PERLINDUNGAN HUKUM DAN PEMBUKTIAN ATAS PELANGGARAN MEREK TERDAFTAR.

(1)

ii

SKRIPSI

PERLINDUNGAN HUKUM DAN PEMBUKTIAN

ATAS PELANGGARAN MEREK TERDAFTAR

MADE PASSEK REZA SWANDIRA 1203005096

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

iii

PERLINDUNGAN HUKUM DAN PEMBUKTIAN

ATAS PELANGGARAN MEREK TERDAFTAR

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

MADE PASSEK REZA SWANDIRA NIM. 1203005096

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban terakhir sebagai mahasiswa guna melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi Program Sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Adapun judul skripsi ini adalah “Perlindungan Hukum Dan Pembuktian Terkait Pelanggaran Merek

Terdaftar.”

Penulis menyadari bahwa apa yang tersusun dalam skripsi ini masih jauh dari apa yang diharapkan secara ilmiah. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman yang penulis miliki. Maka dari itu kritik, saran, bimbingan serta petunjuk-petunjuk dari semua pihak sangat diharapkan guna kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala hormat penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

vii

2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H, M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, S.H, M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H, M.H., Ketua Bagian Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak I Made Tjatrayasa, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M. Hum., LLM, sebagai Dosen Pembimbing I yang dengan penuh perhatian dan berkenan meluangkan waktu serta tenaganya dalam memberikan bimbingan hingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Ibu A. A. Sri Indrawati, S.H., M.H., sebagai Dosen Pembimbing II yang dengan sabar dan tiada henti memberi arahan dan masukan yang berarti hingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah mengajar dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(7)

viii

10. Bapak dan Ibu Staf Laboratorium, perpustakaan, dan tata usaha yang telah memberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

11. Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji skripsi ini.

12. Kepada keluarga penulis Ayah tercinta Dr. I Ketut Sudira, S.H., M.H., Ibu tercinta Willy Margaretha, S.H., dan kakak drg. Putu Pasek Mayudianingsih, S.H., terimakasih atas doa, kasih sayang serta dorongan moral yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan. Terimakasih atas kesabaran, pengorbanan, dukungan, perhatian, dan terus menemani serta memberikan semangat kepada penulis selama mengikuti pendidikan dasar sampai dalam menyelesaikan studi Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana.

13. Kepada orang terdekat dan tersayang penulis Ema Wulandari, terimakasih atas dorongan dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini dan selama perkuliahan di Fakultas Hukum ini.

14. Kepada sahabat-sahabat penulis Agus Risaldi, Surya Permana, Agus Satria, Agung Mahesa, Bintang Sena, Dedek Mas, Angga Yudha, Nova Arifin, Renatha Indra, Ratna Ayu Widyaswari, Sintha Dewi, Putrika Widhi Susmitha, Agung Mirah, Tasya Nahak, Teuku Fachryzal, Ninda Anggita, Gung Bayu, Gek Mas Widiasih, Dipa Pranawa, Bion Kidi, Sari Dewi, Yeni Utari, Rika Darma, Indyayani, dan Adimas Rakyandani yang


(8)

ix

memberikan motivasi dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

15. Kepada keluarga besar Udayana Moot Court Community (UMCC) mulai dari angkatan 2010, 2011, dan 2012 yang senantiasa memberikan pengalaman berharga dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini

16. Kepada seluruh rekan-rekan Angkatan 2012 Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah menemani mulai dari awal kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini.

17. Kepada segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga mereka yang telah mendoakan, memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis, mendapatkan imbalan dan kemudahan dalam setiap langkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini, Dengan kerendahan hati, penulis menghargai dan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik sebagai bahan bacaan maupun untuk pengetahuan bagi yang memerlukan.

Denpasar, 22 Maret 2016


(9)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM...iii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING...iv

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI...v

KATA PENGANTAR...vi

DAFTAR ISI...x

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN...xiii

ABSTRAK...xiv

ABSTRACT...xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah...1

1.2. Rumusan Masalah...6

1.3. Ruang Lingkup Masalah...6

1.4. Tujuan Penelitian...7

1.4.1. Tujuan Umum...7


(10)

xi

1.5. Manfaat Penelitian...8

1.5.1. Manfaat Teoritis...8

1.5.2. Manfaat Praktis...8

1.6. Orisinalitas Penelitian...9

1.7. Landasan Teoritis...,9

1.8. Metode Penelitian...14

1.8.1. Jenis Penelitian...14

1.8.2. Jenis Pendekatan...14

1.8.3. Sumber Bahan Hukum...15

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum...15

1.8.5. Teknik Pengolahan dan Analisis...16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEREK DAN PROSES PEMBUKTIAN 2.1. Merek...17

2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum Merek...17

2.1.2. Jenis-Jenis Merek...21

2.1.3. Fungsi Merek...23

2.1.4. Proses Pendaftaran Merek...24

2.1.5. Sistem Perlindungan Merek dan Jangka Waktu Perlindungan Merek...26


(11)

xii

2.2.1. Proses Pembuktian dalam Peradilan Perdata Umum...28 2.2.2. Pelanggaran Merek dan Proses Pembuktian di Pengadilan Niaga...35 2.2.3. Delik dalam Merek...37

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK MEREK TERDAFTAR

TERHADAP PENGGUNAAN MEREK YANG MEMPUNYAI

PERSAMAAN DENGAN MEREK LAIN

3.1.Unsur-Unsur Persamaan Merek Pada Pokoknya atau Pada Keseluruhannya...39 3.2. Perlindungan Hukum Secara Preventif dan Represif...40 3.3. Penyelesaian Sengketa Perkara Merek Terdaftar...42

BAB IV PEMBUKTIAN KEPEMILIKAN SUATU MEREK DALAM KASUS PELANGGARAN MEREK

4.1. Proses Pembuktian Pelanggaran Merek dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek...44 4.2. Proses Pengkajian Perkara Merek Terdaftar dalam Berbagai Putusan Mahkamah Agung...47

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan...81 5.2. Saran...82


(12)

(13)

xiv

ABSTRAK

Sengketa merek merupakan hal yang sangat sering terjadi didalam lingkup peradilan niaga. Indonesia telah memiliki pengaturan mengenai merek dan juga hukum acara perdata umum. Namun peraturan-peraturan ini belum mengatur secara jelas mengenai perlindungan terhadap pemilik merek terdaftar yang haknya dipermasalahkan, dan tidak diaturnya prosedur pembuktian didalam sengketa merek. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana perlindungan hukum kepada pemilik merek terdaftar terhadap penggunaan merek yang mempunyai persamaan dengan merek lain dan bagaimana membuktikan kepemilikan suatu merek dalam kasus pelanggaran merek. Penelitian ini penting dilakukan untuk memberikan kontribusi keilmuan secara ilmiah terkait pengembangan hukum perdata pada umumnya dan dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual pada khususnya., dan juga terkait dengan proses pembuktian dalam sengketa merek di masa mendatang.

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini termasuk dalam kategori atau jenis penelitian hukum normatif. Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah berangkat dari kekosongan norma hukum yang berkaitan dalam permasalahan penelitian, sehingga dalam pengkajiannya lebih mengutamakan sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Pengaturan tentang merek dalam hukum positif Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan pembuktian dalam perkara perdata khusus diatur dalam Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR), namun kedua peraturan tersebut belum mengatur mengenai prosedur pembuktian dalam sengketa merek karena dalam prakteknya seringkali digunakan alat bukti lain diluar alat bukti yang diatur dalam HIR. Maka dari itu diperlukan aturan hukum yang jelas dan diharapkan kedepannya bagi pemerintah untuk membentuk aturan hukum baik dengan menyempurnakan aturan yang sudah ada maupun dengan membentuk peraturan baru yang khusus mengatur tentang hukum acara dalam perkara HKI.


(14)

xv

ABSTRACT

Trademark dispute is very frequent in the scope of commercial justice. Indonesia already has arrangements regarding the brand and also the general civil law. However, these regulations do not set out clear on the protection of the rights owner of the registered mark in question, and that the exclusion of evidentiary procedure in trademark disputes. The problem in this paper is how the law protects the owner of the registered mark against another registered trademarks that are similar and how to prove the ownership of a mark in the case of trademark infringement. This research is important to scientifically contribute to the development of civil law in general and Intellectual Property Rights in particular, and also related to the proofing procedures in trademark disputes in the future.

This type of research used in this paper are included in the category or type of normative legal research. The need for a normative legal research are set off from the void of legal norms relating to research problems, so that in the assessment prioritize resources primary legal materials, secondary and tertiary.

Trademarks in Indonesian positive law contained in Law No. 15 of 2001 on Trademarks, and proofing in a civil legal dispute are specifically regulated in Indonesian Colonial Civil Procedural Law (HIR), but both of these rules have not been set on the procedures of evidence in a trademark dispute, because in practice it is often to use an evidence other than the evidences that ruled out in HIR. Thus it is necessary to clear the rules and the expected future for the government to establish the rule of law both to enhance existing rules or by establishing new regulations specifically governing procedural law in the case of IPR.


(15)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia sedang mengalami perkembagan dalam berbagai bidang yang merupakan cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, harus memperhatikan perkembangan ekonomi, perkembangan teknologi, dan perkembangan masyarakat.

Adanya hubungan yang sangat erat antara perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik sebuah negara sudah tidak dapat disangkal lagi. Contohnya adalah Amerika Serikat yang mendapatkan keuntungan ekonomi dalam jumlah besar melalui produk-produk HKI. Negara ini mendapatkan pemasukan lebih dari US $ 8 Milyar per tahun melalui pembayaran royalti.1

Perdagangan sangat berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual. Pencapaian dalam dalam liberalisasi perdagangan melalui jalur tradisional pada perlindungan perdagangan dapat dihancurkan apabila hak kekayaan intelektual sebagai barang atau jasa tidak dihargai di pasar ekspor. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah produk yang diperdagangkan akan digandakan atau nama produk

1Tomi Suryo Utomo, 2010,Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, Sebuah Kajian Kontemporer, Graha Ilmu, Yogyakarta, h.41


(16)

2

barang atau jasa tersebut akan digunakan oleh kompetitor, di mana hal tersebut akan menghalangi inovasi, investasi dan perdagangan.2

Di Indonesia sendiri, perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual merupakan perkembangan yang baru, namun di negara-negara maju telah berabad-abad lamanya dikenal dan diketahui memiliki manfaat ekonomi yang besar bagi pendapatan negara.3

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disebut dengan UU Merek), merek merupakan tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Merek telah dikenal pada abad pertengahan sebelum revolusi industri, dalam berbagai bentuk atau istilah sebagai tanda pengenal untuk membedakan milik seseorang dengan milik orang lain. Didahului oleh peranan para Gilda yang memberikan tanda pengenal atas hasil kerajinan tangannya dalam rangka pengawasan barang hasil pekerjaan anggota Gilda sejawat, yang akhirnya menimbulkan temuan atau cara mudah memasarkan barang.4 Di Inggris, Merek

mulai dikenal dari bentuk tanda resmi (hallmark) sebagai suatu sistem tanda resmi

2Peter van den Bossche, 2008,The Law and Policy of the World Trade Organization: Text, Cases and Materials, Second Edition, Cambridge University Press, UK, h. 743

3Eddy Damian, 2004,Hukum Hak Cipta,Alumni, Bandung, h.2

4Rahmi Jened, 2015,Hukum Merek Dalam Era Global dan Integrasi Ekonomi,Kharisma Putra Utama, Jakarta, h.1


(17)

3

tukang emas, tukang perak dan alat-alat pemotong yang terus dipakai secara efektif bisa membedakan dari penghasil barang sejenis lainnya.5

Dalam era perdagangan global dan sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan Merek menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, sehingga diperlukan pengaturan yang memadai tentang Merek guna memberikan peningkatan layanan bagi masyarakat.

Apabila dicermati sejarah perundang-undangan merek, ternyata bahwa pada masa kolonial Belanda berlaku Reglemen Industriele Eigendom (RIE) yang dimuat dalam Staatblad 1912 Nomor 545 jo Staatblad 1913 Nomor 214. Pada masa penjajahan Jepang, dikeluarkan peraturan Merek, yang disebut Osamu Seire Nomor 30 tentang Pendaftaran cap dagang yang mulai berlaku tanggal 1 bulan 9 Syowa (tahun Jepang 2603. Setelah Indonesia Merdeka peraturan tersebut masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, sejak era kebijakan ekonomi terbuka pada Tahun 1961 diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang menggantikan peraturan warisan kolonial Belanda yang sudah dianggap tidak memadai, meskipun Undang-Undang tersebut pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan dengan produk hukum kolonial Belanda tersebut. Perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Merek telah mengalami perubahan, sampai diundangkanlah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.


(18)

4

Pada hakekatnya ketentuan dalam undang – undang Merek merupakakan upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemilik dan pemegang Merek yang telah dikenal oleh masyarakat, yang sekaligus memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai konsumen atas barang-barang tersebut sehingga tidak terkecoh dalam membeli suatu produk.

Seiring dengan dimulainya pembangunan ekonomi Indonesia kasus-kasus Merek mulai mengalami peningkatan, dan perkara atau sengketa merek yang terjadi di Indonesia hingga saat ini lebih didominasi oleh perkara gugatan ganti rugi dan pembatalan Merek yang berkaitan dengan pelanggaran hak atas Merek terkenal.

Undang-Undang Merek ini merupakan hukum yang mengatur perlindungan merek di Indonesia yang memberikan perlindungan merek di Indonesia dengan standar internasional yang termuat dalam Pasal 15 Perjanjian TRIPs sebagai pengganti UU sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek.

Dalam hukum merek dikenal adanya hak eksklusif sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Merek, yaitu :

“Hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek. Secara umum hak eksklusif dapat didefinisikan sebagai ‘hak yang memberi

jaminan perlindungan hukum kepada pemilik merek, dan merupakan pemilik satu-satunya yang berhak memakai dan mempergunakan serta

melarang siapa saja untuk memiliki dan mempergunakannya’. Dengan


(19)

5

sendiri merek tersebut, dan kedua, memberi ijin kepada pihak lain menggunakan merek tersebut.

Hak eksklusif merupakan hak yang bersifat khusus dalam rangka memberi penghormatan dan insentif pengembangan daya intelektual untuk sebuah persaingan sehat dan kesejahteraan masyarakat.

Undang-Undang Merek memberikan beberapa faktor sebagai unsur yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Merek, yang meliputi Persamaan bentuk, persamaan komposisi atau penempatan, persamaan bunyi, persamaan ucapan, persamaan kombinasi unsur-unsur.

Pelanggaran terhadap penggunaan merek secara melawan hukum yang marak di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari mental dari para pengusaha yang tanpa usaha yang cukup untuk mengembangkan merek yang mereka buat sendiri, yang dinilai akan memakan waktu yang cukup lama.

Beberapa contohnya adalah perkara-perkara sebagai berikut:

- perkara dengan putusan Mahkamah Agung nomor 1 K/Pdt.Sus/2014 antara David Andi Purnama melawan CV Harvest Gorontalo Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia, cq. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Direktorat merek, di mana perkara ini mengenai penggunaan merek jamu tradisional Soman.


(20)

6

- perkara dengan putusan Mahkamah Agung nomor 449/Pdt.Sus/HKI/2014 antara Prada S.A melawan PT. Manggala Putra Perkasa yang objek sengketanya adalah sengketa tentang merek Prada.

- perkara dengan putusan Mahkamah Agung nomor 28 PK/Pdt.Sus-HKI/2014 antara Steven Erwin Wijaya melawan PT. Garudafood Putra Putri Jaya dengan objek sengketa merek Keiko.

Dalam upaya memperdalam pengetahuan tentang merek tersebut,

kiranya perlu dilakukan penelitian tentang “Perlindungan Hukum dan Pembuktian atas Pelanggaran Merek Terdaftar”.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penelitian dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. bagaimana perlindungan hukum pemilik merek terdaftar terhadap penggunaan merek yang mempunyai persamaan dengan merek lain? 2. bagaimana membuktikan kepemilikan suatu merek dalam kasus

pelanggaran merek?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah, perlu ditentukan secara tegas batasan materi yang dibahas dalam tulisan yang dimaksud sehingga pembahasan yang diuraikan nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang diinginkan, hal ini diperlukan untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut:


(21)

7

1. yang pertama akan dibahas mengenai bagaimana perlindungan hukum pemilik merek terdaftar terhadap penggunaan merek yang mempunyai persamaan dengan merek lain.

2. yang kedua akan dibahas mengenai bagaimana membuktikan kepemilikan suatu merek dalam kasus pelanggaran merek.

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: a. tujuan umum

tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi keilmuan secara ilmiah terkait pengembangan hukum perdata pada umumnya dan hak atas kekayaan intelektual pada khususnya.

b. tujuan khusus

terdapat beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian hukum ini yaitu:

1. mengidentifikasi perlindungan hukum kepemilikan merek yang mempunyai persamaan dengan merek lain berdasarkan ketentuan perundang-undangan dengan mengkaji beberapa perkara merek.

2. menemukan pembuktian kepemilikan suatu merek dalam kasus pelanggaran merek dengan menganalisis putusan pengadilan niaga yang terkait dengan merek tersebut dihubungkan dengan


(22)

8

tujuan hukum yang mencerminkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum hak atas kekayaan intelektual, khususnya pemahaman teoritis mengenai merek, termasuk didalamnya mengenai proses pembuktian didalam sengketa merek terdaftar.

1.5.2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi kongkrit bagi lembaga penegak hukum dalam menangani perkara merek di Pengadilan Niaga di Indonesia. Selain itu penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pembentuk undang-undang terkait dengan perlindungan dan pembuktian dalam penyelesaian sengketa merek terdaftar.


(23)

9

1.6. Orisinalitas Penelitian No. Nama

Peneliti

Judul Rumusan Masalah

1. Irwansyah Okap Halomoan NIM 020 200 142

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek Dagang Terkenal Asing Dari

Pelanggaran Merek di Indonesia

1. Apa yang dimaksud dengan pelanggaran merek dan bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran merek?

2. Apakah peraturan perundang-undangan di bidang merek cukup memberikan perlindungan hukum bagi pemegang merek dagang terkenal asing untuk menegakkan hak-haknya? 3. Bagaimana penegakan hukum

dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pemegang merek dagang terkenal asing berdasarkan peraturan perundang-undangan merek di Indonesia?

2. Maria Oktoviani Jayapurwanty NIM. 090711340 Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Merek Dagang Asing yang ada di Indonesia

1. Bagaimana pengaturan Merek Dagang Asing di Indonesia? 2. Bagaimana perlindugan

hukum terhadap pemegang merek dagang terkenal berdasarkan peraturan perundang-undangan merek di Indonesia?

1.7. Landasan Teoritis

Dalam membahas objek pebelitian sebagaimana disebutkan di atas, terlebih dahulu dibahas tentang teori hukum yang melandasi, dalam hal ini tentang isu hukum daya pembeda tentang sumber (source distinctiveness) dalam model pendistribusian barang dan/atau jasa secara konvensional, suatu perusahaan atau


(24)

10

suatu usaha perorangan membuat sendiri semua produknya yang tentunya sekaligus menyandang mereknya. Dalam distribusi produk barang dan/atau jasa modern, perusahaan dapat melakukan hal tersebut dengan cara outsourcing produksinya dan semata-mata melakukan distribusi dan retail, perusahaan member lisensi pada outsource dan tidak terlibat pada setiap tahapan produksi, distribusi dan retail.

Menurut Eric Gastinel dan Mark Milford, tanda dengan daya pembeda untuk dapat dilindungi sebagai merek secara teoretis dapat dikategorikan:

a. inherently distinctive eligible for immendiate protection upon use. (Tanda yang secara inheren memiliki daya pembeda, segera mendapat perlindungan melalui penggunaan);

b. capable of becoming distinctive: eligible for protection only after development of consumer association (secondary meaning). (Tanda yang memiliki kemampuan untuk menjadi pembeda, dan dapat dilindungi hanya setelah pengembangan asosiasi konsumen yang disebut pengertian kedua);

c. incapable of becoming distrinctive not eligible for trademark protection regardless of length of use. (Tanda yang tidak memiliki kemampuan untuk membedakan tidak dapat dilindungi sebagai merek meskipun dalam waktu yang panjang telah digunakan).6

Tanda yang secara interen memiliki daya pembeda (inherently distinctiveness) dapat segera memperoleh perlindungan. Lazimnya, produsen menggunakan nama umum yang bersifat deskriptif untuk menjelaskan genus produk. Merek dari kata generic artinya tidak ada terminologi alternatif yang secara umum dapat digunakan untuk mengkomunikasikan produk secara fungsional. Semakin tinggi daya pembedanya secara inheren, maka secara hukum dapat memperoleh perlindungan hukum secara cepat melalui penggunaan (eligible for immediate propection upon use) Tanda tersebut meliputi:


(25)

11

a. fanciful words(kata khayalan yang unik menarik); b. arbitrary(berubah-ubah tidak berkaitan);

c. suggestive(memberi kesan).7

Tanda yang memiliki kemampuan untuk menjadi pembeda (capable of becoming distinctive) setelah pengembangan dari asosiasi konsumen atas daya pembeda. Tanda tersebut membutuhkan penggunaan tanda agar dapat membangun asosiasi konsumen dan akan dilindungi hukum merek mencakup tanda yang bersifat:

a. descriptive;

b. deceptive misdescriptive; c. personal names.8

Penggunaan (eksklusivitas, lama dan cara), jumlah dan cara pengiklanan, jumlah penjualan pada konsumen, pangsa pasar, bukti adanya kehendak pihak lain untuk meniru merek. Lazimnya pembuktian untuksecondary meaningadalah : a. pengakuan konsumen langsung (direct consumer testimony);

b. survei konsumen (consumer survey) terkait dengan kehendak pihak lain untuk meniru merek tersebut;

c. disamping itu ada bukti-bukti ekslusivitas, lama dan cara penggunaan; d. jumlah dan banyaknya periklanan;

e. banyaknya penjualan dan konsumen; f. peletakan perusahaan di pasar;

g. bukti dari tindakan pengkopian jika kompetitor meniru berarti merek tersebut cukup berharga.9

Tanda yang sama sekali tidak dapat memiliki kemampuan pembeda (incapable of becoming distinctive) tidak dapat dilindungi meskipun telah digunakan dalam upayanya membangun secondary meaning. Hal ini mengingat

7Ibid, h. 66 8Ibid, h. 75. 9Ibid


(26)

12

tidak adil jika sesuatu yang menjadi public domain menjadi merek dan dimonopoli oleh satu pihak saja. Tanda ini meliputi:10

a. generic term; b. deceptive;

c. geographically misdescriptive.

Merek yang memakai istilah umum (generic term) merupakan tanda yang menggambarkan genus dari produknya.Generic termditerapkan pada produk dan bukan sekedar pada terminologi yang digunakan yang sekedar bersifat menggambarkan produk. Pada kata ini merujuk tes pemahaman konsumen atas kata tersebut. Setiap klaim atas generic term untuk memperoleh hak eksklusif merek harus ditolak karena pengaruhnya akan memberikan hak monopoli tidak hanya pada tanda yang digunakan sebagai merek, tetapi juga pada produk.

Adapula merek yang menyesatkan (deceptive) dalam menggambarkan ciri, kualitas, fungsi, komposisi atau penggunaan dari produk. Dengan penggambaran yang salah tersebut menyesatkan prospektif konsumen yang mempercayai bahwa produk sesuai penggambarannya. Tanda juga bersifat menyesatkan jika tanda menjadi hal yangb bersifat materiel bagi konsumen untuk memutuskan dalam membelinya, contohnya “Lamb Skin” untuk cover seat jok mobil yang tidak terbuat dari bulu domba, “Glass Wax” untuk pembersih kaca yang tidak berisi Wax dan “Eco Clean” untuk sabun deterjen yang limbahnya pasti mencemarkan


(27)

13

lingkungan11. Merek seperti ini harus tidak diterima pendaftarannya, meski

berupaya membangunsecondary meaningkarena dianggap menipu konsumen. Suatu merek akan ditolak pendaftarannya jika memiliki persamaan pada pokoknya atau persamaan secara keseluruhandengan merek yang telah terdaftar terlebih dahulu seharusnya dipahami dalam konteks terdaftar di Negara lain di luar Indonesia, atau secara regional ASEAN, atapun secara internasional beberapa Negara di dunia.

Pendaftaran terlebih dahulu di Negara lain, seperti terdaftar di beberapa Negara lain, terdaftar di Negara lain di luar Indonesia atau terdaftar secara regional di Negara lain, misalnya dalam lingkup ASEAN harus menjadi pertimbangan ditolaknya pendaftaran. Demikian halnya klaim atas hak prioritas, ataupun adanya keberatan (opposition) harus dipertimbangkan secara komprehensif.

Merek yang memiliki reputasi memiliki perlindungan lebih kuat. Setiap pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya ataupun persamaan secara keseluruhan. Dalam hal ini harus ditunjukkan bahwa penggunaan merek tersebut akan memberikan keuntungan yang tidak fair atau merusak karakter pembeda atau reputasi merek terkenal yang telah terdaftar terlebih dahulu.

Indikasi Geografis, seperti merek merupakan tanda yang menunjukkan asal barang. Namun berbeda dengan merek, Indikasi Geografis memiliki dua fungsi. Di satu sisi memberikan perlindungan bagi konsumen untuk secara langsung melawan tindakan penggunaan indikasi yang salah atau menyesatkan


(28)

14

(wrong and misleading indication) dan disisi lain memberikan perlindungan goodwill bagi mereka yang berhak melalui hukum pencegahan persaingan curang (unfair competition) atau secara sui generis.

1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian adalah analisis terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini peundang-undangan dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek dan Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement/HIR).

1.8.2. Jenis pendekatan

Jenis Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) yaitu dengan mengkaji peristiwa hukum yang terjadi dalam bidang merek dan membandingkan penerapan hukumnya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama yang berkaitan dengan merek. Selain itu juga digunakan pendekatan kasus (Case Approach) yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum12, dengan cara mengkaji kasus-kasus yang berkaitan dengan merek yang telah menjadi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

12Johnny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, h. 321


(29)

15

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Dalam skripsi ini bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mengkaji bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan13. Dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek dan Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement/HIR).

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai sumber hukum primer seperti buku-buku, harian/majalah, dan karya tulis ilmiah. Dalam hal ini yang digunakan adalah bahan-bahan hukum sekunder yang terkait dengan Merek.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap sumber hukum primer dan/atau sekunder seperti kamus-kamus hukum dan ensiklopedia.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik Pengumpulan Bahan Hukum yang digunakan yaitu Studi Kepustakaan (Library Research). Dalam studi kepustakaan ini yang dilakukan adalah mengumpulkan data-data dengan membaca dan mempelajari buku-buku,


(30)

16

peraturan perundang-undangan, majalah, dan media cetak lainnya yang mengulas mengenai hukum tentang merek untuk dapat digunakan sebagai dasar ilmiah dalam pembahasan materi.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Dari bahan-bahan hukum yang berhasil dikumpulkan, baik bahan hukum primer maupun sekunder kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik deskripsi, interpretasi, argumentasi, evaluasi dan sistematisasi. Pengertian masing-masing teknik analisis yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. teknik deskripsi, adalah uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

b. teknik interpretasi adalah penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum, terutama penafsiran historis dan kontekstualnya.

c. teknik argumentasi, yaitu berupa penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

d. teknik evaluasi, yaitu penilaian tepat atau tidak tepat, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan atau proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

e. teknik sistematisasi, adalah upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun tidak sederajat.

Dalam pengolahan dan analisis bahan hukum ini penulis menggunakan kelima teknik tersebut secara silih berganti sesuai dengan keadaan yang ada.


(31)

17

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MEREK DAN PROSES

PEMBUKTIAN

2.1. Merek

2.1.1. Pengertian Merek dan Dasar Hukum Merek

Pengertian Merek dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Merek yang menyatakan bahwa:

“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama,kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.”

Dari peraturan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Merek tersebut di atas, dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari merek adalah:

- tanda yang mempunyai daya pembeda - tanda tersebut harus digunakan

- untuk kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa

Berangkat dari unsur-unsur merek di atas, suatu merek dapat dikatakan berbeda dengan merek yang lain apabila tidak memiliki unsur-unsur persamaan dengan merek lain yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.


(32)

18

Sementara beberapa ahli mengemukakan pendapat sebagai berikut:

- Menurut Molengraaf, merek yaitu dengan manda dipribadikanlah sebuah barang tertentu, untuk menunjukkan asal barang dan jaminan kualitasnya sehingga bisa dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat, dan diperdagangkan oleh orang atau perusahaan lain.14

- Menurut H.M.N. Purwosutjipto, merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis.15

- Menurut Sudargo Gautama, berdasarkan perumusan pada Paris Convention, suatu trademark atau merek pada umumnya didefinisikan sebagai suatu tanda yang berperan untuk membedakan barang-barang dari suatu perusahaan dengan barang-barang dari perusahaan lain.16

Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena publik sering mengkaitkan suatu imej (citra), kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan merek tertentu. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial, yang seringkali lebih bernilai daripada aset daripada suatu perusahaan pemilik merek.17

Tanda sebagai unsur dasar merek dapat dilihat pada Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs yang menyatakan bahwa merek adalah setiap tanda atau

14Muhammad Djumhana, Djubaedillah, 2014,Hak Milik Intelektual. Sejarah, Teori dan

Praktiknya di Indonesia, Cetakan keempat, Bandung, Citra Aditya Bakti, h. 222

15Zainal Asikin, 2013,Hukum Dagang,Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, h. 140 16Sentosa Sembiring,Hukum Dagang, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2015, h. 216 17

Tim Lindsey dkk, 2013, Hak Kekayaan Intelektual. Suatu Pengantar, Bandung, Alumni, h. 131


(33)

19

kombinasi dari tanda yang memiliki kemampuan untuk membedakan barang atau jasa dari satu perusahaan dengan perusahaan lainnya harus dapat dinyatakan sebagai merek. Tanda-tanda tersebut dapat berupa nama orang, huruf-huruf, angka-angka, elemen figuratif, dan kombinasi dari warna-warna sebagaimana kombinasi dari tanda-tanda tersebut dapat didaftarkan sebagai merek.

Lebih lanjut, persamaan antara satu merek dengan merek lain diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa:

“Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek

tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis.”

Dalam Undang-Undang Merek tidak dijelaskan secara spesifik maksud

dari “persamaan pada pokoknya” ataupun “persamaan secara keseluruhan”. Menurut Rahmi Jened, istilah “persamaan pada pokoknya” berarti suatu

kemiripan yang dikarenakan adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek satu dengan merek yang lain, di mana kemiripan ini dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan atau persamaan arti yang terdapat dalam merek tersebut18. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap, persamaan pada keseluruhan adalah persamaan seluruh elemen19. Dengan kata lain, merek yang memiliki persamaan secara keseluruhan merupakan

18Rahmi Jened,op. cit, h.181 19Ibid, h. 175


(34)

20

salinan atau reproduksi dari merek orang lain yang sudah didaftarkan terlebih dahulu apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:20

a. terdapat persamaan elemen secara keseluruhan termasuk elemen hurufnya;

b. persamaan jenis atau produksi kelas barang dan jasa; c. persamaan wilayah dan segmen pasar;

d. persamaan pelaku pemakaian; dan e. persamaan cara pemeliharaan.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa merek merupakan setiap tanda atau kombinasi dari tanda berupa nama orang, huruf-huruf, angka-angka, maupun gabungan warna yang memiliki daya pembeda untuk membedakan barang atau jasa dari satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, di mana tanda atau kombinasi tanda tersebut dapat didaftarkan sebagai merek dagang.

Dasar hukum merek secara Internasional adalah The Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights(TRIPs) yang merupakan salah satu perjanjian multilateral terpenting dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual. Tujuan TRIPs secara umum tertuang dalam konsideran TRIPs, yang diantaranya adalah untuk mengurangi gangguan dan hal-hal yang menyulitkan kemajuan perdagangan internasional (to reduce distortions and impediments to international trade), mempromosikan perlindungan yang efektif dan layak bagi Hak Kekayaan Intelektual (to promote effective and adequate protection of intellectual property rights), dan untuk menjamin bahwa tindakan dan prosedur pelaksanaan hak kekayaan intelektual tidak menjadikannya penghalang untuk diperdagangkan


(35)

21

secara sah. (to ensure that measures and procedures to enforce intellectual property rights do not themselves become barriers to legitimate trade).

Indonesia merupakan salah satu negara anggotaWorld Trade Organization

(WTO) yang menjadikannya wajib melaksanakan TRIPs. TRIPs diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Indonesia sebelumnya telah memiliki pengaturan mengenai merek yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek. Kedua peraturan tersebut telah tergantikan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

2.1.2. Jenis-Jenis Merek

Dalam Undang-Undang Merek dikenal 3 (tiga) jenis merek yang diatur dalam Pasal 1 angka 2, angka 3, dan angka 4, yaitu Merek Dagang, Merek Jasa, dan Merek Kolektif. Dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

Sementara dalam Pasal 1 angka 3 dinyatakan bahwa Merek Jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.


(36)

22

Semua negara yang mengatur adanya pendaftaran untuk merek jasa pada dasarnya berlandaskan kepada klasifikasi jasa yang ditetapkan dalam Konvensi Nice yang terdiri atas 8 (delapan) kelas, diantaranya adalah:

1. kelas 35:advertising and business; 2. kelas 36:insurance and financial; 3. kelas 37:construction and repair; 4. kelas 38:communication;

5. kelas 39:transportation and storage; 6. kelas 40:material treatment;

7. kelas 41:educational and entertainment; 8. kelas 42:miscellaneous.21

Pasal 1 angka 4 mengatur tentang Merek Kolektif, di mana dinyatakan bahwa Merek Kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa merek kolektif sebenarnya terdiri dari merek dagang dan merek jasa, hanya saja penggunaan merek tersebut adalah secara kolektif. Di Belanda, penggunaan merek kolektif harus didaftarkan ke Kantor Merek Beneluks dan harus melampirkan pengaturan mengenai penggunaan dan pengawasan merek kolektif tersebut. Pengaturan ini harus berisi unsur-unsur yang umum dalam merek tersebut dan memberikan arti pengawasan yang layak dan sanksi yang layak untuk memastikan eksistensi unsur-unsur tersebut.22

2.1.3. Fungsi Merek

21Muhamad Djumhana, 2006,Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak

Kekayaan Intelektual, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 76


(37)

23

Fungsi dari merek adalah sebagai suatu tanda pembeda antara barang atau jasa milik satu pihak atau perusahaan, dengan barang atau jasa milik pihak atau perusahaan lain.

Selain itu merek juga berfungsi sebagai penjamin kualitas apabila merek dilekatkan pada produk asli yang diproduksi oleh pihak yang berhak.23 Suatu produsen yang dapat memberikan jaminan kualitas akan suatu produk barang atau jasa cenderung mampu membangun kepercayaan masyarakat sebagai konsumen walaupun harga jual barang atau jasa tersebut menjadi relatif lebih mahal. Merek juga berfungsi sebagai penunjuk asal produk di mana merek tampil sebagai representasi asal produsen24karena tidak semua merek mencantumkan kata “made in...” tetapi apabila suatu merek sudah terkenal dan diketahui asalnya dari masyarakat, maka masyarakat tentu sudah mengetahui asal merek tersebut.

2.1.4. Proses Pendaftaran Merek

Sistem dalam pendaftaran merek dibagi menjadi dua, diantaranya adalah sistem deklaratif dan sistem konstitutif (atributif). Dalam sistem deklaratif, yang berhak mendapatkan hak atas merek adalah pemakai pertama suatu merek, di mana yang menciptakan hak atas merek adalah pemakai pertama dan bukan pendaftar pertama. Hal ini dianggap kurang dapat memberikan kepastian hukum karena pendaftaran merek hanya memberikan suatu hak prasangka menurut

23Henry Soelistyo,Hak Kekayaan Intelektual. Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi, Jakarta,

Penaku, 2014, h.52


(38)

24

hukum25. Sementara dalam sistem konstitutif, siapa yang pertama mendaftarkan hak atas merek yang berhak atas merek tersebut. Dengan kata lain, pendaftaran tersebut yang menciptakan suatu hak atas merek.

Dalam Undang-undang Merek, sistem yang dianut adalah sistem konstitutif. Sistem ini telah dianut sejak pengaturan merek melalui Undang-undang merek sebelumnya yaitu Undang-Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997. Sebelumnya dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 pendaftaran merek menganut sistem deklaratif.

Dalam hal pendaftaran merek di Indonesia, terlebih dahulu harus diajukan permohonan yang merupakan permintaan pendaftaran merek yang diajukan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Merek.

Lebih lanjut diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang merek, permohonan pendaftaran merek dapat diajukan untuk lebih daripada satu kelas barang dan atau jasa dengan menyebutkan jenis barang/jasanya. Menurut Rahmi Jened, ketentuan tersebut mengacu kepada Trademark Law Treaty, yang bertujuan menyederhanakan peraturan lama yang menetapkan pendaftaran satu merek hanya untuk satu kelas barang atau jasa. Penyederhanaan ini dilakukan demi memudahkan pemilik merek dalam menggunakan mereknya untuk beberapa barang dan/atau jasa yang termasuk dalam beberapa kelas agar tidak direpotkan

25OK Saidin, 2015,Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property


(39)

25

oleh prosedur administrasi yang mengharuskan pengajuan permohonan secara terpisah bagi setiap kelas barang dan/atau jasa.26

Tata cara pendaftaran merek sendiri diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Merek, yang menentukan bahwa:

(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal dengan mencantumkan;

a. tanggal, bulan, dan tahun;

b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon;

c. nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa;

d. warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna;

e. nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas.

(2) Permohonan ditandatangani pemohon atau kuasanya.

(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.

(4) Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya.

(5) Dalam hal permohonan diajukan oleh lebih dari satu pemohon yang secara nbbersama-sama berhak atas merek tersebut, semua nama pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. (6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Permohonan

tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan.

(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui kuasanya, surat kuasa untuk itu ditanda tangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut.

(8) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.

(9) Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan tata cara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden.

2.1.5. Sistem Perlindungan Merek dan Jangka Waktu Perlindungan Merek


(40)

26

Perlindungan terhadap merek diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Merek yang menyatakan bahwa:

“Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada

pemilik merek yang dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan

izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.”

Dari aturan tersebut dapat dilihat bahwa pemilik hak atas merek (terdaftar) memiliki hak eksklusif untuk mencegah pihak-pihak lain selain dirinya tanpa izin darinya untuk kegiatan perdagangan. Lebih lanjut dapat dilihat dalam Pasal 16 TRIPs yang menyatakan bahwa:

“The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to

prevent all third parties not having the owner’s consent from using in the

course of trade identical or similar signs for goods and services which are identical or similar to those in respect of which the trademark is registered where such use would result in a likelihood of confusion. In case of the use of an identical sign for identical goods or services, a likelihood of confusion shall be presumed. The rights described above shall not prejudice any existing prior rights, nor shall they affect the possibility of Members making rights available on the basisof use.”

Dapat dilihat bahwa aturan tersebut sejalan dengan aturan dalam Pasal 3 Undang-Undang Merek, namun memberikan spesifikasi mengenai tanda yang digunakan, di mana pihak ketiga atau pihak lain tidak dapat menggunakan tanda yang sama/mirip, untuk barang dan jasa yang sama/mirip, di mana penggunaan tanda yang sama/mirip tersebut akan menimbulkan kebingungan.


(41)

27

Perlindungan hukum terhadap merek di Indonesia adalah melalui pendaftaran. Hal ini disebut dengan sistem konstitutif atau first to file system27.

Dalam sistem konstitutif, pendaftar pertamalah yang akan mendapatkan hak atas merek. Sistem ini lebih memberikan jaminan perlindungan hukum karena asumsi hukum yang timbul bahwa pemohon pertama yang mengajukan pendaftaran dengan iktikad baik adalah pihak yang berhak atas merek, sampai terbukti sebaliknya.28

Jangka waktu perlindungan merek diatur dalam Pasal 18 TRIPs yang menyatakan bahwa jangka waktu perlindungan merek baik yang baru didaftarkan maupun yang diperpanjang adalah selama 7 (tujuh) tahun, sementara Undang-Undang Merek Indonesia menetapkan jangka waktu yang lebih lama yaitu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan dapat diperpanjang yang diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Merek. Perpanjangan jangka waktu perlindungan merek diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 38 Undang-Undang Merek, di mana diatur bahwa merek yang telah didaftarkan dapat diperpanjang kembali pendaftarannya dan mendapatkan perlindungan selama 10 (sepuluh) tahun lebih lama dengan syarat permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi Merek terdaftar tersebut dan barang dan atau jasa yang menggunakan merek tersebut masih diproduksi dan diperdagangkan.

2.2. Pembuktian

27Rahmi Jened,Op. cit. h.144 28Ibid


(42)

28

2.2.1. Proses Pembuktian dalam Peradilan Perdata Umum

Dalam hukum Acara Perdata dikenal asas “siapa yang mendalikan suatu hak wajib membuktikan haknya tersebut” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 163 HIR/283 RBg, Ketentuan tersebut juga berlaku dalam hal perkara merek, di mana pihak penggugat harus membuktikan bahwa penggugat menderita kerugian karena perbuatan melanggar hukum tergugat.

Gugatan perbuatan melawan hukum dalam perkara merek tidak dapat digabungkan dengan permohonan pembatalan merek karena upaya hukumnya tunduk pada hukum acara perdata dan sebaiknya gugatan ganti rugi atas perbuatan melanggar hukum, didahului adanya putusan gugatan pembatalan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dalam perkara gugatan ganti rugi juga dapat dilakukan oleh pemilik merek terdaftar baik secara sendiri atau bersama-sama dengan pemilik merek yang bersangkutan dan Hakim dalam memeriksa gugatan dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan perdagangan barang dan jasa yang menggunakan merek secara tanpa hak atas permohonan pihak penggugat.

Permohonan untuk menghentikan penggunaan merek tersebut merupakan tuntutan provisi sebagaimana diatur dalam Pasal 10 HIR dan apabila tergugat dituntut menyerahkan barang yang menggunakan merek yang bukan haknya, hakim dapat memerintahkan penyerahan tersebut setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Adanya hubungan hukum antara penggugat dan tergugat tersebut harus dapat dibuktikan apabila penggugat menghendaki gugatannya untuk dikabulkan,


(43)

29

sebaliknya jika pengugat tidak berhasil membuktikan dalil yang menjadi dasar gugatannya, maka hakim akan menolak gugatan penggugat tersebut. Dalam prakteknya, tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, karena dalil-dalil yang tidak disangkal dan diakui oleh pihak tergugat tidak perlu untuk dibuktikan29.

Hakim yang memeriksa perkara tersebut dapat menentukan siapa di antara pihak - pihak yang berperkara akan dibebani pembuktian dan dalam hal ada pengakuan dengan klausula biasanya pihak tergugat dibebani pembuktian tentang klausulanya tersebut.

Ada beberapa alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 164 HIR yaitu:

a. bukti surat; b. bukti saksi; c. persangkaan; d. pengakuan; e. sumpah.

Alat bukti lain yang dapat digunakan ialah “pengetahuan hakim”, yang merupakan keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam sidang, misalnya hakim melihat saat melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang-barang milik penggugat yang dirusak oleh tergugat dan sampai seberapa jauh kerusakannya itu.

Dalam perkara perdata, bukti surat adalah bukti yang penting dan utama, terutama dalam lalu lintas perdagangan seringkali sengaja disediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila di kemudian hari timbul suatu perselisihan, di mana

29Riduan Syahrani, 2009,Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata,Citra Aditya Bakti,


(44)

30

bukti tersebut dapat berupa sehelai surat dan untuk penerimaan sejumlah barang, biasanya salah satu pihak harus menandatangani surat tanda penerimaan barang.

Surat dalam hukum acara perdata dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, dengan perkataan lain hukum acara perdata mengenal 3 (tiga) macam surat ialah :

a. surat biasa; b. akta otentik;

c. akta di bawah tangan.

Selain surat, dalam hukum acara perdata pembuktian dengan saksi merupakan hal yang penting, terutama untuk perjanjian - perjanjian dalam hukum adat yang pada umumnya dibuat tanpa adanya surat karena didasarkan kepada rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Maka dari itu para pihak akan berusaha untuk mengajukan saksi yang dapat membenarkan maupun menguatkan dalil-dalil yang diajukan dalam gugatan di muka persidangan.

Mengenai alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 152, Pasal 168 sampai dengan Pasal 172 HIR.

Pada lingkup hukum adat dikenal 2 (dua) macam saksi, yaitu30:

a. saksi yang tidak disengaja, yaitu saksi yang secara kebetulan melihat dan mendengar sendiri perbuatan hukum yang diperkarakan;

b. saksi yang disengaja, yaitu saksi yang pada waktu perbuatan hukum dilakukan telah diminta oleh para pihak untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut.

Selain saksi, alat bukti lainnya dalam hukum acara perdata adalah persangkaan yang diatur dalam Pasal 164 dan Pasal 173 HIR. Persangkaan adalah suatu kesimpulan yang ditarik dari peristiwa yang dikenal atau dianggap terbukti,

30Djamal, 2009,Hukum Acara Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Di Indonesia, Penerbit


(45)

31

dengan mana diketahui adanya suatu peristiwa yang tidak dikenal. Apabila yang menarik kesimpulan adalah undang-undang maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan undang-undang, dan apabila yang menarik kesimpulan adalah hakim maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan hakim.

Alat bukti lainnya adalah pengakuan, yang diatur dalam Pasal 174 sampai dengan Pasal 176 HIR. Pengakuan merupakan keterangan baik tertulis maupun tidak tertulis yang membenarkan peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang dikemukakan pihak lawan. Pengakuan dapat dibagi atas dua macam yaitu pengakuan yang dilakukan di depan sidang pengadilan dan pengakuan yang dilakukan di luar sidang pengadilan.

Menurut ketentuan Pasal 174 HIR, pengakuan merupakan bukti yang sempurna terhadap siapa yang melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan orang lain yang telah mendapat kuasa khusus untuk itu. Dengan demikian maka apabila salah satu pihak mengakui apa yang didalilkan oleh pihak lawan, maka tidak perlu lagi dilakukan pembukyian karena dengan pengakuan tersebut sudah cukup untuk membuktikan peristiwa atau hubungan hukum yang menimbulkan hak baginya. Pengakuan yang dilakukan didepan sidang pengadilan tidak dapat ditarik kembali kecuali jika terbukti bahwa pengakuan tersebut adalah akibat suatu kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi, yang bukan karena kekeliruan tentang hubungannya, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1926 ayat (2) BW.

Pengakuan yang dilakukan diluar persidangan tidak merupakan bukti yang mengikat, tetapi meriupakan bukti bebas, sebagaimana diamanatkan Pasal 175


(46)

32

HIR. Apabila pengakuan tersebut dilakukan secara tertulis maka tulisan tersebut juga dapat dijadikan alat bukti surat bukan akta yang mempunyai kekuatan bebas. Pengakuan diluar persidangan dapat ditarik kembali.

Dalam hukum acara dikenal juga bukti sumpah yang terdiri dari 2 (dua) macam sumpah, diantaranya adalah sumpah yang dibebankan oleh hakim dan sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan. Suatu keterangan yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah keterangan yang benar dan bahwa orang yang disumpa tidak akan berani berbohong, oleh karena apabila ia memberikan keterangan yang bohong, ia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Takut akan adanya hukuman yang berat tersebut, dikira oleh hukum, bahwa orang akan tidak bersedia untuk mengangkat sumpah yang dibebankan kepadanya itu, apabila hal yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah tidak benar.

Ketentuan Pasal 177 HIR menyebutkan, bahwa apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah dimaksud. Pasal 155 HIR mengatur perihal sumpah penambah, yang menyatakan:

“jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan melawan gugatan itu tidak menjadi terang secukupnya, akan tetapi keterangan tidak sama sekali ada dan tiada kemungkinan akan meneguhkan dia dengan upaya keterangan yang lain, dapatlah Pengadilan Negeri karena jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah di hadapan hakim, supaya dengan itu keputusan perkara didapatkan, atau supaya dengan itu jumlah uang yang akan diperkenankan, dapat ditentukan.”

Pengadilan Negeri harus menentukan jumlah uang, yang sehingga jumlah mana si penggugat dapat dipercaya karena sumpahnya. Berdasarkan redaksi ayat (1) di atas ternyata, bahwa sehubungan dengan sumpah penambah harus sudah


(47)

33

ada bukti, tetapi bukti tersebut belum lengkap, belum sempurna, oleh karena itu ditambah dengan bukti yang lain. Dalam upaya mendapatkan bukti yang lain sudah tidak mungkin lagi, dengan lain perkataan bukti yang sudah ada dan belum cukup itu, tidak bisa ditambah dengan bukti yang lain.

Karena sumpah tersebut untuk melengkapi, menambah bukti yang belum lengkap itu, maka sumpah tersebut dinamakan sumpah penambah (suppletoire eed) . Mahkamah Agung dalam putusan tertanggal 17 Oktober 1962 No. 213 K/Sip/1962 menyatakan, bahwa :

“sumpah tambahan justru untuk menambah suatu pembuktian, yang

menurut undang - undang belum sempurna, agar menjadi

sempurna.Sumpah penambah dibebankan oleh hakim karena jabatannya, hal itu berarti bahwa hakim yang menentukan sendiri, apakah ia akan menambah pembuktian yang telah ada, akan tetapi belum cukup itu, dengan sumpah penambah atau tidak. Apabila hakim menganggap perlu, maka ia bebas untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah.”

Dalam prakteknya adalah tidak wajar, bahwa pihak yang bersangkutan sendiri meminta kepada hakim agar ia diperkenankan menambah bukti yang telah ada dan belum cukup itu dengan sumpah penambah, melainkan hanya hakim sendiri yang, tanpa ada permintaan dari pihak yang bersangkutan, karena jabatan, akan memerintahkan sumpah tersebut.

Pembebanan sumpah penambah kepada pihak yang bersengketa adalah suatu kebijaksanaan hakim, dengan lain perkataan hakim sama sekali tidak berkewajiban untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah, sehingga tidak adanya kewajiban itu, apabila hakim yakin, bahwa pihak yang akan dibebani sumpah penambah itu akan melakukan sumpah palsu, maka ia tidak


(48)

34

akan memerintahkan kepada pihak tersebut untuk mengangkat sumpah, melainkan ia akan menolak gugatan tersebut.

Ketentuan Pasal 156 HIR mengatur perihal sumpah pemutus.atau sumpah decisoir memutuskan persoalan, menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan, sehingga sumpah tersebut juga disebut sumpah penentu.

Bertolak dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa proses pembuktian dlam perkara merek yang terkait dengan tuntutan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, menggunakan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam HIR.

2.2.2. Pelanggaran Merek dan Proses Pembuktian di Pengadilan Niaga

Apabila terjadi pelanggaran merek yang dilakukan oleh pihak lain, maka berdasarkan aturan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Merek, pemilik Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya untuk barang dan atau jasa sejenis berupa gugatan ganti rugi, dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga (Pasal 76 ayat (2)).

Gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut dapat dianggap wajar, karena merugikan


(49)

35

pemilik merek secara materiil dan imateriil.31 Kerugian materiil yang diderita pemilik merek dapat berupa kerugian finansial karena pelanggaran merek yang dilakukan oleh pihak lain, yang menyebabkan berkurangnya keuntungan yang seharusnya didapatkan dari penjualan barang dan/atau jasa milik pemilik merek yang dilanggar haknya. Namun kerugian imateriil yang diderita pemilik merek cenderung lebih besar karena dapat merusak citra baik merek yang telah dibangun sejak lama, di mana kualitas dari barang dan/atau jasa produksi pemilik merek yang sah tentu saja berbeda dengan produksi pihak pengguna merek tanpa hak tersebut.

Pada prinsipnya, pelanggaran merek dapat dikategorikan dalam tiga area utama yaitu:32

a. Pelanggaran yang menyebabkan persamaan yang membingungkan mengenai sumber, sponsor, afiliasi atau koneksi.

b. Pemalsuan dengan penggunaan merek yang secara substansial tidak dapat dibedakan yang dipersyaratkan untuk pemulihan tiga kali lipat dari jumlah kerugian sebenarnya sebagaimana dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan dan untuk penuntutan pidana.

c. Dilusi merek yang mengurangi kapasitas sebuah merek terkenal untuk mengidentifikasikan dan membedakan barang atau jasanya, terkait dengan persaingan atau persamaan yang membingungkan.

Dalam Undang-Undang Merek, hanya diatur mengenai tata cara pengajuan gugatan ke Pengadilan Niaga, tetapi tidak diatur mengenai tata cara pembuktian dalam proses peradilan perkara sengketa merek. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia juga belum diatur mengenai Pengadilan Niaga. Hal ini dapat ditemukan dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, yang menyatakan bahwa tata cara pemeriksaan persidangan perkara

31Ahmadi Miru, 2005,Hukum Merek: Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang

Merek, Jakarta, RajaGrafindo Persada, h. 93


(50)

36

HKI adalah sesuai dengan tata cara pemeriksaan perkara perdata biasa. Proses peradilan perdata sendiri masih mengacu kepada HIR (Reglemen Indonesia yang diperbaharui) peninggalan kolonial sebagai dasar hukum beracaranya. Oleh sebab itu, maka pembuktian dalam perkara sengketa merek sama dengan pembuktian acara perdata biasa.

Terhadap keputusan pengadilan niaga tidak dapat diajukan banding, tetapi dapat diajukan langsung kasasi. Hal ini dapat lebih mempermudah dan mempercepat keputusan yang sangat diperlukan bagi dunia bisnis pada umumnya.33

2.2.3. Delik Dalam Merek

Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Merek terdapat dalam Pasal 90 sampai dengan Pasal 95, di mana tindak pidana dalam merek merupakan delik aduan (Pasal 95 Undang-Undang Merek). Dalam hukum pidana, delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut apabila diadukan oleh pihak yang merasa dirugikan dengan cara membuat pengaduan kepaada pihak yang berwenang.

Pengaduan adalah suatu pernyataan tegas baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, dari seseorang yang berhak (pengadu) yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau pejabat penyidik (Kepolisian Republik Indonesia) tentang telah diperbuatnya suatu tindak pidana oleh seseorang, dengan disertai permintaan agar

33Abdul R. Saliman, 2015,Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,


(51)

37

dilakukan pemeriksaan untuk selanjutnya dilakukan penuntutan ke pengadilan yang berwenang.34

34Adami Chazawi, 2002,Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta, RajaGrafindo Persada, h.


(1)

HIR. Apabila pengakuan tersebut dilakukan secara tertulis maka tulisan tersebut juga dapat dijadikan alat bukti surat bukan akta yang mempunyai kekuatan bebas. Pengakuan diluar persidangan dapat ditarik kembali.

Dalam hukum acara dikenal juga bukti sumpah yang terdiri dari 2 (dua) macam sumpah, diantaranya adalah sumpah yang dibebankan oleh hakim dan sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan. Suatu keterangan yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah keterangan yang benar dan bahwa orang yang disumpa tidak akan berani berbohong, oleh karena apabila ia memberikan keterangan yang bohong, ia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Takut akan adanya hukuman yang berat tersebut, dikira oleh hukum, bahwa orang akan tidak bersedia untuk mengangkat sumpah yang dibebankan kepadanya itu, apabila hal yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah tidak benar.

Ketentuan Pasal 177 HIR menyebutkan, bahwa apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah dimaksud. Pasal 155 HIR mengatur perihal sumpah penambah, yang menyatakan:

“jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan melawan gugatan itu tidak menjadi terang secukupnya, akan tetapi keterangan tidak sama sekali ada dan tiada kemungkinan akan meneguhkan dia dengan upaya keterangan yang lain, dapatlah Pengadilan Negeri karena jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah di hadapan hakim, supaya dengan itu keputusan perkara didapatkan, atau supaya dengan itu jumlah uang yang akan diperkenankan, dapat ditentukan.”

Pengadilan Negeri harus menentukan jumlah uang, yang sehingga jumlah mana si penggugat dapat dipercaya karena sumpahnya. Berdasarkan redaksi ayat (1) di atas ternyata, bahwa sehubungan dengan sumpah penambah harus sudah


(2)

ada bukti, tetapi bukti tersebut belum lengkap, belum sempurna, oleh karena itu ditambah dengan bukti yang lain. Dalam upaya mendapatkan bukti yang lain sudah tidak mungkin lagi, dengan lain perkataan bukti yang sudah ada dan belum cukup itu, tidak bisa ditambah dengan bukti yang lain.

Karena sumpah tersebut untuk melengkapi, menambah bukti yang belum lengkap itu, maka sumpah tersebut dinamakan sumpah penambah (suppletoire eed) . Mahkamah Agung dalam putusan tertanggal 17 Oktober 1962 No. 213 K/Sip/1962 menyatakan, bahwa :

“sumpah tambahan justru untuk menambah suatu pembuktian, yang menurut undang - undang belum sempurna, agar menjadi sempurna.Sumpah penambah dibebankan oleh hakim karena jabatannya, hal itu berarti bahwa hakim yang menentukan sendiri, apakah ia akan menambah pembuktian yang telah ada, akan tetapi belum cukup itu, dengan sumpah penambah atau tidak. Apabila hakim menganggap perlu, maka ia bebas untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah.”

Dalam prakteknya adalah tidak wajar, bahwa pihak yang bersangkutan sendiri meminta kepada hakim agar ia diperkenankan menambah bukti yang telah ada dan belum cukup itu dengan sumpah penambah, melainkan hanya hakim sendiri yang, tanpa ada permintaan dari pihak yang bersangkutan, karena jabatan, akan memerintahkan sumpah tersebut.

Pembebanan sumpah penambah kepada pihak yang bersengketa adalah suatu kebijaksanaan hakim, dengan lain perkataan hakim sama sekali tidak berkewajiban untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah, sehingga tidak adanya kewajiban itu, apabila hakim yakin, bahwa pihak yang akan dibebani sumpah penambah itu akan melakukan sumpah palsu, maka ia tidak


(3)

akan memerintahkan kepada pihak tersebut untuk mengangkat sumpah, melainkan ia akan menolak gugatan tersebut.

Ketentuan Pasal 156 HIR mengatur perihal sumpah pemutus.atau sumpah decisoir memutuskan persoalan, menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan, sehingga sumpah tersebut juga disebut sumpah penentu.

Bertolak dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa proses pembuktian dlam perkara merek yang terkait dengan tuntutan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, menggunakan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam HIR.

2.2.2. Pelanggaran Merek dan Proses Pembuktian di Pengadilan Niaga

Apabila terjadi pelanggaran merek yang dilakukan oleh pihak lain, maka berdasarkan aturan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Merek, pemilik Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya untuk barang dan atau jasa sejenis berupa gugatan ganti rugi, dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga (Pasal 76 ayat (2)).

Gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut dapat dianggap wajar, karena merugikan


(4)

pemilik merek secara materiil dan imateriil.31 Kerugian materiil yang diderita pemilik merek dapat berupa kerugian finansial karena pelanggaran merek yang dilakukan oleh pihak lain, yang menyebabkan berkurangnya keuntungan yang seharusnya didapatkan dari penjualan barang dan/atau jasa milik pemilik merek yang dilanggar haknya. Namun kerugian imateriil yang diderita pemilik merek cenderung lebih besar karena dapat merusak citra baik merek yang telah dibangun sejak lama, di mana kualitas dari barang dan/atau jasa produksi pemilik merek yang sah tentu saja berbeda dengan produksi pihak pengguna merek tanpa hak tersebut.

Pada prinsipnya, pelanggaran merek dapat dikategorikan dalam tiga area utama yaitu:32

a. Pelanggaran yang menyebabkan persamaan yang membingungkan mengenai sumber, sponsor, afiliasi atau koneksi.

b. Pemalsuan dengan penggunaan merek yang secara substansial tidak dapat dibedakan yang dipersyaratkan untuk pemulihan tiga kali lipat dari jumlah kerugian sebenarnya sebagaimana dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan dan untuk penuntutan pidana.

c. Dilusi merek yang mengurangi kapasitas sebuah merek terkenal untuk mengidentifikasikan dan membedakan barang atau jasanya, terkait dengan persaingan atau persamaan yang membingungkan.

Dalam Undang-Undang Merek, hanya diatur mengenai tata cara pengajuan gugatan ke Pengadilan Niaga, tetapi tidak diatur mengenai tata cara pembuktian dalam proses peradilan perkara sengketa merek. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia juga belum diatur mengenai Pengadilan Niaga. Hal ini dapat ditemukan dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, yang menyatakan bahwa tata cara pemeriksaan persidangan perkara

31Ahmadi Miru, 2005,Hukum Merek: Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang

Merek, Jakarta, RajaGrafindo Persada, h. 93


(5)

HKI adalah sesuai dengan tata cara pemeriksaan perkara perdata biasa. Proses peradilan perdata sendiri masih mengacu kepada HIR (Reglemen Indonesia yang diperbaharui) peninggalan kolonial sebagai dasar hukum beracaranya. Oleh sebab itu, maka pembuktian dalam perkara sengketa merek sama dengan pembuktian acara perdata biasa.

Terhadap keputusan pengadilan niaga tidak dapat diajukan banding, tetapi dapat diajukan langsung kasasi. Hal ini dapat lebih mempermudah dan mempercepat keputusan yang sangat diperlukan bagi dunia bisnis pada umumnya.33

2.2.3. Delik Dalam Merek

Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Merek terdapat dalam Pasal 90 sampai dengan Pasal 95, di mana tindak pidana dalam merek merupakan delik aduan (Pasal 95 Undang-Undang Merek). Dalam hukum pidana, delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut apabila diadukan oleh pihak yang merasa dirugikan dengan cara membuat pengaduan kepaada pihak yang berwenang.

Pengaduan adalah suatu pernyataan tegas baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, dari seseorang yang berhak (pengadu) yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau pejabat penyidik (Kepolisian Republik Indonesia) tentang telah diperbuatnya suatu tindak pidana oleh seseorang, dengan disertai permintaan agar

33Abdul R. Saliman, 2015,Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,


(6)

dilakukan pemeriksaan untuk selanjutnya dilakukan penuntutan ke pengadilan yang berwenang.34

34Adami Chazawi, 2002,Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta, RajaGrafindo Persada, h.