19 Model tesebut diuji coba pelaksanaannya dengan melibatkan 10 mahasiswa sebagai
narauji dan 10 penguji dibantu pasien simulasi dan asisten lab. Hasil uji coba menunjukkan model tersebut bisa diimplementasikan dengan penambahan komponen berupa dukungan
kebijakkan dalam bentuk adanya Tim Evaluasi yang mewadahi Tim Pengembangan dan pelaksanaan OSCE. Tim inilah yang diharapkan dilembagakan dalam bentuk struktur
organisasi dan selanjutnya bertanggungjawab dalam pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi penyelenggaraan OSCE. Dengan demikian, model definitive dari pengembangan
OSCE terstandar seperti tergambar pada skema berikut:
Gambar 2: Model Pengembangan Standarisai OSCE
F. Pembahasan
Temuan penelitian ini mengungkap bahwa pada hasil pemahaman situasi diperoleh pelaksanaan OSCE sudah dilaksanakan seiring dengan penerapan kurikulum berbasis
kompetensi. Pelaksanaa OSCE masih berupa adopsi yang belum didasari oleh pemahaman yang komprehensif dari para pemangku kepentingan terutama penyelenggara. Hal ini telah
menimbulkan persepsi yang berbeda-beda terutama para penguji sehingga berdampak pada hasil penilaian mahasiswa. Disamping itu, keterbatasan sumberdaya dan peralatan yang
Persiapan Pelaksanaan
Evaluasi Daftar kompetensi
Tujuan pembelajaran SOP OSCE dan skill
Format evaluasinilai Suplai alat dan kebutuhan
Ruangan SDM penguji dan asisten
Peraturan Pasien simulasi
Soalkasus dan alur Briefing
Disiplin Mahasiswa
Penguji Asisten
Penjaga waktu Dukungan logistik
Stasion Refleksi
Penilaian Penentuan
kelulusan lulusmengulang
Dokumentasi
Umpan balik
Feedback
Tim Evaluasi Pembelajaran Fakultas – Tim Pengembangan OSCE
20 ada bisa berdampak pada kualitas hasil evaluasi yang pada gilirannya berdampak pada
kompetensi yang dicapai mahasiswa. Mitchell, et al 2010 menyarankan bahwa meskipun banyak variasi model penilaian yang bisa menggunakan OSCE, namun eksplorasi dan
pengembangan bagaimana dan dimana model ujian ini tepat dilakukan, masih perlu dilakukan agar cocok dengan pendidikan keperawatan.
Perspektif mahasiswa tentang pelkasanaa OSCE memperkuat fakta bahwa pengelolaan OSCE yang tidak dilakukan dengan baik bisa berdampak pada tingkat stress
dan kebingungan mahasiswa. Mahasiswa umumnya tidak memahami makna dan hakikat OSCE dalam kontek penilaian kompetensi hasil belajar, bagi mereka OSCE tidak ada
bedanya dengan ujian praktikum biasa. Hal ini tentunya akan mempengaruhi sikap atau cara pikir yang masih menunjukkan fragmentasi belum terintegrasi. OSCE dibangun
berdasarkan pemikiran terintegrasi untuk pemecahan kasus-kasus klinis tertentu. Temuan ini berbeda dengan temuan studi terdahulu yang mengungkap bahwa mahasiswa
memandang OSCE sebagai alat uji yang adil, bermakna, bisa mencakup pengetahuan dan keterampilan yang luas, dan meminimalisir resiko kegagalan El-Nemer Kandeel, 2009.
Penguji merupakan komponen utama dalam penyelenggaraan OSCE McCoy Merrick, 2001. Peran dan fungsi penguji sangatlah penting dalam menentukan tingkat
kompetensi mahasiswa. Oleh karena itu, penguji harus memiliki kompetensi menguji dan integritas serta kompetensi bidang keahlian yang diujikan. Penyiapan kompetensi ini bisa
ditempuh dengan pelatihan atau pembekalan secara formal tentang tatacara dan pengelolaan OSCE. Temuan penelitian ini menggarisbawahi bahwa penguji belum
dipersiapkan secara formal, tidak adanya standar penilaian, dan ditambah dengan beban kerja yang berlebihan membuat OSCE tidah bisa berjalan seperti seharusnya. Hal ini bisa
berdampak pada validitas dan reliabilitas hasil uji OSCE. Sedangkan dari studi-studi terdahulu terungkap bahwa penguji umumnya berpendapat model OSCE ini merupakan
model uji yang lebih valid dibanding yang konvensional Ryan, Stevenson, Hassel, 2007.
Keberhasilan penyelenggaraan OSCE juga tidak terlepas dari peran dan fungsi tenaga pendukung seperti pengelola dan asisten laboratorium. Peran mereka sangat penting
terutama dalam persiapan ruangan, alat-alat, logistic termasuk konsumsi, dan mendukung pelaksanaan OSCE agar berjalan dengan baik. Temuan penelitian menunjukkan bahwa,
tenaga pendukung memandang adanya ketidakjelasan dan ketidaktegasan aturantata tertib sehingga mahasiswa sulit dikontrol. Disamping itu, kurangnya koordinasi antara
21 penyelenggara dan pihak laboratorium sebagai penyedia tempat. Hal ini disebabkan karena
tidak terlembaganya penyelenggara OSCE yang saat ini lebih diserahkan ke koordinator mata ajaran. Temuan ini mengisyaratkan perlunya lembaga yang formal dalam mengelola
dan mengembangkan model-model ujian, sehingga model uji OSCE bisa menunjukkan kekuatannya dalam menilai kompetensi klinis mahasiswa seperti yang sudah dibuktikan
pada penelitian sebelumnya yang mengungkap bahwa OSCE merupakan alaat uji yang handal dalam menilai kompetensi klinis mahasiswa dan memfasilitasi pembelajaran klinis
dalam pendidikan keperawatan Ross, et al., 1988. Pada tahapan-tahapan studi selanjutnya yaitu pengembangan tentative sampai
definitive model ditemukan bahwa, setelah melalui proses pemberdayaan melalui lokakarya-lokakarya, diskusi, dan refleksi, partisipan sadar dan tergerak untuk meperbaiki
sutuasi yang ada kearah yang lebih baik. Rumusan model definitive merupakan hasil dari ide-ide, pemikiran, reflesi, dan ujicoba nyata yang prosesnya cukup panjang dan
melelahkan. Namun dengan dihasilkannya model tersebut, bukti awal sudah bisa menunjukkan hasil perbaikan dari model uji OSCE yang sebelumnya. Selanjutnya model
ini tinggal terus diterapkan dan dievaluasi, diberikan umpan balik, revisi dan rekontekstualisasi sehingga bisa dihasilkan model yang betul-betul handal dan cocok untuk
mengukur kompetensi klinis mahasiswa keperawatan.
G. Simpulan dan Saran