Bab VII ~ Ketertiban
203
Cobalah Anda pahami uraian tersebut, kemudian bacalah sinopsis Hikayat Bayan Budiman berikut
Sinopsis Hikayat Bayan Budiman
Seorang saudagar bernama Haradatta mempunyai anak bernama Madanasena. Anaknya itu tidak mau bekerja, hanya selalu berkasih-
kasihan dengan isterinya bernama Prabawati. Maka anaknya itu diserahkannya kepada seorang brahmana. Brahmana itu menerimanya,
kemudian diserahkannya sepasang burung Bayan sebenarnya itu gandarwa yang terkutuk oleh dewa karena berdosa. Burung Bayan itu
kemudian diserahkan kepada Madanasena. Setiap Madanasena datang kepada burung itu dinasihatinya dengan
berceritera. Oleh karena itu Madanasena insyaf akan kewajibannya dan ia akan pergi berniaga. Berangkatlah Madanasena berniaga, isterinya
diserahkan kepada burung Bayan itu.
Prabawati merasa kesepian. Beberapa kawannya membujuk agar Prabawati pergi mencari hiburan. Prabawati mencoba akan melakukan
anjuran kawannya itu. Berhiaslah ia cantik-cantik. Burung Bayan betina mencoba mematahkan niat Prabawati itu, tetapi sia-sia saja. Prabawati
marah, burung Bayan betina akan dibunuhnya, tetapi dapat melarikan diri.
Bayan jantan mencoba mengurungkan niat Prabawati yang jahat itu. la minta agar Prabawati sabar dahulu, dan supaya mendengarkan
ceriteranya dahulu. Prabawati tertarik akan ceriteranya itu, sehingga lupa akan perbuatannya yang jahat tadi. Demikianlah selalu
diperbuatnya oleh burung Bayan, sampai suami Prabawati pulang dari berniaga.
Menengok isinya, hikayat tersebut memberikan ajaran moral yang bagus. Selain hal tersebut, unsur-unsur intrinsik dalam cerita hikayat
merupakan hal yang sangat penting. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah alur, tema, dan penokohan.
Sumber: Depdikbud, 1997
2. Penggalan Novel
Novel merupakan karangan berbentuk prosa yang mempunyai kemiripan dengan cerpen. Novel mempunyai permasalahan yang lebih rumit karena jangkauan
penceritaan tokoh sampai mengalami perubahan nasib. Berikut ini merupakan sinopsis novel Sitti Nurbaya angkatan Balai Pustaka
atau sering dikenal angkatan 20-an.
Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Kelas XI - Prodi Bahasa
204
Sitti Nurbaya
Kira-kira pukul tujuh malam berangkatlah sepasukan serdadu di bawah perintah Letnan Mas dan Van Sta ke luar kota Padang, menuju
arah ke Kota Tengah. Kira-kira pukul sembilan, sampailah mereka ke Tabing dan tiada berapa lama kemudian daripada itu hampirlah mereka
itu ke Kota Tengah. Dari jauh telah kelihatan berpuluh-puluh orang, sekaliannya memakai serban putih, berkumpul-kumpul di pinggir jalan,
di muka sebuah kedai, rupanya sedang bermusyawarah bagaimana hendak menyerang. Sekalian mereka itu bersenjatakan golok. Tatkala
kelihatan oleh perusuh itu serdadu datang, gemparlah sekaliannya: ada yang memencak, ada yang berteriak memanggil kawan, ada yang
memaki-maki, dan ada pula yang mengacu-acukan senjatanya; berbagai- bagailah kelakuan mereka itu. Setelah hampir kepada mereka, Letnan
Mas menyuruh berhenti serdadunya dan membariskan mereka itu. Seorang komendur yang ikut bersama-sama maju ke muka menyuruh
perusuh itu menyerahkan dirinya, tetapi jangankan diindahkan mereka itu, tuan itulah yang dimaki-makinya memencak, mengajak berkelahi.
Setelah tiga kali komendur itu membujuk dengan lemah lembut, menyuruh menyerahkan dirinya, tetapi jangankan diindahkan mereka
itu, diserahkannyalah hal itu kepada Letnan Mas. Letnan itu menyusun serdadunya, lalu disuruh menembak ke udara. Seketika itu juga berbunyi
kira-kira tiga puluh bedil sekaligus. Tatkala didengar perusuh bunyi bedil itu, dan dilihatnya tiada seorang pun yang kena, bertambah-
tambahlah gembira mereka itu, karena pada sangkanya sesungguhnyalah mereka itu tiada dimakan oleh bedil dengan
pertolongan ajimat yang diperolehnya dari gurunya itu. Maka bertempiklah mereka itu bersorak serta maju ke muka. Setelah hampirlah
mereka itu, barulah Letnan Mas memerintahkan membedilnya. Tatkala berbunyi bedil yang kedua kali itu, rebahlah sebaris orang yang di muka,
jatuh ke tanah. Ada yang menjerit, ada yang memekik, ada yang meminta tolong, dan ada pula yang terus ratib, tetapi banyak yang tiada berbunyi
lagi karena terus mati. Perusuh yang berdiri di belakang bingunglah sejurus, tiada tahu apa yang akan dibuatnya. Ketika berbunyi pula bedil
yang ketiga kalinya, pecahlah perang perusuh itu, banyak yang mati, dan mana yang tinggal larilah cerai-berai kian-kemari, membawa dirinya
masing-masing. Akan tetapi seketika itu juga keluarlah beberapa orang tua-tua dan haji-haji dari dalam sebuah rumah, lalu berteriak memanggil
sekalian yang lari itu, serta mencabut kerisnya dan maju ke muka. Dengan hal yang demikian, berbaliklah sekalian yang lari, lalu mengikut
guru-gurunya dengan bertempik-sorak, menyerang serdadu-serdadu itu dari dua pihak.
Bab VII ~ Ketertiban
205
Oleh sebab cepat mereka itu menyerbu dirinya, serdadu-serdadu Letnan Mas tiadalah sempat menembak lagi, lalu mempergunakan
bayonetnya. Seketika lagi sangatlah ramai berperang itu, masing-masing mencari lawannya, ada yang bertikam-tikaman, ada yang bertetak-
tetakan pedang, ada yang tangkis-menangkis, berpukul-pukulan, tangkap-menangkap dan banting-membantingkan.Yang mati jatuh, yang
luka berdarah, yang takut lari, yang berani mengejar, dan yang maju, mundur, melompat, ya, berbagai-bagailah kelakuan mereka itu. Suara
pun bermacam-macam kedengaran, gegap-gempita tiada disangka bunyi lagi, dicampuri lagi oleh bunyi bedil, pistol, di tempat itu gelaplah karena
asap bedil, dan jika pakaian mereka itu tiada sangat berlainan, yakni hitam dan putih, niscaya tiadalah tentu lawan kawan. Letnan Mas
dengan kepala perusuh itu kelihatan sama-sama mengerahkan bala tentaranya menyuruh maju, sambil membedil dan menetak.
Tiada berapa lamanya perang itu, banyaklah yang mati dan luka pada kedua belah pihaknya. Darah mengalirlah di jalan besar itu dan
mayat pun tersiar-siarlah di sana-sini. Oleh sebab itu dari kampung tiada putus-putusnya datang bantuan perusuh, tiada tertahan oleh Letnan
Mas serang musuhnya itu, lalu disuruhnya serdadunya mundur perlahan- lahan. Bila tiada datang bantuan daripada serdadu letnan Van Sta,
pastilah pecah perang Letnan Mas itu. Untunglah pada waktu itu juga kedengaran tempik sorak serdadu Letnan Van Sta, yang menyerbukan
diri ke medan peperangan itu. Beberapa lamanya kemudian daripada itu mundurlah musuh perlahan-lahan, dan akhirnya, tatkala bantuan
tak datang lagi, pecahlah perang musuh itu lalu lari kian-kemari, bertemperasan diburu oleh serdadu-serdadu kedua letnan itu.
Tatkala mengejar musuh itu kelihatanlah oleh Letnan Mas seorang daripada kepala perusuh itu bangun badan, perjalanan, dan
suaranya serupa benar dengan bangun badan, suara, Datuk Meringgih, musuhnya yang sekian lamanya dicarinya. Maka berdebar-debarlah hati
Letnan Mas dan gemetar tangannya serta berubah mukanya, sebagai suka bercampur duka. Suka karena ada pengharapan akan dapat
membalaskan sakit hatinya dan duka karena ingat akan kejahatan yang telah diperbuat jahanam itu. Ketika kepala perusuh itu hendak melarikan
dirinya, diburunyalah orang itu dengan tiada berpikir panjang lagi. Setelah berhadap-hadapan mereka itu, nyatalah kepada Letnan Mas,
bahwa persangkaannya tadi benar, karena sesungguhnya Datuk Meringgih, algojo Nurbaya, yang berdiri di mukanya itu; lalu
berkatalah ia. “Datuk Meringgih, benarkah engkau ini?”
“Ya, akulah Datuk Meringgih, saudagar yang kaya di Padang ini,” jawab kepala perusuh itu,” Engkau ini siapa, maka kenal padaku?”
Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Kelas XI - Prodi Bahasa
206
Setelah diamat-amatinya Letnan Mas itu, terperanjat ia serta surut beberapa langkah ke belakang, lalu berteriak, “Samsulbahri”
Seketika itu juga melompatlah ke kanan, lalu berkata. “Tunggu dulu, Datuk Meringgih, karena banyak yang terasa
dalam hatiku hendak kukatakan kepadamu, sebelum aku terpaksa mencabut nyawamu.”
Mendengar perkataan itu berdirilah Datuk Meringgih, karena hendak mengetahui, apakah yang akan dikatakan musuhnya itu.
“Datuk Meringgih, sesungguhnya akulah Samsulbahri, yang sepuluh tahun lalu sudah mati, tetapi dikeluarkan kembali dalam kubur
akan menghukum engkau atas segala kejahatanmu yang keji itu. Tatkala aku membedil diriku di Jakarta, karena terlebih suka aku mati daripada
perbuatanmu itu, tiadalah disampaikan Tuhan maksudku itu: rupanya aku terlebih dahulu harus menuntut bela atas segala kesalahanmu itu.
Itulah sebabnya maka peluru yang aku tujukan ke kepalaku tiada menembus otakku; hanya karena aku terperanjat mendengar suara
sahabatku, Arifin, yang tatkala itu berteriak, tanganku bergoyang, sehingga anak bedil sekadar merusakkan tulang kepalaku sahaja. Ketika
aku sadar akan diriku, aku mintalah kepada dokter dan sekalian orang yang tahu akan halku itu, supaya kabar aku hidup kembali tiada disiarkan
ke mana-mana, karena pada pikiranku, lebih baik aku disangka orang telah mati daripada hidup sedemikian. Beberapa kali aku mencari
kematian, tetapi tiada juga dapat, karena Tuhan masih memanjangkan umurku, supaya dapat menghukum engkau atas segala dosamu itu.”
“Sepuluh tahun lamanya aku menanggung sengsara dan duka cita yang tiada terderita, sepuluh tahun pula aku menaruh dendam dalam
hatiku kepadamu; sekarang barulah disampaikan Tuhan maksudku itu, sekarang barulah dapat aku menuntutkan bela sekalian orang yang telah
engkau aniaya itu, hai penjahat yang sebesar-besarnya Karena kekayaanmu itu, menjadilah engkau sombong dan angkuh serta takabur
kepada Tuhan, yang telah memberimu kekayaan itu pada sangkamu dengan kekayaan itu tentulah ‘kan dapat engkau berbuat sekehendak
hatimu. Yang tinggi kau jatuhkan, yang mulia kau hinakan, yang kaya kau miskinkan dengan tiada pandang-memandang, tiada tilik-menilik,
dan tiada menaruh belas kasihan, asal nafsumu yang jahat dan hina itu dapat kau penuhi. Hai Datuk durhaka, kekayaanmu itu tiada memberi
faedah kepada teman sejawatmu, sahabat kenalanmu, sesamamu manusia, dan kepada dirimu sendiri sekalipun, melainkan mendatangkan
segala bahaya, sengsara duka nestapa kepada isi negeri. Tidak layak engkau dikaruniai Tuhan senjata yang sekuat itu.
“Dengan kekayaanmu itu kau ceraikan anak dari bapaknya, adik dari kakaknya, asyik daripada maksyuknya, sahabat daripada karibnya.
Bab VII ~ Ketertiban
207
Dengan kekayaanmu itu kau jatuhkan Baginda Sulaiman sampai berpulang karena duka-cita, dengan kekayaanmu itu kau paksa anaknya
menurut kesukaanmu yang keji itu, dengan kekayaanmu itu kau ceraikan perempuan itu daripadaku, kekasih dan saudaranya.
Dan engkau aniaya ia sampai hampir mati di dalam kapal dan didakwa mencuri barang-barangmu, yang kau peroleh dengan tipu-daya, darah
keringat orang lain. Tatkala engkau tiada berdaya lagi akan memaksa Nurbaya yang tiada bersalah itu, kau bunuhlah ia dengan racun. Dengan
kekayaanmu itu kau ceraikan aku daripada ibu-bapa dan kaum keluargaku dan kauputuskan pengharapanku akan menjadi orang baik,
sehingga ibuku meninggal karena kesedihan hati. Sungguhpun demikian, sekalian itu belum lagi seperseratus daripada segala dosamu.
Hai Datuk Meringgih, tiada terasa olehmu kesalahanmu itu? Tiadakah takut engkau kepada Tuhan, yang memberimu segala kekuasaan itu?
Tiadakah malu engkau kepada sesama manusia, yang engkau perdayakan? Dan tiada belas kasihankah engkau kepada sekalian
mereka, yang telah menjadi kurbanmu itu?”
Maka berhentilah Samsulbahri sejurus berkata-kata itu, karena penuhlah dadanya dan sesaklah napasnya menahan hatinya yang tak
dapat direncanakan di sini. Datuk Meringgih tiada menjawab sepatah katapun, sebab dirasakan waktu itu benarlah perkataan Samsulbahri
itu. Di situlah baru nyata kepadanya, bahwa sebenarnya sampai kepada waktu itu belumlah ia berbuat kebaikan dengan hartanya yang sekian
banyaknya itu. Bila ia mati dalam peperangan itu, tentulah segala hartanya itu akan terbagi-bagi atas yang tinggal dan apakah yang akan
dibawanya ke dalam kubur? Tak lain, nama yang jahat, sumpah, umpat, dan maki segala mereka yang telah dianiayanya; tentulah sekalian itu
akan memberati dia dalam kuburnya. Bila ada ia berbuat kebaikan, barangkali adalah juga yang akan mendoakan arwahnya. Di sanalah,
tatkala ia hampir ke pintu kubur itu, baru diketahuinya, bahwa harta dunia itu sangat sedikit harganya untuk kehidupannya di negeri yang
baka. Maka timbullah sesal dalam hatinya atas perbuatannya yang telah lalu itu. Akan tetapi apa hendak dikata, karena tatkala itu dirasainya, ia
tak dapat lagi akan memperbaiki kesalahannya itu.Setelah sejurus berdiam itu berkatalah Samsulbahri, serta menyapu air matanya, yang
tak dapat ditahannya itu.
“Hai Datuk Meringgih, sekaranglah akan kuperlihatkan kepadamu, bahwa ada lagi yang lebih berkuasa daripada hartamu itu.
Walaupun seratus kali lebih banyak hartamu itu dewasa ini, tiadalah akan dapat ia mengubah pikiranku hendak membalas kejahatanmu itu
dan tiadalah dapat menolong melepaskan engkau dari dalam tanganku.
Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Kelas XI - Prodi Bahasa
208
Latihan
Terimalah olehmu hukumanmu” lalu Samsul mengangkat pistol menembak Datuk Meringgih. Tetapi tatkala itu juga Datuk Meringgih
melompat ke muka, menetak Samsulbahri dengan parangnya, sambil berteriak, “Rasailah pula olehmu bekas tanganku hai, anjing Belanda”
Seketika itu juga rebahlah kedua mereka itu ke tanah; Datuk Meringgih kena peluru Samsulbahri, tembus dada dan jatungnya, dan
Samsulbahri karena kena parang kepalanya.
Sumber: Marah Rusli, 1922
1. Bacalah sekali lagi penggalan hikayat dan novel di atas, kemudian carilah
alur, tema, dan penokohannya, tulis di buku Anda 2.
Kemudian tentukan perbedaan unsur-unsur instrisik penggalan hikayat dan novel di atas
E. Menyusun Ringkasan Isi Artikel yang
Dimuat dalam Media Massa
Tentunya Anda sudah mengetahui dengan yang dinamakan media massa? Pernahkah Anda meringkas isi artikel yang ada di media massa tersebut? Pada
pembelajaran berikut, Anda akan berlatih menyusun ringkasan isi artikel yang dimuat dalam media massa.
1. Mendaftar Pokok-Pokok Pikiran Artikel yang Dimuat dalam