Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia sedang mengalami perkembagan dalam berbagai bidang yang merupakan cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, harus memperhatikan perkembangan ekonomi, perkembangan teknologi, dan perkembangan masyarakat. Adanya hubungan yang sangat erat antara perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik sebuah negara sudah tidak dapat disangkal lagi. Contohnya adalah Amerika Serikat yang mendapatkan keuntungan ekonomi dalam jumlah besar melalui produk-produk HKI. Negara ini mendapatkan pemasukan lebih dari US 8 Milyar per tahun melalui pembayaran royalti. 1 Perdagangan sangat berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual. Pencapaian dalam dalam liberalisasi perdagangan melalui jalur tradisional pada perlindungan perdagangan dapat dihancurkan apabila hak kekayaan intelektual sebagai barang atau jasa tidak dihargai di pasar ekspor. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah produk yang diperdagangkan akan digandakan atau nama produk 1 Tomi Suryo Utomo, 2010, Hak Kekayaan Intelektual HKI di Era Global, Sebuah Kajian Kontemporer , Graha Ilmu, Yogyakarta, h.41 barang atau jasa tersebut akan digunakan oleh kompetitor, di mana hal tersebut akan menghalangi inovasi, investasi dan perdagangan. 2 Di Indonesia sendiri, perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual merupakan perkembangan yang baru, namun di negara-negara maju telah berabad-abad lamanya dikenal dan diketahui memiliki manfaat ekonomi yang besar bagi pendapatan negara. 3 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek selanjutnya disebut dengan UU Merek, merek merupakan tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek telah dikenal pada abad pertengahan sebelum revolusi industri, dalam berbagai bentuk atau istilah sebagai tanda pengenal untuk membedakan milik seseorang dengan milik orang lain. Didahului oleh peranan para Gilda yang memberikan tanda pengenal atas hasil kerajinan tangannya dalam rangka pengawasan barang hasil pekerjaan anggota Gilda sejawat, yang akhirnya menimbulkan temuan atau cara mudah memasarkan barang. 4 Di Inggris, Merek mulai dikenal dari bentuk tanda resmi hallmark sebagai suatu sistem tanda resmi 2 Peter van den Bossche, 2008, The Law and Policy of the World Trade Organization: Text, Cases and Materials, Second Edition , Cambridge University Press, UK, h. 743 3 Eddy Damian, 2004, Hukum Hak Cipta, Alumni, Bandung, h.2 4 Rahmi Jened, 2015, Hukum Merek Dalam Era Global dan Integrasi Ekonomi, Kharisma Putra Utama, Jakarta, h.1 tukang emas, tukang perak dan alat-alat pemotong yang terus dipakai secara efektif bisa membedakan dari penghasil barang sejenis lainnya. 5 Dalam era perdagangan global dan sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan Merek menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, sehingga diperlukan pengaturan yang memadai tentang Merek guna memberikan peningkatan layanan bagi masyarakat. Apabila dicermati sejarah perundang-undangan merek, ternyata bahwa pada masa kolonial Belanda berlaku Reglemen Industriele Eigendom RIE yang dimuat dalam Staatblad 1912 Nomor 545 jo Staatblad 1913 Nomor 214. Pada masa penjajahan Jepang, dikeluarkan peraturan Merek, yang disebut Osamu Seire Nomor 30 tentang Pendaftaran cap dagang yang mulai berlaku tanggal 1 bulan 9 Syowa tahun Jepang 2603. Setelah Indonesia Merdeka peraturan tersebut masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, sejak era kebijakan ekonomi terbuka pada Tahun 1961 diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang menggantikan peraturan warisan kolonial Belanda yang sudah dianggap tidak memadai, meskipun Undang-Undang tersebut pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan dengan produk hukum kolonial Belanda tersebut. Perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Merek telah mengalami perubahan, sampai diundangkanlah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. 5 Ibi d, h.2 Pada hakekatnya ketentuan dalam undang – undang Merek merupakakan upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemilik dan pemegang Merek yang telah dikenal oleh masyarakat, yang sekaligus memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai konsumen atas barang-barang tersebut sehingga tidak terkecoh dalam membeli suatu produk. Seiring dengan dimulainya pembangunan ekonomi Indonesia kasus- kasus Merek mulai mengalami peningkatan, dan perkara atau sengketa merek yang terjadi di Indonesia hingga saat ini lebih didominasi oleh perkara gugatan ganti rugi dan pembatalan Merek yang berkaitan dengan pelanggaran hak atas Merek terkenal. Undang-Undang Merek ini merupakan hukum yang mengatur perlindungan merek di Indonesia yang memberikan perlindungan merek di Indonesia dengan standar internasional yang termuat dalam Pasal 15 Perjanjian TRIPs sebagai pengganti UU sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek. Dalam hukum merek dikenal adanya hak eksklusif sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Merek, yaitu : “H ak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek. Secara umum hak eksklusif dapat didefinisikan sebagai ‘hak yang memberi jaminan perlindungan hukum kepada pemilik merek, dan merupakan pemilik satu-satunya yang berhak memakai dan mempergunakan serta melarang siapa saja untuk memiliki dan mempergunakannya’. Dengan demikian, hak eksklusif memuat dua hal, yaitu, pertama,menggunakan sendiri merek tersebut, dan kedua, memberi ijin kepada pihak lain menggunakan merek tersebut. Hak eksklusif merupakan hak yang bersifat khusus dalam rangka memberi penghormatan dan insentif pengembangan daya intelektual untuk sebuah persaingan sehat dan kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang Merek memberikan beberapa faktor sebagai unsur yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Merek, yang meliputi Persamaan bentuk, persamaan komposisi atau penempatan, persamaan bunyi, persamaan ucapan, persamaan kombinasi unsur-unsur. Pelanggaran terhadap penggunaan merek secara melawan hukum yang marak di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari mental dari para pengusaha yang tanpa usaha yang cukup untuk mengembangkan merek yang mereka buat sendiri, yang dinilai akan memakan waktu yang cukup lama. Beberapa contohnya adalah perkara-perkara sebagai berikut: - perkara dengan putusan Mahkamah Agung nomor 1 KPdt.Sus2014 antara David Andi Purnama melawan CV Harvest Gorontalo Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia, cq. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Direktorat merek, di mana perkara ini mengenai penggunaan merek jamu tradisional Soman. - perkara dengan putusan Mahkamah Agung nomor 449Pdt.SusHKI2014 antara Prada S.A melawan PT. Manggala Putra Perkasa yang objek sengketanya adalah sengketa tentang merek Prada. - perkara dengan putusan Mahkamah Agung nomor 28 PKPdt.Sus- HKI2014 antara Steven Erwin Wijaya melawan PT. Garudafood Putra Putri Jaya dengan objek sengketa merek Keiko. Dalam upaya memperdalam pengetahuan tentang merek tersebut, kiranya perlu dilakukan penelitian tentang “ Perlindungan Hukum dan Pembuktian atas Pelanggaran Merek Terdaftar” .

1.2. Rumusan Masalah