Kepedulian akan kesehatan belumlah menjadi suatu keharusan bagi Sumartini. Sumartini berpendapat bahwa sakit dan sehat itu diatur Tuhan, bila
memang ajal maka itulah yang terjadi. Tentang profesinya yang beresiko akan penyakit kulit dan pernafasan karena penyemprotan hama pun tidak terlalu menjadi
momok menakutkan baginya, entah karena bagian dari depsresinya atau ketidaktahuannya sulit didefinisikan. Bilamana sakit Sumartini menuturkan paling ia
dan suami akan membeli obat dari warung dan bila sakit nya tidak kunjung sembuh maka ia kan pergi kebidan terdekat. Untuk asuransi dan sejenisnya Sumartini
mengaku tidak mengikuti, bahkan meskipun pemerintah telah mengeluarkan program asuransi kesehatan. Sumartini bercerita ia pernah hendak mengurusnya, namun
terkendala pada administrasi yang membuat Sumartini merasa malah semakin menambah pengeluaran.
Sumartini dalam kehidupan bertetangganya masih tergolong normal. Ia tetap mau berbaur dengan tetangga sekitar meskipun tidak terlalu aktif. Bila ada
kesempatan bertemu ia tetap bertegur sapa, atau bila ada kesempatan tertentu Sumartini tetap berusaha menghadirinya.
5.2.3 Informan Utama III Laki-laki
Informan bernama Herman berumur 32 tahun beragama kristen, berstatus lajang atau belum menikah. Pendidikan terakhir Herman hanya tingkat Sekolah
Menengah Pertama. Herman memilih pekerjaan ini karena tidak ada pilihan lagi, Herman mengakui tidak ada ketrampilan. Pekerjaan sampingan Herman adalah
menjual rokok dan minuman. Sekitar 13 tahun yang lalu Herman datang ke medan dengan berpengharapan
akan mendapat kehidupan yang lebih baik dari pada tinggal di kampung. Saat itu
Herman telah tamat pendidikan di tingkat SMP dan sedang menganggur. Herman lontang-lantung kesana-kemari mencari pekerjaan yang belum jelas. Memasuki tahun
kelima tinggal didaerah kelurahan Muliorejo, dia masih belum memiliki penghasilan dan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti yang
disebutkan dalam kamus ekonomi, uang yang diterima oleh seorang dalam bentuk gaji, upah, sewa, bunga dan lainnya.
Akibat besarnya pengaruh pendapatan dalam melangsungkan kehidupan sehari-hari dalam kebutuhan hidup memaksa Herman untuk bekerja. Herman sempat
mengecap pendidikan hingga SMA namun putus ditengah jalan karna biaya yang tidak cukup. Ia pun tidak memiliki skill yang memadai untuk menambah
penghasilan. Kebutuhan yang mendesak terutama karena ibunya yang sakit membuat Herman akhirnya harus mau tak mau bekerja sebagai buruh harian lepas supaya
dapat mengirim uang kekampung. Herman telah bekerja sebagai buruh harian lepas kurang lebih 5 tahun. Suka
duka dalam menjalani pekerjaan ini telah banyak ia alami dan pelajari mulai dari upah yang hanya Rp 15.000 dalam sehari, digigit serangga. Namun ia tetap bertahan
menjadi buruh harian lepas karena merasa ini merupakan pekerjaan yang mudah dan cukup membiayai kehidupannya. Herman awalnya ikut menjadi buruh harian lepas
ini karena ajakan temannya. Herman menuturkan awal ia terjun dalam pekerjaan ini karena kekhawatirannya terhadap nasib ibunya yang sakit yang sedang
membutuhkan uang untuk biaya perobatan. Dalam menjalankan pekerjaannya apabila ada pekerjaan Herman hampir tiap
harinya bekerja kurang lebih 10 jam, sehingga mendapat penghasilan Rp. 50.000 dan makan siang ditanggung oleh mandor yang bila ia totalkan mencapai 1 juta dalam
sebulan. Dalam penuturannya Herman menyebutkan dalam pemenuhan sandang ia hanya membeli baju untuk keluarganya sekali dalam setahun, yakni saat Natal. Pada
pemenuhan sandang untuk kesehariannya Herman membeli pakaian bekas monza dari sambu.
Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pangan dalam menjalani kehidupannya, seperti halnya pada Herman. Dalam pemenuhan kebutuhan
pangannya komposisi makanan Herman tergolong sederhana, yakni makan 3x sehari dengan lauk tahu tempe atau ikan basah menjadi menu utama. Meskipun demikian
Herman juga tidak lupa untuk menyajikan lauk daging hanya saja penyajian tersebut saat-saat tertentu, seperti hari besar dan moment pertemuan..
Walaupun berpendapatan tergolong rendah kebutuhan akan perumahan tetap menjadi prioritas dalan kehidupan Herman. Herman tinggal dalam sebuah rumah
sederhana yang dikontrak disebuah daerah pinggiran sungai di desa Paya Bakung. Rumah yang ditempati memiliki kamar berjumlah 1 dengan lantai semen, dinding
batako serta dapur kecil. Rumah mereka telah dialiri listrik yang dibayar tiap bulan. Untuk fasilitas rumah, Herman pun tergolong sangat sederhana. Peralatan elektronik
yang dimiliki hanya sekedar perlengkapan elektronik pembantu aktifitas memasak seperti blender dan penanak nasi magic com serta TV kecil berukuran 14” dan
handphone merek China yang biasa Herman gunakan sebagai alat komunikasi
sehari-harinya. Berbicara tentang kesehatan pun Herman tidak terlalu menganggap sebagi
kebutuhan yang harus dipenuhi dengan asuransi atau semacamnya. Ia masih berfikiran tradisional yakni berobat bila sakit dan dengan pengobatan ala kadarnya
juga. Bilamana sakit Herman hanya mengkonsumsi obat yang tersedia diwarung dan
bila penyakitnya tidak kunjung sembuh maka Herman pergi ke bidan terdekat. Untuk mengkuti asuransi Herman memilih untuk tidak mengurusnya karena ia beranggapan
sulit mendapatkan dan mengurusnya karena terbentur dengan masalah administarasi yang nanti malah akan menambah pengeluaran Herman.
Menjadi laki-laki yang lajang berperan ganda dan mencari nafkah tambahan bagi keluarga menjadi beban tertentu dalam kehidupan Herman, apabila mau makan,
makan seniri. Mau nyuci pakaian cuci sendiri. Hal ini terutama dialaminya ketika berbaur dengan tetangga yang dimana ia sebisa mungkin harus ramah agar tetangga
mau membantu Herman apabila dalam kesusahan. bertegur sapa dengan tetangga serta berusaha untuk tetap hadir dalam acara yang kira-kira bisa dikutkan oleh
Herman semisal acara persekutuan doa, menikah, dan organisasi pemuda.
5.2.4 Informan Tambahan Laki-laki