133
Perilaku Menyimpang dan Pengendalian Sosial
A. Perilaku Menyimpang sebagai Hasil Sosialisasi Tidak Sempurna
1. Pengertian Perilaku Menyimpang
Mungkin Anda pernah ditegur guru karena berpakaian tidak tertib, baju tidak dimasukkan, atau memakai sepatu dengan tidak semestinya. Hal itu
barangkali menjadi pemandangan yang sering Anda alami. Akan tetapi, pernah- kah Anda berpikir mengapa terjadi demikian? Mungkinkah Anda menganggap-
nya sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya terjadi di sekolah, seorang guru menegur siswanya yang tidak tertib?
Sebenarnya hal tersebut merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang. Dikatakan menyimpang karena ada pelanggaran terhadap norma-norma yang
berlaku di sekolah, yang dalam hal ini adalah norma yang mengatur cara berpakaian di sekolah. Walaupun kecil, penyimpangan itu perlu dikoreksi oleh
guru Anda, sebab sekolah merupakan lembaga sosialisasi nilai-nilai. Di sekolah, Anda dididik menjadi manusia yang tertib dan mematuhi aturan demi
kepentingan bersama.
Dalam masyarakat yang lebih luas, juga terdapat nilai dan norma
yang jumlahnya lebih banyak dan beragam. Itu semua diperlukan demi
keharmonisan hidup bersama para warga masyarakat. Perilaku yang
tidak sesuai dengan nilai dan norma dalam masyarakat disebut perilaku
menyimpang
nonkonformitas, atau antisosial. Sebaliknya, perilaku yang
sesuai dengan nilai dan norma di dalam masyarakat disebut perilaku
tidak menyimpang konformitas.
Dengan demikian, dapat disimpul- kan bahwa suatu perilaku dinilai
menyimpang atau tidak diukur dengan nilai dan norma sosial yang berlaku.
Sebenarnya, tidak ada satu masyarakat pun yang benar-benar berjalan secara sempurna tanpa penyimpangan. Dalam batas-batas tertentu, setiap warga
masyarakat pernah melakukan penyimpangan, baik secara terbuka maupun tersembunyi. Pengertian perilaku menyimpang itu sendiri bersifat relatif. Artinya,
suatu perilaku tertentu dianggap menyimpang oleh suatu masyarakat, namun oleh masyarakat lain hal itu dianggap sebaliknya. Misalnya, masyarakat muslim
menganggap orang yang makan daging babi adalah menyimpang dari norma agama, sedangkan masyarakat nonmuslim tidak demikian.
Gambar 5.2 Karena suatu alasan, beberapa warga masyarakat terjerumus ke perilaku menyimpang.
Gambar: Polisi menggiring penjahat
Sumber: Solopos, 20 September 2006
Di unduh dari : Bukupaket.com
134
Sosiologi SMAMA Kelas X
Relativitas perilaku menyimpang juga dapat terjadi karena situasi dan kondisi. Sesuatu yang dahulu di anggap tidak layak, sekarang dapat dianggap layak.
Misalnya, pada zaman dahulu wanita Indonesia pribumi dinilai tidak pantas mengenakan celana seperti laki-laki. Mereka harus mengenakan kain dan kebaya.
Akan tetapi, sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi.
Relativitas nilai sosial dipengaruhi pula oleh tempat atau lingkungan sosial budaya. Antara masyarakat desa dan kota mungkin memiliki nilai dan norma
yang berbeda pula. Masyarakat desa mempertahankan tradisi turun-temurun dari nenek moyang. Orang desa yang meninggalkan tradisi di desanya dianggap
tidak layak atau menyimpang. Akan tetapi, masyarakat kota menganut nilai keterbukaan, sehingga cepat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan.
Nilai-nilai tradisional tidak lagi mengikat mereka. Perubahan di berbagai penjuru
dunia cepat memengaruhi perilaku orang-orang kota, apalagi dengan dibantu oleh sarana teknologi
komunikasi yang seolah telah menghilangkan batas ruang dan waktu.
Di sisi lain, perilaku menyimpang tidak selalu berdampak negatif. Penyimpangan dalam bentuk
pemberontakan terhadap nilai-nilai yang sudah ma- pan kadang-kadang melahirkan pemikiran-pemikiran
baru. Misalnya, R.A. Kartini memelopori penerobos- an nilai-nilai kehidupan yang dia rasa tidak adil bagi
kaumnya, sehingga lahirlah gerakan emansipasi wanita di Indonesia. Padahal nilai-nilai yang berlaku
saat itu mendukung pengekangan terhadap kaum wanita.
Biasanya penyimpangan seperti itu mendapat tentangan dari masyarakat namun ketika ‘pemberontakan’ itu dirasakan ada manfaatnya, lama-kelamaan
diterima dan menjadi nilai dan norma baru. Tidak semua pemberontakan melahirkan pahlawan-pahlawan seperti R.A. Kartini. Tetapi, selalu ada orang
atau sekelompok orang yang mendobrak nilai-nilai yang sudah mapan.
Sebenarnya seluruh anggota masyarakat menghendaki agar setiap warga masyarakat berperilaku baik. Akan tetapi, kenyataannya selalu ada orang yang
mencuri, merampok, memerkosa, berkelahi, menganiaya, menyalahgunakan narkotika, dan lain-lain. Perilaku semacam itu merupakan penyimpangan
terhadap nilai dan norma masyarakat. Orang yang melakukannya dianggap gagal menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang ada di masyarakatnya.
Sumber: Atlas Depdikbud
Gambar 5.3 R.A. Kartini.
Di unduh dari : Bukupaket.com
135
Perilaku Menyimpang dan Pengendalian Sosial
2. Faktor Penyebab Perilaku Menyimpang