REPRESENTASI FEMINISME LIBERAL DALAM FILM “TOY STORY 3” (Studi Semiotik Tentang Representasi Feminisme Liberal Dalam Film ”Toy Story 3” karya Wall Disney dan Pixar Animation).

(1)

SKRIPSI

 

   

   

   

   

 

Oleh :

AJENG ARIESTYANTI

NPM. 0743010177

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2011


(2)

Disusun Oleh :

AJENG ARIESTYANTI

NPM. 0743010177

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

PEMBIMBING

Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si

NPT. 3 7006 94 0035 1

Mengetahui

DEKAN

Dra.Ec.Hj. Suparwati, M.si

NIP. 195507181983022001


(3)

AJENG ARIESTYANTI NPM. 0743010177

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 29 Juli 2011

PEMBIMBING UTAMA TIM PENGUJI 1. Ketua

Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si NPT. 3 7006 94 0035 1 NPT. 3 7006 94 0035 1

2. Sekertaris

Dra. Diana Amalia, Msi NIP. 196 309 071 991 032 001

3. Anggota

Dra. Herlina Suksmawati, Msi NIP. 19641225 199309 2001

Mengetahui, DEKAN

Dra.Ec.Hj. Suparwati, M.si NIP. 195507181983022001


(4)

 

JUDUL...i

HALAMAN PENGESAHAN...ii

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI ...v

ABSTRAKSI ...viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Perumusan Masalah...11

1.3 Tujuan Penelitian...11

1.4 Manfaat Penelitian...12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori ...13

2.1.1 Film ...13

2.1.2 Representasi...15

2.1.3 Perempuan Sebagai Feminisme...19

2.1.4 Feminisme...22

2.1.5 Feminisme Liberal...31

2.1.6 Respon Psikologi Warna ...41

2.1.7 Film”Toy Story 3”...42


(5)

vi 

 

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian ... 58

3.2 Subjek Penelitian ... 59

3.3 Kerangka Konseptual...59

3.3.1 Corpus ...59

3.4 Definisi Operasional...61

3.4.1 Representasi ...61

3.4.2 Film ...61

3.4.3 Feminisme Liberal …...64

3.5 Unit Analisis...68

3.6 Teknik Pengumpulan Data...69

3.7 Teknis Analisis Data ...69

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Obyek dan Penyajian Data...71

4.1.1 Gambaran Umum Obyek...71

4.1.2 Tokoh Film Toy Story 3...73

4.3 Analisis Data ...83

4.3.1 Analisis Tampilan Visual dalam Scene Feminisme Film Toy Story 3 dengan Pendekatan Semiotik John Fiske ……….83


(6)

vii 

 

5.1. Kesimpulan………132

5.2 Saran ………..133

DAFTAR PUSTAKA ... 134


(7)

viii

Ajeng Ariestyanti, REPRESENTASI FEMINISME LIBERAL DALAM FILM “TOY

STORY 3” (Studi Semiotik Tentang Representasi Feminisme Liberal Dalam Film “Toy Story 3” karya Wall Disney dan Pixar Animation)

Pixar Animation telah membuat film animasi yang menggebrakkan dunia perfilman, yaitu “Toy Story 3”. Film ini mengantongi 3 piala Oscar di Academy Award 2011. Film yang ceritanya berkisar tentang petualangan mainan yang digambarkan bisa hidup jika tidak ada orang. Pada film ini terjadi transisi (peerubahan) dalam hidup seorang Andy, dimana Andy menjadi tumbuh dewasa. Sehingga terdapat kisah lucu, sedih, perjuangan, haru, menyenangkan yang dicampur menjadi satu. Tetapi didalamnya terdapat penindasan perempuan yang dapat dilihat oleh siapapun terutama anak-anak. Secara semberono film ini membeda-bedakan perempuan dan laki-laki, bahkan karakter perempuan didalamnya terlihat ‘emosional’. Gerakan feminisme liberal itu sangat jelas diperlihatkan di dalam film ini, terutama adalah perlawanan kekerasan fisik maupun moral yang dilakukan Losto (penguasa) kepada mainan Andy. Hal ini diperkuat juga dengan tokoh Ny Potato Head, Berbie dan Jessie raut muka yang emosional. Hal itu tentunya tidak sesuai dengan Deklarasi Universal mengenai penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, yakni Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi, Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain yang tidak manusiawi, Hak persamaan, Hak atas kehidupan, dsb.

Maka tanda-tanda feminisme liberal dalam scene-scene film itu akan direpresentasikan oleh peneliti dengan memakai teori semiotik Jhon Fiske, dengan memakai pemilahan scene-scene yang menunjukkan tanda-tanda adanya feminisme liberal. Dengan menggunakan kode-kode yang diwakili atas tiga level. Kode-kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hierarki yang kompleks. Analisis yang dilakukan pada film “Toy Story 3” ini dapat terbagi menjadi beberapa level, yaitu: Level Realitas (reality) seperti Penampilan, Kostum, Tata Rias, Lingkungan, Tingkah Laku, Cara Bicara, Gerak Tubuh, Ekspresi, Suara, dll, Level Representasi (representation) seperti Kamera, Cahaya, editing, Musik, dan Level Ideologi (ideology) seperti dialog.

Dalam penelitian ini feminisme adalah sebuah gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut (Fakih, 2001:99). Dalam sepanjang perkembangannya ada beberapa jenis gerakan feminisme, diantaranya feminism liberal, feminism radikal, feminism sosialis, feminism marxis, feminism post modern, feminism psikoanalitik dan feminism eksistansialis. Namun film “Toy Story 3” lebih tergambarkan adanya gerakan feminisme liberal. Feminisme liberal adalah menginginkan terbebasnya perempuan dari peranan gender dan opresif, agar meciptakan hak yang sama dan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki (Tong, 1998)


(8)

ix

menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2002:5). Metode penelitian kualitatif lebih banyak dipakai untuk meneliti dokumen yang berupa teks, gambar, symbol dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks social tertentu.

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode semiotic. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004:15). Dengan menggunakan metode semiotic, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan dalam film, selanjutnya akan menjadi corpus dalam penelitian ini. Dan kemudian secara khusus peneliti menggunakan metode penelitian analisis semiotika yang dikemukakan oleh Jhon Fiske, untuk menginterpretasikan atau memaknai feminisme liberal dalam tokoh Jessie, Ny Potato Head, Berbie dalam film “Toy Story 3”.

Penelitian menggunakan analisis berupa representasi terhadap scene-scene yang menunjukkan karakteristik feminisme liberal, Pertama film akan di pilah penanda-penandaanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun. Pada tahap kedua film “Toys Story 3” scene-scene yang sudah dipilah tersebut akan dianalisa secara mendalam dan dimaknai, yang menunjukkan adegan feminisme liberal dari perempuan, menurut level realitas dan representasi dan ideology menurut Jhon Fiske. Setelah itu akan ditemukan representasi feminisme liberal yang ada dalam film tersebut. Yang disimpulkan bahwa dari feminisme yang dihadirkan dalam film ini, feminisme liberal yang lebih banyak. Karena Feminisme liberal merupakan gerakan yang menyadarkan perempuan bahwa mereka bukan golongan tertindas.


(9)

1

1.1. Latar Belakang Masalah

Film merupakan media komunikasi massa (mass communication), yaitu komunikasi melalui media massa modern. Film hadir sebagai bagian kebudayaan massa yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri. Sebagai bagian dari budaya massa yang populer, film adalah sebauh seni yang sering dikemas untuk dijadikan sebagai komoditi dagang bagi para pelaku bisnis. Hal ini tentu sangat beralasan, karena film dikemas untuk dikonsumsi dalam jumlah yang sangat besar. Karakter film sebagai media massa mampu membentuk semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi film tersebut berhubungan langsung dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan selera publik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa film merupakan sebuah potret atau gambaran dari masyarakat terhadap pembuatan film itu sendiri. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikannya ke dalam layar lebar, Irawanto dalam (Alex Sobur 2002 : 127).

Film sebagai dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas, yang mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Membuat


(10)

filmnya. Sehingga pengambilan tema dari suatu film merupakan hal terpenting yang tidak dapat dipandang sebagai hal yang biasa dan diterima begitu saja. Banyak hal yang terlibat di dalamnya, diantaranya sudut pandang bagi para pemuat film, serta realita yang dilihat oleh para pemain film terhadap nilai-nilai masyarakat yang ada. Dalam perkembangannya, film bukan lagi sekedar usaha menampilkan "Citra Bergerak" (Moving Image) namun juga telah diikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup.

Realitas yang ditampilkan dalam film merupakan sebuah realitas yang sebenarnya, atau juga berupa realitas imajinasi. Setiap film yang dibuat atau diproduksi pasti menawarkan suatu pesan kepada para penontonnya. Jika dikaitkan dengan kajian komunikasi, suatu film yang ditawarkan harusnya memiliki efek yang sesuai dengan keterkaitan pesan yang diharapkan, jangan sampai inti pesan tidak dapat tersampaikan dengan baik. Film menunjukkan kita tentang perkembangan sejarah kehidupan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan harapan manusia di masa yang akan datang. Fenomena perkembangan film yang begitu pesat membuat film kini disadari sebagai fenomena budaya yang progresif. Bukan saja oleh Negara yang memiliki industri film besar, tetapi juga oleh Negara yang baru menata industri filmnya. Apa yang telah dihasilkan oleh Hollywood, Bombay, dan Hongkong dengan mengglobalkan sesuatu yang semula hanyalah sebuah sub-kultur di negara


(11)

bisa membentuk komunitas sendiri karena sifatnya yang universal (Mambor, 2000 : 1).

Academy Awards atau disebut juga Piala Oscar adalah penghargaan film paling terutama di Amerika Serikat. Piala Oscar pertama diberikan pada 16 Mei 1928, pada saat itu Pemenang Piala Oscar terbanyak adalah Ben-Hur, Titanic dan The Lord of the Rings: The Return of the King, masing-masing yang memenangkan 11 piala. Academy Award for Best Animated Feature (Film Animasi Terbaik) diberikan untuk pertama kali pada tahun perfilman 2001. Pixar sukses membuat film animasi dari tahun 2001, semua telah mendapatkan nominasi dan memenangkan penghargaan animasi terbaik. Pada saat itu film animasi yang sukses adalah finding Nemo, The Incredibles, Ratatouille, WALL-E, dan UP.(http://id.wikipedia.org/wiki/Film_Animasi_Terbaik_%28Oscar%29, diakses 5 Maret 2011, 10.32 WIB)

Di Indonesia akhirnya berhasil membuat film animasi 3D yang pertama ditayangkan di layar lebar. Film tersebut berjudul Meraih Mimpi yang diproduksi Infinite Frameworks (IFW), studio animasi yang berpusat di Batam. Film Meraih Mimpi sebenernya merupakan adaptasi dari karya buku Minfung Ho berjudul Sing to The Dawn. Buku tersebut menceritakan kakak beradik yang berusaha melindungi tempat tinggal mereka dari kontraktor penipu. Setelah film selesai pada tahun 2008, film Sing to The Dawn mulai didistribusikan ke berbagai Negara mulai dari Singapura, Korea dan Rusia. Alasan film ini tidak


(12)

recognizition. Namun akhirnya gagal bersaing dengan film Homeland.

(http://id.shvoong.com/entertainment/movies/1936024-meraih-mimpi/#ixzz1IWvLmcyi, diakses 4 April 2011, 12.30 WIB)

Pixar Animation, film produksi salah satu unit Wall Disney itu telah membuat film animasi yang telah menggebrakkan dunia perfilman di Amerika Serikat. Film lanjutan dari petulangan Toys Story 1 dan Toys Story 2, muncul

Toys Story 3. Seperti prediksi para pengamat perfilman barat, Toys Story 3

menjadi film yang sangat bersinar sepanjang musim panas ini di tangga film box

office Amerika Serikat. Film Toys Story 3 menjadi film terlaris di tahun 2010

dengan meraup total pendapatan hingga 414 juta dollar AS hanya untuk peredaran di kawasan domestic saja (Amerika Serikat). Film racikan sutradara Lee Unkrich dan Guido Quaroni ini berhasil mengikuti kesuksesan Shrek 2, dengan perolehan pendapatan mencapai 405 juta dollar AS. Bulan lalu, prestasi serupa juga di capai Shrek 2, setelah menjadi film kartun yang paling sukses di dunia dan menjadi blockbuster terbesar sepanjang musim panas.

Film-film sekuel memang menjadi bisnis terbesar di box office Amerika sepanjang beberapa bulan terakhir ini. Hal ini terbukti dengan ditempatinya posisi kedua oleh Iron Man 2, yang berhasil menghasilkan 312 juta dollar AS dan disusul The Twilight Saga's Eclipse dengan penghasilan sebesar 298 juta dollar. Lima besar untuk film musim panas ini juga diduduki Inception (267 juta) dan Shrek Forever After (238 juta).


(13)

Film ketiga yang juga akhir dari seri film produksi Pixar ini mendapatkan 3 piala Oscar di Academy Awards 2011 yaitu film terlaris pada pemutaran perdananya, film Toys Story 3 juga menjadi film terbaik animasi dan the best picture. Dengan prestasi tersebut, menempatkan film Toys Story sebagai film animasi paling sukses dalam tangga film box office di Inggris. Film animasi garapan sutradara Lee Unkrich, berhasil membukukan rekor di tangga film box office Inggris.

(http://entertainment.kompas.com/read/2010/07/27/1822420/.Toy.Story.3.Buku kan.Rekor.di.Inggris, diakses 5 Maret 2011, 10.41 WIB)

Film Toys Story kembali hadir bersama Woody (disuarakan oleh Tom Hanks), Buzz (disuarakan oleh Tim Allen), tidak ketinggalan boneka Barbie yang ikonik berserta Ken, dan segerombolan mainan plastik lainnya di layar lebar dalam Toys Story 3. Sutradara Lee Unkrich berserta tim Toys Story 3 meneruskan tradisi Pixar yang menyatukan fun dan cerita dengan sebuah tema. Film ini menceritakan tentang perubahan, menghadapi sebuah transisi dalam hidup, karakter-karakter dihadapkan dengan perubahan besar dan bagaimana karakter tersebut menanganinya. Masalah yang muncul ketika beranjak dewasa dan memiliki seorang lelaki yang pergi kuliah, namun begitu emosionil dan membuat penontonnya menitikkan air mata. (http://www.newoes.com/toy-story-3-review-sinopsis-film-toy-story-3, diakses 5 Maret 2011, 10.43 WIB)


(14)

berarti, misalnya memperkaya wawasan atau pengetahuan yang baik bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Film pendidikan, film dokumenter, film religi atau film-film yang mengandung nilai-nilai sosial yang positif bagi masyarakat agar dapat terbentuk moral dan kualitas hidup yang baik. Namun film dapat pula menimbulkan efek negatif bagi khalayak. Efek yang dapat ditimbulkan dari film yang hanya sebatas menampilkan adegan-adegan kekerasan, sadisme, seksualitas yang tidak terlalu difilter (saring) secara jeli, diskriminasi dan sejenisnya sangat jelas berbahaya jika diserap oleh khalayak (penonton) film yang kurang memahami makna tersirat yang terkandung dalam film.

Seperti dilaporkan Daily Mail, feminis di sebuah majalah berpengaruh menuduh film itu "secara sembrono membeda-bedakan perempuan dan laki-laki" dan mungkin merusak anak-anak.

Majalah terbitan AS, "Ms" mengklaim rasio karakter satu wanita dari tujuh laki-laki adalah 'tidak adil' dan perempuan digambarkan negatif di dalam film, itu, mulai dari omelan ibu pemilik boneka tokoh sentral, Andy, hingga ke karakter Barbie yang 'terlalu emosional'. Boneka plastik itu juga disebut 'pengkhianat' di dalam film tersebut karena meninggalkan kelompok demi hidup dengan Ken, sesuai impiannya.


(15)

keluarga ini dapat merusak gender dan norma seksual. "Kelakar tentang Ken, dengan memadukan homofobia dan kebencian terhadap wanita, menyampaikan pesan bahwa seburuk-buruknya anak laki-laki adalah jadi perempuan atau homoseks”.

Menurut penulis Natalie Wilson, “Anak-anak yang tumbuh besar dengan menonton tayangan yang membeda-bedakan perempuan dengan laki-laki akan tumbuh besar dengan ide stereotipe tentang sosok laki-laki dan perempuan.” Namun film box office ini, film sangat lucu dan cerdas. Suasana yang menyenangkan dan segar yaitu campuran dialog jenaka khas serta visual yang memanjakan mata.

Tapi Pixar belum menanggalkan skenario tentang kehebatan laki-laki. Mereka juga masih menganggap "setiap orang adalah kulit putih dan kelas menengah".

(http://entertainment.kompas.com/read/2010/06/30/1116014/Feminis.Awas.Pes an.Terselubung.di.Toy.Story.3, diakses 5 Maret 2011, 10.40 WIB)

Perfilman anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film animasi atau kartun. Jenis film ini sangat popular di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini. Pada awalnya, film animasi memang dibuat sebagai sarana hiburan untuk anak-anak. Namun perkembangan teknologi animasi dan industri film turut memperluas ruang gerak film kartun,


(16)

Seiring dengan pertumbuhan film animasi yang kian pesat, ternyata tidak semua film animasi yang ditayangkan di layar lebar tersebut aman untuk ditonton oleh anak-anak. Meteri-meteri yang disajikan dalam film kartun sekarang ini sangat banyak memberikan penggambaran mengenai kekerasan fisik, adegan perkelahian pembunuhan, adegan yang terkait dengan seks, kekuatan gaib atau mistik, serta penggambaran nilai moral yang tidak eksplisit. Meteri-materi tayangan seperti ini sesungguhnya tidak lagi bersahabat dengan anak-anak, karena sudah menjurus anti sosial.

Film Toy Story 3 layak menjadi pusat perhatian karena karakter Berbie, Mrs.Pottato dan Jessie membawa pesan feminisme didalam ceritanya. Film yang dikemas menarik ini mendapat apresiasi yang begitu besar dari berbagai kalangan, khususnya anak-anak. Feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, diakses 5 Maret 2011, 10.44 WIB)

Banyak yang beranggapan bahwa perempuan feminis adalah perempuan yang berusaha menentang kodratnya sendiri. Banyak juga yang menganggap feminisme sebagai sebuah turunan dari kapitalisme dan sekulerisme budaya barat, yang tidak sesuai untuk budaya orang timur. Perempuan hanya menginginkan sebuah kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan mengeluarkan potensi. Perempuan menginginkan adanya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, memilih pekerjaan yang ia sukai


(17)

Dengan demikian tidak ada lagi anggapan bahwa wanita tidak pantas menjadi presiden, atau tidak pantas menjadi pembalap. Perempuan menginginkan akses yang sama pada segala hal, berdasarkan kapasitasnya masing-masing. Pada hakikatnya, perempuan bukan ingin dipandang sama dengan lelaki tetapi ingin dipandang sebuah individu yang setara dengan lelaki, sebagai manusia. Bukan sama melainkan setara. Karena perempuan dan laki-laki memang telah dilahirkan berbeda, baik secara anatomi, maupun emosi, maka kesamaan adalah sesuatu yang mustahil diraih dalam sebuah kondisi dualitas. Tetapi kesetaraan merupakan hal yang absolute, yang akan terus diperjuangkan untuk menciptakan kehidupan yang egaliter. (www.lingkarpeduliperempuan.blogspot.com, diakses 4 April 2011, 12.33 WIB). Penggambaran karakter pada tokoh Barbie yang mengancam Ken untuk membebaskan teman-teman boneka mainan lainnya yang terjebak diruang kelas yang penuh dengan anak-anak nakal. Adapun sosok koboi perempuan yakni Jessie, mempunyai karakter pemberani. Mrs.Pottato yang tidak terima karena dihina oleh boneka lain.

Inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengambil objek penelitian ini karena pada film ini menceritakan tentang petualangan yang digambarkan bisa hidup jika tidak ada orang. Namun ada pesan feminisme didalam ceritanya. Hal ini, menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mencari tahu bagaimana pesan feminisme Liberal direpresentasikan dalam film “Toy Story 3”.


(18)

film, fotografi, dan sebagainya (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm, diakses 4 April 2011, 12.31 WIB). Film terdiri atas kode-kode yang beraneka ragam, meliputi verbal dan non verbal (visual). Karena itu, peneliti menggunakan penelitian kualitatif, dengan pendekatan semiotika. Disini peneliti ingin mengekplorasi makna dari bentuk-bentuk visual yang tampak dalam film tersebut.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna (Sobur,2003 : 15). Sebuah tanda menunjukan pada sesuatu selain dirinya sendiri yang mewakili barang atau sesuatu yang lain itu, dan sebuah makna merupakan penghubung antara suatu objek dengan suatu tanda. Dengan pendekatan teori semiotika diharapkan dapat diketahui dasar keselarasan antara tanda verbal dengan tanda visual untuk mendukung kesatuan penampilan film serta mengetahui hubungan antara jumlah muatan isi pesan (verbal dan visual) dengan tingkat kreativitas pembuatan film.

Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan film, disosialisasikan kepada sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan didekati dari ragam bahasanya, tema, dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek


(19)

Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin memaknai film “Toy Story 3”, oleh karena itu yang sesuai adalah dengan menggunakan metode semiotika yang dikemukakan oleh John Fiske. Dengan menggunakan metode ini memungkinkan peneliti untuk mengetahui dan melihat lebih jelas bagaimana sebuah pesan diorganisasikan, digunakan, dan dipahami.

Penelitian ini mengambil judul REPRESENTASI FEMINISME LIBERAL DALAM FILM “TOY STORY 3” (Studi Semiotik tentang Representasi Feminisme Liberal dalam Film “Toy Story 3” karya Wall Disney dan Pixar Animation).

1.2. Perumusan Masalah

Menindaklanjuti dari latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah Bagaimanakah representasi feminisme Liberal yang digambarkan dalam film “Toy Story 3”.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, antara lain untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimanakah feminisme Liberal direpresentasikan dalam film “Toy Story 3”.


(20)

1. Menambah literatur penelitian kualitatif dan diharapkan dapat memberikan

sumbagan landasan pemikiran pada Ilmu Komunikasi mengenai studi analisis semiotik John Fiske.

2. Pemahaman ilmiah bahwa film sebagai komunikasi akan dipahami secara

berbeda sesuai konteks budaya masing – masing individu.

3. Memperkaya wawasan tentang perspektif feminisme dalam tema perfilman

khususnya animasi.

1.4.2. Manfaat secara Praktis

1. Memberikan pemahaman tentang representasi feminisme Liberal dalam film ”Toy Story 3”.

2. Sebagai masukan dan evaluasi bagi tim produksi film “Toy Story 3”, guna menjaga keseimbangan antara kreatifitas seni dan bertanggung jawab sosial.


(21)

13

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Film

Film juga dianggap sebagai media massa karena ia merupakan alat yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu muatan yang mempunyai kepentingan awam. Disamping itu, jumlah audiens nya bersifat massa, beragam dan luas.

Film hadir sebagai bagian kebudayaan massa yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri. Sebagai bagian dari budaya massa yang populer, film adalah sebauh seni yang sering dikemas untuk dijadikan sebagai komoditi dagang bagi para pelaku bisnis. Hal ini tentu sangat beralasan, karena film dikemas untuk dikonsumsi dalam jumlah yang sangat besar. Karakter film sebagai media massa mampu membentuk semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi film tersebut berhubungan langsung dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan selera public. Sehingga dapat disimpulkan bahwa film merupakan sebuah potret atau gambaran dari masyarakat terhadap pembuatan film itu sendiri. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikannya ke dalam layar lebar, Irawanto dalam ( Alex Sobur 2002:127 ).


(22)

Film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19 dengan perkataan lain pada waktu unsur – unsur yang merintangi perkembangan surat kabar yang dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya, film lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur teknik, politik, ekonomi, social, dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad 19. Film mencapai masa puncaknya di antara perang dunia I dan perang dunia II, namun merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan munculnya medium televisi ( Oey Hong Lee dalam Sobur, 2003:26 ).

Pengertian film menurut Undang - undang nomor 33 tahun 2009

tentang permasalahan, pasal I. Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata social dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.

Film sebagai media massa memiliki kelebihan antara lain dalam hal jangkauan, realism, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Film juga memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya, yaitu dapat menjangkau sekian banyak orang dalam waktu singkat, dan mampu memanipulasi kenyataan tanpa kehilangan kredibilitas ( McQuail 1994:14 ).

Selain memiliki kelebihan, film juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satu sebab khalayaknya kemudian berusaha mengkonsumsi media lain sebagai pelengkap atau pengulang ( repetisi ).


(23)

dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu)

dengan kamera, dan/atau oleh animasi (http://ayonana.tumblr.com/post/390644418/definisi-film diakses 18 April

2011, 14:28 WIB). Sejalan dengan perkembangan teknologi media, kini para pembuat film telah berhasil membuat film animasi. Animasi berasal dari animate yang berarti menghidupkan, memberikan jiwa dan menggerakan benda yang mati. Jadi yang dimaksud film animasi adalah film yang berupa gambar yang seolah-olah hidup dan bergerak

(http://id.shvoong.com/entertainment/movies/2074272-apa-beda-animasi-dan-kartun/ diakses 18 April 2011, 14:30 WIB).

2.1.2. Representasi

Menurut John Fiske yang dimaksud dengan representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya (Fiske, 2004 : 28).

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu


(24)

melakukan semua ini karena ia beoperasi sebagai system representasi. Lewat bahasa (Simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan mengamati kata-kata yang kita gunakan dan imej-imej yang kita gunakan dalam merepresentasi-kan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut. Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yang dipakai sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan : darimana suatu makna berasal? Bagaimana kita membedakan antara makna yang sebenarnya dari sesuatu atau imej dari sesuatu? Yang pertama adalah pendekatan reflektif. Di sini bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan intensional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai (http://www.fathurin-zen.com, diakses 19 April 2011, 15:10 WIB).

Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan


(25)

konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan system ‘peta konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi anatara ‘peta konseptual’ dengan bahasa atau symbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ‘sesuatu’, ‘peta konseptual’, dan ‘bahasa/simbol’ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa (http://www.fathurin-zen.com, diakses 18 April 2011, pukul 14.35 WIB).

Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol (Piliang, Yasraf Amir, 2006 : 24).

Representasi memiliki materialitas tertentu, yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah dan program televise. Representasi diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks tertentu (Barker, Chris, 2004 : 9).

Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep – konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk – bentuk yang kongkret. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses social pemaknaan melalui system penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa (http:kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses 19 April 2011, 14:30 WIB).


(26)

Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit budaya (circuit of culture). Melalui representasi, maka makna ( meaning ) dapat berfungsi dan pada akhirnya diungkap. Representasi disampaikan melalui tanda – tanda ( signs ). Tanda – tanda ( signs ) tersebut sepert bunyi, kata – kata, tulisan, ekspresi, sikap, pakaian, dan sebagainya merupakan bagian dari dunia material kita ( Hall, 1997 ).

Tanda – tanda tersebut merupakan media yang membawa makna – makna tertentu dan merepresentasikan ‘meaning’ tertentu yang ingin disampaikan kepada dan oleh kita. Melalui tanda – tanda tersebut, kita dapat merepresentasikan pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Pembacaan terhadap tanda – tanda tersebut tentu saja dapat dipahami dalam konteks social tertentu (http://www.readingculture.net/index.php?option=com_content&task=view &item.id=43 diakses 19 April 2011, 15:01 WIB).

Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu obyek yang ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian tanda – tanda. Tanda – tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi unsur sebuah film. Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera hingga music. Tanda dan unsur – unsur film ini akan dianalisis dan dicari maknanya, sehingga makna dibalik tanda tersebut dapat diungkap.

Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan susunan kalimat dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa ini terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan ( cut ), pengambilan gambar jarak dekat ( close up ), pengambilan gambar dari dua arah ( two shot ), dan lain – lain. Namun bahasa tersebut juga mencakup kode – kode representasi yang


(27)

lebih halus, yang tercakup dalam komplektivitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol – simbol yang paling abstrak dan arbiter (berubah – ubah) ( Sardar, 2001:156 dalam sobur 2003:130 ).

.

2.1.3. Perempuan sebagai feminis

Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan / The Englightenment, di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condoret yang berjuang untuk pendidikan perempuan.

Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang/wave dan menimbulkan kontroversi/perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism. Istilah feminis kemudian berkembang secara negative ketika media lebih menonjolkan perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara vulgar (misalnya: membakar bra).

Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidak adilan atau diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidak adilan/diskriminasi tersebut, pada dasarnya dapat disebut feminis (www.id.shvoong.com/humanities/ diakses 19 April 2011, 16:30 WIB)

Anak perempuan disosialisasi menjadi perempuan yang lemah lembut, pasif dan dependen ( Morris, 1980:39 dalam Romany, 2007:6 ).


(28)

Dengan kata lain, perempuan berperilaku feminin, patuh, tidak agresif dan apa yang pantas menurut gender. Pola pengasuhan terhadap perempuan juga masih didominasi dan penekanan pada peran dan pembagian kerja berdasarkan gender. Oleh sebab itu, bila perempuan melakukan tindakan berbeda dengan apa yang diharapkan masyarakat, mereka dicap sebagai aneh, abnormal, bertingkah laku menyimpang. Di Indonesia, misalnya perempuan yang biasa merokok sering dianggap bukan perempuan baik-baik. Berbeda halnya dengan laki-laki, merokok justru dianggap simbol maskulinitas

( Romany Sihite, 2007:6 ).

Sudah sejak lama perempuan selalu diidentikkan dengan sifatnya yang lemah lembut, cantik, atau keibuan, pasif, serta identik dengan pekerjaan yang dekat dengan lingkungan privat dan domestiknya, seperti mendidik anak, seperti ditulis oleh Sara Ahmed, “pengetahuan feminis adalah persoalan yang located dan situated. Bahkan “saya” adalah suatu hal yang located dan situated sedemikian sehingga cara saya menjadi feminis, termasuk cara pandang saya menjadi feminis, terhadap persoalan di sekitar saya juga mengalami perubahan. (Aquarini, 2006:14)

Berbagai permasalahan yang menimpa kaum perempuan saat ini, diyakini akibat hegemoni budaya patriaki dan struktur masyarakat yang berkiblat pada sistem Patriakhi yang mendominasi semua lini kehidupan. Secara kebahasaan, patriakhi berarti rule of the father, atau aturan dari Sang Bapak. Dalam sistem patriakhi, laki-laki yang berusia lebih tua (atau “Sang Bapak”) mengendalikan kekuasaan secara absolut terhadap pihak lain. Dari persoalan parfum sampai pada soal hukum, dari persoalan kulit sampai


(29)

dengan persoalan politik. Maka berbagai upaya mencari (baca melawan)

sparing partner hegemoni budaya patriakhi inilah kira-kira yang diagungkan

oleh para feminis, dan dirasa relevan berdasarkan asumsi posisi kaum perempuan selama ini adalah sebagai masyarakat kelas dua atau menduduki posisi sub ordinat dalam ruang publik, menjadi terdobrak oleh wacana ‘kesetaraan gender’ dalam mensejahterakan kaum perempuan. Bahwa munculnya budaya patriakhi dianggap menyengsarakan kehidupan kaum perempuan. Menurut feminis permasalahan yang menimpa kaum perempuan sekarang ini akibat masih terhegemoninya kebebasan perempuan dalam ranah publik. Keterbelakangan pendidikan membawa akibat pada sub mental bawahan. Munculnya budaya patriakhi yang diklaim oleh feminis sebagai akar keterkurungan perempuan dalam menyuarakan kebebasannya, penderitaan yang diikut sertakan akibat dominasi ini tidak serta merta ada begitu saja, tetapi melalui proses berkepanjangan (www.qiyanfikir.worspress.com/ diakses 19 April 2011, 16:20 WIB).

Feminisme bertujuan mencari kesempatan dan hak-hak perempuan seperti yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau untuk menuntut nilai keperempuanan yang istimewa atas pelecehan harga diri oleh garis keturunan sistem patriarki yang cenderung berlanjut. ( Holidin, 2001:8 )

Deklarasi universal mengenai Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Pasal 3 secara tegas menyebutkan delapan butir hak perempuan yang mesti diakui dan diimplementasikan yakni:

1. Hak atas kehidupan; 2. Hak atas persamaan;


(30)

3. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi; 4. Hak atas perlidungan yang sama di muka umum; 5. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi;

6. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya;

7. Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik;

8. Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang.

( Romany Sihite, 2007:49-50 )

Menurut Rieke diah Pitaloka seorang aktivis perempuan, dalam budaya patriakhi di keluarga terutama, otoritas tertinggi pada suami, kepala rumah tangga, yang berhak menentukan aturan apa pun menyangkut orang-orang dalam rumah tangga, termasuk memberi “pelajaran” kepada istri. Dengan kondisi begitu, mendorong perempuan untuk terlepas dari sistem tersebut dan dengan istilah emansipasi wanita yang mensyaratkan enyahnya cara pandang patriakhi dari ruang privat sekaligus publik. (www.kompas.com/ diakses 19 April 2011, 16:31 WIB)

2.1.4. Feminisme

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah dengan membedakan terlebih dahulu antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang


(31)

ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memiliki sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui. Sedangkan konsep gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalkan bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri pada dasarnya merupakan sifat-sifat yang bisa dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain

( Fakih, 1997:7-8 ).

Istilah gender sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan jender. Gender diartikannya sebagai,”interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”. Sedangkan oleh Peter R. Beckman dan Francine D’Amico, Eds. (1994 : 4-6), Gender didefinisikan sebagai karakteristik sosial yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki. Karakteristik sosial ini merupakan hasil perkembangan sosial dan budaya sehingga tidak bersifat permanen maupun universal. Berdasarkan karakteristik sosial ditetapkan peran untuk laki-laki


(32)

dan perempuan yang pantas. Akibatnya timbul asosiasi dunia public bersifat maskulin pantas untuk kaum lelaki dan dunia privat, domestik dan rumah tangga bersifat feminine adalah milik perempuan ( Sumiarni, 2004:1-3 ).

Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut ( Fakih, 2001:99 ). Sedang feminism menurut M. Shiddiq, dapat diberi pengertian sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, dalam keluarga maupun di tempat kerja, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk merubah keadaan tersebut. Menurut definisi ini, seorang yang mengenali adanya sexism (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarkhi dan melakukan suatu tindakan untuk menentangnya adalah seorang feminis ( http://swaramuslim.co.id/feminis.html, diakses 19 Maret 2011, 16:24 WIB )

Diskriminasi yang menjadikan perempuan selalu menjadi pihak yang dirugikan, melatarbelakangi perjuangan-perjuangan perempuan untuk mendapatkan kedudukan yang setara dengan laki-laki. Perjuangan-perjuangan itu memunculkan apa yang disebut emansipasi atau feminisme. Dimana emansipasi sendiri memiliki pengertian sebagai gerakan yang mencita-citakan kehidupan setara antara perempuan dan laki-laki, yakni gerakan yang memperjuangkan keadilan bagi perempuan.

Karena konstruksi sosial diciptakan manusia maka femininitas dan gender tidaklah ajeg dan dengan demikian dapat berubah. Apa yang dianggap “feminin” bergantung pada siapa yang mendefinisinya, tempat orang-orang


(33)

itu berada, dan apa yang telah mempengaruhi hidup mereka ( Aquarini, 2006:22 ). Feminisme telah dibedakan dengan Feminin dalam pengertiannya, Feminin berasal dari bahasa Perancis “Feminine” yang merupakan sebuah kata sifat (adjektif) yang berarti “kewanitaan” atau menunjukkan sifat perempuan (http://.id.wikipedia.org/wiki/feminin, diakses 20 April 2011, 20:10 WIB). Sedangkan Feminisme sendiri berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan ( Hubies, 1997:19 dalam Sumiarni, 2004:57 ).

Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat. Timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia. Operasionalisasi upaya pembebasan diri kaum perempuan dari berbagai ketimpangan perlakuan dalam segala aspek kehidupan disebut gerakan feminisme. Sebagai suatu gerakan titik tolak feminisme mengacu pada definisi operasional dan bukan dari definisi ideologis. Dengan demikian feminisme hendaknya dilihat sebagai suatu seruan beraksi atau suatu gerakan dan bukan sebagai fanatisme keyakinan.

Jadi makna feminis di sini adalah mencari peluang kebebasan/kemerdekaan perempuan untuk perempuan. Dengan demikian, gerakan feminis pada saat pertama kali dimulai tidak ada hubungannya dengan bias perlakuan terhadap laki-laki karena perempuan hanya ingin memperhatikan dirinya sendiri dengan lebih baik. Menurut Holidin dan


(34)

Soenyono, feminisme bertujuan mencari kesempatan dan hak-hak perempuan seperti yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau untuk menuntut nilai keperempuanan yang istimewa atas pelecehan harga diri oleh garis keturunan sistem patriarki yang cenderung berlanjut ( Holidin dan Soenyono, 2004:8 )

Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam konteks hubungan kemitraan universal dengan sesama manusia.

2. Menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar

perbedaan jenis kelamin.

3. Menghapus semua hak-hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan

tertentu atas dasar jenis kelamin.

4. Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruh tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan ( Hubies, 1997:20-21 ).

Dalam sepanjang perkembangannya yang ada di masyarakat di berbagai belahan dunia, ada banyak jenis gerakan feminism, diantaranya feminism liberal, feminism radikal, feminism sosialis, feminism marxis, feminism post modern, feminism psikoanalitik, dan feminism eksistansialis.

Untuk mendapatkan gambaran pemahaman perihal gerakan-gerakan feminism, berikut ini uraian mengenai pandangan dari berbagai paham feminism tersebut:


(35)

1. Feminisme Liberal, ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia –demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Feminisme liberal berusaha untuk menyadarkan wanita bahwa mereka bukan golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestic dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasional. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya


(36)

memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprespektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

2. Feminisme Marxis, aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Freidrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini, status perempuan jatuuh karena adanya konsep kekayaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian preprety. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat-bojuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

3. Feminisme Radikal, teorinya mempersoalkan fungsi reproduksi dan melahirkan, serta perbedaan seks dan gender yang merampas kekuasaan perempuan. Dalam kaitannya dengan kekuasaan, feminisme radikal mempermasalahkan perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian dikontruksi menjadi perbedaan gender oleh budaya partriarkhi.


(37)

Pada sisi lain, Shulamith Feristone dengan bukunya The Dialectic of Sex (1972), membahas kelemahan perempuan dalam perspektif struktur biologisnya. Perempuan sepanjang sejarah, mendapatkan haid, menopause, dan macam-macam ‘penyakit perempuan’ lainnya, seperti waktu melahirkan, semua itu membuat perempuan menjadi mempunyai ketergantungan kepada laki-laki. Perbedaan fungsi reproduksi alamiah ini, mengakibatkan timbulnya pembagian kerja secara seksual. ( Kasiyan, 2008:88 ).

4. Feminisme sosialis, pandangannya berusaha menggabungkan teori

feminisme marxis dan feminisme radikal. Mereka mengkritik asumsi umum, hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, tapi tidak akan selalu menaikkan status perempuan. Bagi feminis sosialis, meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih berakibat pada peran antagonism seksual ketimbang status ( Fakih, 2001:93-95 ).

5. Feminisme Post Modern, penekanannya pada text dimana realitas adalah text / intertextual baik yang berbentuk lisan, tulisan dan image, sehingga yang menjadi perhatian dari aliran feminisme postmodern adalah penolakan cara berpikir laki yang diproduksi melalui bahasa laki-laki dan cara berpikir feminisme yang fanatik / tradisional. Dalam teori ini dikatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus diterima dan dipelihara. Gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.


(38)

6. Feminisme Psikoanalitik, mengatakan bahwa tingkat perkembangan super ego perempuan sangat jauh berbeda dengan laki-laki, karena mereka tidak pernah bisa terlalu impersonal, atau terlalu mandiri terhadap emosi mereka. Perempuan selalu menunjukkan kurang peka terhadap keadilan, kurang siap dalam menghadapi kehidupan. Perempuan selalu terpengaruh perasaannya ketika harus melakukan penilaian. Perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap.

7. Feminisme Eksistansialis, perempuan selalu menjadi objek dari laki-laki dan perempuan adalah malafide menurut konsep Sartre. Beauvoir mengkritik psikoanalisa yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis. Dianggap perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri. Beauvoir juga melihat bahwa institusi pernikahan merupakan institusi yang

merenggut kebebasan perempuan ( http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/beberapa-aliran-feminisme, diakses 19

Maret 2011, 16:20 WIB ).

Gerakan feminisme meskipun dianggap sudah tua, namun baru tahun 60-an dianggap sebagai lahirnya gerakan itu. Muncul di Amerika sendiri sebagai bagian dari kultural radikal. Lantas gerakan itu merambat ke Eropa, Kanada, dan Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan menggoncang Dunia Ketiga. Secara kuantitatif, dampak feminisme memang nyata di mana dalam 20 tahun banyak terjadi perubahan dan perkembangan


(39)

yang menyangkut nasib perempuan. Setelah pada tahun 1975 PBB mengumumkan International Decade of Women, terjadi beberapa peristiwa penting bagi kaum perempuan. Kini, hampir setiap Negara memiliki perundang-undangan anti diskriminasi, yang menguntungkan kaum perempuan ( Fakih, 1997:106-107 ).

Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ( Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Woman atau CEDAW, 1979 ) dan Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dari segala bentuk ( Pasal 2 ). Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan ( declaration on the elimination of violence against of women ). Menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, psikologi, atau seksual. Termasuk juga ancaman tindakan tertentu, seperti pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum/dalam kehidupan pribadi ( Romany Sihite, 2007:133 ).

2.1.5. Feminisme Liberal

Feminisme Liberal lahir pertama kali pada abad 18 dirumuskan oleh Mary Wollstonecrat dalam tulisannya A Vindication of the Right of Women (1759-1799) dan abad 19 oleh John Stuart Mill dalam bukunya Subjection of


(40)

kemudian pada abad 20 Betty Friedan dalam The Feminis Mistique dan The

Second Stage.

Feminis Liberal ini mendasarkan pemikirannya pada konsep liberal yang menekankan bahwa wanita dan pria diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama dan juga harus mempunyai kesempatan yang sama. Manusia berbeda dengan binatang karena rasionalitas yang dimilikinya. Kemampuan rasionalitas tersebut mempunyai dua aspek yaitu moralitas (pembuat keputusan yang otonom) dan prudensial (pemenuhan kebutuhan diri sendiri).

Hak individu bagi kaum Liberal harus diprioritaskan. Setiap individu diberikan kebebasan untuk memilih apa yang baik untuk dirinya asal tidak merugikan orang lain. Liberalisme juga menekankan pada masyarakat yang adil yang memungkinkan setiap individu mempraktekkan otonomi dirinya dalam memenuhi kebutuhannya.

Meskipun Wollstonecraft tidak mempergunakan istilah seperti “peran gender yang dikonstruksi secara sosial”, ia menyangkal bahwa perempuan, secara ilmiah, lebih cenderung untuk bersifat sebagai pemburu dan pemberi kenikmatan daripada laki-laki. Wolls berargumentasi bahwa jika laki-laki disimpan di dalam sangkar yang sama seperti perempuan dikurung, laki-laki pun akan mengembangkan sifat yang sama seperti perempuan. Karena diabaikan kesempatannya untuk mengembangkan kekuatan nalarnya, untuk menjadi manusia bermoral dengan perhatian, motif, dan berkomitmen yang lebih sekedar kenikmatan pribadi, laki-laki, seperti juga perempuan, akan menjadi “emosional”.


(41)

Dalam hal intervensi negara atas bidang publik (masyarakat sipil), Liberallis Klasik berbeda dengan Liberallis Egalitarian. Bagi Liberalis Egalitarian setiap orang yang memasukki pasar terlebih dahulu mempunyai keuntungan material, koneksi atau bakat yang berbeda. Oleh sebab itu negara harus intervensi secara positif agar kesejahteraan masyarakat merata. Intervensi di bidang hukum, pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, kesejahteraan sosial dan penyediaan makan bagi orang miskin. Bagi Liberallis ini negara sebaiknya menfokuskan pada keadilan ekonomi bukan kebebasan sipil. Sedangkan Liberallis Klasik dalam era pasar bebas setiap individu harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengakumulasi keuntungannya.

Mereka juga menekankan bahwa negara harus melindungi kebebasan sipil seperti, hak memilih, hak berorganisasi, hak kepemilikan dan kebebasan. Akan tetapi dalam hal intervensi negara untuk menjamin hak individu, kaum liberallis sepakat bahwa intervensi negara harus seminim mungkin. Baik dalam aspek negara, organisasi, keluarga sampai ke tempat tidur. Tujuan umum feminisme liberal adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang”, maka perempuan dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri.

Feminis Liberal pada abad 18, pendidikan yang sama untuk perempuan Mary Wollstonecraft, dalam bukunya A Vindication of the Right

of Women menggambarkan masyarakat Eropa yang sedang mengalami


(42)

kesempatan untuk masuk dipasar tenaga kerja dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan laki-laki diberikan kebebasan untuk mengembangkan diri seoptimal mungkin. Padahal kalau perempuan diberikan kesempatan yang sama juga bisa mengembangkan diri secara optimal, asal perempuan juga diberikan pendidikan yang sama dengan pria.

Wollestone juga mengkritik Email, novel karya Jean Jackques Rosseau yang membedakan pendidikan laki-laki dan perempuan. Pendidikan laki-laki lebih menekankan rasionalitas & mempelajari ilmu alamiah, ilmu sosial dan humaniora, karena nantinya akan bertanggung jawab sebagai kepala keluarga sedangkan pendidikan untuk perempuan lebih menekankan pada emosional, mempelajari puisi, seni, karena perempuan akan menjadi istri yang penuh pengertian, responsive, perhatian dan keibuan. Jalan keluar yang ditawarkan Wollestone adalah mendidik perempuan sama dengan mendidik laki-laki dengan mengajarkan juga rasionalitas sehingga perempuan mampu menjadi diri sendiri, tidak menjadi mainan laki-laki.

Wollstonecraft, bagi perempuan adalah personhood- manusia secara utuh. Perempuan bukanlah “mainan laki-laki, atau lonceng milik laki-laki” yang harus berbunyi pada telinganya, tanpa mengindahkan nalar, setiap kali ia ingin dihibur. Dengan kata lain, perempuan bukanlah “sekedar alat”, atau instrument, untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya perempuan adalah suatu “tujuan”, suatu agen nalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasib sendiri.


(43)

Feminis Liberal pada abad 19 tentang hak sipil dan ekonomi bagi perempuan dan laki-laki. Satu abad kemudian J S Mill dan Harriet Tailor Mill bergabung dengan Wollestonecraft menekankan pentingnya rasionalitas untuk perempuan. J S Mill dan Harriet Tailor Mill lebih jauh menekankan agar persamaan perempuan dan laki-laki terwujud, tidak cukup diberikan pendidikan yang sama tetapi juga harus diberikan kesempatan untuk berperan dalam ekonomi dan dijamin hak sipilnya yang meliput hak untuk berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat, hak untuk memilih dan hak milik pribadi, serta hak-hak sipil lainnya. Tailor mengklaim cara yang biasa untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/kenikmatan), adalah dengan membiarkan setiap individu untuk mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut.

Sumbangan lain pemikiran mereka berdua adalah dua-duanya menekakan pentingnya pendidikan, kemitraan dan persamaan. Mill lebih menekankan pada pendidikan dan hak, sedangkan Taylor lebih menekankan kemitraan. Mill lebih jauh juga mempertanyakan superioritas laki-laki, menurutnya bahwa laki-laki itu tidak lebih superior secara intelektual dari perempuan. Pemikiran Mill yang juga menarik bahwa kebajikan yang ditempelkan pada perempuan seringkali merugikan perempuan karena perempuan tidak bisa menjadi diri sendiri, sebab ia akan menjadi orang yang dikehendaki masyarakat.


(44)

Feminisme Liberal pada abad 20, The Feminis Mistique yang ditulis oleh Betty Frieden, bila dibandingkan dengan buku yang ditulis sebelumnya oleh Wollestone, J S Mills dan Harriet Taylor terkesan tidak radikal. Menurut Betty perempuan kelas menengah yang menjadi ibu rumah tangga merasa hampa dan muram, sehingga mereka menghabiskan waktunya untuk berbelanja, mempercantik diri, bagaimana memuaskan nafsu suami dsb. Jalan keluar yang ditawarkan Frieden adalah kembali ke sekolah dan berkontribusi dalam ekonomi keluarga dan tetap berfungsi sebagai ibu rumah tangga dengan tetap masih mencintai suami dan anak.

Frieden meyakini bahwa karier dan rumah tangga bisa berjalan seiring. Baru dua puluh tahun kemudian ia menyadari dalam bukunya The

Second Stage bahwa menangani karier dan rumah tangga sangat sulit, karena

dia harus melayani dua majikan suaminya dan atasannya di kantor. Ia memberikan jalan keluar bahwa perempuan harus melakukan pergerakan sehingga menyadari keterbatasan-keterbatasan dirinya yang diciptakan masyarakat sehingga bisa memperbaiki kondisi. Bekerja sama dengan laki-laki untuk merubah pola pikir masyarakat pada bidang publik, kepemimpinan, struktur institusi dan privat suami mulai ikut memikul beban keluarga yaitu ekonomi, rumah, dan anak-anak secara bersama-sama.

Dalam beberapa hal, perbedaan antara Friedan dalam The Feminine

Mystique, Friedan dalam The Second Stage adalah perbedaan antara seorang

feminis yang percaya bahwa perempuan perlu menjadi sama dengan laki-laki untuk menjadi setara dengan laki-laki, dan seorang feminis yang percaya


(45)

bahwa perempuan dapat menjadi setara dengan laki-laki jika masyarakat menghargai yang “feminin” dan “maskulin” ( Tong, 1998:16-44 )

Arah Feminis Liberal menginginkan terbebasnya perempuan dari peranan gender dan opresif. Mereka berargumentasi bahwa dalam masyarakat yang patriarkhi pekerjaan yang cocok untuk perempuan diasosiasikan pada sifat feminine seperti guru, perawat, sekretaris, kasir di bank dsb. Penentangan stereotype tersebut harus melalui pendidikan androgini –yang mempunyai dimensi laki-laki dan perempuan- baik di sekolah maupun di rumah. Androgini telah membantu mereka dalam meraih kebebasan, persamaan hak dan keadilan. Negara ikut bertanggung jawab untuk menjamin tidak ada lagi diskriminasi pada perempuan baik seksual maupun penghasilan dan menjamin perempuan terbebas dari pelecehan seksual, pemerkosaan dan kekerasan.

Feminisme Liberal sangat penting dalam pergerakan feminis dengan perjuangannya untuk perempuan di barat untuk meraih persamaan hak, penindasan diskiriminasi ditempat kerja dan perubahan hukum yang lebih menguntungkan perempuan. Kritik pada Feminis Liberal pertama Jean Bethke Elshtain dalam bukunya A Polotical Theorist. Mengkritik bahwa semua perempuan ingin menjadi seperti laki-laki, mengadopsi sifat laki-laki mengutamakan rasionalitas tidak boleh menunjukkan sifat emosionalnya untuk mengurangi ketertindasannya. Menurut Elshtain, perempuan tidak boleh mengadopsi cara berfikir laki-laki. Perempuan mempunyai cara berfikir sendiri yang bisa dipertahankan. Laki-laki maupun perempuan harus


(46)

mengadopsi dua-duanya baik cara berfikir laki-laki maupun perempuan. Kita tidak boleh mendikotomikan nurture dan nature.

Perubahan tidak bisa dilakukan hanya melalui kelompok-kelompok kecil. Kerena dalam kelompok-kelompok kecil justru akan menghancurkan kumunalitas. Padahal untuk melobi pemerintah harus melalui gerakan massa (komunal), untuk itu penting sekali adanya commite organizer yang bisa mengorganisasi massa. Kritik kedua dalam Feminist politics dan Human Nature, Alison Jaggar menfomulasikan kritik yang kedua, seperti Elshtain Jaggar juga mengkritik feminis Liberal bahwa perempuan harus mengadopsi nilai laki-laki yaitu rasionalitas dan otonomi. Sedangkan menurut Jaggar tidak boleh mendikotomi nilai laki-laki dan perempuan justru laki-laki dan perempuan harus mengadopsi nilai kedua-keduanya secara seimbang. Jaggar juga mengkritik feminis Liberal yang melihat perempuan itu satu, padahal menurut Jaggar perempuan tidak satu tapi bermacam-macam. Sehingga tidak bisa melalui pendidikan dan dianggap akan menyalesaikan seluruh persoalan perempuan. Karena perempuan berbeda-beda keberadaanya.

Maka strategi pemecahannyapun juga harus berbeda-beda pula. Kritik ketiga Feminis Liberal telah menjenalisir perempuan itu sama, padahal perempuan tidak hanya perempuan kulit putih, heteroseksual dan kelas menengah dan dari kelompok terpelajar, tetapi juga ada PSK, buruh, ada perbedaan suku / budaya, agama, sehingga penyebab ketertindasan perempuanpun juga tidak satu dan tentu strategi pemecahan masalahnyapun tidak bisa sama. Misalnya: perempuan kulit putih dari kelas menengah tentu


(47)

berbeda dengan perempuan kulit hitam dari kelas bawah. (http://www.asppuk.or.id)

Namun Mill dalam Sumiarni mengartikulasi teori feminis liberal awal tidak dapat mengakomodir isteri dan ibu. Dalam bukunya The Subjection of

Women, Mill mengkritik bahwa pekerjaan perempuan di sektor domestic

sebagai pekerjaan irasioanal, emosional dan tiranis. Mill menyuruh wanita untuk menekan dan menghilangkan segala aspek yang ada kaitannya dengan pekerjaan domestik agar kebahagiaan tertinggi menusia dapat tercapai. Hal yang sama dikemukakan oleh Sarah Grimke (1970 : 85) bahwa wanita menikah terpenjara dalam sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran (suami): “Man has exercised the most unlimited and brutal power over

women, in the peculiar character of husband, a woed in most countries synonymous with tyrant”. (Pria telah melakukan kekerasan tidak terbatas dan

brutal terhadap wanita, dengan karakter unik dari suami, sebuah kata yang identik dengan tiran di hampir seluruh dunia) ( Sumiarni, 2004:64-65 ).

Sementara itu menurut Taylor dalam tulisanya, “Bahkan jika setiap perempuan, seperti yang terjadi saat itu, dapat bergantung kepada laki-laki untuk menopang hidupnya, adalah sangat lebih disukai jika sebagian dari penghasilan perempuan itu sendiri, bahkan jika jumlah total penghasilan hanya sedikit bertambah oleh penghasil perempuan itu, daripada perempuan diharuskan untuk meminggirkan diri agar laki-laki dapat menjadi penopang hidup satu-satunya, dan menjadi satu-satunya yang berhak untuk mengeluarkan apa yang dihasilkan itu.” Ringkasnya, untuk menjadi partner,


(48)

dan bukannya budak dari suaminya, istri harus mempunyai penghasilan dari pekerjaannya di luar rumah. ( Tong, 1998:25 )

Pada feminisme liberal konsep yang digunakan peneliti antara lain seperti:

1. Perempuan sebagai feminis menginginkan adanya kesetaraan

kesempatan,dalam pendidikan, hak politik, dan ekonomi.

2. Perempuan sebagai feminis menjadi pembuat keputusan yang otonom.

3. Perempuan sebagai feminis mengkonstruksi ulang peran gender secara sosial.

4. Perempuan sebagai feminis tidak dapat membenarkan hukum atau

tabu yang melarang semua perempuan untuk melakukan hal yang dapat dilakukan laki-laki rata-rata dan dianggap tidak dapat dilakukan perempuan rata-rata, dan juga sebaliknya.

5. Menyangkal adanya perbedaan intelektual atau moral antara laki-laki dan perempuan.

6. Membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan. (Tong, 1998)


(49)

2.1.6. Respon Psikologi Warna

Warna merupakan symbol yang menjadi penandaan dalam suatu hal. Warna juga dianggap sebagai satu fenomena psikologi. Respon psikologi dari masing-masing warna (Deddy Mulyana, 2005:377) :

1. Merah : Power, Energi, Kehangatan, Cinta, Nafsu, Agresif, Bahaya. Merah jika dikombinasikan dengan putih, akan mempunyai arti ‘bahagia’ dibudaya oriental.

2. Biru : Kepercayaan, Konservatif, Keamanan, Teknologi, Kebersihan, Keteraturan.

3. Hijau : Alami, Sehat, Keberuntungan, Pembaharuan.

4. Kuning : Optimis, Harapan, Filosofi, Ketidakjujuran, Pengecut (untuk budaya barat), Pengkhianat.

5. Ungu atau Jingga : Spiritual, Misteri, Kebangsawanan, Transformasi, Kekasaran, Keangkuhan.

6. Orange : Energi, Keseimbangan, Kehangatan.

7. Coklat : Tanah/Bumi, Reliability, Comfort, Daya Tahan.

8. Abu-abu : Intelek, Masa depan (kaya warna millennium), Kesederhanaan, Kesedihan.

9. Putih : Kesucian, Kebersihan, Ketepatan, Ketidakbersalahan, Kematian. 10. Hitam : Power, Seksualitas, Kecanggihan, Kematian, Misteri, Ketakutan,


(50)

2.1.7. Film “Toy Story 3”

Toy Story adalah sebuah sebuah film animasi menggunakan gambar yang dibuat oleh komputer (Computer-generated imagery/CGI). Film yang dibuat oleh Pixar ini dirilis oleh Walt Disney Pictures dan Buena Vista Distribution di Amerika Serikat pada 21 November 1995 serta di Britania Raya pada 22 Maret 1996.

Toy Story adalah film panjang dengan gambar buatan komputer

pertama yang dirilis Disney, bahkan dikatakan sebagai yang paling pertama. Film ini juga merupakan film Pixar pertama yang dirilis ke bioskop, meraup pendapatan terbanyak di seluruh dunia. Ceritanya berkisar tentang petualangan mainan yang digambarkan bisa hidup jika tidak ada orang.

Sekuel film ini, Toy Story 2, dan Toy Story 3, dirilis pada 1999 dan 2010. Video Buzz Lightyear of Star Command: The Adventure Begins dan serial televisi Buzz Lightyear of Star Command yang dirilis pada 2000 menceritakan petualangan Buzz Lightyear, salah satu mainan dalam Toy

Story. (Wikipedia, Toy Story)

Toy Story kembali hadir bersama Woody (disuarakan oleh Tom Hanks), Buzz (disuarakan oleh Tim Allen) dan segerombolan mainan lainnya di layar lebar dalam Toy Story 3. Pada film ini terjadi transisi (perubahan) dalam hidup seorang Andy, dimana Andy menjadi tumbuh dewasa. Andy bersiap-siap pergi dari rumah untuk kuliah, dan meletakkan mainan di atas loteng, namun oleh Ibu Andy dibuang karena kantong plastik hitam


(51)

dipikirnya adalah sampah. Sangat kecewa segerombolan mainan milik Andy yaitu Buzz, Jessie (koboi perempuan), Bullseye (kuda), Tn and Ny Potato Head, Rex (dinasaurus), Slingky (anjing), Hamm (celengan babi), dan 3 sahabat kecil yang berasal dari dunia asing (pizza planet). Mereka akhirnya masuk kedalam kardus yang akan disumbangkan oleh Ibu Andy ke penitipan anak, tidak hanya mainan Andy saja yang ada didalamnya. Molly, adik perempuan Andy juga menyumbangkan boneka kesayangannya yaitu Barbie.

Sunny Side adalah penitipan anak, namun tempat penitipan anak menjadi neraka bagi Buzz dan teman-teman lainnya. Bertemunya Losto Hugging Bear, Ken, Big Baby di Sunny Side, membuat segerombolan mainan Andy terjebak di ruang ulat bulu tempat bermainnya para balita liar dan tangan-tangan kecil mereka memainkan mainan dengan kasar. Buzz dan teman-teman lainnya tidak percaya perkataan Woody, yang sebenarnya Andy tidak membuang mainan-mainannya namun akan diletakkan di atas loteng. Perjuangan untuk membebaskan diri telah direncanakan oleh segerombolan mainan Andy.

Perjuangan terlihat pada saat Barbie mengancam Ken untuk memberitahu bagaimana cara mengembalikan Buzz, kemudian Jessie sosok koboi perempuan terlihat berani pada saat menentang Losto untuk kembali ke ruang ulat bulu. Kekompakan dan kerja sama mereka akhirnya berhasil keluar dari tempat penitipan anak. Sikap pemberani Barbie, Ny Potato Head, dan Jessie mencerminkan gerakan feminisme. Dimana perempuan sudah saatnya memperjuangkan dan menghapuskan ketidakadilan sosial yang berkaitan


(52)

dengan keberadaan perempuan ( T.O Ihromi, 1993 dalam Romany Sihite, 2007:85 )

Seperti yang dilaporkan Dialy Mail, feminis di sebuah majalah berpengaruh menuduh film animasi Toy Story 3 pada karakter Berbie “yang terlalu emosional”. Dan karakter satu wanita dari tujuh laki-laki adalah tidak adil.(http://entertainment.kompas.com/read/2010/07/01/02242945/.Hati-hati.dengan.Toy.Story.3 diakses 5 Maret 2011, 10:41 WIB).

Animasi merupakan salah satu daya tarik industri sinema yang sangat menarik dan tidak terbatas pada kalangan anak-anak semata. Banyak film animasi yang berhasil menduduki posisi puncak box office dan menyedot penonton dewasa. Meski demikian tidak dipungkiri juga anak-anak memiliki ikatan emosional yang lebih erat dengan film animasi. Karena itu, film jenis ini bisa memainkan peran yang signifikan dalam pertumbuhan anak.

Sekarang ini, sering sekali kita menyaksikan banyaknya orang tua yang membiarkan anak-anaknya bebas menonton film animasi tanpa pengawasan bahkan sebagian menjadikan film tersebut sebagai hadiah bagi anak-anak mereka. Tentu saja, film semacam itu bukan sekedar tontonan menghibur bagi anak tapi juga menjadi faktor berpengaruh bagi pertumbuhan mental dan fisik anak. Menurut para peneliti, anak pada usia tiga hingga lima tahun hanya menjadi penonton dan belum memiliki kekuatan untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Karena itu apa yang dilihatnya, mereka anggap sebagai kenyataan.


(53)

Kemampuan animasi dalam membidik rasa tertarik dan daya imajinasi anak membuat jenis film tersebut mampu memainkan peran yang berpengaruh terhadap perkembangan daya pikir anak. Ironisnya saat ini banyak film animasi yang semestinya tidak layak ditonton anak-anak dan banyak mengandung tema-tema kekerasan, horor, dan bahkan masalah orang-orang dewasa seperti seks dan hubungan percintaan. Namun sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, minimnya kemampuan daya pikir dan analisa anak, tontonan animasi semacam itu bisa menjadi faktor perusak bagi masa depan mereka.

Perkembangan pesat film animasi dalam beberapa tahun belakangan ini tidak diimbangi dengan aturan dan pengawasan yang jelas. Di era dekade 80-an dan awal 90-an, sensor terhadap film dan segmentasi usia penonton diberlakukan secara lebih ketat. Sebagai misal, dalam film kartun pada masa itu penggambaran senjata secara real tidak diperkenankan. Adanya pengawasan dan pembatasan semacam itu relatif memberikan ketenangan

bagi para orang tua dan pendidik. (http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=2

5411:anak-anak-dan-dunia-animasi-1&catid=63:sosial&Itemid=69, diakses 20 April 2011, 21:10 WIB)


(54)

2.1.8. Semiotika

Secara etimologis, istilah Semiotik berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain ( Eco, 1979:16 dalam Alex Sobur, 2002:95 ).

Secara terminologis, semiotic dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek – objek, peristiwa – peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda ( Eco, 1976:6 dalam Alex Sobur, 2002:95 ). Pengertian lain yang dikemukakan Van Zoest mengartikan semiotic sebagai “ilmu tanda ( sign ) dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.

Semiotika, yang biasanya di definisikan sebagai pengkajian tanda-tanda ( the study of signs) pada dasarnya merupakan sebuah study atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memunkinkan kita bmemandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna ( scholes, 1982 : ix dan budiman , 2004:3 ).

Semiotika modern mempunyai dua orang bapak yaitu Charles Sandera Pierce (1839 – 1914) dan Ferdinand De Saussure (1857 – 1913). Terdapat perbedaan antara Pierce dan Saussure. Pierce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah tokoh cikal bakal linguistic umum

( Sobur, 2004:110 ).

Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Peirce berkehendak untuk menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia. Teori Peirce tentang


(55)

tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika ( Budiman, 2005 : 33 ).

Logika, secara umum, adalah (…) sekedar nama lain dari semiotika (…), suatu doktrin formal atau quasinecessary tentang tanda-tanda. Yang saya maksud dengan mengatakan doktrin ini sebagai

“quasinecessary” atau formal adalah bahwa kita mengamati

karakter-karakter tanda tersebut sebagaimana yang kita tahu, dan dari pengamatan tadi (…) kita arahkan kepada pernyataan-pernyataan yang bisa saja keliru dan, dengan demikian, dalam arti tertentu sama sekali tidak niscaya (Peirce, 1986 : 4 dalam Budiman, 2005 : 34).

Di sisi lain, kedua, terdapat pula tradisi semiotika yang dibangun berdasarkan teori kebahasan Ferdinand de Saussure (1857-1913), sebagai seorang sarjana linguistik di Perancis.

Sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat dapat dibayangkan, ia akan menjadi bagian dari psikologi sosial dan, sebagai konsekuensinya, psikologi general, ia akan saya beri nama semiologi (dari bahasa Yunani semeion ‘tanda’). Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang mengendalikannya (Saussure, 1996 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35)


(56)

2.1.9. Model Semiotika John Fiske

John Fiske adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi dalam bukunya Cultural and Communication Studies. Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Sedangkan perspektif kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna) ( Fiske, 2006:9 ).

Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik.

Analisis semiotik menurut John Fiske dibagi menjadi tiga level, yaitu: 1. Level Realitas (reality)

Pada level ini, realitas dapt berupa penampilan, pakaian dan make-up yang digunakan pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi, suara dan


(57)

sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis ( Fiske, 1990:40 ).

Kode – kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa :

a. Penampilan, kostum, dan make up yang digunakan oleh

pemain utama dalam film ”Toy Story 3”. Dalam penelitian ini pemeran yang menjadi objek penelitian adalah Jessie, Ny Potato head dan Barbie. Bagaimana pakaian dan tata rias yang digunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan cultural.

b. Behavior atau perilaku adalah segala respon atau aktivitas

yang dilakukan oleh suatu organisme.

c. Conflict adalah suatu keadaan yang terjadi ketika dua atau

lebih dorongan perilaku atau motivasi yang saling bertentangan bertarung untuk mengekspresikan dirinya.

d. Expression atau ekspresi adalah merupakan pesan yang

menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna. Yakni : Kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan , kesedihan, kekesalan, pengecaman, minat ketakjuban, dan tekat.

e. Gasture atau gerakan adalah komunikasi non verbal yang

dilakukan oleh seseorang dalam menyampaikan pesan yang mencerminkan emosinya dari pemikiran orang tersebut. Gasture atau


(58)

gerakan berhubungan dengan ekspresi seseorang dan bisa juga dilakukan saat seseorang melakukan komunikasi verbal. Contohnya pada saat seseorang marah maka secara tidak langsung ekspresi muka mereka berubah menjadi lebih tegang, keningnya berkerut dan juga melakukan gesture seperti bercekak pinggang, atau menggenggam tangan, seakan ingin meninju lawannya. Menurut John Fiske gerak sebentar, gerak naik turun yang empatis sering menunjukkan upaya mendominasi. Meski lebih cair dan kontinyu, gesture menunjukkan hasrat untuk menjelaskan atau meraih simpati ( Fiske, 1990:97 ).

2. Level Representasi (representation)

Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting, casting dan sebagainya. Level representasi meliputi :

a. Teknik Kamera : Jarak dan sudut pengambilan

Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi :

1. Long Shot (LS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah

manusia maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi yaitu

Extreme Long Shot (ELS), mulai dari sedikit ruang dibawah kaki

hingga ruang tertentu di atas kepala. Pengambilan gambar long


(59)

penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body

language, ekspresi tubuh, gerak cara barjalan dan sebagainya dari

ujung rambut sampai kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan tersebut.

2. Medium Shot (MS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah

manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu

Wide Medium Shot (WMS), gambar medium shot tetapi agak

melebar kesamping kanan kiri. Pengambilan gambar medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan dengan long shot.

3. Close-Up (CU), yaitu shot gambar yang jiak objeknya adalah

manusia, maka dapat diukur dari bahu hingga sedikit ruang di atas kepala. Pengambilan gambar close up menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan ekspresi dan dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton.

4. Eksterm Close-Up, menggambarkan secara detail ekspresi pemain

dari suatu peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir,tangan dan sebagainya.

5. Estabilishing Shot , Biasanya digunakan untuk membuka suatu


(60)

b. Pencahayaan

Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena cahayalah informasi bisa dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai “painting withlight”, melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangannya bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan ( Biran,2006:43 ).

c. Penata Suara

Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas lebih lanjut penggunaan voice over yang sering dimunculkan di beberapa scene film ”Toy Story 3”. Voice Over (VO) adalah suara-suara diluar kamera, dapat berupa narasi atau penuturan seorang tokoh ( Effendy, 2002 : 155 ). Voice

Over sering digunakan sebagai penjelasan suatu cerita yang berasal dari

sudut pandang orang pertama. d. Teknik Editing

a. Cut: perubaan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point view, atau membentuk kesan terhadap image atau ide.

b. Jump cut: untuk membuat suatu adegan yang dramatis.

c. Motivated cut: bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.


(1)

132 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi terhadap representasi feminisme liberal di film “Toy Story 3”, dapat diambil suatu kesimpulan yakni menampilkan setting, wardrobe, ekspresi, property, suara dan ucapan, teknik kamera, penata suara dan penata musik yang secara keseluruhan menonjolkan unsur feminisme liberal dari film “Toy Story 3” tersebut. Feminisme liberal pada film ini dapat direpresentasikan melalui tokoh Jessie, Ny Potato Head dan Berbie.

Unsur feminisme liberal dalam penelitian ini terdapat dalam beberapa penggalan scene. Sosok yang mencerminkan seorang feminis liberal tercermin pada sosok Jessie, Ny Potato Head, dan Berbie. Sosok ketiganya dianggap mewakili feminisme liberal berdasarkan karakter ketiganya antara lain, mengkonstruksi ulang peranan yang bersifat gender, sebagai seorang feminis liberal mereka bersikap dan bertindak secara otonom sebagai manusia yang utuh dan mandiri, terutama mengambil keputusan. Seorang feminis liberal juga tidak membenarkan hukum tabu di masyarakat, bahwa ternyata perempuan juga dapat melakukan sesuatu yang dapat dilakukan laki-laki rata-rata seperti bekerja sebagai wanita yang punya karier di wilayah publiknya.

Representasi feminisme liberal dalam film “Toy Story 3” yang menggunakan tokoh perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan


(2)

133 patriarkhi diharapkan mampu menghapuskan interpretasi bahwa perempuan selalu menjadi kaum yang tertindas. Dari adanya minat masyarakat untuk menyaksikan film “Toy Story 3” ini masyarakat penonton tergugah akan rasa kebersamaan dan kesetaraan di sektor publik antara laki-laki dan perempuan. Agar tidak ada lagi penindasan yang dialami kaum perempuan.

5.2. Saran

Film animasi “Toy Story 3” karya Wall Disney dan Pixar Animation yang mendapatkan piala Oscar di Academy Awards 2011. Penghargaan yang didapat sebaiknya menjadi motivasi kepada para animator di Indonesia untuk membuat suatu karya kreatif berupa film animasi. Sesungguhnya akhir-akhir ini Indonesia telah membuat film animasi 3D yang berjudul Meraih Mimpi yang diproduksi Infinite Frameworks (IFW), studio animasi yang berpusat di Batam. Setelah tahun 2008 didistribusikan ke berbagai Negara untuk meraih international recognizition, namun gagal setelah bersaing dengan film Homeland.

Seharusnya kegagalan tidak mematahkan kreativitas animator dalam membuat film animasi yang terbaru. Dengan munculnya film Meraih Mimpi adalah sebagai pembuktian bahwa animator Indonesia mampu membuatnya. Film animasi atau kartun tidak lepas dari anak-anak, bahkan orang dewasapun suka dengan film animasi.

Film animasi memang dibuat sebagai sarana hiburan untuk anak-anak, namun berkembangnya teknologi animasi membuat materi-materi yang


(3)

134 disajikan dalam film tersebut tidak layak untuk ditonton. Banyak film kartun atau animasi yang memberikan pengambaran mengenai kekerasan fisik, adegan perkelahian, adegan seks, dan sebagainya yang dapat merusak pola pikir anak-anak. Sikap orang tua yang lebih besar untuk memberikan pengarahan kepada anaknya pada saat menonton, dan lembaga perfilman yang lebih menyaring lagi film luar negeri mana yang layak masuk dan sesuai dengan pola pikir masyarakat Indonesia.


(4)

 

135

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Aquarini, 2006. Kajian Budaya feminis (Tubuh, sastra dan Budaya Pop), Yogyakarta : PT. Jalasutra.

Budiman, Kris, 2005. Semiotika Visual. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Fiske, John, 1987. Television Culture. London and New York : Routhledge.

Fiske, John, 2007. Cultural and Communication Studies ; Sebuah Pengantar Paling Komperhensif, Yogyakarta : PT. Jalasutra.

Hall, Stuart, 1997. Representation, meaning, and language on representation, cultural representation and signifying practices (7th Edition). London : Sage Publication.

Holidin, Soenyono, 2004. Teori Feminisme (Sebuah Refleksi ke Arah Pemahaman), Jakarta : PT. Holindo Press.

Kasiyan, 2008. Manipulasi dan Dehuminasi Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta : Ombak.

Mansour, Fakih, 1997. Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, Yogyakarta : PT. Pustaka Pelajar.

Mawardhani, Agustina, 2006. Representating Dalam Film. Bandung: Kompas. McQuail, Dennis, 1987. Teori Komunikasi Massa. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. Moleong, Lexy, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja

Rosda Karya.

Sihite, Romany, 2007. Perempuan, kesetaraan, dan keadilan ; suatu tinjauan berwawasan Gender. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Sobur, Alex, 2004. Analisis Teks Media. Suatu Pengantar, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Sobur, Alex, Drs, Msi, 2001. Semiotik Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Sobur, Alex, Drs, Msi, 2003. Semiotik Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.


(5)

 

135

Sumiarni, Endang, 2004. Jender dan Feminisme, Yogyakarta : Jalasutra.

Tong, Rosemarie Putman, 1998. Feminist Thougt ; Pengantar paling Komperhensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Yogyakarta : PT. Jalasutra.

Non Buku :

http://id.wikipedia.org/wiki/Film_Animasi_Terbaik_%28Oscar%29 http://id.shvoong.com/entertainment/movies/1936024-meraih-mimpi/#ixzz1IWvLmcyi

http://entertainment.kompas.com/read/2010/09/07/21140457/Ini.Loh.Film.Terlaris.M usim.Panas.

http://entertainment.kompas.com/read/2010/07/27/1822420/.Toy.Story.3.Bukukan.R ekor.di.Inggris

http://www.newoes.com/toy-story-3-review-sinopsis-film-toy-story-3

http://entertainment.kompas.com/read/2010/06/30/1116014/Feminis.Awas.Pesan.Ter selubung.di.Toy.Story.3.

http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme.

http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/beberapa-aliran-feminisme www.lingkarpeduliperempuan.blogspot.com.

(http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).

(http://ayonana.tumblr.com/post/390644418/definisi-film)

(http://id.shvoong.com/entertainment/movies/2074272-apa-beda-animasi-dan-kartun/)

(http://www.fathurin-zen.com,)

(http:kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)

(http://www.readingculture.net/index.php?option=com_content&task=view &item.id=43)


(6)

 

135 (www.id.shvoong.com/humanities/)

(www.qiyanfikir.worspress.com/)

(www.kompas.com/ diakses 19 April 2011, 16:31 WIB)

(http://entertainment.kompas.com/read/2010/07/01/02242945/.Hati-hati.dengan.Toy.Story.3).

(http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=25411:an

ak-anak-dan-dunia-animasi-1&catid=63:sosial&Itemid=69)(http://id.wikipedia.org/wiki/Animasi) (http://kamissore.blogspot.com/2010/01/mengenal-beda-animasi-2d-dan-3d-visual.html diakses 04 April 2011

(http:// www.averroes. or.id/thought/sejarah-gerakan-perempuan.html (http://www.psb-psma.org/content/blog/emosi-dan-motif)

(http://www.beritamandiri.com/2011/05/fakta-fakta-mengejutkan-tentang-boneka.html)

(http://ntb.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/artikel/185-manfaat-kentang-bagi-kesehatan)