Śrīwijaya Kerajaan Bercorak Hindu-Buddha di Indonesia
42
sekitar Palembang oleh Dapunta Hyaŋ dan pendirian ibukota baru atau ibukota kedua di tempat ini.
Prasasti lain yang penting adalah Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Pulau Bangka dan berangka tahun 608 S 686 M. Kata
rīwijaya dijumpai pertama kali di dalam prasasti ini. Keterangan yang penting adalah mengenai
usaha rīwijaya untuk menaklukkan bhumi Jawa yang tidak tunduk kepada
rīwijaya. Coedes berpendapat bahwa pada saat prasasti ini dibuat, tentara rīwijaya baru saja berangkat untuk berperang melawan Jawa yaitu kerajaan
Tāruma. Prasasti lain yang ditemukan di Palembang adalah prasasti Talang Tuo dan Telaga Batu. Sementara di Jambi ditemukan prasasti Karang Brahi dan di
Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah. Prasasti ini pada umumnya dipandang sebagai pernyataan kekuasaan
rīwijaya. Satu hal yang menjadi perdebatan bagi para ahli adalah lokasi Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti dan berita Cina, Coedes berpendapat bahwa Palembang adalah lokasi ibukota Sriwijaya. Pendapat ini mendapat dukungan dari Nilakanta
Sastri, Poerbatjaraka, Slamet Mulyana, Wolters, dan Bronson. Namun Bosch dan Majumdar berpendapat bahwa
rīwijaya harus dicari di pulau Jawa atau di daerah Ligor. Sementara Quaritch Wales dan Rajani menempatkan
rīwijaya di Chaiya atau Perak. Berdasarkan rekonstruksi peta, berita Cina dan Arab, Moens
sampai pada kesimpulan bahwa rīwijaya mula-mula berpusat di Kedah
kemudian berpindah ke Muara Takus. Selanjutnya Soekmono melalui penelitian geomorfologi berkesimpulan bahwa Jambi sebagai pusat lokasi
rīwijaya. Sedangkan Boechari berpendapat bahwa sebelum tahun 682 M ibukota
rīwijaya ada di daerah Batang Kuantan, setelah tahun 682 M berpindah ke Mukha Upang di daerah Palembang Soekatno, 201013.
Dari peningggalan prasasti dan berita Cina dapat diketahui kebijakan penguasa
rīwijaya. Kerajaan rīwijaya adalah sebuah kerajaan maritim yang besar dan terlibat dalam perdagangan internasional.
rīwijaya lebih mengembangkan suatu tradisi diplomasi dan kekuatan militer untuk melakukan
13 Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa secara geomorfologis pada awal masehi semenanjung malaya masih menyatu dengan pulau Bangka dan Belitung, serta Sumatra
masih belum sebesar sekarang sehingga penempatan Palembang sebagai ibukota dapat beralasan karena berada di mulut botol selat malaka sehingga sebagai bandar
dagang sangat strategis Daldjoeni, 1984. Manguin secara arkeologis kemudian dapat memperlihat bahwa ibukota ini telah berpindah dari Palembang ke Jambi Munoz, 2009
43
gerakan ekspedisioner. Disamping prasati-prasasti yang berisi pujian kepada dewa-dewa dan pelaksanaan suatu keputusan raja, sejumlah prasasti
menunjukkan pada birokrasi dan berbagai aturan untuk menjamin ketenangan dalam negeri. Hubungan antara
rīwijaya dengan negeri di luar Indonesia bukan hanya dengan Cina tapi juga dengan India. Sebuah prasasti raja Dewapaladewā
dari Benggala India pada abad IX M menyebutkan tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh raja Balaputradewā, raja rīwijaya yang menganut agama
Buddha. Hal ini didukung berita dari I-tsing yang mengatakan bahwa rīwijaya
adalah pusat kegiatan agama Buddha.