4
menghayati imannya di tengah arus budaya modern yang semakin menggerus
kebudayaan setempat.
Untuk dapat mengetahui tanggapan umat terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristi di Paroki Kutoarjo khususnya di Stasi
Kemranggen. Penulis mengemukakan gagasan-gagasan sesuai dengan kenyataan yang dialami oleh umat setempat, sehingga penulis mengambil
judul: PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS KEMRANGGEN,
PAROKI KUTOARJO
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen
mengenai Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi? 2.
Apakah penggunaan Bahasa Jawa dapat membantu penghayatan umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi?
3. Apakah yang menjadi harapan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius
Kemranggen terhadap penggunaan Bahasa Jawa?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pendapat umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen
mengenai Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi.
2. Mengetahui peran Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi terhadap umat
Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen.
5
3. Mengetahui harapan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen
terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi.
D. Manfaat Penelitian
1. Dapat mengetahui pandangan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius
Kemranggen mengenai Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi.
2. Dapat mengetahui penghayatan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius
Kemranggen dalam mengikuti Perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Jawa, sehingga Perayaan Ekaristi sungguh dirayakan oleh seluruh
umat yang hadir.
3. Mengetahui yang menjadi harapan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius
Kemranggen terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi.
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan ialah dengan metode pendekatan deskriptif analisis yaitu memaparkan, menguraikan dan
menganalisis data yang ada, untuk melengkapi data digunakan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh melalui pengalaman dan wawancara untuk
dapat membantu memperoleh data dari lapangan.
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan penulisan ini dibagi menjadi lima bab. Perincian ialah sebagai berikut:
6
BAB I: Pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan. BAB II: Bagian ini memaparkan unsur-unsur peranan penggunaan bahasa
dalam Perayaan Ekaristi meliputi dua hal pokok yaitu: liturgi dalam Konsili Vatikan II, inkuturasi dalam Gereja Katolik, Penggunaan
Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik, Penggunaan Bahasa Jawa
dalam liturgi Gereja Katolik dan Penghayatan Ekaristi, Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk Membantu Penghayatan
Iman umat dan tantangan penggunaan Bahasa Jawa dalam masa sekarang.
BAB III: Bab ini berisi Penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen yang meliputi: gambaran umum
umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, penggunaan bahasa Jawa dalam Ekaristi dan penelitian serta pembahasannya.
BAB IV: Bab ini memaparkan mengenai usulan program untuk meningkatkan
penghayatan umat dalam mengikuti Ekaristi. BAB V: Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI
Pada Bab II menguraikan penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi yang meliputi dua hal pokok yaitu: penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi dan
penghayatan Sakramen Ekaristi. Berawal dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya. Selanjutnya pembahasan tentang penggunaan Bahasa Jawa meliputi:
liturgi dalam Konsili Vatikan II, inkulturasi dalam Gereja Katolik. Pembahasan tentang penghayatan Sakramen Ekaristi meliputi: Penggunaan Bahasa Jawa dalam
Liturgi Gereja Katolik, Penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi Gereja Katolik dan
Penghayatan Ekaristi, Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk Membantu Penghayatan Iman umat dan tantangan penggunaan Bahasa Jawa
dalam masa sekarang. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi dan penghayatannya.
A. Liturgi dalam Konsili Vatikan II
1. Konsili Vatikan II membuka Pandangan Baru
Konsili Vatikan II yang diprakarsai oleh Paus Yohanes XXIII telah membuat gebrakan baru dalam sejarah Gereja. Beliau menyerahkan seluruh
agenda konsili kepada para uskup. Dengan harapan yang berkali-kali diserukan oleh Paus Yohanes XXIII yaitu suatu pembaharuan untuk
menghadapai dan membaca tanda-tanda jaman, serta upaya menyatukan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
kembali Gereja-Gereja Protestan. Gereja ingin melahirkan kesetiakawanan kepada kaum miskin dan menjadi Gereja kaum miskin.
Gereja hadir bukan untuk dirinya sendiri malainkan terbuka untuk setiap orang. Konsili yang diselenggarakan tidak hanya memecahkan doktrin-
doktrin dalam Gereja. Paus Yohanes XXIII berpandangnya membawa Gereja kepada dunia luar dan masalah-masalahnya. Para peserta konsili membuka
konsili dengan membahas mengenai pembaharuan liturgi. Upaya pembaharuan liturgi pada saat itu sudah mulai ditangani, sehingga mengawali
konsili dengan pembaharuan liturgi menjadi keuntungan yaitu karena merupakan pembaharuan gerejawi yang serentak dirasakan oleh seluruh umat
Katolik sedunia.
2. Pembaharuan Liturgi
Sacrosanctum Concilium
sebagai salah satu dokumen yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan II pada bagian tiga secara lebih rinci membahas
pembaharuan liturgi dengan tujuan supaya umat dapat memahami dan memperoleh berkah melimpah dari apa yang mereka rayakan. Dalam liturgi
terdapat unsur-unsur yang tidak dapat diubah karena berasal dari Allah dan ada pula unsur-unsur yang lebih baik disesuaikan dengan keadaan umat.
Dengan memperbaharui naskah-naakah dalam upacara perayaan menjadi lebih sederhana dan jelas bagi umat, sehingga dapat diikuti secara penuh dan
aktif dengan cara khas umat SC 21. Namun hak dan wewenang dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
pembaharuan liturgi ialah Tahta Apostolik dengan menurut kaidah-kaidah
SC 22.
Pembaharuan dalam
Sacrosanctum Concilium
antara lain dengan membacakan Kitab Suci dengan jelas, dan mazmur dinyanyikan. Melalui
pembacaan Kitab Suci maka umat dapat menghaturkan permohonan, doa dan mahda-mahda liturgi SC 24. Peninjauan buku-buku liturgi SC 25. Liturgi
sebagai suatu perayaan bersama sebagai sakramen kesatuan, hendaknya umat ikut serta secara aktif SC 26. Petugas misa harus sungguh-sungguh
menghayati sepenuh hati apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab demi kelancaran Perayaan Liturgi SC 29. Keaktifan umat dengan aklamasi,
jawaban-jawaban, pendarasan mazmur. Saat hening dan khidmat SC 30. Penggunaan bahasa pribumi yang dirasa lebih bermanfaat bagi umat dalam
menghayati apa yang mereka rayakan bersama-sama SC 36
Kata liturgi berasal dari kata Yunani
leitorgia
yang berarti pelayanan kepada masyarakat. Artinya bahwa Allah mengikutsertakan manusai dalam
misteri Paskah melalui pewartaan dan tanda sakramental. Dengan demikian, seseorang yang telah diselamatkan mampu mengucapkan syukur kepada
Allah. Dokumen SC menegaskan kembali bahwa liturgi bukan hanya sebagai kegiatan manusia melaikan suatu karya All
ah “melalui liturgilah, terutama dalam kurban Ilahi Ekaristi, t
erlaksana karya penebusan”. Segala karya penyelamatan Allah tertuang bagi manusia dan manusia memberi jawaban
melalui ucapan syukur dan membagikan kepada sesama. Liturgi ialah suatu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
perayaan bersama dimana karya penyelamatan Allah dikenangkan, dengan
ibadat maka karya Allah terlaksana Rukiyanto, 2012: 145-150.
Paus Fransiskus dalam homilinya, mengenang 50 tahun setelah Konsili Vatikan II menegaskan maksud dari pembaharuan liturgi, melalui
liturgi diharapkan setiap umat beriman sungguh mendengarkan suara Tuhan yang senantiasa menuntun kearah kebenaran dan kesempurnaan dalam
beriman Kristen. Pembaharuan liturgi bermaksud untuk mengaitkan liturgi dengan kehidupan sehari-hari, liturgi dengan Sabda Tuhan. Sehingga apa
yang telah didengarkan, dihayati dan diperoleh dalam liturgi senantiasa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Liturgi menjadi lebih sederhana dan
melibatkan umat untuk turut serta merayakan liturgi.
Dalam
Sacrosanctum Concilium,
Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci, artikel 50 dijelaskan mengenai pembaharuan liturgi
dengan lebih sederhana dan mudah ditangkap oleh umat.
Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa sehingga lebih jelaslah makna setiap bagiannya serta hubungannya
satu dengan yang lain. Dengan demikian, umat beriman akan lebih mudah ikut serta dengan khidmat dan aktif.maka dari itu hendaknya
upacara-upaara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan
tambahan yang kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sementara beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis
waktu hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu tampaknya memang berguna atau
perlu.
SC 50 membahas lebih luas terlebih mengenai keperluan pengguanaan bahasa setempat dalam Perayaan Ekaristi. Pola menyederhanakan ini pula
bertolak dari Gereja Romawi yang lebih praktis dan mudah dipahami oleh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
umat, sehingga umat diharapkan akan lebih berperan aktif dalam setiap ritus perayaan. Demi terwujudnya peran serta oleh seluruh umat yang mengikuti
perayaan Ekaristi maka dibutuhkan kesederhanaan sehingga mudah dimengerti dan diserap oleh umat. Pembaharuan liturgi ini bertolak dari
tuntutan kebutuhan umat dalam merayakan Perayaan Ekaristi sehingga umat dapat mengikuti secara sadar, utuh dan penuh untuk dapat menghidupi
seluruh hidup dengan menjadi umat yang ekaristis. Demi terwujudnya SC
50 maka hal-hal praktis dalam pembaharuan dengan kesederhanaan supaya mudah dimengerti, diawali dengan keberadaan
tempat untuk Liturgi Sabda ialah mimbar, sedangkan altar digunakan untuk Liturgi Ekaristi. Kursi pemimpin tempat imam untuk memimpin ritus
pembuka ataupun penutup. Sabda Allah dibacakan dengan menghadap arah umat, serta dalam penerimaan komuni disertai kata-
kata “Tubuh Kristus” dan umat menjawab dengan “Amin”. Untuk lebih mengidupi peran serta umat,
disediakanlah bahan-bahan perarakan Cunha, 2012:111-115. Dalam Pedoman Umum Misale Romawi PUMR no. 387 dikatakan
bahwa sejumlah penyesuaian liturgi menjadi wewenang Uskup diosesan atau Konferensi Uskup. Uskup yang berwewenang haruslah menjadi penggerak,
pengatur dan pengawas kehidupan liturgi di wilayah keuskupannya. Dengan berdasar pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Hingga pada akhirnya
seluruh penyesuaian terhadap liturgi ke dalam budaya maupun bahasa setempat dilaksanakan sesuai dengan yang tercantum dalam SC 50.
12
3. Maksud Pembaharuan Liturgi
Pembaharuan liturgi dalam Konsili Vatikan II mengubah wajah baru dalam hal liturgi. Pada mulanya seorang imam yang merayakan Misa,
sedangkan umat-awam hanya duduk diam sambil berdoa secara pribadi. Seluruh Perayaan Ekaristi dibisikkan oleh pastor dalam Bahasa Latin. Posisi
duduk Pastor yang membelakangi umat, rumusan selalu sama dan sudah baku, sehingga imam senantiasa sudah hafal namun ada pula yang masih
menggunakan buku misa. Misa berlangsung sangat singkat tidak lebih dari 20 menit karena imam membacakan rumusan dengan terburu-buru Madya
Utama, 2015:11.
Adapun yang menjadi maksud pembaharuan liturgi bukan hanya pembaruan demi pembaharuan melainkan seperti yang dicita-citakan dalam
SC 1 antara lain memperkembangkan hidup Kristen bagi umat beriman, menyesuaikan tata hidup dalam dunia sekarang, mengusahakan demi
tercapainya kesatuan umat yang percaya kepada Kristus serta memperteguh iman akan Yesus Kristus. Seluruh pembaharuan liturgi pada akhirnya
mengarah kepada penghayatan iman umat. Namun perlu disadari pula pembaharuan liturgi bukan hanya mengenai bentuk-bentuk dan naskah liturgi
yang diubah melinkan demi keikutsertaan umat secara aktif dalam perayaan liturgi sehingga umat dapat menghidupi kehidupan kristiani dan menemukan
sumber serta puncak dalam Perayaan Liturgi Stolk, 1979:7-9.
Dalam homili mengenang 50 tahun Konsili Vatikan II dalam Misa mengunakan Bahasa Italia di Paroki Segala Orang Kudus, Roma, Paus
13
Fransiskus menegaskan kembali pembaharuan liturgi yang tercantum dalam SC 14, pembaharuan liturgi bukan hanya memahami doktrin Gereja ataupun
suatu ritus yang harus dipenuhi, melainkan lebih dipahami sebagai sumber kehidupan dalam perjalanan iman seluruh manusia. Liturgi merupakan suatu
perayaan kehidupan, merefleksikan kembali apa yang diimani dalam kehidupan sehari-hari kehadapan Allah. Gereja mengundang umatnya supaya
apa yang mereka rayakan dan alami dalam kehidupan sehari-hari dapat
seimbang Madya Utama, 2015:25-26.
Dalam hal ini liturgi menunjukan bagaimana mewujudkan dalam hidup sehari-hari apa yang telah diterima dalam iman dan apa yang telah
dirayakan. Merayakan sakramen-sakramen terutama dalam Sakramen Ekaristi yang diubah sedemikian dari sebelum Konsili Vatikan II. Umat tidak lagi
hanya menghadiri Perayaan Ekaristi yang diyarakan oleh imam melainkan turut terta merayakannya Misa secara bersama-sama. Perubahan Bahasa Latin
ke bahasa setempat menyatakan cara Gereja memaknai persekutuan jemaat.
Menyambut hasil dari Konsili Vatikan II
,
setiap keuskupan di Indonesia dengan penuh semangat melaksanakan sosialisasi khususnya
dokumen
Sacrosanctum Concilium
. Mgr. Van Bekkum, Uskup Ruteng pada saat itu memberikan warna dan sebagai penasihat dalam pelaksaaan
pembaharuan liturgi. Gereja Indonesia disebut sebagai salah satu yang paling awal dalam menerbitkan dan mensosialisasikan dekrit-dekrit pembaharuan
liturgi. Pengesahan SC pada tanggal 4 Desember 1963, pada Pekan Suci 1964 Pusat kateketik Indonesia sudah memberikan kebebasan dalam penggunaan
14
bahasa lokal dalam liturgi. Di Jawa sudah diterbitkan buku-buku Misa dalam menggunakan Bahasa Jawa. Hal ini menjadi bukti bahwa Gereja Indonesia
tergolong cepat dalam mempraktekan dan mensosialisakan pembaharuan
liturgi Martasudjita. 2014:61.
B. Inkulturasi Dalam Gereja Katolik