5.5. Pekerja
Seperti yang terlihat pada Gambar 5.5, perkembangan jumlah pekerja riil selama periode 1975-2004 sangat berfluktuasi. Perkembangan jumlah pekerja riil
tersebut tidak terlepas dari pengaruh inflasi. Ketika inflasi rendah jumlah pengangguran meningkat sehingga jumlah pekerja menurun, demikian pula
sebaliknya. Dengan kata lain terjadi trade off antara inflasi dan pengangguran Mankiw, 2000.
Pekerja Riil
1500 3500
5500 7500
9500 11500
19 74
19 76
19 78
19 80
19 82
19 84
19 86
19 88
19 90
19 92
19 94
19 96
19 98
20 00
20 02
20 04
Tahun Mi
ly ar
Sumber: BPS 1975-2004, diolah
Gambar 5.5. Perkembangan Pekerja Riil 2002=100 Namun keadaan yang sangat jauh berbeda adalah pada tahun 1998 yaitu
ketika terjadi peningkatan inflasi hingga 77,63 persen maka jumlah pekerja riil menurun hingga mencapai 69,70 persen, yaitu dari sebanyak 9.649,23 milyar
pekerja pada tahun 1997 menjadi 2.923,17 milyar pekerja pada tahun 1998. Hal ini dikarenakan inflasi yang tinggi memicu biaya operasional perusahaan mengalami
peningkatan sehingga mendorong banyak perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja PHK para karyawan.
Seiring dengan menurunnya tingkat inflasi, biaya operasional perusahaan kembali stabil. Perusahaan memerlukan pekerja untuk meningkatkan output yang
akan memberikan tingkat pengembalian yang lebih besar, hal ini berarti terjadi peningkatan permintaan tenaga kerja sehingga jumlah pekerja kembali meningkat.
Pada tahun 2003 jumlah pekerja mengalami penurunan, namun pada tahun 2004 meningkat kembali hingga mencapai 5.998,08 milyar pekerja.
5.6. Inflasi
Laju inflasi yang dihitung berdasarkan pergerakan Indeks Harga Konsumen IHK pada awal periode penelitian tahun 1975 tercatat sebesar 19,10
persen. Sampai dengan tahun 1996 laju inflasi Indonesia berada di bawah kisaran 12 persen. Namun pada bulan Juli tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi
yang dipicu oleh jatuhnya mata uang bath Thailand. Jatuhnya mata uang bath Thailand tersebut menyebabkan pasar modal Indonesia jatuh lebih dari 80 persen
dan nilai tukar rupiah terhadap dolar jatuh hingga 75 persen Gie, 2004. Perkembangan inflasi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.5.
Terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar mendorong peningkatan pada harga bahan bakar minyak BBM yang kemudian diikuti dengan
meningkatnya harga-harga barang dan jasa lainnya, sehingga inflasi pada tahun 1998 meningkat tajam sebesar 77,63 persen.
Laju Inflasi
2 12
22 32
42 52
62 72
82
19 74
19 76
19 78
19 80
19 82
19 84
19 86
19 88
19 90
19 92
19 94
19 96
19 98
20 00
20 02
20 04
Tahun Pe
rs en
ta se
Sumber: BPS, BI 1975-2004
Gambar 5.6. Perkembangan Inflasi Inflasi yang sangat tinggi pada tahun 1998 mendorong pemerintah untuk
melakukan serangkaian kebijakan yang dapat menekan atau menurunkan tingkat inflasi itu sendiri. Memasuki awal 1999 inflasi mulai stabil kembali hingga
mencapai satu digit yaitu sebesar 2,01 persen. Kemudian pada akhir periode penelitian tahun 2004 inflasi tercatat sebesar 6,40 persen. Angka tersebut lebih
tinggi dari laju inflasi pada tahun 2003 sebesar 5,06 persen, namun masih berada dalam kisaran yang ditargetkan oleh otoritas moneter. Meningkatnya laju inflasi
pada tahun 2004 selain karena meningkatnya permintaan dalam negeri, juga karena adanya tekanan dari harga minyak internasional yang terus meningkat
sehingga berpengaruh langsung terhadap penggunaan bahan baku impor dan biaya transportasi Laporan Perekonomian Indonesia, 2004.
VI. PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH, INVESTASI SWASTA, PEKERJA, DAN INFLASI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI
INDONESIA
Bab ini akan menjelaskan tentang hasil dan pembahasan yang telah diperoleh dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Error Correction Model ECM. Langkah awal sebelum melakukan estimasi ECM terlebih dahulu harus dilakukan uji akar unit untuk mengetahui
apakah data yang digunakan stasioner atau tidak. Setelah dilakukan pengujian akar unit maka dilakukan pengujian kointegrasi Engel-Granger untuk melihat
hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel yang tidak stasioner. Setelah diperoleh persamaan jangka panjang, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
estimasi ECM yang digunakan untuk melihat hubungan jangka pendek diantara variabel-variabel yang stasioner, namun untuk mengetahui ada tidaknya masalah-
masalah pelanggaran asumsi klasik yang muncul pada estimasi model jangka pendek pertumbuhan ekonomi di Indonesia maka dilakukan uji kebaikan model,
yaitu uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas.
6.1. Hasil Pengujian Akar-akar Unit