dengan hukum tanah nasional yang positif, norma-norma hukum adat berfungsi sebagai hukum yang melengkapi
79
.
C. Keberadaan Hak Masyarakat Dalam Hutan Adat
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak
ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak
mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh
karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan
dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional
80
. Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran
rakyat, maka
penyelenggaraan kehutanan
senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh
karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan
79
Suharti Agustina, Pengaruh Pola Pikir Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Tarutung Terhadap Perkembangan Pendaftaran Tanah, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara Medan, 2007, halaman 30
80
Lihat Penjelasan UU Kehutanan nomor 41 tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia.
Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Pemerintahan daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat
operasional diserahkan kepada Pemerintah Daerah tingkat propinsi dan tingkat kabupatenkota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau makro,
wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, maka dalam undang undang kehutanan ini
hutan di Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak
81
. Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-
hak atas tanah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang
disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan- hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara,
adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan
pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan
82
. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah
dibebani hak atas tanah menurut ketentuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha
81
Ibid.
82
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dan hak pakai. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat
83
. Pasal 4 Undang-undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 menyebutkan:
1 Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. 2 Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1
memberi wewenang kepada Pemerintah untuk: a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan,
dan hasil hutan; b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai
kehutanan.
3 Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum
adat, sepanjang
kenyataannya masih
ada dan
diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Pasal 5 undang-undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 menyebutkan: 1 Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:a. hutan negara, dan b. hutan
hak 2 Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dapat
berupa hutan adat. 3 Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
1 dan ayat 2; dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada
dan diakui keberadaannya. 4 Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Pasal 13 UU Kehutanan menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang
ditunjuk dan
atau ditetapkan
pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Bahwa untuk menentukan sebuah kawasan sebagai kawasan hutan harus dilakukan kegiatan pengukuhan
kawasan hutan yang menurut pasal 14 1 UU kehutanan menyatakan Berdasarkan inventarisasi
hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
13, Pemerintah
83
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan. Selanjutnya agar memberikan kepastian hukum atas suatu kawasan hutan, maka harus dilakukan kegiatan
pengukuhan kawasan hutan
84
. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 45PUU-IX2011, dimana
para pemohon mengajukan pengujian Pasal 13 UU Kehutanan. Kegiatan penunjukan kawasan hutan adalah merupakan bagian dari kegiatan pengukuhan
kawasan hutan sebagaimana diatur dalam pasal 15 UU kehutanan menyebutkan: 1 Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan
melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan, c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan. 2 Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan
dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Dalam penjelasan Pasal 5 1 UU Kehutanan menyebutkan Penunjukan
kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan, antara lain berupa:
a. pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar; b. pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong
batas; c. pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan
84
Elviana Sagala, Op.Cit., hlm 88
Universitas Sumatera Utara
d. pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi- lokasi yang berbatasan dengan tanah hak.
Berdasarkan Pasal 13, Pasal 14,Pasal 15 UU Kehutanan, pengertian kawasan hutan hanya ditafsirkan sebagai kegiatan penunjukan, bukan dengan
kegiatan pengukuhan kawasan hutan, menimbulkan ketidakpastian hukum kawasan hutan dan tumpang tindih dalam pemberian izin kawasan hutan
85
. Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon untuk
seluruhnya. Frasa “ditunjuk dan atau” dalam pasal 13 UU kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 tahun 2004 tentang penetapan
Peraturan Pemerintah pengganti UU No. 1 tahun 2004 atas perubahan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Pikir Masyarakat Adat Di Kabupaten Dairi Terhadap Tanah Ulayat
Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang-wewenang dan kewajiban- kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang
terletak dalam lingkungan wilayahnya. Bahwa hak ulayat itu dikatakan masih hidup dan berkembang dalam masyarakat apabila masih ada masyarakat dari suatu
persekutuan hukum adat itu sendiri, oleh sebab itu seandainya suatu lingkungan dari suatu masyarakat hukum adat itu tidak ada lagi maka jangan ditimbulkan lagi
hak ulayat itu, hal ini dapat kita cermati dari kriteria Hak Ulayat yaitu
86
: 1. Harus ada lingkungan dari pada masyarakat hukum adat itu sendiri.
85
Ibid.
86
H. Affan Mukti, Op.Cit.,halaman 35
Universitas Sumatera Utara
2. Ada orang yang diangkat sebagai pengetua adat. 3. Masih didapati adanya tatanan hukum adat itu sendiri yang mengenal
adanya suatu lingkungan hidup dan berada dalam suatu lingkungan persekutuan hukum adat.
Berdasarkan pasal 3 UUPA dapat disimpulkan prinsip-prinsip hak ulayat yaitu:
1. Masih terdapat di dalam masyarakat dan masih ada atau masih merupakan
kenyataan hidup dalam arti bahwa hak ulayat tersebut masih berfungsi dalam masyarakat dan masih dipengaruhi oleh masyarakat sebagai suatu lembaga
dalam masyarakatnya, dengan kata lain tidak akan menghidup-hidupkan kembali hak ulayat yang sudah tidak ada lagi.
2. Bahwa hak ulayat harus disesuaikan dengan kepentingan nasional ini
memberi arti bahwa prinsip Nasionalitas artinya bahwa kepentingan Nasional lebih diutamakan daripada kepentingan dari suatu masyarakat hukum adat itu
sendiri 3.
Harus disesuaikan kepada kepentingan Negara artinya bahwa hak ulayat harus dapat memberi inspirasi dalam pelaksanaan pembangunan Negara
4. Harus didasarkan kepada persatuan bangsa artinya hak ulayat yang selama ini
diketahui hanya melayani anggotanya saja, sedangkan orang luar hanya diperoleh apabila telah membayar sesuatu kepada pengetua adatnya dalam
adat batak disebut pago-pago 5.
Hak ulayat tersebut harus mengacu dan tidak bertentangan dengan undang- undang atau peraturan lain yang diterbitkan pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian hak ulayat itu diakui oleh Undang-undang Pokok Agraria, tetapi pengakuan itu disertai dengan 2 dua syarat yaitu: mengenai
eksistensinya dimana hak ulayat itu diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, di daerah-daerah dimana hak-hak itu tidak ada lagi, tidak akan
dihidupkan kembali dan di daerah-daerah dimana tidak pernah ada hak ulayat tidak akan dilahirkan hak ulayat baru, demikian juga mengenai pelaksanaan hak
ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang. Hak ulayat dengan hak perseorangan itu berada senantiasa dalam saling pengaruh yang tidak putus-putusnya, yang bersifat mengempis dan
mengembang
87
. Dalam pasal 5 UUPA menyebutkan “Hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan lainnya segala sesuatu mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.” Pasal ini
menjelaskan bahwa hukum adat diberikan kembali sebagai dasar hukum yang sudah lama tidak mendapatkan kedudukan pada Pemerintahan Kolonial, dengan
demikian setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, maka tidak dimungkinkan adanya dualisme hukum dan tentu adanya reorientasi terhadap pelaksanaan hukum
Indonesia yang akan mampu serta dapat memahami jiwa dari hukum adat tersebut.
87
Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat, Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila, Jakarta, Dewaruci Press, 1982, hlm 25
Universitas Sumatera Utara
Informasi tentang sejarah asal usul tanah di Kabupaten Dairi, khususnya Sidikalang sebagai ibukota Kabupaten, Ketua Lembaga Adat Pakpak Sulang
Silima marga Ujung ‘Raja Ardin Ujung’ menyatakan bahwa dulunya tanah yang ada di Sidikalang adalah tanah ulayat marga Ujung. Kabupaten Dairi merupakan
salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang usianya cukup tua. Pemerintahan Kabupaten Dairi telah ada sebelum masa penjajahan Belanda antara tahun 1852
sampai tahun 1942. Pada jaman setelah kemerdekaan, pemerintah daerah pada waktu itu mempergunakan fasilitas tanah yang ada untuk mendirikan bangunan-
bangunan untuk kegiatan pemerintahan seperti pendirian Kantor Polisi, dan pemerintah daerah juga membagi-bagikan tanah kepada masyarakat, dilengkapi
dengan admistrasinya. Salah satunya adalah kepada ‘X’, yang kemudian surat kepemilikan haknya dibuktikan dengan Sertipikat Hak Milik yang dikeluarkan
oleh Departemen Dalam Negeri Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten Dairi tanggal 20 November 1975
88
. Jadi memang pada awalnya tanah yang dimiliki sebagai tanah ulayat
marga Ujung, tetapi kemudian oleh pemerintah daerah dibagi-bagikan kepada masyarakat dan juga dipergunakan untuk pembangunan sarana kegiatan
pemerintahan. Sebagaimana diketahui bahwa Hak ulayat harus disesuaikan dengan kepentingan Nasional, dan harus mengandung prinsip Nasionalitas artinya
bahwa kepentingan Nasional lebih diutamakan daripada kepentingan suatu masyarakat hukum adat itu sendiri.
88
Wawancara dengan Raja Ardin Ujung, Ketua Lembaga Adat Pakpak Sulang Silima Marga Ujung, Tanggal 4 April 2013
Universitas Sumatera Utara
Tanah yang dimiliki oleh ‘X’ telah bersertifikat Hak Milik sejak tahun 1975. Lalu di tahun 2010 pihak yang menamakan diri masyarakat adat pemilik
tanah ulayat marga Ujung mengklaim tanah yang dimiliki oleh ‘X’ sebagai milik Ulayat marga Ujung. Faktor-faktor yang menyebabkan pihak masyarakat adat
mengklaim tanah tersebut sebagai tanah ulayat marga Ujung adalah: 1. Berdasarkan sejarahasal-usul tanah di Sidikalang Ibukota Kabupaten
Dairi adalah tanah ulayat Marga Ujung. Mereka hanya bersandar pada ‘kepemilikan historis’. Sementara mereka tidak memahami dengan baik
proses dan perkembangan yang ada, dimana tanah-tanah yang sebelumnya tanah ulayat marga Ujung, untuk beberapa lokasi
sudah banyak yang berakhir hak ulayatnya, dimana tanah itu dipergunakan untuk kepentingan
pemerintahan daerah, dan sudah banyak yang menjadi tanah hak milik. Dalam pasal 3 UUPA disebutkan prinsip hak ulayat bahwa hak ulayat itu
diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, di daerah-daerah dimana hak-hak itu tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali dan di
daerah-daerah dimana tidak pernah ada hak ulayat tidak akan dilahirkan hak ulayat baru.
2. Pada dasarnya tidak ada alas hak bukti yang dimiliki pihak yang menamakan diri pemilik tanah ulayat marga Ujung dalam hal ini atas
nama ‘Y’, yang membuktikan bahwa benar tanah tersebut adalah miliknya. Seyogianya jika ada hak seseorang atas tanah harus didukung
oleh bukti hak, dapat berupa sertipikat, bukti hak non sertipikat dan atau pengakuan
keterangan yang
dapat dipercaya
kebenarannya. Jika
Universitas Sumatera Utara
penguasaan atas tanah hanya didasarkan atas kekuasaan, arogansi atau kenekatan semata, pada hakekatnya penguasaan tersebut sudah melawan
hukum. Tegasnya berdasarkan hukum tidak dapat disebut bahwa yang bersangkutan mempunyai hak atas tanah tersebut.
3. Lembaga Hukum Adat Pakpak Sulang Silima Marga Ujung Kabupaten Dairi untuk saat ini yang resmi diketuai oleh Raja Ardin Ujung, sementara
dari Pihak ‘Y’ pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah ulayat marga Ujung mendirikan Lembaga Hukum Adat Pakpak Sulang Silima Marga
Ujung khusus Kalang jehe, dimana mereka menciptakan alas hak tersendiri terhadap tanah tersebut. Tentu saja alas hak yang dikeluarkan sekitar tahun
2010 tersebut tidak sah, karena tanah tersebut telah bersertipikat hak milik sejak tahun 1975 dan tidak pernah dialihkan ke pihak lain. Dalam hal ini
muncul suatu kejanggalan, dimana tanah tersebut sudah bersertipikat sejak tahun 1975 dan tidak pernah ada sengketa atau pengalihan hak, mengapa
di tahun 2010 baru muncul pihak masyarakat adat yang mengklaim tanah tersebut sebagai tanah milik mereka. Dalam rentang waktu yang cukup
lama sekitar 35 tahun tiba-tiba muncul pernyataan dan klaim bahwa tanah tersebut adalah tanah ulayat. Suatu pernyataan dan klaim yang keliru,
karena Ketua Lembaga Adat Sulang Silima Marga Ujung sendiri menyatakan bahwa benar bahwa tanah tersebut memang dulunya tanah
ulayat, tapi sejak tahun 1975 tanah tersebut sudah menjadi tanah bersertipikat hak milik. Dan sebagai Ketua Lembaga Adat Sulang Silima
Marga Ujung, Raja Ardin Ujung menyatakan pada dasarnya mengetahui
Universitas Sumatera Utara
riwayat tanah-tanah ulayat di Kabupaten Dairi khususnya Kota Sidikalang. Dan untuk tanah yang disengketakan tersebut memang bukan tanah ulayat
lagi. Pihak yang mengklaim bertindak diluar kelembagaan adat Sulang Silima yang sah. Sudah diupayakan penyelesaian dengan persuasif kepada
pihak yang mengklaim, tapi tidak dapat diterima, maka oleh pemilik sertipikat hak milik diselesaikan dengan menempuh jalur hukum.
4. Faktor pendidikan. Pengetahuan yang baik berkolerasi dengan tingkat pendidikan yang diperoleh. Orang dengan pengetahuan tinggi, relatif dapat
memperoleh pengetahuan lebih baik. Dari hasil penelitian yang diperoleh, pihak yang mengklaim diri sebagai pemilik tanah ulayat marga Ujung
memiliki pengetahuan yang kurang memadai tentang keberadaan tanah dan alas hak tanah yang mereka kuasai dengan arogansi dan itikad tidak
baik. 5. Faktor emosi. Tingkat emosi para pihak yang bersengketa terkadang
menjadi salah satu faktor yang menghambat proses musyawarah, hal ini berkaitan dengan tingkat emosi atau tempramen. Tempramen para pihak
sangat berpengaruh pada proses musyawarah. Pada awalnya pihak ‘X’ sebagai pemilik hak atas tanah telah menawarkan solusi musyawarah dan
secara adat dalam penyelesaian konflik pertanahan yang ada, tetapi pihak ‘Y’ yang menamakan diri pemilik ulayat tanah marga Ujung tidak mau
melaksanakan musyawarah, dan tidak mau mengalah, tetap berpendirian bahwa tanah yang dipersengketakan adalah tanah ulayat marga Ujung.
Universitas Sumatera Utara
Akhirnya oleh pihak ‘X’ melakukan laporan ke pihak kepolisian terkait dengan tindakan dari pihak ‘Y’
Bila dilihat azas Hak Menguasai Negara HMN maka tanah-tanah yang ada di Indonesia terbagi kepada
89
: 1. Tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau lebih populer dengan
sebutan tanah Negara yaitu tanah-tanah yang diatasnya belum ada diberikan hakpengakuan kepada siapapun, baik kepada orang maupun
badan hukum dan kekuasaan Negara atas tanah Negara tersebut penuh 2. Tanah yang dikuasai tidak langsung oleh Negara atau lebih popular dengan
sebutan tanah hak yaitu tanah-tanah yang diatasnya sudah ada hak seseorang atau badan hukum, baik hak adat maupun hak lainnya
berdasarkan ketentuan UUPA dan kekuasaan Negara atas tanah itu tidak penuh atau kekuasaan Negara dimaksud telah dibatasi oleh hak yang
diberikan kepada orang dan atau badan hukum itu. Dengan demikian tidak ada tanah diluar 2dua jenis tanah yang disebut
diatas, dalam arti jika ada sebidang tanah pasti tanah tersebut kalau bukan tanah Negara pasti tanah hak atau sebaliknya. Dan perlu dipahami bahwa jenis tanah
manapun yang dimaksud, tetap dikuasai oleh Negara atau tidak ada tanah di Indonesia yang tidak dikuasai oleh Negara. Tegasnya semua tanah yang ada di
Indonesia, yang berhakberwenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan
mengatur pemberian hak atas tanah kepada orangbadan hukum serta perbuatan- perbuatan hukum oleh orangbadan hukum atas tanah tersebut adalah Negara.
89
Tampil Anshari Siregar, Op.Cit., halaman 17
Universitas Sumatera Utara
Untuk menentukan keberadaan hak ulayat dalam masyarakat, pemerintah perlu melakukan penelitian apakah hak ulayat itu mengalami perubahan dengan
adanya perkembangan zaman, dalam arti mengembang atau mengempisnya hak ulayat dalam masyarakat, sesuai dengan sifat dan dinamisnya hukum adat dalam
masyarakat. Peraturan itu harus dibuat dalam bentuk undang-undang. Dan harus akomodatif terhadap kepentingan masyarakat adat dan kepentingan nasional. Di
samping itu pemerintah harus mengambil kebijaksanaan yang tegas, tentang apakah masih ada atau tidak hak ulayat di daerah tertentu.
Pada umumnya, permasalahan utama yang berkenaan dengan eksistensi hak ulayat yang dilematis adalah kesulitan untuk menghilangkan kebiasaan untuk
segera menerapkan aturan-aturan yang bersifat formal dengan pendekatan legalistik
semata, karena
dengan pendekatan
ini, dapat
menimbulkan pengingkaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.
Untuk itu perlu adanya kesadaran. Berhadapan dengan hak ulayat berarti keharusan untuk membuka diri untuk memahami kesadaran hukum suatu
masyarakat yang terealisasi dalam tindakan nyata sehari-hari, berdasarkan sudut pandang dan pola pikir masyarakat yang bersangkutan
90
. Untuk memahami secara utuh keberadaan hak ulayat di suatu daerah,
diperlukan pemahaman yang utuh tentang struktur kemasyarakatannya, termasuk pola-pola kekuasaan yang berlaku di dalam masyarakat hukum adat setempat.
Pola kekuasaan yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan penentuan siapa yang berwenang menentukan, apa yang perlu ditentukan dan dalam forum apa
keputusan tentang pelaksanaan kewenangan tersebut dijalankan. Hal ini dimaksud
90
Elsa Syarif, Op.Cit.,halaman 205
Universitas Sumatera Utara
sebagai langkah antisipasi untuk tidak berurusan dengan pihak-pihak yang tidak berkompeten dalam menentukan eksistensi hak ulayat di suatu daerah tertentu.
Hak ulayat sesungguhnya berfungsi sosial, sama seperti hak-hak atas tanah yang lain. Oleh karena itu, hak ulayat harus dapat diberikan kepada pihak lain jika hal
tersebut diperlukan bagi kepentingan umum atau kepentingan lain yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak
91
. Pengakuan
terhadap hak
masyarakat hukum
adat mewujudkan
penghormatan kepada hak orang lain dan upaya perlindungannya secara wajar. Hak ulayat itu tidak bersifat ekslusif. Masyarakat hukum adat berkewajiban turut
serta mewujudkan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan
memberikan kesempatan kepada pihak-pihak diluar anggota masyarakat hukum adat untuk ikut menggunakan tanah berikut sumber daya alamnya dengan cara-
cara yang disepakati bersama
92
. Perlunya pihak lain mengakui dan menghormati hak ulayat dan
permohonan untuk memanfaatkannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini dilakukan dengan melakukan pendekatan
kepada masyarakat hukum yang bersangkutan dan mengindahkan tata cara yang hidup dalam masyarakat tersebut. Selain itu juga memberikan ganti kerugian
dalam wujud yang bermanfaat bagi masyarakat hukum yang bersangkutan yang dengan pengorbanannya berupa pemberian tanah wilayahnya tersebut berhak atas
peningkatan taraf hidupnya
93
.
91
Ibid., halaman 206
92
Maria SW.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Buku Kompas, 2001, hlm 71
93
Ibid., hlm 66
Universitas Sumatera Utara
60
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMILIK SERTIPIKAT HAK MILIK