaran ganti rugi yang harus dibayar oleh Tergugat I kepada Penggugat;

Bahwa oleh karena itu Mahkamah Agung berpendapat bahwa amar putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan dan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri harus diperbaiki sepanjang mengenai besarnya ganti rugi dengan pertimbangan sebagai berikut :

• Bahwa tindakan Tergugat I dalam melakukan penagihan kredit adalah

tindakan tidak profesional karena mengutamakan penggunaan pendekatan intimidasi dan premanisme daripada pendekatan lain yang mendudukkan nasabah sebagai partner bank, dan oleh karena itu adalah layak dan adil apabila Tergugat dijatuhi hukuman untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat yang lebih berat;

Bahwa alasan-alasan kasasi lainnya adalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal tersebut tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan, atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang telah diubah dengan Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009;

Hal. 27 dari 27 hal. Put. No.3192 K/Pdt/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: STANDARD CHARTERED BANK, tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 529/PDT/2011/PT.DKI tanggal 3 Januari 2013 yang menguatkan dan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 151/PDT.G/2010/PN.Jak.Sel tanggal 15 Juli 2010, sehingga amarnya seperti yang akan disebutkan di bawah ini:

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak meskipun dengan perbaikan amar putusan, maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;

Memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundangan lain yang bersangkutan;

MENGADILI:

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: STANDARD CHARTERED BANK tersebut;

Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 529/ PDT/2011/PT.DKI tanggal 3 Januari 2012 yang menguatkan dan memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 151/PDT.G/2010/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Juli 2010 sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:

Dalam Eksepsi:

• Menolak eksepsi Tergugat seluruhnya;

Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;

3. Menghukum para Tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);

4. Menghukum turut Tergugat untuk tunduk dan patuh pada putusan ini;

5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;

Hal. 28 dari 27 hal. Put. No.3192 K/Pdt/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Menghukum Pemohon Kasasi/Tergugat I untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis tanggal 3 Oktober 2013 oleh Dr. H. Abdurrahman,

SH.,MH., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Syamsul Ma’arif, SH.,LL.M.,Ph.D., dan Dr. H. Habiburrahman, M.Hum., Hakim-hakim Agung sebagai anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan dihadiri Hakim-Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh Ferry Agustina Budi Utami, SH.,MH., Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh para pihak.

Anggota-anggota, Ketua Majelis, Ttd./ Ttd./

Syamsul Ma’arif, SH.,LL.M.,Ph.D. Dr. H. Abdurrahman, SH.,MH.

Ttd./ Ttd./Dr. H. Habiburrahman, M.Hum.

Panitera Pengganti, Ttd./

Ferry Agustina Budi Utami, SH.,MH. Biaya-biaya:

1. Meterai ……… Rp 6.000,-2. Redaksi ……….. Rp 5.000,-3. Administrasi kasasi... Jumlah…… =

Untuk salinan MAHKAMAH AGUNG RI an. Panitera

Panitera Muda Perdata,

Dr. PRI PAMBUDI TEGUH, SH.,MH.

Hal. 29 dari 27 hal. Put. No.3192 K/Pdt/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

NIP. 19610313 198803 1 003

Hal. 30 dari 27 hal. Put. No.3192 K/Pdt/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id