Penggunaan Bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristi di Stasi Santo Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Santo Yohanes Rasul Kutoarjo.

(1)

Judul skripsi PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO dipilih berdasarkan rasa keingintahuan penulis akan tanggapan umat mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi. Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Kutoarjo salah satu Gereja yang sampai saat ini masih mempertahankan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi.

Penulis ingin menguraikan inkulturasi yang digunakan sebagai sarana penghayatan iman umat dalam Gereja. Penulisan skripsi ini bertolak dari Sacrosanctum Concilium (SC) no. 36 yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa setempat akan lebih bermanfaat bagi umat. Gereja menyatakan keterbukaan dirinya akan dunia luar dengan inkulturasi sebagai pemanfaatan budaya setempat untuk mempermudah menyampaikan kabar gembira dari Tuhan. Persoalan pokok dalam penulisan skripsi ini ialah tanggapan umat mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di zaman sekarang, terutama yang dihadapi oleh kaum muda. Kaum muda di zaman sekarang ini cenderung kurang memperhatikan budaya sendiri, mereka lebih mudah mengikuti perkembangan zaman. Diperlukan kesadaran kaum muda untuk tetap berpegang pada kebudayaan supaya tidak hilang tergerus oleh perkembangan zaman. Untuk mengkaji permasalahan tersebut maka diperlukan data yang akurat untuk dapat memperoleh gagasan-gagasan sebagai upaya untuk dapat membantu meningkatkan penghayatan kaum muda dalam Perayaan Ekaristi.

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh kaum muda di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen untuk dapat menyadarkan kaum muda agar dapat mempelajari Bahasa Jawa sehingga mereka mampu untuk menghayati Perayaan Ekaristi ialah dengan katekese dengan model Shared Christian Praxis. Katekese yang digunakan ialah untuk membantu kaum muda dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dalan mengikuti Perayaan Ekaristi Bahasa Jawa berdasarkan pengalaman yang mereka alami. Katekese ini berdasarkan pengalaman hidup dan melibatkan umat secara aktif selama proses berkatekese.


(2)

The title of this undergraduate thesis is USING JAVANESE LANGUAGE IN EUCHARIST

CELEBRATION IN ST. FRANCIS XAVIER DISTRICT KEMRANGGEN, ST. JOHN PARISH, KUTOARJO was selected to satisfy the writer’s curiosity of people’s response about the use of Javanese in the celebration of the Eucharist. St. Francis Xavier District Kemranggen is one of the Church until today which still maintains the Javanese in the celebration of the Eucharist.

The writer would like to explain the inculturation used as a means of appreciation of the faith of the Church. This was based on Sacrosanctum Concilium (SC) no. 36 which states that the use of local languages will be more beneficial to the people. The Church expresses her openness to the outside world as the inculturation of the local cultural use to facilitate to convey the good news of God.

A key issue in this undergraduate thesis is the notion of people's use of Javanese in the celebration of the Eucharist today, particularly that of young people. Young people these days tend to pay less attention to their own culture, and they are easier to keep abreast of the times. Needed awareness of young people need to be aware of sticking on their own culture so that it does not disappear the times. To solve the problems it is necessary to gain accurate data in order to obtain ideas in an effort to help increassing the appreciation of young people of the Eucharist.

One way that can be done by young people in the St. Francis Xavier District Kemranggen is to learn Javanese so that they are able to live in the celebration of the Eucharist by means of catechesis with Christian Shared Praxis model. Catechesis used is to help young people facing difficulties following the celebration of the Eucharist in Javanese based on their experiences. This catechesis is based on experiences and involves the people activity in the process of catechesis.


(3)

PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN,

PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Anastasia Ranasita Windi Hartoyo NIM: 121124060

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(4)

(5)

(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada

kedua orang tua (Bernadus Hartoyo dan Anastasia Budi Winarti) dan keluarga umat Stasi Fransiskus Xaverius Kemranggen


(7)

v MOTTO

“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan

buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku diberikan-Nya kepadamu”


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaiamana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 26 Januari 2017 Penulis


(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Anastasia Ranasita Windi Hartoyo

Nomor Mahasiswa : 121124060

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan wewenang kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah penulisan yang berjudul “PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO” beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian penulis memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu minta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 26 Januari 2017 Yang menyatakan,


(10)

viii ABSTRAK

Judul skripsi PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN

EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS

KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO dipilih berdasarkan rasa keingintahuan penulis akan tanggapan umat mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi. Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Kutoarjo salah satu Gereja yang sampai saat ini masih mempertahankan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi.

Penulis ingin menguraikan inkulturasi yang digunakan sebagai sarana penghayatan iman umat dalam Gereja. Penulisan skripsi ini bertolak dari Sacrosanctum Concilium (SC) no. 36 yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa setempat akan lebih bermanfaat bagi umat. Gereja menyatakan keterbukaan dirinya akan dunia luar dengan inkulturasi sebagai pemanfaatan budaya setempat untuk mempermudah menyampaikan kabar gembira dari Tuhan.

Persoalan pokok dalam penulisan skripsi ini ialah tanggapan umat mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di zaman sekarang, terutama yang dihadapi oleh kaum muda. Kaum muda di zaman sekarang ini cenderung kurang memperhatikan budaya sendiri, mereka lebih mudah mengikuti perkembangan zaman. Diperlukan kesadaran kaum muda untuk tetap berpegang pada kebudayaan supaya tidak hilang tergerus oleh perkembangan zaman. Untuk mengkaji permasalahan tersebut maka diperlukan data yang akurat untuk dapat memperoleh gagasan-gagasan sebagai upaya untuk dapat membantu meningkatkan penghayatan kaum muda dalam Perayaan Ekaristi.

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh kaum muda di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen untuk dapat menyadarkan kaum muda agar dapat mempelajari Bahasa Jawa sehingga mereka mampu untuk menghayati Perayaan Ekaristi ialah dengan katekese dengan model Shared Christian Praxis. Katekese yang digunakan ialah untuk membantu kaum muda dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dalan mengikuti Perayaan Ekaristi Bahasa Jawa berdasarkan pengalaman yang mereka alami. Katekese ini berdasarkan pengalaman hidup dan melibatkan umat secara aktif selama proses berkatekese.


(11)

ix ABSTRACT

The title of this undergraduate thesis is USING JAVANESE LANGUAGE IN

EUCHARIST CELEBRATION IN ST. FRANCIS XAVIER DISTRICT KEMRANGGEN, ST. JOHN PARISH, KUTOARJO was selected to satisfy the writer’s curiosity of people’s response about the use of Javanese in the celebration of the Eucharist. St. Francis Xavier District Kemranggen is one of the Church until today which still maintains the Javanese in the celebration of the Eucharist.

The writer would like to explain the inculturation used as a means of appreciation of the faith of the Church. This was based on Sacrosanctum Concilium (SC) no. 36 which states that the use of local languages will be more beneficial to the people. The Church expresses her openness to the outside world as the inculturation of the local cultural use to facilitate to convey the good news of God.

A key issue in this undergraduate thesis is the notion of people's use of Javanese in the celebration of the Eucharist today, particularly that of young people. Young people these days tend to pay less attention to their own culture, and they are easier to keep abreast of the times. Needed awareness of young people need to be aware of sticking on their own culture so that it does not disappear the times. To solve the problems it is necessary to gain accurate data in order to obtain ideas in an effort to help increassing the appreciation of young people of the Eucharist.

One way that can be done by young people in the St. Francis Xavier District Kemranggen is to learn Javanese so that they are able to live in the celebration of the Eucharist by means of catechesis with Christian Shared Praxis model. Catechesis used is to help young people facing difficulties following the celebration of the Eucharist in Javanese based on their experiences. This catechesis is based on experiences and involves the people activity in the process of catechesis.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa karena kasih dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN, PAROKI SANTO YOHANES RASUL KUTOARJO. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui pandangan umat terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen. Bahasa Jawa yang merupakan bahasa sehari-hari menjadi sarana untuk mempermudah umat dalam berkomunikasi lebih mendalam kepada Allah ditengah arus kebudayaan lain pada zaman sekarang ini.

Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. B.A. Rukiyanto, SJ selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan memberikan masukan-masukan, sehingga penulis dapat termotivasi dalam penulisan skripsi ini. 2. YH. Bintang Nusantara SFK, M.Hum selaku dosen penguji kedua yang telah

memberikan waktu dan senantiasa membimbing dengan penuh kesabaran serta memberi masukan demi penyelesaian penulisan skripsi ini.

3. Drs. L. Bambang Hendarto Y. M.Hum selaku dosen penguji ketiga yang telah menguji dan memberi masukan demi penyelesaian penulisan skripsi ini. 4. Segenap Staf Dosen Prodi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.


(13)

xi

5. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi Pendidikan Agama Katolik, serta seluruh karyawan bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Rm. Y Lasono Wibowo MSC dan Rm. Al Y Sukirdi MSC selaku romo Paroki St. Yohanes Rasul Kutoarjo yang telah memberikan izin dan dukungan untuk mengadakan wawancara kepada umat di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen.

7. Kedua orangtua (Bernadus Hartoyo dan Anastasia Budi Winarti) dan keluarga yang telah memberikan dukungan dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Agustinus Dwi Riyanto sahabat terkasih yang telah memberikan perhatian dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.

9. Kepada seluruh umat Stasi St. Fransiskus Xaverius yang telah meluangkan waktu dan bersedia menjadi responden penelitian sehingga penulis dapat memperoleh data untuk dijadikan sumber penelitian.

10. Teman-teman angkatan 2012 yang selalu memberikan dukungan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini dengan tulus memberikan bantuan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari apara pembaca demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap


(14)

xii

semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Yogyakarta, 26 Januari 2017 Penulis


(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN... iii

PERSEMBAHAN... iv

MOTTO... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

KATA PENGANTAR... xi

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR SINGKATAN... xviii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... B. Rumusan Masalah... C. Tujuan Penulisan... D. Manfaat Penulisan... E. Metode Penulisan... F. Sistematika Penulisan... 4 4 4 5 5 5 BAB II. PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI... 7 A. Liturgi dalam Konsili Vatikan II...

1. Konsili Vatikan II membuka Pandangan Baru... 2. Pembaharuan Liturgi... 3. Maksud Pembaharuan Liturgi... B. Inkulturasi dalam Gereja Katolik... 1. Inkulturasi Gereja... 2. Inkulturasi Liturgi... C. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik...

7 7 8 12 14 14 16 17


(16)

xiv

1. Bahasa Liturgi... 2. Bahasa Jawa sebagai Bahasa Liturgi... a. Bahasa Jawa... b. Asal Mula Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi... D. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk membantu Penghayatan Iman Umat... 1. Perayaan Ekaristi Menurut Konsili Vatikan II... a. Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Gereja... b. Ekaristi sebagai Perayaan Gereja... c. Ekaristi sebagai Pusat Liturgi... d. Ekaristi sebagai Kurban... e. Ekaristi sebagai Perjamuan... f. Ekaristi sebagai Sakramen... 2. Memaknai dan Menghayati Perayaan Ekaristi melalui Bahasa

Jawa... a. Ritus Pembuka... b. Liturgi Sabda... c. Liturgi Ekaristi... d. Ritus Penutup... 3. Partisipasi Umat dalam Ekaristi Bahasa Jawa... E. Tantangan Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi pada

Masa Sekarang... 1. Menghayati Ekaristi dalam Hidup Sehari-hari... 2. Tantangan Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi....

17 18 18 20 21 21 22 23 24 24 25 26 26 27 27 29 32 35 37 37 40 BAB III. PENELITIAN TENTANG PENGGUNAAN BAHASA JAWA

DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI ST.

FRANSISKUS XAVERIUS KEMRANGGEN... 42 A. Gambaran Umum Umat Stasi St. Fransiskus Xaverius

Kemranggen... 1. Sejarah Singkat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... 2. Letak Geografis Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... 3. Jumlah Umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen...

43 43 44 45


(17)

xv

4. Pelaksanaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... 5. Tantangan yang dihadapi oleh Umat di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... B. Penelitian Mengenai Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan

Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Kutoarjo... 1. Latar Belakang Fokus Penelitian... a. Keadaan Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... b. Penelitian yang Relevan... 2. Rumusan Masalah... 3. Tujuan Penelitian... 4. Metode Penelitian... 5. Responden Penelitian... 6. Teknik Pengumpulan Data... 7. Tempat dan Waktu Penelitian... 8. Variabel Penelitian... 9. Kisi-kisi Penelitian... C. Pembahasan Hasil Penelitian tenang Pengunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen…... 1. Hasil Penelitian ...

a. Hasil Penelitian Wawancara... b. Hasil Penelitian (Focused Group Discussion) FGD... 2. Pembahasan Penelitian... a. Pandangan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen tentang Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi... b. Penggunaan Bahasa Jawa dan Penghayatan Perayaan Ekaristi Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... c. Usulan atau Harapan Umat terhadap Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen... D. Kesimpulan Penelitian...

45 47 48 48 48 49 51 51 51 52 53 53 54 54 57 57 57 66 74 74 80 84 86 BAB IV. KATEKESE MODEL SCP (SHARED CHRISTIAN PRAXIS)

SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PENGHAYATAN AKAN PERAYAAN EKARISTI BAGI KAUM MUDA DI


(18)

xvi

STASI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS

KEMRANGGEN... 91 A. Berbagai Upaya untuk Meningkatkan Penghayatan akan

Perayaan... 1. Pentingnya Penjadwalan Misa... 2. Perayaan Ekaristi untuk Kaum Muda... 3. Katekese bagi Kaum Muda dengan Model SCP... B. Katekese bagi Kaum Muda sebagi salah satu Upaya Meningkatkan

Penghayatan akan Perayaan Ekaristi... 1. Pengertian Katekese... 2. Tujuan Katekese... 3. Model Katekese...

a. Tiga komponen utama dalam SCP... b. Langkah-langkah Model SCP... C. Usulan Program Katekese dengan Model SCP... 1. Latar Belakang Pemilihan Program... 2. Tema dan Tujuan Program... 3. Petunjuk Pelaksanaan Program... 4. Penjabaran Program... D. Contoh Satuan Program Katekese Model SCP...

92 92 93 94 95 95 97 99 100 102 105 105 107 109 111 114 BAB V. PENUTUP... 129

A. Kesimpulan... B. Saran...

129 133 Lampiran

Lampiran 1. Surat ijin penelitian……… (1) Lampiran 2. Hasil wawancara………. (2) Lampiran 3. Teks Lagu SCP (SHARED CHRISTIAN PRAXIS)………. (29)


(19)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Teks Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru: dengan pengantar dan catatan singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende:Arnoldus. 1984/1985, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Gereja

CT :Catechesi Tradendae, Anjuran Apostoik Paus Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang Katekese Masa Kini, 16 Oktober 1979.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral dalam Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis dalam Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964

PO : Presbyterium Ordinis, Dekrit dalam Konsili Vatikan II tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam, 7 Desember 1965

SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi dalam Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci, 4 Desember 1963

C. Singkatan Lain

AYD : Asian Youth Day EKM : Ekaristi Kaum muda FX : Fransiscus Xaverius FGD : Focused Group Discussion KAS : Keuskupan Agung Semarang KWI : Konferensi Waligereja Indonesia


(20)

xviii Mgr : Monsinyur

MSC : Missionari Sacratissimi Cordies Jesu (Misionaris Hati Kudus Yesus)

OMK : Orang Muda Katolik

PIOM : Pembinaan Iman Orang Muda

PKKI : Pertemuan Kateketik Keuskupan se Indonesia PUMR : Pedoman Umum Misale Romawi

PWI : Panitia Waligereja Indonesia St. : Santa/Santo

SJ : Societas Jesu (Serikat Yesus) Pr : Presbiter (Imam Diosesan)


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

Pada Bab I ini, penulis akan menjelaskan latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penulisan dan sistematika penulisan.

A. Latar Belakang

Konsili Vatikan II yang diselenggarakan pada tahun 1962 dan berakhir tahun 1965, Paus Yohanes XXIII sebagai pemarkasa diadakannya suatu konsili, namun beliau wafat sebelum konsili tersebut selesai, kemudian di lanjutkan oleh Paus Paulus VI. Paus Yohanes XXIII mempunyai gagasan-gagasan baru mengenai konsili yang akan diadakan, jika pada Konsili Vatikan I diselenggarakan guna memecahkan masalah sengketa doktrin dan yurisdiksi di dalam Gereja, Konsili kedua ini bersifat pastoral (Beding, 1997:21). Konsili ini membawa Gereja ke dalam dunia modern dan masalah yang dihadapi. Paus Yohanes XXIII juga meyakini bahwa Konsili Vatikan II ini menjadi peluang bagi Gereja untuk memahami dan menghadapi dunia yang baru ini dengan terang Injil Yesus Kristus, menyadari tugas perutusan ditengah dunia serta kebudayaan semakin disekularisasikan.

Konsili Vatikan II menghasilkan 16 dokumen yang terdiri dari 4 konstitusi, 9 dekrit dan 3 pernyataan yang mencakup berbagai topik yang luas mengenai ekumene, liturgi, pendidikan imam, misi dan kerasulan awam serta


(22)

kebebasan dalam beragama. Pada akhirnya konsili yang dipimpin oleh Paus Paulus VI sebagai pengganti Paus Yohanes XXIII menyadari apa yang menjadi harapan dari Paus Yohanes XXIII yaitu suatu arggiornamento yaitu suatu pembaharuan Gereja dari segi internal (Beding, 1997:21-22).

Sacrosanctum Concilium (SC) Salah satu konstitusi yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II yang berbicara mengenai pembaharuan liturgi dengan tujuan supaya umat senantiasa dapat memahami dan memperoleh berkah dari apa yang umat rayakan secara bersama-sama, pemaharuan yang dimaksud ialah unsur-unsur yang disesuaikan dengan keadaan umat. Seperti apa yang menjadi keyakinan Paus Yohanes XXIII bahwa kebudayaan semakin disekurarisasikan, tidak luput apabila bermula dari Gereja Lokal, yaitu gereja yang tumbuh dan berakar di tengah-tengah rakyat (Madya Utama,Ig. 2010:26). Di Indonesia perlahan menjadi Gereja Lokal yang mandiri dengan lahirnya biarawan biarawati pribumi, salah satunya yaitu Soegijapranata SJ, beliau merupakan uskup pribumi yang pertama (Beding, 1997:24). Berbicara Gereja Lokal maka tidak lepas dari inkulturasi di mana Gereja Lokal yaitu Gereja yang sungguh-sungguh bertumbuh dari kebudayaan setempat, menghargai nilai-nilai dan tradisi setempat serta bahasa yang diinkulturasikan ke dalam tata cara Katolik.

Syarat inkultursi yang benar yaitu menyadari dan mengakui adanya interaksi timbal balik antar agama dan kebudayaan (Kirchberger, 1995:92). Salah satu inkulturasi yang diterima dalam Gereja Indonesia ialah penggunaan bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi yang dirasa lebih mempermudah dan


(23)

dimengerti oleh umat setempat serta sanara pengungkapan iman umat kepada Allah. Demi terjalinnya suatu komunikasi dua arah antara manusia dengan Tuhan maka harus memperhatikan bahasa, walaupun Tuhan maha mengetahui apapun bahasa yang digunakan oleh manusia. Inkulturasi bahasa inilah yang terjadi di Stasi Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Kutoarjo, Keuskupan Purwokerto yang mengunakan Bahasa jawa dalam setiap Perayaan Ekaristi maupun ibadat-ibadat lainnya. Melihat kenyataan yang terjadi bahwa kebudayaan setempat khususnya bahasa yang semakin luntur dengan kebudayaan baru, maka menimbulkan masalah tersendiri di dalam Perayaan Ekaristi. Orang tua dirasa masih mahir dalam berbahasa Jawa dan dengan mudah mengerti dan dapat membantu menghayati dalam Perayaan Ekaristi tanpa terkendala bahasa, karena bahasa jawalah yang sejak dulu menjadi bahasa mereka. Namun untuk anak-anak jaman sekarang ataupun umat pendatang, mereka cenderung tidak mengerti arti bahasa jawa yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi sehingga tidak sungguh-sungguh memahaminya.

Konsili Vatikan tentang Liturgi yang merangkul budaya setempat telah diterapkan oleh Gereja Indonesia. Berbagai inkulturasi dengan budaya setempat telah masuk kedalam Gereja, seperti halnya penggunaan Bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristi khususnya di daerah Jawa sebagai sarana untuk mempermudah pengungkapan iman umat. Namun, dengan melihat perubahan-perubahan manusia dimasa modern ini, kebudayaaan setempat seringkali tersingkirkan dan berganti dengan budaya baru. Dengan demikian apakah kebudayaan setempat sungguh-sungguh masih dapat membantu umat dalam


(24)

menghayati imannya di tengah arus budaya modern yang semakin menggerus kebudayaan setempat.

Untuk dapat mengetahui tanggapan umat terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristi di Paroki Kutoarjo khususnya di Stasi Kemranggen. Penulis mengemukakan gagasan-gagasan sesuai dengan kenyataan yang dialami oleh umat setempat, sehingga penulis mengambil judul: PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI STASI SANTO FRANSISKUS KEMRANGGEN, PAROKI KUTOARJO

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen mengenai Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi?

2. Apakah penggunaan Bahasa Jawa dapat membantu penghayatan umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi?

3. Apakah yang menjadi harapan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen terhadap penggunaan Bahasa Jawa?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pendapat umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen mengenai Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi.

2. Mengetahui peran Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi terhadap umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen.


(25)

3. Mengetahui harapan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi.

D. Manfaat Penelitian

1. Dapat mengetahui pandangan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen mengenai Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi.

2. Dapat mengetahui penghayatan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen dalam mengikuti Perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Jawa, sehingga Perayaan Ekaristi sungguh dirayakan oleh seluruh umat yang hadir.

3. Mengetahui yang menjadi harapan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi.

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan ialah dengan metode pendekatan deskriptif analisis yaitu memaparkan, menguraikan dan menganalisis data yang ada, untuk melengkapi data digunakan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh melalui pengalaman dan wawancara untuk dapat membantu memperoleh data dari lapangan.

F. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan penulisan ini dibagi menjadi lima bab. Perincian ialah sebagai berikut:


(26)

BAB I: Pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II: Bagian ini memaparkan unsur-unsur peranan penggunaan bahasa dalam Perayaan Ekaristi meliputi dua hal pokok yaitu: liturgi dalam Konsili Vatikan II, inkuturasi dalam Gereja Katolik, Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik, Penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi Gereja Katolik dan Penghayatan Ekaristi, Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk Membantu Penghayatan Iman umat dan tantangan penggunaan Bahasa Jawa dalam masa sekarang.

BAB III: Bab ini berisi Penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen yang meliputi: gambaran umum umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, penggunaan bahasa Jawa dalam Ekaristi dan penelitian serta pembahasannya.

BAB IV: Bab ini memaparkan mengenai usulan program untuk meningkatkan penghayatan umat dalam mengikuti Ekaristi.


(27)

BAB II

PENGGUNAAN BAHASA JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI

Pada Bab II menguraikan penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi yang meliputi dua hal pokok yaitu: penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi dan penghayatan Sakramen Ekaristi. Berawal dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya. Selanjutnya pembahasan tentang penggunaan Bahasa Jawa meliputi: liturgi dalam Konsili Vatikan II, inkulturasi dalam Gereja Katolik. Pembahasan tentang penghayatan Sakramen Ekaristi meliputi: Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik, Penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi Gereja Katolik dan Penghayatan Ekaristi, Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk Membantu Penghayatan Iman umat dan tantangan penggunaan Bahasa Jawa dalam masa sekarang. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Ekaristi dan penghayatannya.

A. Liturgi dalam Konsili Vatikan II

1. Konsili Vatikan II membuka Pandangan Baru

Konsili Vatikan II yang diprakarsai oleh Paus Yohanes XXIII telah membuat gebrakan baru dalam sejarah Gereja. Beliau menyerahkan seluruh agenda konsili kepada para uskup. Dengan harapan yang berkali-kali diserukan oleh Paus Yohanes XXIII yaitu suatu pembaharuan untuk menghadapai dan membaca tanda-tanda jaman, serta upaya menyatukan


(28)

kembali Gereja-Gereja Protestan. Gereja ingin melahirkan kesetiakawanan kepada kaum miskin dan menjadi Gereja kaum miskin.

Gereja hadir bukan untuk dirinya sendiri malainkan terbuka untuk setiap orang. Konsili yang diselenggarakan tidak hanya memecahkan doktrin-doktrin dalam Gereja. Paus Yohanes XXIII berpandangnya membawa Gereja kepada dunia luar dan masalah-masalahnya. Para peserta konsili membuka konsili dengan membahas mengenai pembaharuan liturgi. Upaya pembaharuan liturgi pada saat itu sudah mulai ditangani, sehingga mengawali konsili dengan pembaharuan liturgi menjadi keuntungan yaitu karena merupakan pembaharuan gerejawi yang serentak dirasakan oleh seluruh umat Katolik sedunia.

2. Pembaharuan Liturgi

Sacrosanctum Concilium sebagai salah satu dokumen yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan II pada bagian tiga secara lebih rinci membahas pembaharuan liturgi dengan tujuan supaya umat dapat memahami dan memperoleh berkah melimpah dari apa yang mereka rayakan. Dalam liturgi terdapat unsur-unsur yang tidak dapat diubah karena berasal dari Allah dan ada pula unsur-unsur yang lebih baik disesuaikan dengan keadaan umat. Dengan memperbaharui naskah-naakah dalam upacara perayaan menjadi lebih sederhana dan jelas bagi umat, sehingga dapat diikuti secara penuh dan aktif dengan cara khas umat (SC 21). Namun hak dan wewenang dalam


(29)

pembaharuan liturgi ialah Tahta Apostolik dengan menurut kaidah-kaidah (SC 22).

Pembaharuan dalam Sacrosanctum Concilium antara lain dengan membacakan Kitab Suci dengan jelas, dan mazmur dinyanyikan. Melalui pembacaan Kitab Suci maka umat dapat menghaturkan permohonan, doa dan mahda-mahda liturgi (SC 24). Peninjauan buku-buku liturgi (SC 25). Liturgi sebagai suatu perayaan bersama sebagai sakramen kesatuan, hendaknya umat ikut serta secara aktif (SC 26). Petugas misa harus sungguh-sungguh menghayati sepenuh hati apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab demi kelancaran Perayaan Liturgi (SC 29). Keaktifan umat dengan aklamasi, jawaban-jawaban, pendarasan mazmur. Saat hening dan khidmat (SC 30). Penggunaan bahasa pribumi yang dirasa lebih bermanfaat bagi umat dalam menghayati apa yang mereka rayakan bersama-sama (SC 36)

Kata liturgi berasal dari kata Yunani leitorgia yang berarti pelayanan kepada masyarakat. Artinya bahwa Allah mengikutsertakan manusai dalam misteri Paskah melalui pewartaan dan tanda sakramental. Dengan demikian, seseorang yang telah diselamatkan mampu mengucapkan syukur kepada Allah. Dokumen SC menegaskan kembali bahwa liturgi bukan hanya sebagai kegiatan manusia melaikan suatu karya Allah “melalui liturgilah, terutama dalam kurban Ilahi Ekaristi, terlaksana karya penebusan”. Segala karya penyelamatan Allah tertuang bagi manusia dan manusia memberi jawaban melalui ucapan syukur dan membagikan kepada sesama. Liturgi ialah suatu


(30)

perayaan bersama dimana karya penyelamatan Allah dikenangkan, dengan ibadat maka karya Allah terlaksana (Rukiyanto, 2012: 145-150).

Paus Fransiskus dalam homilinya, mengenang 50 tahun setelah Konsili Vatikan II menegaskan maksud dari pembaharuan liturgi, melalui liturgi diharapkan setiap umat beriman sungguh mendengarkan suara Tuhan yang senantiasa menuntun kearah kebenaran dan kesempurnaan dalam beriman Kristen. Pembaharuan liturgi bermaksud untuk mengaitkan liturgi dengan kehidupan sehari-hari, liturgi dengan Sabda Tuhan. Sehingga apa yang telah didengarkan, dihayati dan diperoleh dalam liturgi senantiasa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Liturgi menjadi lebih sederhana dan melibatkan umat untuk turut serta merayakan liturgi.

Dalam Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci, artikel 50 dijelaskan mengenai pembaharuan liturgi dengan lebih sederhana dan mudah ditangkap oleh umat.

Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa sehingga lebih jelaslah makna setiap bagiannya serta hubungannya satu dengan yang lain. Dengan demikian, umat beriman akan lebih mudah ikut serta dengan khidmat dan aktif.maka dari itu hendaknya upacara-upaara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sementara beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu tampaknya memang berguna atau perlu.

SC 50 membahas lebih luas terlebih mengenai keperluan pengguanaan bahasa setempat dalam Perayaan Ekaristi. Pola menyederhanakan ini pula bertolak dari Gereja Romawi yang lebih praktis dan mudah dipahami oleh


(31)

umat, sehingga umat diharapkan akan lebih berperan aktif dalam setiap ritus perayaan. Demi terwujudnya peran serta oleh seluruh umat yang mengikuti perayaan Ekaristi maka dibutuhkan kesederhanaan sehingga mudah dimengerti dan diserap oleh umat. Pembaharuan liturgi ini bertolak dari tuntutan kebutuhan umat dalam merayakan Perayaan Ekaristi sehingga umat dapat mengikuti secara sadar, utuh dan penuh untuk dapat menghidupi seluruh hidup dengan menjadi umat yang ekaristis.

Demi terwujudnya SC 50 maka hal-hal praktis dalam pembaharuan dengan kesederhanaan supaya mudah dimengerti, diawali dengan keberadaan tempat untuk Liturgi Sabda ialah mimbar, sedangkan altar digunakan untuk Liturgi Ekaristi. Kursi pemimpin tempat imam untuk memimpin ritus pembuka ataupun penutup. Sabda Allah dibacakan dengan menghadap arah umat, serta dalam penerimaan komuni disertai kata-kata “Tubuh Kristus” dan umat menjawab dengan “Amin”. Untuk lebih mengidupi peran serta umat, disediakanlah bahan-bahan perarakan (Cunha, 2012:111-115).

Dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) no. 387 dikatakan bahwa sejumlah penyesuaian liturgi menjadi wewenang Uskup diosesan atau Konferensi Uskup. Uskup yang berwewenang haruslah menjadi penggerak, pengatur dan pengawas kehidupan liturgi di wilayah keuskupannya. Dengan berdasar pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Hingga pada akhirnya seluruh penyesuaian terhadap liturgi ke dalam budaya maupun bahasa setempat dilaksanakan sesuai dengan yang tercantum dalam SC 50.


(32)

3. Maksud Pembaharuan Liturgi

Pembaharuan liturgi dalam Konsili Vatikan II mengubah wajah baru dalam hal liturgi. Pada mulanya seorang imam yang merayakan Misa, sedangkan umat-awam hanya duduk diam sambil berdoa secara pribadi. Seluruh Perayaan Ekaristi dibisikkan oleh pastor dalam Bahasa Latin. Posisi duduk Pastor yang membelakangi umat, rumusan selalu sama dan sudah baku, sehingga imam senantiasa sudah hafal namun ada pula yang masih menggunakan buku misa. Misa berlangsung sangat singkat tidak lebih dari 20 menit karena imam membacakan rumusan dengan terburu-buru (Madya Utama, 2015:11).

Adapun yang menjadi maksud pembaharuan liturgi bukan hanya pembaruan demi pembaharuan melainkan seperti yang dicita-citakan dalam SC 1 antara lain memperkembangkan hidup Kristen bagi umat beriman, menyesuaikan tata hidup dalam dunia sekarang, mengusahakan demi tercapainya kesatuan umat yang percaya kepada Kristus serta memperteguh iman akan Yesus Kristus. Seluruh pembaharuan liturgi pada akhirnya mengarah kepada penghayatan iman umat. Namun perlu disadari pula pembaharuan liturgi bukan hanya mengenai bentuk-bentuk dan naskah liturgi yang diubah melinkan demi keikutsertaan umat secara aktif dalam perayaan liturgi sehingga umat dapat menghidupi kehidupan kristiani dan menemukan sumber serta puncak dalam Perayaan Liturgi (Stolk, 1979:7-9).

Dalam homili mengenang 50 tahun Konsili Vatikan II dalam Misa mengunakan Bahasa Italia di Paroki Segala Orang Kudus, Roma, Paus


(33)

Fransiskus menegaskan kembali pembaharuan liturgi yang tercantum dalam SC 14, pembaharuan liturgi bukan hanya memahami doktrin Gereja ataupun suatu ritus yang harus dipenuhi, melainkan lebih dipahami sebagai sumber kehidupan dalam perjalanan iman seluruh manusia. Liturgi merupakan suatu perayaan kehidupan, merefleksikan kembali apa yang diimani dalam kehidupan sehari-hari kehadapan Allah. Gereja mengundang umatnya supaya apa yang mereka rayakan dan alami dalam kehidupan sehari-hari dapat seimbang (Madya Utama, 2015:25-26).

Dalam hal ini liturgi menunjukan bagaimana mewujudkan dalam hidup sehari-hari apa yang telah diterima dalam iman dan apa yang telah dirayakan. Merayakan sakramen-sakramen terutama dalam Sakramen Ekaristi yang diubah sedemikian dari sebelum Konsili Vatikan II. Umat tidak lagi hanya menghadiri Perayaan Ekaristi yang diyarakan oleh imam melainkan turut terta merayakannya Misa secara bersama-sama. Perubahan Bahasa Latin ke bahasa setempat menyatakan cara Gereja memaknai persekutuan jemaat.

Menyambut hasil dari Konsili Vatikan II, setiap keuskupan di Indonesia dengan penuh semangat melaksanakan sosialisasi khususnya dokumen Sacrosanctum Concilium. Mgr. Van Bekkum, Uskup Ruteng pada saat itu memberikan warna dan sebagai penasihat dalam pelaksaaan pembaharuan liturgi. Gereja Indonesia disebut sebagai salah satu yang paling awal dalam menerbitkan dan mensosialisasikan dekrit-dekrit pembaharuan liturgi. Pengesahan SC pada tanggal 4 Desember 1963, pada Pekan Suci 1964 Pusat kateketik Indonesia sudah memberikan kebebasan dalam penggunaan


(34)

bahasa lokal dalam liturgi. Di Jawa sudah diterbitkan buku-buku Misa dalam menggunakan Bahasa Jawa. Hal ini menjadi bukti bahwa Gereja Indonesia tergolong cepat dalam mempraktekan dan mensosialisakan pembaharuan liturgi (Martasudjita. 2014:61).

B. Inkulturasi Dalam Gereja Katolik 1. Inkulturasi Gereja

“Inkulturasi gereja adalah suatu usaha untuk mengikutsertakan manusia dalam karya penciptaan baru dan penyelamatan yang dikerjakan oleh Allah”. Allah senantiasa hadir, berkarya, dihayati dan diungkapkan oleh umat melalui perbuatan dan perkataan. Dengan demikian sesuatu kebiasan baik dalam peristiwa kehidupan sehari-hari ditafsirkan dengan iman yang ditunjang dengan adat-istiradat yang ada dalam suatu masyarakat. Hal ini dilakukan demi pengungkapan iman melalui kekayaan adat setempat, sehingga umat dapat dengan bebas mengungkapkan iman dan ikut serta dalam karya penyelamaan Allah (Sekretariat PWI Liturgi, 1980: 281)

Dalam seminar inkulturasi yang diadakan di Yogyakarta yang digerakkan dan diatur oleh Fakultas Misiologi di Gregoriana Roma, dirumuskan pengertian inkulturasi sebagai berikut:

Inkulturasi adalah suatu proses dimana persekutuan gereja menghidupi iman dan pengalaman kristennya dalam konteks kebudayaan tertentu, sehingga penghayatan ini tidak hanya dapat diungkapkan lewat elemen-elemen kebudayaan setempat, melainkan menjadi satu kekuatan yang menjiwai, membentuk dan secara mendalam membaharui kebudayaan itu, sehingga terciptalah pola-pola


(35)

baru persekutuan dan komunikasi dalam kebudayaan dan di luar kebudayaan itu sendiri (Muda, 1992:34).

Pengertian tersebut dikatakan bahwa inkulturasi merupakan relasi dinamis antara keselamatan Kristen dengan berbagai kebudayaan. Di dalamnya terdapat proses dua arah yaitu percampuran antar warta kristen dan kekhasan kristiani dengan kebudayaan. Penerimaan dalam kebudayaan terhadap warta khas kristen, sebagai sikap keterbukaan diantaranya.

“Inkulturasi tidak hanya terbatas pada cara pengungkapan iman, melainkan harus lebih mendalam yakni pada satu perayaan/selebrasi iman” (Muda, 1992:87). Seperti yang dihasilkan Konsili Vatikan II dalam SC yaitu usaha inkulturasi liturgi dengan kebudayaan setempat. Hal ini menjadi penekanan kembali penyesuaian inkulturasi dengan berbagai bangsa dan kebudayaan di seluruh dunia. Gereja sangat mendukung penyesuaian liturgi, karena dengan demikian Gereja ikut serta dalam mengambil bagian dalam kebudayaan asal supaya tidak terjadinya kekeliruan dalam liturgi.

Dengan demikian, mulailah dilaksanakannya pembaharuan liturgi dengan merevisi kitab-kitab liturgi yang memberikan tempat perbedaan sesuai dengan berbagai kebudayaan bangsa dan daerah. Hal ini menunjukan pula keterbukaan dalam Gereja dengan menerima dan masuk ke dalam kebudayaan setempat guna mempermudah setiap umat dalam menghayati iman dalam Perayaan Ekaristi. Konstitusi Liturgi dalam pembaharuannya tidak menggunakan kata inkulturasi melainkan dengan kata penyesuaian.


(36)

Melalui pengesahan dokumen Sacrosanctum Concilium, Gereja secara resmi menyatakan diri bahwa Gereja tidak terikat hanya pada satu kebudayaan saja, misalnya kebudayaan Romawi/Latin saja yang dipakai dalam seluruh Tata Perayaan Liturgi sebelumnya. Begitu banyak perubahan yang terjadi dalam Liturgi, maka hal ini semakin memanfaatkan harta kekayaan budaya setempat sebagai cara pengungkapan iman (Muda, 1992:87-93).

2. Inkulturasi Liturgi

Kemungkinan penyesuaian adaptasi Tata Perayaan Ekaristi dilakukan oleh dua cara yaitu: akomodasi, penyesuaian ini berkaitan dengan unsur-unsur perayaan tanpa mengubah struktur perayaan. Dalam hal ini yang dapat disesuaikan ialah penggunaan bahasa, pilihan bacaan, doa-doa presidensial, juga sikap tubuh yang disesuaikan dengan situasi dalam Perayaan Ekaristi. Kedua ialah: adaptasi, penyesuaian ini berkaitan dengan unsur-unsur budaya. Istilah adaptasi dikenal dengan kata inkulturasi sebagai penyesuaian budaya secara umum. Wewenang adaptasi ialah Konferensi Waligereja karena menyangkut hal-hal yang bersifat permanen. Misalnya gerak-gerik dan sikap badan, nyanyian pembuka dan rumusan teks. Rumusan teks dapat dimengerti sebagai usaha menerjemahkan ungkapan kata dari Bahasa Latin kedalam Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Bahasa Dayak dan sebagainya. Namun yang menjadi persoalan ialah apakah pengungkapan bahasa tersebut sesuai dengan bahasa setempat. Dalam hal ini yang menjadi perhatian ialah unsur kultural


(37)

secara teologis dan unsur kultural dalam masa sekarang ini (Cunha, 2012:119-122).

Kemungkinan inkulturasi liturgi yang diperbolehkan oleh Gereja Indonesia antara lain musik misalnya dengan mengunakan gamelan dalam budaya jawa, penggunaan bahasa jawa, musik rebana. Gedung Gereja diinkuturasikan dengan ciri budaya setempat misalnya dengan mengusung arsitek lokal, misalnya terdapat tokoh dalam wayang serta ornamen dalam budaya Jawa. Lambang dalam Tabernakel dengan lambang gunungan wayang, serta ritus dalam Perayaan Ekaristi, misalnya dengan menggunakan bahasa setempat, misa syukur. Ruang penyesuaian yang terjadi dalam Gereja antara lain bahasa, musik dan kesenian lainnya, hal ini seperti yang terdapat dalam SC 36, sebagai berikut:

Akan tetapi, dalam Misa. Dalam pelayanan sakramen-sakramen, dan dalam bagian-bagian liturgi lainnya, tidak jarang mengunakan bahasa pribumi dapat sangat bermanfaat bagi umat. Maka seyogyanyalah hal ini diberi kelonggaran yang lebih luas, terutama dalam bacaan-bacaan dan ajakan-ajakan, dalam berbagai doa dan nyanyian

Di daerah-daerah tertentu terdapat berbagai macam kesenian yang dimiliki yang berfungsi penting dalam kelangsungan beragama dan bermasyarakat. Begitu juga dengan bahasa yang sangat berperan sebagai alat berkomunikasi dengan sesama, hendaknya juga sarana sebagai komunikasi dengan Tuhan dengan bahasanya sendiri (Mariyanto, 1997:274-275).


(38)

C. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik 1. Bahasa Liturgi

Dalam Sacrosantum Concilium, Konstitusi tentang Liturgi Suci art. 36, dikatakan bahwa Bahasa Latin hendaknya dipertahankan dalam ritus-ritus lain. Namun dalam Misa, dalam pelayanan Sakramen-sakramen, maupun bagian liturgi lainnya, bahasa pribumi lebih bermanfaat dan lebih dikenal oleh umat. Oleh sebab itu maka diberi kelonggaran yang lebih luas. Pengunaan bahasa inilah hendaknya mendapatkan persetujuan ataupun pengesahan dari Tahta Apostolik. Penyesuaian bahasa dengan Gereja setempat dimaksudkan supaya pesan Injil sungguh nyata diterima oleh umat.

Bahasa setempat membuat liturgi lebih mudah diikuti dan dimengerti, mulai dari doa-doa, bacaan dan nyanyian dalam liturgi bisa langsung diserap dan dihayati oleh umat setempat. Dengan bahasa setempat juga memungkinkan umat untuk menyusun doa spontan dengan lebih mendalam dan ekpresif sesuai dengan apa yang diinginkan. Bahasa setempatpun membuat umat lebih berperan aktif, misalnya untuk menjadi lektor. Karena mengunakan bahasa setempat, bahasa yang digunakan sehari-hari maka lebih mudah dari pada menggunakan bahasa yang asing. Begitu juga dengan nyanyian yang telah tersedia dengan bahasa setempat dengan teks yang telah tersedia dan telah disahkan, misalnya dengan Kidung Adi untuk Bahasa Jawa, yang berisi doa-doa, tata Perayaan Ekaristi serta nyanyian (Mariyanto, 1997:278-279).


(39)

2. Bahasa Jawa sebagai Bahasa Liturgi a. Bahasa Jawa

Magnis Suseno dalam buku Etnologi Jawa mendefinisikan mengenai suku bangsa Jawa yaitu sebagai berikut: Suku Jawa adalah penduduk asli pulau Jawa bagian tengah dan timur, kecuali pulau Madura. Selain itu, mereka yang menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya untuk berkomunikasi juga termasuk dalam suku Jawa. Asal usul suku Jawa berkaitan juga dengan bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Jawa. Ada dua jenis bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa, yaitu: bahasa Jawa Ngoko yaitu bahasa Jawa yang digunakan oleh orang yang sudah akrab, dengan usia yang sepadan ataupun kepada orang yang status sosialnya lebih rendah. Bahasa Jawa Krama digunakan kepada orang yang belum akrab, orang muda kepada orang yang lebih tua ataupun kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi (Endraswara, 2015:169).

Sifat, karakter, pendidikan dan wawasan seseorang terlihat dari tutur kata dan pilihan dalam berbahasa. Begitu juga dalam perayaan liturgi, bahasa menjadi sangat penting yang menjadikan simbol liturgi. Sebelum Konsili Vatikan II, Bahasa Latin merupakan bahasa resmi yang menyatukan seluruh umat Katolik di dunia. Namun seiring dengan kebutuhan dan keterlibatan umat dalam liturgi, dalam SC 36 memperkenankan pengunaan bahasa pribumi yang dirasa lebih bermanfaat bagi seluruh umat. Begitu juga bagi masyarakat Jawa maka akan lebih bermanfaat apabila perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Jawa. Seringkali beberapa umat yang kurang


(40)

berminat dengan liturgi yang menggunakan Bahasa Jawa walaupun mereka orang jawa.

Namun masih banyak pula yang masih mempertahankan penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi. Bahasa yang memang menjadi bahasa sehari-hari yang tentu saja akan lebih mudah umat dalam menghayati Ekaristi. Penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi menyangkut segala aspek mulai dari nyanyian, doa, maupun khotbahnya. Tata Perayaan Ekaristi Bahasa Jawa yang digunakan yaitu Bahasa Jawa Krama Inggil, sedangkan dalam khotbah biasanya menggunakan bahasa yang santai yang biasa digunakan oleh umat.

b. Asal Mula Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi

Bahasa sebagai sarana komunikasi bagi manusia mendapatkan perhatian yang tinggi di dalam masyarakat pada umumnya. Begitu juga dalam Gereja yang senantiasa memperhatikan kebutuhan umatnya. Seperti halnya penggunaan bahasa dalam Ekaristi di daerah Jawa yang sampai saat ini masih dipertahankan. Hal ini bermula dari para misionaris sebagai pembawa Agama Katolik yang menyadari bahwa keberhasilan misinya di daerah Jawa tergantung dari penguasaan bahasanya. Romo Van Lith, SJ salah satu misionaris dari Belanda yang datang ke Indonesia pada bulan Oktober 1896, jauh sebelum konsili Vatikan II diadakan.

Beliau ditugaskan sebagai misionaris di Jawa Tengah, yang sejak kedatangannya di semarang Beliau berusaha keras untuk belajar Bahasa Jawa serta adat istiadatnya sebagai salah satu kunci penting dalam menjalankan


(41)

misi perutusannya. Beliau mengecam bahwa kemacetan dalam menjalankan misi di Jawa kerena keterbatasan tentang bahasa dan perilaku orang Jawa. Dalam misinya di Muntilan Romo Van Lith menampilkan figur Gereja yang menyatu dan hidup berdampingan dengan umat walaupun di sisi lain ada pula yang menganggapnya terlalu keras kepala.

Beliau juga menerjemahkan buku pelajaran agama dan doa-doa kedalam Bahasa Jawa bukan hanya menerjemahkan dari Bahasa Belanda dan Latin saja melainkan lebih mendalam lagi mengenai makna dan perasaan yang mau diungkapkannya. Hal ini memerlukan waktu yang lama karena beliau harus berkontak langsung dengan masyarakat sampai kraton Yogyakarta (Hendarto, 1990: 114-118).

D. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk Membantu Penghayatan Iman umat

1. Perayaan Ekaristi menurut Konsili Vatikan II

Istilah Ekaristi yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan II terdapat dalam dokumen Sacrosanctum Concilium, Lumen Gentium, Presbyterorum Ordinis. Konsili Vatikan II tidak secara sistematis menyampaikan tema Ekaristi. SC 47 secara singkat merumuskan mengenai Ekaristi, sebagai berikut:

Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian, Ia mengabdikan Kurban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja, Mempelai-Nya yang terkasih, kenangan wafat dan kebangkitan-Nya: sakramen cinta kasih, lambang


(42)

kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dipenuhi jaminan kemuliaan akan datang.

Berdasarkan artikel dari SC dapat diperoleh beberapa kesimpulan pokok dari Ekaristi yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II.

a. Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Gereja

Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja, Sacrosanctum Concilium menyebutkan Ekaristi sebagai ”sumber dan puncak” seluruh kegiatan Gereja, walaupun liturgi tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Liturgi sebagai puncak seluruh kegiatan Gereja dan sebagai sumber daya-kekuatan (SC 10). Liturgi mendorong umat beriman supaya setelah mereka dipuaskan dengan sakramen-sakramen dipersatukan dalam persekutuan, mereka mampu mengamalkan apa yang mereka peroleh kedalam hidup sehari-hari. Liturgi Ekaristi sebagai sumber yang mengalirkan rahmat kepada umatnya. Kerena hidup ialah suatu ibadah maka istilah Perayaan Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja menunjuk perhatian Konsili Vatikan II yang menghubungkan Ekaristi dengan seluruh spiritualitas hidup Gereja.

Dalam Lumen Gentium (LG), Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Gereja, art. 11 menyatakan beberapa hal mengenai Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja.

Dengan ikut serta dalam korban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba Ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya kepada Allah; demikianlah semua menjalankan peranannya sendiri dalam perayaan liturgis, baik dalam persembahan maupun dalam komuni suci, bukan dengan campur baur,


(43)

melainkan masing-masing dengan caranya sendiri. Kemudian sesudah memperoleh kekuatan dari tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka secara konkrit menampilkan kesatuan umat Allah yang oleh sakramen mahaluhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan secara mengangumkan.

Dari artikel diatas terdapat tidak poin pokok mengenai makna Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja. Pertama, melalui Perayaan Ekaristi umat beriman mempersembahkan Kristus dan diri sendiri sebagai Gereja kepada Allah. Kedua, dalam Ekaristi diharapkan umat beriman berpartisipasi menurut cara dan perannya masing-masing. Ketiga, dalam Perayaan Ekaristi umat beriman memperoleh kekuatan untuk mewujudkan kesatuan umat melalui perutusan (Martasudjita, 2012:16).

b. Ekaristi sebagai Perayaan Gereja

”Melalui liturgi, terutama dalam kuban Ilahi Ekaristi terlaksanalah karya penebusan kita” (SC 2). Ekaristi sebagai karya penebusan (SC 47). Melalui Ekaristi maka Gereja memperoleh misteri penyelamatan Allah dalam nama Kristus. Ekaristi pula yang menjadi anugerah kebersamaan dan kesatuan dengan Allah dan dengan sesama manusia. Merayakan Ekaristi Gereja senantiasa mengungkapkan dirinya sebagai karya keselamatan Allah. Liturgi Ekaristi membantu umat beriman dalam menghayati misteri Kristus, maka dari liturgi Ekaristi maka terbentunya suatu Gereja. LG 26 menegaskan bagaimana Gereja lahir dari Ekaristi “Di setiap himpunan di sekitar altar, dengan pelayanan suci Uskup, tampillah lambang cinta kasih dan kesatuan Tubuh Mistik ini, syarat mutlak untuk keselamatan. Dan jemaat-jemaat itu,


(44)

meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus dan berkat kekuatan-Nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik”. Dengan demikian Gereja lahir dari Ekaristi. SC 26 menyebutkan bahwa Ekaristi bukan suatu perayaan perorangan melainkan perayaan bersama yang dirayakan oleh seluruh Gereja (Martasudjita, 2009:298-300).

c. Ekaristi sebagai Pusat Liturgi

Ekaristi sebagai pusat seluruh liturgi memiliki kedudukan khusus dalam beberapa tempat. Karya penebusan terlaksana dalam liturgi terutama dalam kurban Ekaristi (SC 2). Dalam liturgi terutama bagian Ekaristi umat beriman memperoleh rahmat dari Allah (SC 10). Kesatuan umat sebagai Gereja menuntut adanya keikutsertaan penuh dan aktif dalam perayaan liturgi terutama dalam bagian Ekaristi (SC 41). Ekaristi sebagai pusat liturgi menunjukan pemahaman SC yang melihat dari dua sudut pandang antara lain Ekaristi sebagai perwujudan tertinggi dan memandang liturgi lain dari sudut Ekaristi. Selain memberikan Ekaristi sebagai pusat liturgi juga memberikan kedudukan tertinggi pada perayaan Sabda dimana Kitab Suci menjadi pusat, perayaan sakramen lain, dan ibadat harian (Martasudjita, 2009:301).

d. Ekaristi sebagai Kurban

Sacrosanctum Concilium menyebutkan Ekaristi sebagai kurban (SC 2,7,47). Kurban disini berhubungan dengan tradisi Trente. “Kristus hadir


(45)

dalam kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan” (SC 7). Bapa Konsili mengutip kata kurban dalam Trente. SC menghubungkan kurban Ekaristi dengan perjamuan malam terakhir yang dilakukan oleh Yesus dan juga kurban salib. Pada perjamuan malam terakhir Yesus sudah mengorbankan Tubuh dan Darah-Nya. Namun hal ini tidak juga berarti bahwa perjamuan malam terakhir ialah perjamuan Ekaristi. Perayaan Ekaristi yang pertama baru terlaksana sesudah Yesus Kristus wafat dan bangkit. Kata kurban Ekaristi yang diadakan oleh Yesus pada perjamuan malam terakhir menunjukkan pada penyerahan diri Yesus kepada Bapa bagi keselamatan dunia. Peristiwa salib Kristus itulah yang dirasakan dan dihadirkan di setiap Perayaan Ekaristi. Maka kesatuan kurban Ekaristi dan kurban salib Kristus. Dalam hal ini maka Ekaristi juga sebagai perayaan kenangan dimana perjamuan malam terakhir dikenang dan diabadikan dalam Perayan Ekaristi (Martasudjita, 2009: 293-295).

e. Ekaristi sebagai Perjamuan

SC 47 menyebutkan Ekaristi sebagai perjamuan Paskah. Istilah perjamuan Paskah menunjukan perjamuan Ekaristi yang berasal dari perjamuan malam terakhir yang diadakan oleh Yesus Kristus, yang disebut perjamuan Paksah (Yahudi). Perayaan Paskah ini dimengerti secara keseluruhan Perayaan Ekaristi, artinya Ekaristi sebagai perayaan kenangan. Istilah Paskah mendapat penolakan oleh beberapa Bapa Konsili Vatikan II karena bagi orang beriman istilah Paskah berarti kebangkitan Tuhan, tetapi


(46)

yang dimaksudkan ialah kurban salib. Namun menurut maknanya, perjamuan Paskah disebut sebagai keseluruhan karya penyelamatan Allah yang wafat dan kebangkitan-Nya sebagai puncaknya (Martasudjita, 2009:297-298).

f. Ekaristi sebagai Sakramen

Kristus “mempercayakan Gereja, mempelai-Nya: sakramen cinta kasih, lambang kesatuan ikatan cinta kasih” (SC 47). Konsili Vatikan II tidak memisahkan sakramen dan kurban dalam Ekaristi dengan menyatakan bahwa Ekaristi menghadirkan kurban salib Kristus disebut juga sebagai sakramen. Hal ini menjadi suatu pembaharuan, karena sesudah Trente hingga pra-Vatikan II, makna kurban dan sakramen dari Ekaristi dipisahkan. Sejak abad pertengahan, gagasan sakramen dipersempit. Istilah sakramen menunjukkan kehadiran Kristus dalam Sakramen Mahakudus atau hosti yang sudah diberkati. Dalam SC menampilkan pembaharuan akan pendangan mengenai Ekaristi, baik dari isi maupun caranya. Dengan demikian Ekaristi disebut sebagai sakramen cinta kasih, lambang kasatuan dengan Allah dan dengan sesama anggota Gereja (Martasudjita, 2009:297).

2. Memaknai dan Menghayati Perayaan Ekaristi melalui Bahasa Jawa a) Ritus Pembuka

Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi meliputi seluruh bagian. Di dalam ritus pembuka mulai dari nyanyian pembuka, tanda salib, seruan tobat hingga doa pembuka menggunakan Bahasa Jawa. Perayaan


(47)

Ekaristi Bahasa Jawa dalam ritus pembuka terdapat dialog antara imam dan umat “Tuhan sertamu, dan sertamu juga” berubah menjadi “Gusti manunggala, kalian kula sadaya” dimana umat merasa lebih meresapi. Karl Edmund Prier, SJ dalam buku Indonesianisasi, mengungkapkan bahwa pada tahun 1960-an teks Latin diganti dengan Bahasa Jawa supaya liturgi lebih mendekati rakyat (Boelaars,2005:426). Ritus pembuka sebagai penghantar kepada Perayaan Ekaristi juga sebagai menghantar umat untuk masuk kedalam suatu perjamuan. Seruan tobat yang didaraskan, umat cenderung menutup mata dan sungguh mengucapkan“kawula ngakeni” dengan lantang dan juga cepat sehingga beberapa umat yang masih membaca bisa tertinggal begitu juga dalam mendasarkan “kawula pitados”.

Dalam pembukaan atau biasa disebut sebagai ritus pembuka Perayaan Ekaristi terdiri dari beberapa bagian. Hal ini bertujuan supaya dapat mempersatukan umat yang berhimpun untuk dapat mendengarkan sabda Allah dengan khidmat dan merayakan Ekaristi dengan sungguh-sungguh. Mengawalinya dengan membuat dan merenungkan tanda salib yang dilakukan besama-sama. Dalam ritus pembuka ini pula mengajak umat untuk menyadari panggilan Allah dalam satu kesatuan bersama suluruh umat tanpa membedakan satu dengan yang lainnya (Suharyo, 2011:15-24).

Umat yang datang merupakan tanggapan dengan penuh iman akan undangan dari Allah sebagai tuan rumah dalam Perayaan Ekaristi yang ditujukan kepada semua orang tanpa memandang latar belakangnya. Kehadiran rahmat Allah maka akan menghasilkan persaudaraan dan


(48)

kekeluargaan karena menanggapi panggilan dari Allah. Namun dengan terbentuknya suatu ikatan persaudaraan dan kekeluargaan maka akan mudah membuat umat menyingkirkan mereka yang tidak termasuk kedalamnya. Melalui Imam yang memimpin Ekaristi selalu dituntut untuk menghayati dan dapat mengembangkan semangat persaudaraan di tengah masyarakat.

Sebagai manusia yang datang dan menanggapi undangan dari Allah, maka diharapkan pula bahwa manusia menyadari kelemahannya atas segala dosa-dosanya. Dengan membawa segenap dosa, manusia datang dan berani untuk mengakuinya karena percaya seperti kisah domba yang hilang, Allah akan selalu menanti kedatangan umatnya. Pengakuan atas keberdosaan manusia menyadari bahwa manusia makhluk ciptaan Allah dan mencari kerahiman Allah.

b) Liturgi Sabda

Pada tahun 1629 seorang pedagang Belanda Cornelis Ruly menerjemahkan Injil Matius dan dicetak dalam bahasa Belanda-Melayu. Hal ini menjadi contoh pertama untuk mencetak dan menerjemahkan Alkitab bukan dengan Bahasa Eropa demi tujuan misioner. Kemudian pada abad-abad selanjutnya dicetak dalam berbagai bahasa di nusantara termasuk di Jawa, hal ini dilakukan supaya dapat dengan mudah dimengerti oleh umat setempat. Dalam hal ini digunakan terjemahan dari Protestan. Pada tahun 1974, bekerja sama dengan pihak Protestan sebagai corak ekumene berhasil menerjemahkan Kitab Suci lengkap dalam Bahasa Indonesia, dengan masih menerjemahkan


(49)

kedalam bahasa daerah, karena bagi Gereja setempat terjemahan-terjemahan kedalam bahasa setempat sangatlah diperlukan. Hal ini karena Bahasa Indonesia tidak selalu digunakan dalam daerah-daerah tertenu walaupun pada kenyataannya sistem pendidikan menggunakan Bahasa Indonesia. Maka pengungkapan Sabda Allah kedalam bahasa setempat menjadi unsur utama dalam inkulturasi (Boelaars,2005:394).

Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Sabda dirasa sungguh membantu umat untuk mendengarkan, menghayati dan meresapi Sabda Allah. Umat yang telah terbiasa menggunakan Bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari akan lebih mudah untuk memahami isi dari Sabda Allah yang dibacakan dan homili yang disampaikan. Homili yang disampaikan oleh imam menggunakan Bahasa Jawa membantu umat dalam memahami makna Sabda Allah. Beberapa istilah yang tidak biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari yang terdapat dalam Injil dapat dipertegas melalui homili yang dibawakan oleh imam, sehingga apa yang telah didengarkan dapat dengan mudah di pahami dan diresapi sehingga umat dapat menanggapinya dalam permohoman umum. Permohonan umum diselaraskan dengan situasi yang sedang terjadi didalam lingkungan maupun lingkup yang lebih luas.

Umat yang berhimpun dalam Perayaan Ekaristi akan mendapat makanan rohani dengan menyadari bahwa “manusia hidup tidak dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah”. Maka dalam liturgi sabda umat mendengarkan pengajaran Allah yang masih terus dapat didengarkan melalui sabdaNya. Iman akan terus dihidupi dalam setiap umat


(50)

yang mendengarkan sabdanya seperti yang disabdakan oleh St. Paulus “jadi, iman timbul melalui pendengaran dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rm 10:17). Tanggapan terhadap sabda yang diwartakan ialah iman, karena hanya dengan imanlah manusia dapat menyadari kehadiran serta karya Kristus dalam sakramen (Suharyo, 2011:33-53).

Melalui Liturgi Sabda pula umat disadarkan akan kegunaan dari Kitab Suci yang bukan hanya berisi tulisan-tulisan untuk dibaca saja melainkan undangan untuk ditanggapi dengan sepenuh hati dengan iman yang tangguh. Dengan sabda yang dibacakan dalam Perayaan Ekaristi diharapkan dapat meneguhkan ikatan kasih antara Kristus dengan Gereja yang merupakan semua umat yang percaya kepadaNya. Adanya homili setelah pembacaan Sabda Allah sebagai kesaksian dari sang pembawa homili akan cinta kasih yang di terima dari Kristus yang diwartakan. Bacaan-bacaan yang dipilih dalam Perayaan Ekaristi disusun berdasarkan lingkaran tahun liturgi yaitu A, B dan C. Jadi dapat dikatakan bahwa umat yang secara terus menerus mengikuti perayaan Ekaristi dalam 3 tahun maka sudah mendengarkan seluruh isi Kitab Suci. Hal pengulangan ini bukanlah membosankan melainkan sesuatu yang indah. Kisah-kisah tidak hanya perlu dimengerti namun dikenang kembali, dengan kenangan itu pula umat dengan lagi dan lagi diundang untuk merasakan kembali kasih Allah dan menanggapi karyaNya.

Seluruh umat yang dengan mengenangkan kembali karya Allah akan disatukan oleh Roh kudus dengan para pendahulu dalam iman. Umat juga


(51)

disatukan dengan umat yang merayaan Ekaristi diseluruh dunia. Dengan demikian iman yang ditimbulkan oleh Sabda Allah ialah iman seluruh umat, maka bersama-sama akan mengalami kegembiraan, peneguhan dan penghiburan dari kenangan bersama. Karena kuasa Sabda Allah maka tidak boleh ada orang kritiani yang mengalami kesendirian dalam hidupnya.

Setelah Allah telah berbicara dan memberi pengajaran kepada umatnya maka seluruh umat dengan penuh kepercayaan menanggapi dengan mendaraskan Syahadat. Secara bersama-sama mengucapkan iman akan Yesus Kristus yang merangkum sejarah karya penyelamatan Allah kepada manusia. Setelah mengucapkan Syahadat maka dilanjutkan mengarahkan diri dihadapan Allah dengan menghaturkan doa-doa permohonan yang ditujukan untuk semua kalangan baik itu dalam lingkup Gereja maupun masyarakat.

c) Liturgi Ekaristi

Bahasa Jawa dalam Ekaristi telah membantu umat dalam memahami Perayaan Ekaristi dan membantu umat dalam mendalami Sabda Allah yang telah dibacakan dalam Liturgi Sabda. Liturgi Sabda telah mengenyangkan umat dengan Sabda Yesus Kristus sebagai sabda kehidupan abadi dan kekal. Selanjutnya Perayaan Ekaristi dilanjutkan mulai dari doa persiapan persembahan, Doa Syukur Agung sebagai puncak dari Perayaan Ekaristi dan diakhiri dengan doa sesudah komuni. Liturgi Ekaristi dijelaskan dalam satu gagasan yaitu hidup dalam pengharapan (Suharyo, 2011:59).


(52)

Tahun 1973 Konggres Liturgi II diputuskan bahwa supaya ada bagian yang khas dalam PWI Liturgi, dalam hal musik (Boelaars,2005:427). Liturgi Ekaristi menjadi pusat perayaan dimana umat mengikutinya dengan khidmat. Oleh karena itu lagu-lagu yang dibawakan dalam Perayaan Ekaristi umumnya lagu dengan aliran keroncong, selendro dan pelog, dimana aliran lagu tersebut yang melekat dengan masyarakat Jawa. Lagu Rama Kawula slendro menjadi lagu yang dinantikan oleh umat dimana umat dengan menutup mata dan menengadahkan tangan memuji dan memuliakan Allah.

Adapun inti dari harapan manusia ialah kepenuhan makna seluruh alam ciptaan dalam Kerajaan Allah. Dimana Allah telah memulai pekerjaan dalam penciptaan alam raya ini dengan sungguh amat baik selanjutnya diharapkan manusia yang akan melanjutkannya dengan baik pula. Dalam harapan umat tidak hanya dijanjikan oleh janji kosong melainkan suatu yang nyata dan sedang terjadi, walaupun tidak semua yang diharapkan akan terlaksana dan nyata namun hal ini menjadikan manusia semakin menghayati dan memberikan kesaksian tentang keutamaan harapan (Suharyo, 2011:59-87).

Di dalam doa persiapan persembahan manusia menyatakan harapan akan daya ilahi yang menyempurnakan ciptaan dan kerja manusia. Roti dan anggur yang dipersiapkan sebagai hasil dari bumi dengan usaha manusia. Menerima dengan penuh rasa syukur buah karya penyelamatan Allah maka manusia terdorong untuk membagikan anugerah penyelamatan kepada sesama. Dengan kuasa Roh Kudus dan kuasa ilahi kemudian roti dan anggur


(53)

diubah menjadi roti kehidupan dan minuman rohani dimana Yesus sendiri yang menjadi korban keselamatan bagi manusia. Dengan demikian roti dan anggur semakin menyadarkan manusia akan kekayaan alam dan pentingnya memelihara alam raya. Selain dengan menggunakan roti dan anggur, masih ada pencampuran air ke dalam anggur dengan maksud bahwa manusia boleh mengambil keilahian Kristus.

Doa Syukur Agung sebagai puncak dari seluruh perjamuan, didalamnya terdapat suatu kenangan akan malam perjamuan terakhir Yesus dengan para muridnya. Yang dikenangkan ialah sengsara dan kematian Kristus, yang cenderung menyakitkan, namun melalui Ekaristi manusia diajak untuk berani menghadapi dengan tabah kenangan-kenangan yang menyakitkan. Karena dengan kenangan yang menyakitkan manusia diharapkan bisa melihat Allah dalam kegelapan dan mendatangkan perdamaian. Membuat manusia lebih berani dalam menghadapi kegelapan masa lampau yang berlandaskan pada karya keselamatan akan Yesus Kristus yang bangkit dari wafatNya. Melalui tindakan Yesus dalam perjamuan malam terakhir, membantu siapa saja untuk hidup dalam harapan, terutama mereka yang hidupnya tertekan oleh kenangan-kenangan yang menyakitkan ataupun menjadi korban penghianatan.

Dalam Ekaristi kata Roh Kudus diucapkan dua kali dengan maksud bahwa Gereja menyadarkan diri pada karya Roh Kudus yang mencurahkan berbagai anugerah kepada setuluh umat bukan hanya umat setempat saja. Kerana Roh adalah satu masa semua umat dipersatukan dalam suatu


(54)

persekutuan. Kemudian bagian yang tidak kalah pentingnya ialah penerimaan Tubuh dan Darah Kristus yang dilambangkan dengan roti dan anggur dalam komuni yang juga sebagai suatu persekutuan dengan Allah.

Yesus menyebut Allah sebagai Bapa seluruh umat, sebagai Bapa tentu saja akan selalu mendampingi dan memberi kebutuhan kepada anak-anak-Nya. Oleh karena itu dalam doa Bapa Kami seluruh umat memuji, bersyukur dan memohon kepada Allah Bapa. Kemudian dilanjutkan dengan salam damai sebagai ungkapan kepercayaan seluruh umat akan cinta kasih dari Bapa yang mengikat seluruh umat.

d) Ritus Penutup

Setelah doa sesudah komuni, itu berarti bahwa Liturgi Ekaristi telah selesai dirayakan bersama-sama. Ditutup dengan ritus penutup yang merupakan berkat dan perutusan, seperti halnya Yesus yang mengutus para murid untuk memberikan kesaksian kepada setiap orang begitu juga dengan umat yang telah selesai mengikuti Perayaan Ekaristi. Ekaristi dengan Bahasa Jawa dianggap sungguh menyentuh umat setempat dalam aklamasi dan umat yang menjawab salam dari Allah seperti yang terdapat dalam ritus penutup, sebelum berkat imam menyampaikan salam “Gusti manunggala” dan umat menjawab “kalian kula sedaya” ungkapan salam menyentuh dan memfosukkan umat untuk mengarah dan menjawab salam yang berasal dari Allah, dengan Bahasa Jawa maka umat merasa lebih dekat dengan Allah karena bahasa yang digunakan ialah bahasa umat. dari Bahasa Latin diganti


(55)

dengan Bahasa Jawa supaya liturgi lebih mendekati rakyat (Boelaars,2005:426).

Dengan menerima berkat, umat Allah yang berhimpun dianugerahi kesatuan hidup dengan persekutuan dengan Allah. Apa yang telah diperoleh dan dialami selama mengikuti Perayaan Ekaristi juga senantiasa dibagikan kepada sesama. Dengan perutusan membawa umat untuk secara terus menerus meneruskan, meneguhkan dan membagikan kasaksian tentang apa yang telah dialaminya. Perayaan Ekaristi telah selesai namun anugerah kehadiran Yesus terus berlangsung yang menjadi kekuatan dalam menjalani beratnya kehidupan sehari-hari (Suharyo, 2011:97-101).

Dengan demikian Gereja merupakan sang penerima dan pengemban kabar Gembira, walaupun dalam lingkup kecil namun gereja harus senantiasa membagikan tugas pewartaan kepada semua orang. Karena tidak ada satupun yang dapat menghambat penyebaran Sabda Allah. Seperti yang telah diketahui bahwa sejak awal hidup Gereja, murid Kristus telah mengalami penindasan namun mereka tetap menyebarkan pewartaan. Dalam Kis 4:29 dikatakan bahwa para murid tidak meminta supaya mereka tidak dianiaya melainkan meminta keberanian untuk tetap menyebarkan kabar gembira keselamatan.

Dengan demikian melalui perutusan akan mendorong setiap manusia untuk ikut terlibat dalam melaksanakan tugas Gereja. Berhimpun dalam persekutuan, memberikan harapan baru, memperbaharui iman dan yang tidak kalah penting ialah memurnikan kasih dan melanjutkan kesaksian, seperti


(1)

(24)

Sebagai orang Jawa sudah menjadi kewajiban untuk turut dalam melestarikan budaya jawa salah satunya dengan tetap menggunakan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi. Dengan demikian maka indenritas sebagai ornag jawa tidak akan hilang begitu saja. Namun dengan tidak menutup kepada diri kepada dunia luar, maka bisa sesekali menggunakan Bahasa Indonesia dalam Perayaan Ekaristi supaya lebih variatif.

Wawancara R12

1. Menurut Bapak/ibu/saudara sejak kapan Bahasa jawa digunakan dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen?

Menjadi orang Katolik sejak lahir dan mengingat dari awal mula Perayaan Ekaristi selalu menggunakan Bahasa Jawa. Hal ini sesuai dengan keadaan umat yang merupakan ornag Jawa yang masih memegang teguh budaya jawa dan melestarikan bahasa Jawa supaya tidak luntur digerus zaman.

2. Apakah yang menjadi alasan awal mula Bahasa Jawa digunakan dalam Perayaan Ekaristi?

Alasan utama ialah karena ornag jawa yang dalam kehidupan sehari-hari menggunakan Bahasa Jawa dalam berkomunikasi. Hal ini mempermudah umat dalam megahayati iman Kristiani sesuai dengan bahasa yang digunakan. 3. Apakah Bahasa Jawa senantiasa digunakan dalam Perayaan Ekaristi di

Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen?

Bahasa Jawa selalu digunakan dalam setiap Perayaan Ekarristi maupun dalam Ibadat Sabda. Pernah beberapa tahun yang lalu menggunakan bahasa Indonesia pada Perayaan Ekaristi, namun hal itu hanya berlangsung beberapa saat saja kemudian Stasi Kemranggen kembali menggukan Bahasa Jawa dalam setiap Perayaan Ekaristi di Stasi Kemranggen.

4. Bagaimana tanggapan umat terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi?

Sejauh ini penggunaan Bahasa Jawa dirasa sangat cocok dan sesui dengan keadaan umat setempat. Umat dapat mengungkapkan iman mereka melalui bahasa yag digunakan. Tanggapan umat pun akan berbeda apabila Misa menggunaka Bahasa Indonesia karena sudah terbiasa dengan Bahasa Jawa. 5. Bagaimana tanggapan bapak/ibu/saudara terhadap penggunaan Bahasa

Jawa dalam Perayaan Ekaristi?

Berdasarkan pengalaman, mengikuti Perayaan Ekaristi dengan meggunakan Bahasa Jawa dan Indonesia, lebih mudah dimengerti dengan menggunakan Bahasa Indonesia walaupun paham dengan Bahasa Jawa.

6. Apakah penggunaan Bahasa Jawa berpengaruh terhadap kehadiran umat dalam Perayaan Ekaristi? Mengapa?

Kehadiran umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi tidak berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan. Umat menyadari bahwa Perayaan Ekaristi wajib diikuti oleh seluruh umat Katolik, sehingga apapun bahasanya selagi masih dapat dimengerti, hal ini tidak berpengaruh terhadap kehadiran umat. Pada umumnya yang menjadi kendala uatama ialah cuaca mengingat jarak rumah umat dengan Gereja yang cukup jauh.


(2)

(25)

7. Apakah pengggunaan Bahasa Jawa mendorong partisipasi Bapak/ibu/saudara dalam mengikuti Perayaan Ekaristi? Bagaimana bentuk partisipasinya?

Sebelum memiliki anak kecil berusaha untuk aktif terlibat dalam tugas yang diberikan dan senatiasa memberikan diri entah untuk doa umat maupun lektor. Namun karena mempunyai anak kesil dan susa ditinggalkan maka, kesempatan itu diberikan kepada yang lain, namun tetap ikut dalam Perayaan Ekaristi dan aktif mengikutinya. Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk dapat terlibat lagi kelak kemudian hari.

8. Apakah penggunaan Bahasa Jawa membantu Bapak/ibu/saudara pada saat pembacaan Kitab Suci dan homili?

Mendengarkan Sabda Tuhan sering kali hanya pada saat hari minggu, maka hal ini menjadi perhatian khusus, walaupun lebih memahami apabila menggunakan Bahasa Indonesia. namun homili yang disampaikan oleh romo membantu untuk lebih memahami dan mengerti maksud yang hendak disampaikan dalam bacaan.

9. Apakah penggunaan Bahasa Jawa dapat membantu Bapak/ibu/saudara dalam menghayati Perayaan Ekaristi dalam Liturgi Ekaristi?

Kendala utama ialah mempunyai anak kecil yang cenderung akan aktif sendiri dan harus menjaganya, sehingga akan mengganggu dalam mengikuti Perayaan Ekaristi. Hal ini pun menjadi maklum karena masih anak-anak dan membiasakan mengajak anak-anak sejak kecil selalu ditanamkan dan tidak pernah untuk tidak diajak. Walaupun menjadi kendala tetapi tetap berusaha untuk mengikuti dan memberikan waktu khusus untuk dapat mengikuti dalam keheningan.

10.Apakah penggunaan Bahasa Jawa dapat membantu Bapak/ibu/saudara dalam mendaraskan doa pribadi dan doa bersama?

Bahasa Jawa selalu digunakan dalam perayaan Ekaristi, namun pada saat doa pribadi lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia karena lebih sering menggunakan Bahasa Inodonesia pada kehidupan sehari-hari terutama dalam lingkup sekolah. Hal ini cukup berpengaruh pada zaman sekarang ini dan akan jauh mudah diucakpan dengan menggunakan Bahasa Indonesia.

11.Apakah penggunaan Bahasa Jawa dapat membantu Bapak/ibu/saudara untuk memaknai Ekaristi dalam hidup sehari-hari?

Sebagai orang minoritas menjadi tantangan terbesar dalam menjalani kehidupan sebagai seorang Katolik bahkan dilingkungannya hanya sendiri yang Katolik. Sebagai orang tua dan menjadi Katolik sejak lahir hal ini tidak menyurutkan iman dan tetap berusaha hidup dalam nilai Kristiani. Namun berbeda dalam mendidik anak yang berada dalam kalangan muslim, sebagai anak-anak akan cenderung untuk mengikuti teman-temannya. Dalam hal mendidik anak lah yang mendapat perhatian besar untuk tetap menjaga dan memperkembangkan iman anak.

12.Apa usulan Bapak/ibu/saudara terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen? Mengapa?


(3)

(26)

Melihat generasi penerus yang masih kanak-kanak dan pada umumnya kurang mengerti Bahasa Jawa, alangkah baiknnya pabila sesekali menggunakan Bahasa Indonesia untuk memudahkan anak dalam menangkap dan mengerti apa yang mereka ikuti dalam Perayaan Ekaristi dan tidak hanya modal datang ke Gereja, dengan tidak meninggalkan bahasa Jawa.

Wawancara R13 FDG

1. Menurut saudara sejak kapan Bahasa jawa digunakan dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen?

- Sejak mengikuti Perayaan Ekaristi sudah menggunakan Bahasa Jawa.

- Mengenal dan mengingat pada saat mengikuti Perayaan Ekaristi sudah menggunakan Bahasa Jawa.

2. Apakah yang menjadi alasan awal mula Bahasa Jawa digunakan dalam Perayaan Ekaristi?

- Sebagai orang Jawa sudah seharusnya menggunakan Bahasa Jawa.

- Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari walaupun tidak sama persis seperti yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi.

- Untuk mempermudah dalam menyebarkan Agama Katolik pada waktu itu. - Umat yang dihadapi sebagian besar ialah orang tua.

3. Apakah Bahasa Jawa senantiasa digunakan dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen?

- Bahasa Jawa selalu digunakan dalam Perayaan Ekaristi sampai saat ini. Dulu sempat menggunakan Bahasa Indonesia dalam Perayaan Ekaristi, namun tidak berlangsung lama dan sampai sekarang tidak pernah lagi menggunakan Bahasa Indonesia.

4. Bagaimana tanggapan umat terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi?

- Sebagian besar umat terutama orang tua akan lebih mengerti dengan Bahasa Jawa yang digunakan, namun untuk kaum muda akan jauh lebih mengerti apabila menggunakan Bahasa Indonesia, walau terbiasa dengan Bahasa Jawa. - Sebagai orang jawa akan lebih memahami Misa dengan Bahasa Jawa, hal ini sesuai dengan yang terlihat bahwa ornag tua lebih khusuk dalam mengikuti Perayaan Ekaristi.

5. Bagaimana tanggapan saudara terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi?

- Karena terbiasa dengan Bahasa Jawa yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi sehingga mau tidak mau harus mengerti dan memahaminya.

- Dibandingkan dengan bahasa Indonesia, akan jauh lebih mudah dimengerti dan dipahami dengan bahasa Indonesia walau ada beberapa doa dengan Bahasa Indonesia yang tidak hafal karena jarang mengikuti Misa dengan Bahasa Indonesia.

6. Apakah penggunaan Bahasa Jawa berpengaruh terhadap kehadiran umat dalam Perayaan Ekaristi? Mengapa?

- Karena senantiasa menggunakan Bahasa Jawa dalam Misa maka, pengguanaan bahasa tidak berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan.


(4)

(27)

- Rasa malas dan lebih memilih kegiatan lain menjadi pengaruh dalam kehadiran Perayaan Ekaristi.

- Adanya kegiatan sekolah.

7. Apakah pengggunaan Bahasa Jawa mendorong partisipasi Bapak/ibu/saudara dalam mengikuti Perayaan Ekaristi? Bagaimana bentuk partisipasinya?

- Keaktifan dalam ikut bernyanyi maupun menjawab dialog romo senatiasa dapat dikuti namun dalam doa kadang kal ketinggalan dengan umat karena umat lebih fasih dan cepat dalam mendaraskannya.

- Kurang percaya diri dan takut salah dalam menjalankan tugasmaka memilih untuk tidak ikut berpartisipasi.

- Paksaan dari luar untuk tugas mejadi lektor sesekali.

- Apabila menggunakan Bahasa Indonesia akan dengan senang hati turut menjadi lektor.

8. Apakah penggunaan Bahasa Jawa membantu saudara pada saat pembacaan Kitab Suci dan homili?

- Bahasa yang digunakan dalam bacaan maupun lagu sangatlah berbeda dengan bahasa sehari-hari. Hal ini menjadi sulit untuk mengerti, tetapi homili dari romo menggunakan bahasa biasa yang digunakan sehari-hari yang memperjelas apa yang maksud dari bacaan.

9. Apakah penggunaan Bahasa Jawa dapat membantu saudara dalam menghayati Perayaan Ekaristi dalam Liturgi Ekaristi?

- Bahasa yang digunakan merupakan bahasa yang digunakan orang jawa dalam berkomunikasi, namun penggunaannya berbeda dan terkadang sulit dimengerti.

- Tidak jarang mengikuti Perayaan Ekaristi hanya sekedar datang, namun jika diikuti dengan baik maka akan dapat menghayati dan memahami.

- Apapun bahasa yang digunakan tetapi harus tetap berusaha untuk mengayati dan memberi tampat khusus dalam menerima komuni.

10.Apakah penggunaan Bahasa Jawa dapat membantu saudara dalam mendaraskan doa pribadi dan doa bersama?

- Doa pribadi selalu menggunakan Bahasa Indonesiakarena jauh lebih mudah diucapakan, baik doa spontan maupun doa rumusan.

- Dalam doa bersama dengan orang tua cenderung menggunakan Bahasa Jawa, tidak jarang pula anak-anak ataupun kaum muda kesulitan untuk mengikuti orang tua dalam mendasarkan doa terlalu cepat karena sudah terbiasa dan fasih dalam mendasarkannya.

11.Apakah penggunaan Bahasa Jawa dapat membantu saudara untuk memaknai Ekaristi dalam hidup sehari-hari?

- Sebagai minoritas yang sekolah di sekolah negeri terkadang susah mengikuti apabila berada di lingkungan sekolah yang umumnya umat mislim.

- Berbeda dengan yang sekolah di negeri yang sekolah di yayasan Katolik sangat terbantu untuk menjalankan nilai-nilai Kristiani.


(5)

(28)

- Berada di lingkungan muslim maka berpengaruh terhadap sulinya mencari jodoh yang seiman, namun berusaha untuk tidak meninggalkan iman yang telah diikuti sejak lahir.

12.Apa usulan saudara terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen? Mengapa? - Sebagai generasi penerus hendaknya orang tua juga memperhatikan kaum

muda dengan memberi kesempatan untuk mendapat mengikuti Perayaan Ekaristi dengan Bahasa Indonesia. Mengingat kaum muda sebagian besar lebih setuju dan mengerti dengan Misa menggunakan Bahasa Indonesia.


(6)

(29) Lampiran 3: Teks Lagu SCP

Teks lagu pembuka “Memujia Pangeran” Memujia Pangeran Maha Agung

Kang ngatoni jagad alam sawegung Caos ana rerepen gendhing kidung Iringana gender gong saron demung Kebeh umat pada keplok suraka Caos bekti puji pangalembana Konjuk Gusti kanti bungah gambira Awit nyata tansah paring nugraha

Teks lagu penutup “Tan ana kang luwih endah” Rinonce sulur niat suci

Amerta kembang kang asri Rinengga arum arum janji Sumebar ngebaki ati

Tan ana kang luwih mranani Tan ana kang luwih endah Mung tulus iklas kang gumelar Jroning atur sembah bekti


Dokumen yang terkait

PENDAHULUAN IMPLEMENTASI AJARAN GEREJA DALAM PERNIKAHAN KELUARGA KATOLIK DI WILAYAH PAROKI SANTO YOHANES RASUL WONOGIRI.

0 1 7

IMPLEMENTASI AJARAN GEREJA DALAM PERNIKAHAN IMPLEMENTASI AJARAN GEREJA DALAM PERNIKAHAN KELUARGA KATOLIK DI WILAYAH PAROKI SANTO YOHANES RASUL WONOGIRI.

0 1 15

Pengaruh keaktifan mengikuti perayaan Ekaristi terhadap keterlibatan tugas pelayanan (Diakonia) umat lingkungan Santo Xaverius Siyono Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung Gunungkidul.

0 4 197

Persiapan sakramen Krisma remaja tahun 2014 di Paroki Santo Yohanes Rasul Somohitan dan upaya pengembangan pendampingannya.

0 1 116

Peranan lagu rohani ekaristi dalam meningkatkan pemaknaan perayaan ekaristi bagi kaum muda Katolik di Paroki Santo Antonius Kotabaru.

0 3 146

Penggunaan Bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristi di Stasi Santo Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Santo Yohanes Rasul Kutoarjo

1 28 181

Pengaruh keaktifan mengikuti perayaan Ekaristi terhadap keterlibatan tugas pelayanan (Diakonia) umat lingkungan Santo Xaverius Siyono Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung Gunungkidul

0 2 195

Upaya inovasi pelaksanaan liturgi perayaan ekaristi di Paroki ST. Fransiskus Xaverius Kidul Loji Yogyakarta demi keterlibatan kaum muda - USD Repository

0 0 123

KETERLIBATAN KAUM AWAM DALAM TUGAS KERASULAN GEREJA SEBAGAI PENGURUS DEWAN PAROKI DI PAROKI SANTO YOHANES RASUL, PRINGWULUNG, YOGYAKARTA SKRIPSI

0 8 175

Makna perayaan ekaristi bagi anggota misdinar di Paroki Santo Antonius Padua Kotabaru Yogyakarta. - USD Repository

0 0 122