13
BAB II K A J I A N P U S T A K A
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Film
Film juga dianggap sebagai media massa karena ia merupakan alat yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu muatan yang mempunyai
kepentingan awam. Disamping itu, jumlah audiens nya bersifat massa, beragam dan luas.
Film hadir sebagai bagian kebudayaan massa yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri. Sebagai bagian
dari budaya massa yang populer, film adalah sebauh seni yang sering dikemas untuk dijadikan sebagai komoditi dagang bagi para pelaku bisnis.
Hal ini tentu sangat beralasan, karena film dikemas untuk dikonsumsi dalam jumlah yang sangat besar. Karakter film sebagai media massa mampu
membentuk semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi film tersebut berhubungan langsung dengan nilai-nilai yang hidup di
masyarakat dan selera public. Sehingga dapat disimpulkan bahwa film merupakan sebuah potret atau gambaran dari masyarakat terhadap pembuatan
film itu sendiri. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikannya ke dalam layar lebar, Irawanto
dalam Alex Sobur 2002:127 .
Film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19 dengan perkataan
lain pada waktu unsur – unsur yang merintangi perkembangan surat kabar yang dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya, film lebih
mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur teknik, politik, ekonomi, social, dan demografi yang merintangi
kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad 19. Film mencapai masa puncaknya di antara perang dunia I
dan perang dunia II, namun merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan munculnya medium televisi Oey Hong Lee dalam Sobur, 2003:26 .
Pengertian film
menurut Undang - undang nomor 33 tahun 2009
tentang permasalahan, pasal I. Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata social dan media komunikasi massa yang dibuat
berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.
Film sebagai media massa memiliki kelebihan antara lain dalam hal jangkauan, realism, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Film
juga memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya, yaitu dapat menjangkau sekian banyak orang dalam waktu singkat, dan mampu memanipulasi
kenyataan tanpa kehilangan kredibilitas McQuail 1994:14 . Selain memiliki kelebihan, film juga memiliki beberapa kelemahan.
Salah satu sebab khalayaknya kemudian berusaha mengkonsumsi media lain sebagai pelengkap atau pengulang repetisi .
Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film dihasilkan
dengan rekaman dari orang dan benda termasuk fantasi dan figur palsu dengan kamera, danatau oleh animasi
http:ayonana.tumblr.compost390644418definisi-film diakses 18 April 2011, 14:28 WIB. Sejalan dengan perkembangan teknologi media, kini para
pembuat film telah berhasil membuat film animasi. Animasi berasal dari animate yang berarti menghidupkan, memberikan jiwa dan menggerakan
benda yang mati. Jadi yang dimaksud film animasi adalah film yang berupa gambar yang seolah-olah hidup dan bergerak
http:id.shvoong.comentertainmentmovies2074272-apa-beda-animasi- dan-kartun diakses 18 April 2011, 14:30 WIB.
2.1.2. Representasi
Menurut John Fiske yang dimaksud dengan representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan
dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya Fiske, 2004 : 28.
Menurut Stuart Hall 1997, representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep
yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada
disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-
konsep yang sama. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu
melakukan semua ini karena ia beoperasi sebagai system representasi. Lewat bahasa Simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar kita
mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan
mengamati kata-kata yang kita gunakan dan imej-imej yang kita gunakan dalam merepresentasi-kan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita
berikan pada sesuatu tersebut. Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yang
dipakai sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan : darimana suatu makna berasal? Bagaimana kita membedakan antara makna yang sebenarnya dari
sesuatu atau imej dari sesuatu? Yang pertama adalah pendekatan reflektif. Di sini bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang
sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan intensional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan
sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya
bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai http:www.fathurin-zen.com, diakses 19 April 2011, 15:10 WIB.
Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita
masing-masing peta konseptual. Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses
konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan
konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan
mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan system ‘peta konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi
seperangkat rantai korespondensi anatara ‘peta konseptual’ dengan bahasa atau symbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang
sesuatu. Relasi antara ‘sesuatu’, ‘peta konseptual’, dan ‘bahasasimbol’ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa http:www.fathurin-
zen.com, diakses 18 April 2011, pukul 14.35 WIB. Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat
sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol Piliang, Yasraf Amir, 2006 : 24.
Representasi memiliki materialitas tertentu, yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah dan program televise. Representasi
diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks tertentu Barker, Chris, 2004 : 9.
Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan
konsep – konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk – bentuk yang kongkret. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses social pemaknaan
melalui system penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi
makna melalui bahasa http:kunci.or.idesainws04representasi.htm diakses 19 April 2011, 14:30 WIB.
Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit budaya circuit of culture. Melalui representasi, maka makna meaning dapat
berfungsi dan pada akhirnya diungkap. Representasi disampaikan melalui tanda – tanda signs . Tanda – tanda signs tersebut sepert bunyi, kata –
kata, tulisan, ekspresi, sikap, pakaian, dan sebagainya merupakan bagian dari dunia material kita Hall, 1997 .
Tanda – tanda tersebut merupakan media yang membawa makna – makna tertentu dan merepresentasikan ‘meaning’ tertentu yang ingin
disampaikan kepada dan oleh kita. Melalui tanda – tanda tersebut, kita dapat merepresentasikan pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Pembacaan terhadap
tanda – tanda tersebut tentu saja dapat dipahami dalam konteks social tertentu http:www.readingculture.netindex.php?option=com_contenttask=view
item.id=43 diakses 19 April 2011, 15:01 WIB. Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu obyek yang
ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian tanda – tanda. Tanda – tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi
unsur sebuah film. Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera hingga music. Tanda dan unsur – unsur film ini akan dianalisis dan dicari
maknanya, sehingga makna dibalik tanda tersebut dapat diungkap. Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan susunan
kalimat dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa ini terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan cut , pengambilan gambar jarak
dekat close up , pengambilan gambar dari dua arah two shot , dan lain – lain. Namun bahasa tersebut juga mencakup kode – kode representasi yang
lebih halus, yang tercakup dalam komplektivitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol – simbol yang paling abstrak dan arbiter berubah
– ubah Sardar, 2001:156 dalam sobur 2003:130 . .
2.1.3. Perempuan sebagai feminis
Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan.
Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan The Englightenment, di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condoret yang berjuang
untuk pendidikan perempuan. Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombangwave dan
menimbulkan kontroversiperdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama first wave feminism dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang
kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism. Istilah feminis kemudian berkembang secara negative ketika media lebih
menonjolkan perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara vulgar misalnya: membakar bra.
Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidak adilan atau diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau
melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidak adilandiskriminasi tersebut, pada dasarnya dapat disebut feminis www.id.shvoong.comhumanities
diakses 19 April 2011, 16:30 WIB Anak perempuan disosialisasi menjadi perempuan yang lemah
lembut, pasif dan dependen Morris, 1980:39 dalam Romany, 2007:6 .
Dengan kata lain, perempuan berperilaku feminin, patuh, tidak agresif dan apa yang pantas menurut gender. Pola pengasuhan terhadap perempuan juga
masih didominasi dan penekanan pada peran dan pembagian kerja berdasarkan gender. Oleh sebab itu, bila perempuan melakukan tindakan
berbeda dengan apa yang diharapkan masyarakat, mereka dicap sebagai aneh, abnormal, bertingkah laku menyimpang. Di Indonesia, misalnya perempuan
yang biasa merokok sering dianggap bukan perempuan baik-baik. Berbeda halnya dengan laki-laki, merokok justru dianggap simbol maskulinitas
Romany Sihite, 2007:6 . Sudah sejak lama perempuan selalu diidentikkan dengan sifatnya
yang lemah lembut, cantik, atau keibuan, pasif, serta identik dengan pekerjaan yang dekat dengan lingkungan privat dan domestiknya, seperti
mendidik anak, seperti ditulis oleh Sara Ahmed, “pengetahuan feminis adalah persoalan yang located dan situated. Bahkan “saya” adalah suatu hal yang
located dan situated sedemikian sehingga cara saya menjadi feminis, termasuk cara pandang saya menjadi feminis, terhadap persoalan di sekitar
saya juga mengalami perubahan. Aquarini, 2006:14 Berbagai permasalahan yang menimpa kaum perempuan saat ini,
diyakini akibat hegemoni budaya patriaki dan struktur masyarakat yang berkiblat pada sistem Patriakhi yang mendominasi semua lini kehidupan.
Secara kebahasaan, patriakhi berarti rule of the father, atau aturan dari Sang Bapak. Dalam sistem patriakhi, laki-laki yang berusia lebih tua atau “Sang
Bapak” mengendalikan kekuasaan secara absolut terhadap pihak lain. Dari persoalan parfum sampai pada soal hukum, dari persoalan kulit sampai
dengan persoalan politik. Maka berbagai upaya mencari baca melawan sparing partner hegemoni budaya patriakhi inilah kira-kira yang diagungkan
oleh para feminis, dan dirasa relevan berdasarkan asumsi posisi kaum perempuan selama ini adalah sebagai masyarakat kelas dua atau menduduki
posisi sub ordinat dalam ruang publik, menjadi terdobrak oleh wacana ‘kesetaraan gender’ dalam mensejahterakan kaum perempuan. Bahwa
munculnya budaya patriakhi dianggap menyengsarakan kehidupan kaum perempuan. Menurut feminis permasalahan yang menimpa kaum perempuan
sekarang ini akibat masih terhegemoninya kebebasan perempuan dalam ranah publik. Keterbelakangan pendidikan membawa akibat pada sub mental
bawahan. Munculnya budaya patriakhi yang diklaim oleh feminis sebagai akar keterkurungan perempuan dalam menyuarakan kebebasannya,
penderitaan yang diikut sertakan akibat dominasi ini tidak serta merta ada begitu saja, tetapi melalui proses berkepanjangan
www.qiyanfikir.worspress.com diakses 19 April 2011, 16:20 WIB. Feminisme bertujuan mencari kesempatan dan hak-hak perempuan
seperti yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau untuk menuntut nilai keperempuanan yang istimewa atas pelecehan harga diri oleh
garis keturunan sistem patriarki yang cenderung berlanjut. Holidin, 2001:8 Deklarasi universal mengenai Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan. Pasal 3 secara tegas menyebutkan delapan butir hak perempuan yang mesti diakui dan diimplementasikan yakni:
1. Hak atas kehidupan;
2. Hak atas persamaan;
3. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
4. Hak atas perlidungan yang sama di muka umum;
5. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi;
6. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang
sebaik-baiknya; 7.
Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik; 8.
Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang.
Romany Sihite, 2007:49-50 Menurut Rieke diah Pitaloka seorang aktivis perempuan, dalam
budaya patriakhi di keluarga terutama, otoritas tertinggi pada suami, kepala rumah tangga, yang berhak menentukan aturan apa pun menyangkut orang-
orang dalam rumah tangga, termasuk memberi “pelajaran” kepada istri. Dengan kondisi begitu, mendorong perempuan untuk terlepas dari sistem
tersebut dan dengan istilah emansipasi wanita yang mensyaratkan enyahnya cara pandang patriakhi dari ruang privat sekaligus publik.
www.kompas.com diakses 19 April 2011, 16:31 WIB
2.1.4. Feminisme
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah dengan membedakan terlebih dahulu antara
konsep seks jenis kelamin dan konsep gender. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis,
memiliki jakala kala menjing dan memiliki sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan,
memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui. Sedangkan konsep gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalkan bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan.
Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri pada dasarnya merupakan sifat-sifat yang bisa dipertukarkan.
Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu
dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain Fakih, 1997:7-8 .
Istilah gender sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan jender. Gender diartikannya
sebagai,”interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan
pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”. Sedangkan oleh Peter R. Beckman dan Francine D’Amico, Eds. 1994 : 4-6,
Gender didefinisikan sebagai karakteristik sosial yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki. Karakteristik sosial ini merupakan hasil
perkembangan sosial dan budaya sehingga tidak bersifat permanen maupun universal. Berdasarkan karakteristik sosial ditetapkan peran untuk laki-laki
dan perempuan yang pantas. Akibatnya timbul asosiasi dunia public bersifat maskulin pantas untuk kaum lelaki dan dunia privat, domestik dan rumah
tangga bersifat feminine adalah milik perempuan Sumiarni, 2004:1-3 . Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi
bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut Fakih, 2001:99 .
Sedang feminism menurut M. Shiddiq, dapat diberi pengertian sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam
masyarakat, dalam keluarga maupun di tempat kerja, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk merubah keadaan tersebut. Menurut
definisi ini, seorang yang mengenali adanya sexism diskriminasi atas dasar jenis kelamin, dominasi lelaki, serta sistem patriarkhi dan melakukan suatu
tindakan untuk menentangnya adalah seorang feminis http:swaramuslim.co.idfeminis.html, diakses 19 Maret 2011, 16:24 WIB
Diskriminasi yang menjadikan perempuan selalu menjadi pihak yang dirugikan, melatarbelakangi perjuangan-perjuangan perempuan untuk
mendapatkan kedudukan yang setara dengan laki-laki. Perjuangan-perjuangan itu memunculkan apa yang disebut emansipasi atau feminisme. Dimana
emansipasi sendiri memiliki pengertian sebagai gerakan yang mencita-citakan kehidupan setara antara perempuan dan laki-laki, yakni gerakan yang
memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Karena konstruksi sosial diciptakan manusia maka femininitas dan
gender tidaklah ajeg dan dengan demikian dapat berubah. Apa yang dianggap “feminin” bergantung pada siapa yang mendefinisinya, tempat orang-orang
itu berada, dan apa yang telah mempengaruhi hidup mereka Aquarini, 2006:22 . Feminisme telah dibedakan dengan Feminin dalam pengertiannya,
Feminin berasal dari bahasa Perancis “Feminine” yang merupakan sebuah kata sifat adjektif yang berarti “kewanitaan” atau menunjukkan sifat
perempuan http:.id.wikipedia.orgwikifeminin, diakses 20 April 2011, 20:10 WIB. Sedangkan Feminisme sendiri berasal dari kata latin femina
yang berarti memiliki sifat keperempuanan Hubies, 1997:19 dalam Sumiarni, 2004:57 .
Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat. Timbul berbagai upaya
untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala
bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia. Operasionalisasi upaya pembebasan diri kaum perempuan dari berbagai ketimpangan
perlakuan dalam segala aspek kehidupan disebut gerakan feminisme. Sebagai suatu gerakan titik tolak feminisme mengacu pada definisi operasional dan
bukan dari definisi ideologis. Dengan demikian feminisme hendaknya dilihat sebagai suatu seruan beraksi atau suatu gerakan dan bukan sebagai fanatisme
keyakinan. Jadi makna feminis di sini adalah mencari peluang
kebebasankemerdekaan perempuan untuk perempuan. Dengan demikian, gerakan feminis pada saat pertama kali dimulai tidak ada hubungannya
dengan bias perlakuan terhadap laki-laki karena perempuan hanya ingin memperhatikan dirinya sendiri dengan lebih baik. Menurut Holidin dan
Soenyono, feminisme bertujuan mencari kesempatan dan hak-hak perempuan seperti yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau untuk
menuntut nilai keperempuanan yang istimewa atas pelecehan harga diri oleh garis keturunan sistem patriarki yang cenderung berlanjut Holidin dan
Soenyono, 2004:8 Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan
mengikuti kesamaan gender jenis kelamin dalam konteks hubungan kemitraan universal dengan sesama manusia.
2. Menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar
perbedaan jenis kelamin. 3.
Menghapus semua hak-hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin.
4. Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruh
tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan Hubies, 1997:20-21 .
Dalam sepanjang perkembangannya yang ada di masyarakat di berbagai belahan dunia, ada banyak jenis gerakan feminism, diantaranya
feminism liberal, feminism radikal, feminism sosialis, feminism marxis, feminism post modern, feminism psikoanalitik, dan feminism eksistansialis.
Untuk mendapatkan gambaran pemahaman perihal gerakan-gerakan feminism, berikut ini uraian mengenai pandangan dari berbagai paham
feminism tersebut:
1. Feminisme Liberal, ialah pandangan untuk menempatkan perempuan
yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas
dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia –demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara
rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan
perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya
kedudukan setara dengan lelaki. Feminisme liberal berusaha untuk menyadarkan wanita bahwa
mereka bukan golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestic dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan
menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan
individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi
pada pria. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasional.
Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki- laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki.
Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar
perempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya
memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk
menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang
berprespektif keadilan melalui desakan 30 kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
2. Feminisme Marxis, aliran ini memandang masalah perempuan dalam
kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Freidrich Engels
dikembangkan menjadi landasan aliran ini, status perempuan jatuuh karena adanya konsep kekayaan pribadi private property. Kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran exchange. Laki-laki mengontrol
produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi
bagian preprety. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat-bojuis dan proletar.
Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
3. Feminisme Radikal, teorinya mempersoalkan fungsi reproduksi dan
melahirkan, serta perbedaan seks dan gender yang merampas kekuasaan perempuan. Dalam kaitannya dengan kekuasaan, feminisme radikal
mempermasalahkan perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian dikontruksi menjadi perbedaan gender oleh budaya partriarkhi.
Pada sisi lain, Shulamith Feristone dengan bukunya The Dialectic of Sex 1972, membahas kelemahan perempuan dalam perspektif
struktur biologisnya. Perempuan sepanjang sejarah, mendapatkan haid, menopause, dan macam-macam ‘penyakit perempuan’ lainnya, seperti
waktu melahirkan, semua itu membuat perempuan menjadi mempunyai ketergantungan kepada laki-laki. Perbedaan fungsi reproduksi alamiah
ini, mengakibatkan timbulnya pembagian kerja secara seksual. Kasiyan, 2008:88 .
4. Feminisme sosialis, pandangannya berusaha menggabungkan teori
feminisme marxis dan feminisme radikal. Mereka mengkritik asumsi umum, hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang
perlu, tapi tidak akan selalu menaikkan status perempuan. Bagi feminis sosialis, meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih
berakibat pada peran antagonism seksual ketimbang status Fakih, 2001:93-95 .
5. Feminisme Post Modern, penekanannya pada text dimana realitas adalah
text intertextual baik yang berbentuk lisan, tulisan dan image, sehingga yang menjadi perhatian dari aliran feminisme postmodern adalah
penolakan cara berpikir laki-laki yang diproduksi melalui bahasa laki- laki dan cara berpikir feminisme yang fanatik tradisional. Dalam teori
ini dikatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus diterima dan dipelihara. Gender tidak bermakna identitas atau struktur
sosial.
6. Feminisme Psikoanalitik, mengatakan bahwa tingkat perkembangan
super ego perempuan sangat jauh berbeda dengan laki-laki, karena mereka tidak pernah bisa terlalu impersonal, atau terlalu mandiri
terhadap emosi mereka. Perempuan selalu menunjukkan kurang peka terhadap keadilan, kurang siap dalam menghadapi kehidupan. Perempuan
selalu terpengaruh perasaannya ketika harus melakukan penilaian. Perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap.
7. Feminisme Eksistansialis, perempuan selalu menjadi objek dari laki-laki
dan perempuan adalah malafide menurut konsep Sartre. Beauvoir mengkritik psikoanalisa yang mengatakan bahwa perempuan adalah
makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis. Dianggap perempuan
mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri. Beauvoir juga melihat bahwa institusi pernikahan merupakan institusi yang
merenggut kebebasan perempuan http:staff.blog.ui.ac.idarif51beberapa-aliran-feminisme, diakses 19
Maret 2011, 16:20 WIB . Gerakan feminisme meskipun dianggap sudah tua, namun baru tahun
60-an dianggap sebagai lahirnya gerakan itu. Muncul di Amerika sendiri sebagai bagian dari kultural radikal. Lantas gerakan itu merambat ke Eropa,
Kanada, dan Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan menggoncang Dunia Ketiga. Secara kuantitatif, dampak feminisme memang
nyata di mana dalam 20 tahun banyak terjadi perubahan dan perkembangan
yang menyangkut nasib perempuan. Setelah pada tahun 1975 PBB mengumumkan International Decade of Women, terjadi beberapa peristiwa
penting bagi kaum perempuan. Kini, hampir setiap Negara memiliki perundang-undangan anti diskriminasi, yang menguntungkan kaum
perempuan Fakih, 1997:106-107 . Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Woman atau CEDAW, 1979 dan Indonesia telah
meratifikasi konvensi tersebut mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dari segala bentuk Pasal 2 . Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap
perempuan declaration on the elimination of violence against of women . Menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap
tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, psikologi, atau seksual. Termasuk
juga ancaman tindakan tertentu, seperti pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan
umumdalam kehidupan pribadi Romany Sihite, 2007:133 .
2.1.5. Feminisme Liberal
Feminisme Liberal lahir pertama kali pada abad 18 dirumuskan oleh Mary Wollstonecrat dalam tulisannya A Vindication of the Right of Women
1759-1799 dan abad 19 oleh John Stuart Mill dalam bukunya Subjection of Women dan Harriet Taylor Mills dalam bukunya Enfranchisemen of Women,
kemudian pada abad 20 Betty Friedan dalam The Feminis Mistique dan The Second Stage.
Feminis Liberal ini mendasarkan pemikirannya pada konsep liberal yang menekankan bahwa wanita dan pria diciptakan sama dan mempunyai
hak yang sama dan juga harus mempunyai kesempatan yang sama. Manusia berbeda dengan binatang karena rasionalitas yang dimilikinya. Kemampuan
rasionalitas tersebut mempunyai dua aspek yaitu moralitas pembuat keputusan yang otonom dan prudensial pemenuhan kebutuhan diri sendiri.
Hak individu bagi kaum Liberal harus diprioritaskan. Setiap individu diberikan kebebasan untuk memilih apa yang baik untuk dirinya asal tidak
merugikan orang lain. Liberalisme juga menekankan pada masyarakat yang adil yang memungkinkan setiap individu mempraktekkan otonomi dirinya
dalam memenuhi kebutuhannya. Meskipun Wollstonecraft tidak mempergunakan istilah seperti “peran
gender yang dikonstruksi secara sosial”, ia menyangkal bahwa perempuan, secara ilmiah, lebih cenderung untuk bersifat sebagai pemburu dan pemberi
kenikmatan daripada laki-laki. Wolls berargumentasi bahwa jika laki-laki disimpan di dalam sangkar yang sama seperti perempuan dikurung, laki-laki
pun akan mengembangkan sifat yang sama seperti perempuan. Karena diabaikan kesempatannya untuk mengembangkan kekuatan nalarnya, untuk
menjadi manusia bermoral dengan perhatian, motif, dan berkomitmen yang lebih sekedar kenikmatan pribadi, laki-laki, seperti juga perempuan, akan
menjadi “emosional”.
Dalam hal intervensi negara atas bidang publik masyarakat sipil, Liberallis Klasik berbeda dengan Liberallis Egalitarian. Bagi Liberalis
Egalitarian setiap orang yang memasukki pasar terlebih dahulu mempunyai keuntungan material, koneksi atau bakat yang berbeda. Oleh sebab itu negara
harus intervensi secara positif agar kesejahteraan masyarakat merata. Intervensi di bidang hukum, pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan,
kesejahteraan sosial dan penyediaan makan bagi orang miskin. Bagi Liberallis ini negara sebaiknya menfokuskan pada keadilan ekonomi bukan
kebebasan sipil. Sedangkan Liberallis Klasik dalam era pasar bebas setiap individu harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengakumulasi
keuntungannya. Mereka juga menekankan bahwa negara harus melindungi kebebasan
sipil seperti, hak memilih, hak berorganisasi, hak kepemilikan dan kebebasan. Akan tetapi dalam hal intervensi negara untuk menjamin hak individu, kaum
liberallis sepakat bahwa intervensi negara harus seminim mungkin. Baik dalam aspek negara, organisasi, keluarga sampai ke tempat tidur. Tujuan
umum feminisme liberal adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang”, maka perempuan dan juga laki-
laki dapat mengembangkan diri. Feminis Liberal pada abad 18, pendidikan yang sama untuk
perempuan Mary Wollstonecraft, dalam bukunya A Vindication of the Right of Women menggambarkan masyarakat Eropa yang sedang mengalami
kemunduran dimana perempuan dikekang didalam rumah tidak diberikan
kesempatan untuk masuk dipasar tenaga kerja dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan laki-laki diberikan kebebasan untuk
mengembangkan diri seoptimal mungkin. Padahal kalau perempuan diberikan kesempatan yang sama juga bisa mengembangkan diri secara optimal, asal
perempuan juga diberikan pendidikan yang sama dengan pria. Wollestone juga mengkritik Email, novel karya Jean Jackques
Rosseau yang membedakan pendidikan laki-laki dan perempuan. Pendidikan laki-laki lebih menekankan rasionalitas mempelajari ilmu alamiah, ilmu
sosial dan humaniora, karena nantinya akan bertanggung jawab sebagai kepala keluarga sedangkan pendidikan untuk perempuan lebih menekankan
pada emosional, mempelajari puisi, seni, karena perempuan akan menjadi istri yang penuh pengertian, responsive, perhatian dan keibuan. Jalan keluar
yang ditawarkan Wollestone adalah mendidik perempuan sama dengan mendidik laki-laki dengan mengajarkan juga rasionalitas sehingga perempuan
mampu menjadi diri sendiri, tidak menjadi mainan laki-laki. Wollstonecraft, bagi perempuan adalah personhood- manusia secara
utuh. Perempuan bukanlah “mainan laki-laki, atau lonceng milik laki-laki” yang harus berbunyi pada telinganya, tanpa mengindahkan nalar, setiap kali
ia ingin dihibur. Dengan kata lain, perempuan bukanlah “sekedar alat”, atau instrument, untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya
perempuan adalah suatu “tujuan”, suatu agen nalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasib sendiri.
Feminis Liberal pada abad 19 tentang hak sipil dan ekonomi bagi perempuan dan laki-laki. Satu abad kemudian J S Mill dan Harriet Tailor Mill
bergabung dengan Wollestonecraft menekankan pentingnya rasionalitas untuk perempuan. J S Mill dan Harriet Tailor Mill lebih jauh menekankan
agar persamaan perempuan dan laki-laki terwujud, tidak cukup diberikan pendidikan yang sama tetapi juga harus diberikan kesempatan untuk berperan
dalam ekonomi dan dijamin hak sipilnya yang meliput hak untuk berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat, hak untuk memilih dan hak
milik pribadi, serta hak-hak sipil lainnya. Tailor mengklaim cara yang biasa untuk memaksimalkan kegunaan yang total kebahagiaankenikmatan,
adalah dengan membiarkan setiap individu untuk mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam
proses pencapaian tersebut. Sumbangan lain pemikiran mereka berdua adalah dua-duanya
menekakan pentingnya pendidikan, kemitraan dan persamaan. Mill lebih menekankan pada pendidikan dan hak, sedangkan Taylor lebih menekankan
kemitraan. Mill lebih jauh juga mempertanyakan superioritas laki-laki, menurutnya bahwa laki-laki itu tidak lebih superior secara intelektual dari
perempuan. Pemikiran Mill yang juga menarik bahwa kebajikan yang ditempelkan pada perempuan seringkali merugikan perempuan karena
perempuan tidak bisa menjadi diri sendiri, sebab ia akan menjadi orang yang dikehendaki masyarakat.
Feminisme Liberal pada abad 20, The Feminis Mistique yang ditulis oleh Betty Frieden, bila dibandingkan dengan buku yang ditulis sebelumnya
oleh Wollestone, J S Mills dan Harriet Taylor terkesan tidak radikal. Menurut Betty perempuan kelas menengah yang menjadi ibu rumah tangga merasa
hampa dan muram, sehingga mereka menghabiskan waktunya untuk berbelanja, mempercantik diri, bagaimana memuaskan nafsu suami dsb. Jalan
keluar yang ditawarkan Frieden adalah kembali ke sekolah dan berkontribusi dalam ekonomi keluarga dan tetap berfungsi sebagai ibu rumah tangga
dengan tetap masih mencintai suami dan anak. Frieden meyakini bahwa karier dan rumah tangga bisa berjalan
seiring. Baru dua puluh tahun kemudian ia menyadari dalam bukunya The Second Stage bahwa menangani karier dan rumah tangga sangat sulit, karena
dia harus melayani dua majikan suaminya dan atasannya di kantor. Ia memberikan jalan keluar bahwa perempuan harus melakukan pergerakan
sehingga menyadari keterbatasan-keterbatasan dirinya yang diciptakan masyarakat sehingga bisa memperbaiki kondisi. Bekerja sama dengan laki-
laki untuk merubah pola pikir masyarakat pada bidang publik, kepemimpinan, struktur institusi dan privat suami mulai ikut memikul beban keluarga yaitu
ekonomi, rumah, dan anak-anak secara bersama-sama. Dalam beberapa hal, perbedaan antara Friedan dalam The Feminine
Mystique, Friedan dalam The Second Stage adalah perbedaan antara seorang feminis yang percaya bahwa perempuan perlu menjadi sama dengan laki-laki
untuk menjadi setara dengan laki-laki, dan seorang feminis yang percaya
bahwa perempuan dapat menjadi setara dengan laki-laki jika masyarakat menghargai yang “feminin” dan “maskulin” Tong, 1998:16-44
Arah Feminis Liberal menginginkan terbebasnya perempuan dari peranan gender dan opresif. Mereka berargumentasi bahwa dalam masyarakat
yang patriarkhi pekerjaan yang cocok untuk perempuan diasosiasikan pada sifat feminine seperti guru, perawat, sekretaris, kasir di bank dsb.
Penentangan stereotype tersebut harus melalui pendidikan androgini –yang mempunyai dimensi laki-laki dan perempuan- baik di sekolah maupun di
rumah. Androgini telah membantu mereka dalam meraih kebebasan, persamaan hak dan keadilan. Negara ikut bertanggung jawab untuk menjamin
tidak ada lagi diskriminasi pada perempuan baik seksual maupun penghasilan dan menjamin perempuan terbebas dari pelecehan seksual, pemerkosaan dan
kekerasan. Feminisme Liberal sangat penting dalam pergerakan feminis dengan
perjuangannya untuk perempuan di barat untuk meraih persamaan hak, penindasan diskiriminasi ditempat kerja dan perubahan hukum yang lebih
menguntungkan perempuan. Kritik pada Feminis Liberal pertama Jean Bethke Elshtain dalam bukunya A Polotical Theorist. Mengkritik bahwa
semua perempuan ingin menjadi seperti laki-laki, mengadopsi sifat laki-laki mengutamakan rasionalitas tidak boleh menunjukkan sifat emosionalnya
untuk mengurangi ketertindasannya. Menurut Elshtain, perempuan tidak boleh mengadopsi cara berfikir laki-laki. Perempuan mempunyai cara berfikir
sendiri yang bisa dipertahankan. Laki-laki maupun perempuan harus
mengadopsi dua-duanya baik cara berfikir laki-laki maupun perempuan. Kita tidak boleh mendikotomikan nurture dan nature.
Perubahan tidak bisa dilakukan hanya melalui kelompok-kelompok kecil. Kerena dalam kelompok-kelompok kecil justru akan menghancurkan
kumunalitas. Padahal untuk melobi pemerintah harus melalui gerakan massa komunal, untuk itu penting sekali adanya commite organizer yang bisa
mengorganisasi massa. Kritik kedua dalam Feminist politics dan Human Nature, Alison Jaggar menfomulasikan kritik yang kedua, seperti Elshtain
Jaggar juga mengkritik feminis Liberal bahwa perempuan harus mengadopsi nilai laki-laki yaitu rasionalitas dan otonomi. Sedangkan menurut Jaggar tidak
boleh mendikotomi nilai laki-laki dan perempuan justru laki-laki dan perempuan harus mengadopsi nilai kedua-keduanya secara seimbang. Jaggar
juga mengkritik feminis Liberal yang melihat perempuan itu satu, padahal menurut Jaggar perempuan tidak satu tapi bermacam-macam. Sehingga tidak
bisa melalui pendidikan dan dianggap akan menyalesaikan seluruh persoalan perempuan. Karena perempuan berbeda-beda keberadaanya.
Maka strategi pemecahannyapun juga harus berbeda-beda pula. Kritik ketiga Feminis Liberal telah menjenalisir perempuan itu sama, padahal
perempuan tidak hanya perempuan kulit putih, heteroseksual dan kelas menengah dan dari kelompok terpelajar, tetapi juga ada PSK, buruh, ada
perbedaan suku budaya, agama, sehingga penyebab ketertindasan perempuanpun juga tidak satu dan tentu strategi pemecahan masalahnyapun
tidak bisa sama. Misalnya: perempuan kulit putih dari kelas menengah tentu
berbeda dengan perempuan kulit hitam dari kelas bawah. http:www.asppuk.or.id
Namun Mill dalam Sumiarni mengartikulasi teori feminis liberal awal tidak dapat mengakomodir isteri dan ibu. Dalam bukunya The Subjection of
Women, Mill mengkritik bahwa pekerjaan perempuan di sektor domestic sebagai pekerjaan irasioanal, emosional dan tiranis. Mill menyuruh wanita
untuk menekan dan menghilangkan segala aspek yang ada kaitannya dengan pekerjaan domestik agar kebahagiaan tertinggi menusia dapat tercapai. Hal
yang sama dikemukakan oleh Sarah Grimke 1970 : 85 bahwa wanita menikah terpenjara dalam sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran
suami: “Man has exercised the most unlimited and brutal power over women, in the peculiar character of husband, a woed in most countries
synonymous with tyrant”. Pria telah melakukan kekerasan tidak terbatas dan brutal terhadap wanita, dengan karakter unik dari suami, sebuah kata yang
identik dengan tiran di hampir seluruh dunia Sumiarni, 2004:64-65 . Sementara itu menurut Taylor dalam tulisanya, “Bahkan jika setiap
perempuan, seperti yang terjadi saat itu, dapat bergantung kepada laki-laki untuk menopang hidupnya, adalah sangat lebih disukai jika sebagian dari
penghasilan perempuan itu sendiri, bahkan jika jumlah total penghasilan hanya sedikit bertambah oleh penghasil perempuan itu, daripada perempuan
diharuskan untuk meminggirkan diri agar laki-laki dapat menjadi penopang hidup satu-satunya, dan menjadi satu-satunya yang berhak untuk
mengeluarkan apa yang dihasilkan itu.” Ringkasnya, untuk menjadi partner,
dan bukannya budak dari suaminya, istri harus mempunyai penghasilan dari pekerjaannya di luar rumah. Tong, 1998:25
Pada feminisme liberal konsep yang digunakan peneliti antara lain seperti: 1.
Perempuan sebagai feminis menginginkan adanya kesetaraan kesempatan,dalam pendidikan, hak politik, dan ekonomi.
2. Perempuan sebagai feminis menjadi pembuat keputusan yang otonom.
3. Perempuan sebagai feminis mengkonstruksi ulang peran gender secara
sosial. 4.
Perempuan sebagai feminis tidak dapat membenarkan hukum atau tabu yang melarang semua perempuan untuk melakukan hal yang
dapat dilakukan laki-laki rata-rata dan dianggap tidak dapat dilakukan perempuan rata-rata, dan juga sebaliknya.
5. Menyangkal adanya perbedaan intelektual atau moral antara laki-laki
dan perempuan. 6.
Membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran- peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk
memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan. Tong, 1998
2.1.6. Respon Psikologi Warna
Warna merupakan symbol yang menjadi penandaan dalam suatu hal. Warna juga dianggap sebagai satu fenomena psikologi. Respon psikologi dari masing-
masing warna Deddy Mulyana, 2005:377 : 1.
Merah : Power, Energi, Kehangatan, Cinta, Nafsu, Agresif, Bahaya. Merah jika dikombinasikan dengan putih, akan mempunyai arti ‘bahagia’
dibudaya oriental. 2.
Biru : Kepercayaan, Konservatif, Keamanan, Teknologi, Kebersihan, Keteraturan.
3. Hijau : Alami, Sehat, Keberuntungan, Pembaharuan.
4. Kuning : Optimis, Harapan, Filosofi, Ketidakjujuran, Pengecut untuk
budaya barat, Pengkhianat. 5.
Ungu atau Jingga : Spiritual, Misteri, Kebangsawanan, Transformasi, Kekasaran, Keangkuhan.
6. Orange : Energi, Keseimbangan, Kehangatan.
7. Coklat : TanahBumi, Reliability, Comfort, Daya Tahan.
8. Abu-abu : Intelek, Masa depan kaya warna millennium, Kesederhanaan,
Kesedihan. 9.
Putih : Kesucian, Kebersihan, Ketepatan, Ketidakbersalahan, Kematian. 10.
Hitam : Power, Seksualitas, Kecanggihan, Kematian, Misteri, Ketakutan, Kesedihan, Keanggunan.
2.1.7. Film “Toy Story 3” Toy Story adalah sebuah sebuah film animasi menggunakan gambar
yang dibuat oleh komputer Computer-generated imageryCGI. Film yang dibuat oleh Pixar ini dirilis oleh Walt Disney Pictures dan Buena Vista
Distribution di Amerika Serikat pada 21 November 1995 serta di Britania Raya pada 22 Maret 1996.
Toy Story adalah film panjang dengan gambar buatan komputer pertama yang dirilis Disney, bahkan dikatakan sebagai yang paling pertama.
Film ini juga merupakan film Pixar pertama yang dirilis ke bioskop, meraup pendapatan terbanyak di seluruh dunia. Ceritanya berkisar tentang
petualangan mainan yang digambarkan bisa hidup jika tidak ada orang.
Sekuel film ini, Toy Story 2, dan Toy Story 3, dirilis pada 1999 dan 2010. Video Buzz Lightyear of Star Command: The Adventure Begins dan
serial televisi Buzz Lightyear of Star Command yang dirilis pada 2000 menceritakan petualangan Buzz Lightyear, salah satu mainan dalam Toy
Story. Wikipedia, Toy Story
Toy Story kembali hadir bersama Woody disuarakan oleh Tom Hanks, Buzz disuarakan oleh Tim Allen dan segerombolan mainan lainnya
di layar lebar dalam Toy Story 3. Pada film ini terjadi transisi perubahan
dalam hidup seorang Andy, dimana Andy menjadi tumbuh dewasa. Andy bersiap-siap pergi dari rumah untuk kuliah, dan meletakkan mainan di atas
loteng, namun oleh Ibu Andy dibuang karena kantong plastik hitam
dipikirnya adalah sampah. Sangat kecewa segerombolan mainan milik Andy yaitu Buzz, Jessie koboi perempuan, Bullseye kuda, Tn and Ny Potato
Head, Rex dinasaurus, Slingky anjing, Hamm celengan babi, dan 3 sahabat kecil yang berasal dari dunia asing pizza planet. Mereka akhirnya
masuk kedalam kardus yang akan disumbangkan oleh Ibu Andy ke penitipan anak, tidak hanya mainan Andy saja yang ada didalamnya. Molly, adik
perempuan Andy juga menyumbangkan boneka kesayangannya yaitu Barbie.
Sunny Side adalah penitipan anak, namun tempat penitipan anak menjadi neraka bagi Buzz dan teman-teman lainnya. Bertemunya Losto
Hugging Bear, Ken, Big Baby di Sunny Side, membuat segerombolan mainan Andy terjebak di ruang ulat bulu tempat bermainnya para balita liar dan
tangan-tangan kecil mereka memainkan mainan dengan kasar. Buzz dan teman-teman lainnya tidak percaya perkataan Woody, yang sebenarnya Andy
tidak membuang mainan-mainannya namun akan diletakkan di atas loteng. Perjuangan untuk membebaskan diri telah direncanakan oleh segerombolan
mainan Andy.
Perjuangan terlihat pada saat Barbie mengancam Ken untuk memberitahu bagaimana cara mengembalikan Buzz, kemudian Jessie sosok
koboi perempuan terlihat berani pada saat menentang Losto untuk kembali ke ruang ulat bulu. Kekompakan dan kerja sama mereka akhirnya berhasil keluar
dari tempat penitipan anak. Sikap pemberani Barbie, Ny Potato Head, dan Jessie mencerminkan gerakan feminisme. Dimana perempuan sudah saatnya
memperjuangkan dan menghapuskan ketidakadilan sosial yang berkaitan
dengan keberadaan perempuan T.O Ihromi, 1993 dalam Romany Sihite, 2007:85
Seperti yang dilaporkan Dialy Mail, feminis di sebuah majalah berpengaruh menuduh film animasi Toy Story 3 pada karakter Berbie “yang
terlalu emosional”. Dan karakter satu wanita dari tujuh laki-laki adalah tidak adil.http:entertainment.kompas.comread2010070102242945.Hati-
hati.dengan.Toy.Story.3 diakses 5 Maret 2011, 10:41 WIB.
Animasi merupakan salah satu daya tarik industri sinema yang sangat menarik dan tidak terbatas pada kalangan anak-anak semata. Banyak film
animasi yang berhasil menduduki posisi puncak box office dan menyedot penonton dewasa. Meski demikian tidak dipungkiri juga anak-anak memiliki
ikatan emosional yang lebih erat dengan film animasi. Karena itu, film jenis ini bisa memainkan peran yang signifikan dalam pertumbuhan anak.
Sekarang ini, sering sekali kita menyaksikan banyaknya orang tua yang membiarkan anak-anaknya bebas menonton film animasi tanpa
pengawasan bahkan sebagian menjadikan film tersebut sebagai hadiah bagi anak-anak mereka. Tentu saja, film semacam itu bukan sekedar tontonan
menghibur bagi anak tapi juga menjadi faktor berpengaruh bagi pertumbuhan mental dan fisik anak. Menurut para peneliti, anak pada usia tiga hingga lima
tahun hanya menjadi penonton dan belum memiliki kekuatan untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Karena itu apa yang dilihatnya,
mereka anggap sebagai kenyataan.
Kemampuan animasi dalam membidik rasa tertarik dan daya imajinasi anak membuat jenis film tersebut mampu memainkan peran yang
berpengaruh terhadap perkembangan daya pikir anak. Ironisnya saat ini banyak film animasi yang semestinya tidak layak ditonton anak-anak dan
banyak mengandung tema-tema kekerasan, horor, dan bahkan masalah orang- orang dewasa seperti seks dan hubungan percintaan. Namun sebagaimana
yang telah disinggung sebelumnya, minimnya kemampuan daya pikir dan analisa anak, tontonan animasi semacam itu bisa menjadi faktor perusak bagi
masa depan mereka.
Perkembangan pesat film animasi dalam beberapa tahun belakangan ini tidak diimbangi dengan aturan dan pengawasan yang jelas. Di era dekade
80-an dan awal 90-an, sensor terhadap film dan segmentasi usia penonton diberlakukan secara lebih ketat. Sebagai misal, dalam film kartun pada masa
itu penggambaran senjata secara real tidak diperkenankan. Adanya pengawasan dan pembatasan semacam itu relatif memberikan ketenangan
bagi para orang tua dan pendidik. http:indonesian.irib.irindex.php?option=com_contentview=articleid=2
5411:anak-anak-dan-dunia-animasi-1catid=63:sosialItemid=69, diakses 20 April 2011, 21:10 WIB
2.1.8. Semiotika
Secara etimologis, istilah Semiotik berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang
atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain Eco, 1979:16 dalam Alex Sobur, 2002:95 .
Secara terminologis, semiotic dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek – objek, peristiwa – peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda Eco, 1976:6 dalam Alex Sobur, 2002:95 . Pengertian lain yang dikemukakan Van Zoest mengartikan semiotic sebagai
“ilmu tanda sign dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan
penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”. Semiotika, yang biasanya di definisikan sebagai pengkajian tanda-
tanda the study of signs pada dasarnya merupakan sebuah study atas kode- kode, yaitu sistem apapun yang memunkinkan kita bmemandang entitas-
entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna scholes, 1982 : ix dan budiman , 2004:3 .
Semiotika modern mempunyai dua orang bapak yaitu Charles Sandera Pierce 1839 – 1914 dan Ferdinand De Saussure 1857 – 1913. Terdapat
perbedaan antara Pierce dan Saussure. Pierce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah tokoh cikal bakal linguistic umum
Sobur, 2004:110 . Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Peirce berkehendak untuk
menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia. Teori Peirce tentang
tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim
bagi logika Budiman, 2005 : 33 . Logika, secara umum, adalah … sekedar nama lain dari semiotika
…, suatu doktrin formal atau quasinecessary tentang tanda-tanda. Yang saya maksud dengan mengatakan doktrin ini sebagai
“quasinecessary” atau formal adalah bahwa kita mengamati karakter- karakter tanda tersebut sebagaimana yang kita tahu, dan dari
pengamatan tadi … kita arahkan kepada pernyataan-pernyataan yang bisa saja keliru dan, dengan demikian, dalam arti tertentu sama
sekali tidak niscaya Peirce, 1986 : 4 dalam Budiman, 2005 : 34.
Di sisi lain, kedua, terdapat pula tradisi semiotika yang dibangun berdasarkan teori kebahasan Ferdinand de Saussure 1857-1913, sebagai
seorang sarjana linguistik di Perancis. Sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam
masyarakat dapat dibayangkan, ia akan menjadi bagian dari psikologi sosial dan, sebagai konsekuensinya, psikologi general, ia akan saya
beri nama semiologi dari bahasa Yunani semeion ‘tanda’. Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-
kaidah apa yang mengendalikannya Saussure, 1996 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35
2.1.9. Model Semiotika John Fiske
John Fiske adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi dalam bukunya Cultural and Communication Studies. Menurut John Fiske, dalam
bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif pertama
melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Sedangkan perspektif kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif
yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika ilmu tentang tanda dan
makna Fiske, 2006:9 . Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya
pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan
dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda
antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan.
Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik.
Analisis semiotik menurut John Fiske dibagi menjadi tiga level, yaitu: 1.
Level Realitas reality Pada level ini, realitas dapt berupa penampilan, pakaian dan make-up yang
digunakan pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi, suara dan
sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis Fiske, 1990:40 .
Kode – kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa :
a. Penampilan, kostum, dan make up yang digunakan oleh
pemain utama dalam film ”Toy Story 3”. Dalam penelitian ini pemeran yang menjadi objek penelitian adalah Jessie, Ny Potato head
dan Barbie. Bagaimana pakaian dan tata rias yang digunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut memberikan
signifikasi tertentu menurut kode sosial dan cultural. b.
Behavior atau perilaku adalah segala respon atau aktivitas yang dilakukan oleh suatu organisme.
c. Conflict adalah suatu keadaan yang terjadi ketika dua atau
lebih dorongan perilaku atau motivasi yang saling bertentangan bertarung untuk mengekspresikan dirinya.
d. Expression atau ekspresi adalah merupakan pesan yang
menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan
paling sedikit sepuluh kelompok makna. Yakni : Kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan , kesedihan, kekesalan, pengecaman,
minat ketakjuban, dan tekat. e.
Gasture atau gerakan adalah komunikasi non verbal yang dilakukan oleh seseorang dalam menyampaikan pesan yang
mencerminkan emosinya dari pemikiran orang tersebut. Gasture atau
gerakan berhubungan dengan ekspresi seseorang dan bisa juga dilakukan saat seseorang melakukan komunikasi verbal. Contohnya
pada saat seseorang marah maka secara tidak langsung ekspresi muka mereka berubah menjadi lebih tegang, keningnya berkerut dan juga
melakukan gesture seperti bercekak pinggang, atau menggenggam tangan, seakan ingin meninju lawannya. Menurut John Fiske gerak
sebentar, gerak naik turun yang empatis sering menunjukkan upaya mendominasi. Meski lebih cair dan kontinyu, gesture menunjukkan
hasrat untuk menjelaskan atau meraih simpati Fiske, 1990:97 .
2. Level Representasi representation
Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat
konvensional. Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting, casting dan sebagainya. Level representasi
meliputi : a.
Teknik Kamera : Jarak dan sudut pengambilan Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi :
1. Long Shot LS, yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah
manusia maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi yaitu
Extreme Long Shot ELS, mulai dari sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu di atas kepala. Pengambilan gambar long
shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada
penonton mengenai penampilan tokoh termasuk pada body language, ekspresi tubuh, gerak cara barjalan dan sebagainya dari
ujung rambut sampai kaki yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan
tersebut. 2.
Medium Shot MS, yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di
atas kepala. Dari medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide Medium Shot WMS, gambar medium shot tetapi agak
melebar kesamping kanan kiri. Pengambilan gambar medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton
tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan dengan long shot.
3. Close-Up CU, yaitu shot gambar yang jiak objeknya adalah
manusia, maka dapat diukur dari bahu hingga sedikit ruang di atas kepala. Pengambilan gambar close up menggambarkan dan
memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan ekspresi dan dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton.
4. Eksterm Close-Up, menggambarkan secara detail ekspresi pemain
dari suatu peristiwa lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir,tangan dan sebagainya.
5. Estabilishing Shot , Biasanya digunakan untuk membuka suatu
adegan.
b. Pencahayaan
Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena cahayalah informasi bisa dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur
teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai “painting withlight”, melukis dengan cahaya.
Namun dalam perkembangannya bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi
waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan Biran,2006:43 .
c. Penata Suara
Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas lebih lanjut penggunaan voice over yang sering dimunculkan di beberapa scene film
”Toy Story 3”. Voice Over VO adalah suara-suara diluar kamera, dapat berupa narasi atau penuturan seorang tokoh Effendy, 2002 : 155 . Voice
Over sering digunakan sebagai penjelasan suatu cerita yang berasal dari sudut pandang orang pertama.
d. Teknik Editing
a. Cut: perubaan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang
atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point
view, atau membentuk kesan terhadap image atau ide. b.
Jump cut: untuk membuat suatu adegan yang dramatis. c.
Motivated cut: bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.
e. Penataan Musik
Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas labih lanjut pada teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level
representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi feminisme Liberal dalam film ”Toy
Story 3”.
3. Level Ideologi ideology
Level ideologi diorganisasikan ke dalam kesatuan coherens dan penerimaan sosial social acceptability seperti individualism, kelas patriarki, gender, ras,
materialism, capitalism dan sebagainya.
2.1.10. Film Dalam Pendekatan Semiotika
Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda. Studi ini tidak hanya mengarah pada tanda dalam kehidupan sehari-hari,
tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut, bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata images, suara, gesture, dan obyek. Bila kita
mempelajari tanda tidak biasa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain membentuk suatu sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih
sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan John Hartlye, konsentrasi semiotik
adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam
kode-kode Chandler, 2002 : www.aber.ac.uk .
Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural and Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu
komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transisi pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai
produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang ke dua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang
utama adalah semiotika Fiske, 2006 : 9. Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis
struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan Van Zoest, 1993 : 109, dalam Sobur, 2004 : 128, film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-
tanda itu termasuk berbagi sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.
Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest,
bersamaan dengan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu Van Zoest, 1993 : 109, dalam Sobur, 2004 : 128.
Memang, ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar-gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis
bagi realitas yang dinotasikannya. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu
termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Yang penting dalam film adalah gambar dan
suara : kata yang diucapkan ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar dan music film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi
dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu Sobur,2004 : 128.
Menurut Fiske dalam bukunya berjudul Television Cultural, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar wide screen disetarakan dengan
analisis film yang ditayangkan di televisi. Fiske mengkategorikan sign pada film ke dalam tiga kategori, yakni kode-kode sosial social codes, dan kode-
kode teknis technical codes, dan kode-kode representasi representational codes. Kode-kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hirarki yang
kompleks Fiske, 1990 : 40, dalam Mawardhani, 2006 : 39. Analisis yang dilakukan pada film “Toy Story 3” ini dapat terbagi menjadi beberapa level,
yaitu : 1.
Level pertama adalah realitas reality, kode sosialnya antara lain penampilan appearance, kostum dress, riasan make-up,
lingkungan setting, kelakuan behavior, dialog speech, gerakan gesture, expresi expression, suara sound.
2. Level kedua adalah representasi representation, kode sosialnya
antara lain kamera camera, pencahayaan lighting, editing perevisian, dialog dialogue, pemeran casting, dll.
3. Level ketiga adalah ideologi ideology, kode sosialnya antara lain
narasi narrative, konflik conflict, karakter character, aksi action, dialog dialogue, latar setting, pemeran casting, dll.
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam film adalah
gambar dan suara, kata yang diucapkan? Ditambah dengan suara-suara lain
yang serentak mengiringi gambar-gambar. Dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni
tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu Sobur, 2004 : 128.
2.2. Kerangka Berpikir