asesmen tes hasil belajar

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). SKL adalah kualifikasi kemampuan lulusan peserta didik yang mencakup aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, SKL yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, yang meliputi kompetensi seluruh mata pelajaran. Jadi, kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang mengikuti SKL dalam KTSP adalah penilaian. Penilaian menjadi penting karena berfungsi sebagai alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional, memberikan umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar, dan dasar untuk menyusun kemajuan belajar siswa (Murtiyasa, 2001). Penilaian yang dilakukan oleh guru dapat mendeskripsikan kecakapan belajar siswa, mengetahui keberhasilan proses pengajaran, menentukan tindak lanjut hasil penilaian, dan pertanggungjawaban pendidikan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat luas telah menyerahkan sebagian besar pekerjaan mengases dan mengevaluasi pertumbuhan dan potensi peserta didik kepada sekolah dan guru. Seberapa baik kinerja siswa pada berbagai tes, nilai yang mereka terima, dan penentuan yang dibuat guru tentang potensi mereka memiliki konsekuensi jangka panjang yang penting bagi siswa. Keputusan tersebut menentukan siapa yang bisa kuliah di perguruan tinggi, tipe perguruan tinggi apa yang cocok untuk mereka, pekerjaan pertama apa yang tepat bagi mereka, dan gaya hidup apa yang akan mereka sandang. Persepsi yang stabil tentang self worth (percaya diri) dan self esteem (harga diri) juga bisa merupakan akibat cara siswa dievaluasi di sekolah. Untuk alasan inilah mengapa diantara semua aspek kepemimpinan pengajaran, mengases, dan mengevaluasi


(2)

pertumbuhan dan potensi siswa memiliki pengaruh paling besar. Guru-guru yang tidak menganggap serius aspek pekerjaan ini dapat membawa kerugian besar pada siswanya.

Keberhasilan proses belajar mengajar di kelas dapat dilihat dari sejauh mana penguasaan kompetensi yang telah dikuasai oleh seluruh siswa di kelas itu. Keberhasilan ini selalu dikaitkan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Oleh sebab itu, sangat penting dilakukan evaluasi. Komponen ini untuk mengukur apakah tujuan yang telah dirumuskan dan diajarkan melalui pembelajaran sudah tercapai atau belum. Dengan demikian evaluasi merupakan alat ukur ketercapaian tujuan.

Pada umumnya pendidik dalam menyusun sebuah tes atau instrumen untuk mengukur keberhasilan proses belajar siswa kurang memperhatikan prosedur penyusunan yang benar, sehingga sering dijumpai alat ukur itu validitas dan reliabilitasnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Santyasa, (2005) mengungkapkan beberapa alasan mengapa pengkonstruksian tes sebagai alat ukur kompetensi siswa sering tidak mengikuti prosedur yang benar, yaitu (1) guru tidak selalu memahami atau mengabaikan arti pentingnya evaluasi yang tepat, (2) guru tidak siap mengenai metode untuk menganalisis tes, dan (3) guru mungkin merasakan bahwa analisis tes tersebut terlalu banyak menghabiskan waktu. Jika hal ini terjadi, berarti konsep keefektifan tes tidak menjadi perhatian para guru, sehingga keputusan yang ditetapkan berdasarkan tes yang dibuatnya boleh jadi tidak mampu menggambarkan keputusan yang benar.

Untuk mewujudkan profesionalitas guru dalam mengevaluasi peserta didiknya, maka makalah ini akan membahas tentang definisi tes, macam-macam tes, syarat-syarat tes yang baik, serta cara mengkonstruksi tes. Hal yang perlu dihayati ialah kemampuan menyusun butir soal dengan baik tidak hanya bersifat pengetahuan atau pemahaman, tetapi lebih berupa keterampilan. Bahkan untuk mencapai tahap mahir dalam kemampuan mengkonstruksi soal, maka aspek kiat akan mempunyai peran yang penting. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai teknik konstruksi tes hasil belajar.


(3)

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, adapun permasalahan yang dikaji pada makalah ini, sebagai berikut.

1. Bagaimanakah penilaian ranah kognitif dalam sains?

2. Apakah yang dimaksud dengan tes, jenis-jenis tes, dan kegunaan tes hasil belajar?

3. Apakah dasar-dasar penyusunan tes hasil belajar?

4. Bagaimanakah langkah-langkah penyusunan tes hasil belajar? 5. Bagaimanakah penyusunan kisi-kisi tes hasil belajar?

6. Bagaimanakah cara pengkonstruksian tes hasil belajar?

7. Bagaimanakah validitas isi dan uji statistik dalam pengkonstruksian tes hasil belajar?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini, sebagai berikut:

1. Untuk memahami penilaian ranah kognitif (pemahaman konsep, miskonsepsi, dan berpikir tingkat tinggi) dalam sains.

2. Untuk mengetahui pengertian tes, jenis-jenis tes, dan kegunaan tes hasil belajar.

3. Untuk mengetahui dasar-dasar penyusunan tes hasil belajar. 4. Untuk memahami langkah-langkah penyusunan tes hasil belajar. 5. Untuk memahami penyusunan kisi-kisi tes hasil belajar hasil belajar. 6. Untuk memahami cara pengkonstruksian tes hasil belajar.

7. Untuk memahami validitas isi dan uji statistik dalam pengkonstruksian tes hasil belajar.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang bisa diperoleh dalam penulisan makalah ini, yaitu makalah ini dapat memberikan informasi mengenai penilaian ranah kognitif, konstruksi tes, dan uji statistik dalam pengonstruksian tes. Selain itu, informasi yang diperoleh dari makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau pedoman oleh guru dalam melakukan assesmen di kelas.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Penilaian Ranah Kognitif dalam Sains

Prinsip atau dasar pertama dalam mengkonstruksi butir soal adalah soal tersebut harus mampu mengukur apa yang telah dipelajari siswa sesuai dengan


(4)

tujuan pembelajaran. Prinsip ini harus mengacu pada tujuan pembelajaran yang ada dalam setiap kegiatan pembelajaran. Kajian dalam makalah ini lebih diarahkan pada rujukan taksonomi tujuan pendidikan menurut Bloom yang direvisi oleh Anderson & Krathwohl, (2001) pada ranah kognitif terdiri atas enam tingkatan, yaitu C1 (Mengingat), C2 (Memahami), C3 (Mengaplikasikan), C4 (Menganalisis), C5 (Mengevaluasi), dan C6 (Mencipta). Penjelasan mengenai keenam tingkatan ini diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penilaian Ranah Kognitif menurut Taksonomi Bloom

Tingkatan Ranah Kognitif Bloom Aspek

C.1. Mengingat (Remember)  Mengenali (recognizing)  Mengingat (recalling) C.2. Memahami (Understand)  Menafsirkan (interpreting)

 Memberi contoh (exampliying)  Meringkas (summarizing)  Menarik inferensi (inferring)  Membandingkan (compairing)  Menjelaskan (explaining) C.3. Mengaplikasikan (Apply)  Menjalankan (executing)

 Mengimplementasikan (implementing)

C.4. Menganalisis (Analyze)  Menguraikan (diffrentiating)  Mengorganisir (organizing)  Menemukan makna tersirat

(attributing)

C.5. Evaluasi (Evaluate)  Memeriksa (checking)  Mengritik (Critiquing) C.6. Membuat (Create)  Merumuskan (generating)

 Merencanakan (planning)  Memproduksi (producing)

(diadaptasi dari: Anderson 2001) Adapun kata kerja operasional setiap ranah kognitif yang bisa digunakan sebagai pedoman dalam mengkonstruksi soal, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Daftar kata kerja operasional berdasarkan taksonomi Bloom

Mengingat Memahami Mengaplikasikan Menganalisis Mengevaluasi Membuat

Mengutip Menyebutkan Menjelaskan Menggambar

Memperkirakan Menjelaskan Mengkategorikan Mencirikan

Menugaskan Mengurutkan Menentukan Menerapkan

Menganalisis Mengaudit Memecahkan Menegaskan

Membandingkan Menyimpulkan Menilai Mengarahkan

Mengabstraksi Mengatur Menganimasi Mengumpulkan


(5)

Membilang Mengidentifikasi Mendaftar Menunjukkan Memberi label Memberi indeks Memasangkan Menamai Manandai Membaca Menyadari Menghafal Meniru Mencatat Mengulang Mereproduksi Meninjau Memilih Menyatakan Mempelajari Memberi kode Menelusuri Menulis Merinci Mengasosiasikan Membandingkan Menghitung Mengkontraskan Mengubah Mempertahankan Menguraikan Menjalin Membedakan Mendiskusikan Menggali Mencontohkan Menerangkan Mengemukakan Mempolakan Memperluas Menyimpulkan Meramalkan Merangkum Menjabarkan Menyesuaikan Mengkalkulasi Memodifikasi Mengklasifiksi Menghitung Membangun Mengurutkan Membiasakan Mencegah Menggambarkan Menggunakan Menilai Melatih Menggali Mengemukakan Mengadaptasi Menyelidiki Mengoperasikan Mempersoalkan Mengkonsepkan Melaksanakan Meramalkan Memproduksi Memproses Mengaitkan Menyusun Mensimulasikan Memecahkan Melakukan Mentabulasi Mendeteksi Mendiagnosis Menyeleksi Memerinci Menominasikan Mendiagramkan Mengkorelasikan Merasionalkan Menguji Mencerahkan Menjelajah Membagankan Menyimpulkan Menemukan Menelaah Memaksimalkan Memerintahkan Mengedit Mengaitkan Memilih Mengukur Melatih Mentransfer Mengkritik Menimbang Memutuskan Memisahkan Memprediksi Memperjelas Menugaskan Menafsirkan Mempertahanka n Memerinci Mengukur Merangkum Membuktikan Memvalidasi Mengetes Mendukung Memilih Memproyeksikan Mengkategorikan Mengkode Mengkombinasikan Menyusun Mengarang Membangun Menanggulangi Menghubungkan Menciptakan Mengkreasikan Mengoreksi Merancang Merencanakan Mendikte Meningkatkan Memperjelas Memfasilitasi Membentuk Merumuskan Menggeneralisasi Menggabungkan Memadukan Membatas Mereparasi Menampilkan Menyiapkan Memproduksi Merangkum Merekonstruksi (Dikutip dari: Anderson, 2001)

Berdasarkan tabel di atas, terdapat banyak kata kerja operasional yang digunakan untuk masing-masing tingkatan kognitif. Untuk lebih memahami pengkonstruksian tes pada ranah kognitif berdasarkan taksonomi Bloom berikut disajikan contoh soal terkait dengan masing-masing ranah kognitif seperti Tabel 3.

Tabel 3. Contoh tes hasil belajar berdasarkan taksonomi Bloom

No Taksonomi

Bloom Indikator Soal

1 C.1. Mengingat (Remember)

Mengidentifi kasi bentuk-bentuk energi

1. Bentuk-bentuk energi adalah sebagai berikut:

1) energi kimia 2) energi listrik 3) energi panas 4) energi mekanik 5) energi kinetik


(6)

6) energi potensial

Manakah yang termasuk dalam energi mekanik?

a. 1) dan 2) c. Hanya 4) b. 2) dan 3) d. 5) dan 6) 2 C.2. Memahami

(Understand)

Menjelaskan konsep suhu dan

pengukurann ya

Ketika Andi sakit, dia diajak ke doker oleh ibunya. Dokter mengatakan bahwa suhu tubuh Andi sangat tinggi, hal itu yang menyebabkannya demam. Kemudian dokter menyarankan kepada ibu untuk mengkompres kepala Andi dengan air yang suhunya rendah. Berdasarkan cerita tersebut, bisakah kalian menjelaskan apa yang dimaksud dengan suhu? 3 C.3. Mengaplikasikan (Apply) Menghitung besar usaha yang diperlukan untuk memindahka n sebuah benda

Berapakah usaha yang diperlukan untuk mempercepat suatu benda yang bermassa 3 kg dari keadaan diam sampai mencapai kecepatan 10 m/s?

a. 150 Joule b. 160 Joule c. 200 Joule d. 250 Joule 4 C.4. Menganalisis (Analyze) Menganalisis hukum kekekalan energi mekanik pada suatu benda yang sedang bergerak.

Tony dan Andri sedang bermain bola bersama teman-temannya. Ketika permainan berlangsung, Tony menendang bola yang diam hingga bola melambung tinggi ke atas dan saat bola mendarat disambut dengan sundulan kepala yang bagus oleh Andri, namun kepala Andri menjadi pusing akibat menyundul bola tersebut. Mengapa kepala Andri merasa pusing ketika menyundul bola yang jatuh dari atas…. b. Karena adanya perpaduan energi

yang dimiliki oleh Andri dan bola. c. Karena adanya perpaduan energi yang dimiliki oleh Tony dan bola. d. Karena adanya perubahan energi

potensial menjadi energi kinetik pada bola.

e. Karena adanya perubahan energi kinetik menjadi energi potensial pada bola.

5 C.5. Evaluasi (Evaluate)

Membuktika n hubungan antara koefisien

Apabila sebuah benda berbentuk tiga dimensi dipanaskan atau suhunya dinaikkan, maka volume benda tersebut (panjang, lebar, dan tingginya) akan


(7)

muai panjang, luas, dan volume

bertambah panjang. Dengan kata lain, volume benda tersebut akan bertambah sehingga mengalami pemuaian volume. Besarnya pertambahan volume salah satunya dipengaruhi oleh koefisien muai volume () yang besarnya sama dengan tiga kali koefisien muai panjang ( ). Buktikanlah bahwa γ=3

!

6 C.6. Membuat

(Create) Siswamengatur letak saklar dalam suatu rangkaian listrik.

Gambar di bawah ini menunjukkan suatu rangkaian listrik. Pilihlah kedudukan dari (1), (2), (3) atau (4) untuk pemasangan sebuah sakelar agar kedua lampu dapat dihubungkan (on) dan diputuskan (off) pada saat yang bersamaan?

Perjelaslah jawabanmu, mengapa memilih kedudukan tersebut!

a. Miskonsepsi

Miskonsepsi atau salah konsep merupakan konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para ilmuwan pada bidang yang bersangkutan (Cakir, 2008). Bentuk miskonsepsi dapat berupa kesalahan konsep, hubungan yang tidak benar antarkonsep dan gagasan intuitif atau pandangan yang naif (Suparno, 2005). Definisi lainnya, Novak (dalam Suparno, 2005) menyatakan bahwa miskonsepsi sebagai interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima (contoh miskonsep-konsepsi soal terlampir).

b. Berpikir Tingkat Tinggi

Konsep tentang pemikiran tingkat tinggi diperoleh dari Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I: Cognitive Domain oleh Bloom (dalam Ball & Garton, 2005). Konsep ini lebih dikenal sebagai taksonomi Bloom, sistem ini mengidentifikasi suatu kemajuan hierarkis yang mana untuk menggolongkan dari tingkat rendah ke tingkat yang lebih tinggi terkait dengan proses berpikir. Kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) dan kemampuan

(4) (2) (1)


(8)

berpikir tingkat rendah (lower order thinking) dapat dikelompokkan menurut Taksonomi Bloom, seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Klasifikasi Kemampuan Berpikir Menurut Taksonomi Bloom

Taksonomi Bloom Tingkatan Berpikir Tinjauan

Remember (C1) Understand (C2) Apply (C3) Analyze (C4) Evaluate (C5) Synthesis (C6)

Lower Order thinking Lower Order thinking Higher Order Thinking Higher Order Thinking Higher Order Thinking Higher Order Thinking

Mengingat Memahami Menerapkan Menganalisis Mengevaluasi Mensintesis (Dimodifikasi dari Anderson & Krathwohl, 2001) Thomas et al. (2000) menyebutkan bahwa terdapat empat langkah berpikir tingkat tinggi yang dapat diberikan skor. Keempat langkah tersebut, yaitu:

1) Identifikasi masalah (problem identification), artinya variabel-variabel yang diketahui dan tidak diketahui teridentifikasi dengan jelas, konsep-konsep atau prinsip-prinsip teridentifikasi dengan jelas.

2) Pemaparan kembali informasi secara jelas (representing the information clearly), artinya seluruh informasi yang diperlukan telah disajikan dalam identifikasi masalah.

3) Strategi untuk menghasilkan solusi yang baik (strategy formation), artinya solusi yang direncanakan menunjukkan persamaan-persamaan yang cukup telah dipasang sebelum manipulasi aljabar dilakukan. Rencana solusi mencakup bagaimana menggabungkan persamaan-persamaan untuk menemukan jawaban.

4) Mengevaluasi solusi (evaluating solutions), artinya solusi matematik berkembang secara logis dari ungkapan umum ke formulasi yang lebih spesifik menggunakan variabel-variabel yang didefinisikan.

Johnson (2002) menyatakan kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat dikelompokkan menjadi kemampuan berpikir kritis dan kemampuan berpikir kreatif. Liliasari dan Darsati (2002) mengungkapkan bahwa berpikir kritis menggunakan dasar menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi. Pola berpikir ini mengembangkan penalaran yang kohesif, logis, dapat dipercaya, ringkas dan meyakinkan, sedangkan pada berpikir kreatif menggunakan dasar mengembangkan dan menemukan ide yang


(9)

asli dan menekankan pada berpikir intuitif untuk memunculkan perspektif asli pemikir.

1) Berpikir Kritis (Critical Thinking)

Arnyana (2005) menyatakan berpikir kritis adalah proses terorganisasi yang melibatkan aktivitas mental dalam memecahkan masalah, pengambilan keputusan, analisis asumsi, dan inkuiri sains. Redhana (2003) mengungkapkan bahwa siswa yang berpikir kritis akan mampu menolong dirinya atau orang lain dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi. Adapun indikator-indikator keterampilan berpikir kritis menurut Ennis (1985) adalah seperti yang tercantum dalam Tabel 5.

Tabel 5. Keterampilan Berpikir Kritis dan Indikator Berpikir Kritis No Keterampilan Berpikir Kritis Indikator

1 Merumuskan masalah Memformulasikan pertanyaan yang mengarahkan Investigasi

2 Memberikan Argumen Argumen sesuai dengan kebutuhan Menunjukkan persamaan dan perbedaan

Argumen yang utuh 3 Melakukan deduksi Mendeduksi secara logis

Menginterpretasi secara tepat

4 Melakukan induksi Melakukan investigasi pengumpulan data

Menganalisis data Membuat generalisasi Menarik kesimpulan

5 Melakukan evaluasi Mengevaluasi berdasarkan fakta Memberikan alternatif lain 6 Mengambil keputusan dan

tindakan Menentukan jalan keluarMemilih kemungkinan yang akan dilaksanakan

Berdasarkan Tabel 3 tampak bahwa keterampilan berpikir kritis dapat dikaitkan dengan aktivitas merumuskan masalah, melakukan deduksi, melakukan induksi, melakukan evaluasi dan mengambil keputusan serta melaksanakannya (Contoh soal berpikir kritis terlampir).

2) Berpikir Kreatif (Creative Thinking)

Arnyana (2005) menyatakan bahwa berpikir kreatif menggunakan dasar proses berpikir untuk mengembangkan atau menemukan ide asli, yang


(10)

menekankan pada aspek berpikir intuitif dan rasional khususnya dalam menggunakan informasi. Munandar (1992) mengungkapkan bahwa berpikir kreatif merupakan kemampuan berpikir untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada untuk membuat pemecahan masalah baru. Deskriptor yang memaparkan indikator keterampilan berpikir kreatif diuraikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Indikator Keterampilan Berpikir Kreatif

No Indikator Deskriptor

1 Berpikir lancar (Fluency)

1. Menjawab lebih dari satu jawaban, lengkap disertai argumentasi yang tepat dan lancar dalam mengungkapkan jawaban.

2. Menggunakan berbagai cara dalam mengkomunikasikan hasil gagasan.

2 Berpikir luwes (Flexibility)

1. Memberikan penafsiran yang berbeda dengan teman dan tidak monoton terhadap permasalahan yang diberikan

2. Mempunyai banyak cara untuk menyelesaikan masalah.

3. Menggolongkan sesuatu menurut kategori yang berbeda-beda untuk memecahkan permasalahan 3 Berpikir orisinil

(Originality) 1. Mengungkapkan gagasan yang orisinil dalammemecahkan masalah. 2. Mengungkapkan gagasan yang unik dan berbeda

dari biasanya.

3. Gagasan tersebut mencerminkan hasil kombinasi baru atau reintegrasi dari hal-hal yang sudah ada. 4 Berpikir

elaboratif (Elaboration)

1. Langkah-langkah pemecahan masalah ditulis secara elaboratif

2. Jawaban diuraikan secara rinci.

(Diadaptasi dari Enger & Yager, 2001) Pemahaman terkait taksonomi Bloom sangat mendukung kemampuan untuk merumuskan tujuan khusus pembelajaran atau indikator pencapaian hasil belajar siswa. Penilaian terhadap ranah kognitif umumnya dilakukan dengan tes. Menurut Phil & Indrawati (2009), jenis tes yang akan digunakan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan dan waktu yang tersedia pada penyusun tes daripada kemampuan peserta tes atau aspek yang ingin diukur. Jika dikaji ulang terhadap


(11)

tujuan penyusunan tes, yaitu mampu mengukur apa yang telah dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran, maka semestinya pertimbangan dalam penyusunan tes lebih pada kemampuan peserta tes atau aspek yang ingin diukur. 2.2 Pengertian, Pengelompokan, dan Kegunaan Tes Hasil Belajar

Menurut Rasyid & Mansur (2007), tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan dalam rangka pengukuran dan penilaian. Arikunto (2002) juga memiliki pandangan yang sama tentang pengertian tes, yaitu tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara atau aturan-aturan yang telah ditentukan. Paul (dalam Rasyid & Mansur, 2007) tes merupakan bagian terpenting dari proses pembelajaran, oleh karena itu pengembangannya harus dilakukan sebelum proses pembelajaran dilakukan. Tes dapat didefinisikan sebagai suatu pertanyaan, tugas, atau seperangkat tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang atribut pendidikan atau psikologik tertentu. Setiap butir pertanyaan atau tugas tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar, dan bila tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka jawaban anda dianggap salah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan dalam rangka pengukuran dan penilaian dengan cara atau aturan-aturan yang telah ditentukan. Sesuai dengan definisi tes yang telah dikemukakan, dalam dunia pendidikan, tes merupakan alat ukur untuk mengukur hasil belajar siswa, sehingga dapat digunakan istilah tes hasil belajar (THB).

Pada dasarnya, tes dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan peserta tes terhadap materi yang ditanyakan pada tes tersebut. Pada level pendidikan, peserta tes biasanya adalah siswa. Tujuan tes pada level pendidikan adalah untuk: 1) mengetahui tingkat kemampuan peserta didik, 2) mengukur pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, 3) mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik, 4) mengetahui hasil pengajaran, 5) mengetahui hasil belajar, 6) mengetahui pencapaian kurikulum, 7) mendorong peserta didik untuk belajar, dan 8) mendorong pendidik mengajar yang lebih baik dan peserta didik belajar lebih baik.

Ditinjau dari tujuannya, ada empat macam tes yang banyak digunakan dilembaga pendidikan, yaitu: 1) tes penempatan, 2) tes diagnostik, 3) tes formatif,


(12)

4) tes sumatif. Tes penempatan dilaksanakan pada awal pelajaran. Tes ini berguna untuk mengetahui tingkat kemampuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Tes diagnostik berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik, termasuk kesalahan pemahaman konsep. Tes ini dilakukan apabila diperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta didik gagal dalam mengikuti proses pembelajaran pelajaran tertentu. Hasil tes ini diberikan informasi tentang konsep-konsep yang belum dipahami dan yang telah dipahami. Oleh karena itu, tes ini mengandung materi yang dirasa sulit oleh peserta didik, namun tingkat kesulitan tes ini cenderung rendah. Tes formatif bertujuan untuk memperoleh masukan tentang tingkat keberhasilan pelaksanaan proses pembelajaran. Tes ini dilakukan secara periodik sepanjang semester. Materi tes dipilih berdasarkan tujuan pembelajaran tiap pokok bahasan atau sub pokok bahasan. Jadi tes ini sebenarnya bukan untuk menentukan keberhasilan belajar semata, tetapi untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajaran. Tes sumatif diberikan diakhir suatu pelajaran, atau akhir semester. Hasilnya untuk menentukan keberhasilan belajar peserta didik untuk pelajaran tertentu. Tingkat keberhasilan ini dinyatakan dengan skor atau nilai, pemberian sertifikat, dan sejenisnya. Tingkat kesukaran soal pada tes sumatif bervariasi, sedang materinya harus mewakili bahan yang telah diajarkan. Hasil tes bisa ditafsirkan sebagai keberhasilan belajar dan atau keberhasilan mengajar.

Tes berdasarkan bentuknya terdiri dari bentuk uraian dan bentuk objektif. Tes bentuk uraian atau esai sering disebut sebagai tes subjektif karena dalam penilaiannya sangat dipengaruhi oleh unsur subjektivitas penilai. Tes bentuk uraian merupakan sejenis tes kemajuan belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau uraian dengan kata-kata. Jenis tes yang ke dua adalah tes objektif. Tes objektif merupakan tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif. Pemilihan bentuk tes yang ditentukan oleh tujuan tes, jumlah peserta tes, waktu yang tersedia untuk memeriksa lembar jawaban tes, cakupan materi tes, dan karakteristik mata pelajaran yang diujikan. Bentuk tes objektif pilihan ganda dan bentuk tes benar salah sangat tepat digunakan bila jumlah peserta banyak. Kelebihan tes objektif bentuk pilihan ganda adalah lembar jawaban dapat diperiksa dengan komputer, sehingga objektivitas penskoran dapat


(13)

dijamin, namun membuat tes objektif yang baik tidak mudah. Pengelompokan jenis-jenis tes dapat dilihat seperti pada Gambar 1.

2.3 Dasar-dasar Penyusunan Tes Hasil Belajar

Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan THB, yaitu sebagai berikut.

a. Tes hasil belajar harus mengukur apa-apa yang telah dipelajari dalam proses pembelajaran sesuai dengan tujuan atau hasil pembelajaran yang diharapkan. Dengan demikian langkah pertama adalah menentukan hasil belajar yang akan diukur, apakah termasuk ranah kognitif, afektif, atau psikomotor, kemudian baru dilakukan perumusan tujuan pembelajaran khusus yang mencerminkan perilaku yang akan diukur.

b. Tes hasil belajar disusun benar-benar mewakili materi yang telah dipelajari siswa. Pada keperluan ini, penyusun tes dapat mengambil sampal materi apa saja yang mewakili dan patut ditanyakan kepada siswa.


(14)

c. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam THB hendaknya disesuaikan dengan aspek-aspek tingkat belajar yang diharapkan. Pada keperluan ini diperlukan pemahaman tipe dan ragam tes mana yang cocok untuk mengukur setiap aspek tingkat belajar yang diharapkan,misalnya siswa akan diukur untuk mengingat kembali fakta, maka tipe pertanyaan yang sesuai adalah jawaban singkat atau bentuk benar salah.

d. Tes hasil belajar disusun sesuai dengan tujuan penggunaan tes, misalnya untuk keperluan tes awal-tes akhir, tes penguasaan, diagnostik, prestasi, formatif, atau sumatif.

e. Tes hasil belajar disesuaikan dengan pendekatan pengukuran yang dianut, apakah mengacu pada kelompok (Norm-referenced Test: penilaian acuan norma) atau mengacu pada kriteria (Criterion-referenced Test: penilaian acuan kriteria).

f. Tes hasil belajar hendaknya dapat digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran. Prinsip ini merupakan tujuan utama dari pengujian siswa dengan catatan kelima prinsip di atas dilaksanakan dengan baik dan dilanjutkan dengan adanya tindak lanjut setelah hasil tes diketahui (Phil & Indrawati, 2009).

2.4 Langkah-langkah Penyusunan Tes Hasil Belajar

Pada pengambilan keputusan yang benar mengenai siswa diperlukan data siswa yang baik dan benar. Hal inilah yang dicari dengan tes. Tes akan sangat berarti jika terdiri atas butir-butir soal yang menguji tujuan yang penting dan mewakili atribut siswa yang akan diukur (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) secara representatif. Sehubungan dengan keperluan tersebut maka serangkaian proses penyusunan dan pengembangan tes perlu dikuasai. Secara umum, proses penyusunan dan pengembangan tes meliputi langkah-langkah yang diuraikan berikut ini (Zainul & Nasoetion, 1993).

a. Penentuan Tujuan Tes

Sebelum butir soal disusun, dilakukan penentuan tujuan tes terlebih dahulu, yaitu apakah untuk mengetahui penguasaan siswa dalam pokok bahasan tertentu setelah diajarkan atau untuk mengetahui kesulitan belajar siswa. Tujuan tes harus jelas sehingga dapat memberikan arah dan lingkup pengembangan tes. Suryabrata (1997) mengemukakan beberapa pertanyaan yang dapat digunakan


(15)

untuk mencari kejelasan mengenai tujuan-tujuan tes, yaitu a) daerah-daerah prestasi khusus yang mana yang akan diukur? b) siapakah yang akan dites? c) bagaimanakah nantinya skor-skor hasil tes tersebut akan digunakan? d) berapakah waktu yang disediakan untuk mengerjakan tes tersebut?

Salah satu tahapan yang sangat penting dalam pengembangan tes adalah menentukan tujuan. Secara umum tes antara lain dikembangkan untuk kepentingan penempatan yang terdiri atas pretes kesiapan dan pretes penempatan, formatif, diagnostik, dan sumatif. Secara lengkap perbedaannya dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Jenis dan Tujuan Tes Tes Penempatan Tes Kesiapan Tes

Penempatan Tes Formatif Tes Diagnosis Tes Sumatif Fokus Penguku ran Persyaratan kemampuan masuk program tertentu Persyaratan masuk program atau unit tertentu Memperbaik i program pembelajara n yang telah dilakukan Memperbai ki kesulitan belajar yang dialami peserta tes Persyaratan masuk program atau unit tertentu seperti kenaikan kelas atau ujian akhir nasional Sifat sampel Sampel kemampuan sangat terbatas Sampel kemampuan sangat luas Sampel hasil belajar yang terbatas Sampel kesalahan yang sangat terbatas Sampel kemampua n sangat luas Tingkat Kesukar an

relatif rendah Biasanya memiliki tingkat kesukaran yang bervariasi Bervariasi bergantung kepada program pembelajara n relatif rendah relatif tinggi Waktu Pelaksa naan Awal program atau unit Awal program atau unit Secara periodic dilakukan selama program pembelajara n Sewaktu-waktu bergantung pada program pembelajar an Di akhir program pembelajar an (semester, tahun, jenjang pendidikan)


(16)

Instrum en berdasarkan kriteria (criterionrefer enced mastery test) berdasarkan norma (normreferen ced) tes berdasarkan kriteria (criterionref erenced mastery test) dirancang untuk mengidenti fikasi kesulitan belajar berdasarkan norma atau kriteria seperti yang terjadi pada UAN. Keguna an Bahan remedial atau tugas untuk kelompok belajar tertentu Bahan untuk pembuatan program pembelajaran dan penempatan peserta tes Masukan perbaikan program pembelajara n Remedial yang berkaitan dengan kesulitan belajar Menentuka n kenaikan, kelulusan, dan mengevalua si program pembelajar an

(Sumber: Surapranata, 2005) b. Penyusunan Kisi-Kisi

Salah satu tahapan yang sangat penting dalam pembuatan dan penggunaan tes adalah mengembangkan kisi-kisi yang berguna untuk menjamin bahwa soal yang dikembangkan sesuai dengan tujuan yang hendak diukur (content validity). Namun demikian, kualitas soal sangat bergantung kepada materi yang ditanyakan, tidak bergantung kepada format yang digunakan. Kisi-kisi adalah suatu format berbentuk matrik yang memuat informasi untuk dijadikan pedoman dalam menulis soal atau merakit soal menjadi tes.

Kisi-kisi berisi spesifikasi tes secara umum yang biasa ditampilkan dalam bentuk matriks yang menunjukkan proporsi dan jumlah dari setiap aspek butir soal yang membentuk suatu perangkat tes. Pada kisi-kisi dapat terbaca ruang lingkup materi dan isi yang akan diujikan, kemampuan yang akan diuji, dan jumlah soal yang akan diujikan dari setiap aspek.

c. Pengkontruksian Soal

Penulisan soal merupakan penjabaran indikator jenis dan tingkat perilaku yang akan diukur menjadi pertanyaan-pertanyaan yang karakteristiknya sesuai dengan rincian spesifikasi soal yang ada dalam kisi-kisi. Sebelum penulisan soal perlu diperhatikan tipe tes yang akan digunakan (esai atau objektif) dan aspek yang akan diuji (misalnya ranah kognitif: C1-C6, pemahaman atau kemampuan berpikir tingkat tinggi).


(17)

Tahapan keempat dalam pengembangan soal adalah melihat soal dari segi kualitas untuk mengkaji berfungsi tidaknya sebuah soal, yaitu berupa telaah (review) dan perbaikan (revisi) soal. Review dan revisi soal pada prinsipnya adalah upaya untuk memperoleh informasi mengenai sejauh mana suatu soal telah berfungsi (mengukur apa yang hendak diukur sebagaimana tercantum dalam kisi-kisi) dan telah memenuhi kaidah yang telah ditetapkan, misalnya: kaidah konstruksi, bahasa, dan penulisan soal. Review dan revisi idelanya dilakukan oleh orang lain (bukan si penulis soal) dan teridir atas suatu tim penelaah yang teridir atas ahli-ahli materi, pengukuran (evaluasi), dan bahasa.Penelaahan soal idealnya dilakukan oleh orang lain karena biasanya kekurangan yang terdapat pada suatu soal tidak terlihat oleh si penulis soal.

e. Uji Coba Soal

Ujicoba soal pada prinsipnya adalah upaya untuk mendapatkan informasi empirik mengenai sejauh mana sebuah soal dapat mengukur apa yang hendak diukur. Informasi empirik tersebut pada umumnya menyangkut segala hal yang dapat mempengaruhi validitas soal, seperti: keterbacaan soal, tingkat daya pembeda soal, tingkat kesukaran soal, distraktor, konsistensi internal butir soal, dan sebagainya.

f. Perakitan Soal

Soal-soal yang baik hasil dari ujicoba dapat dirakit sesuai dengan kebutuhan tes. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perakitan antara lain penyebaran soal, penyebaran tingkat kesukaran soal, daya pembeda atau validitas soal, penyebaran jawaban, dan layout tes. Untuk memperoleh skor yang dapat dipercaya, diperlukan banyak butir soal. Berdasarkan keperluan itu diperlukan butir-butir soal yang dirakit menjadi alat ukur yang terpadu. Pada perakitan soal perlu diperhatikan urutan nomor soal, pengelompokan bentuk soal, dan layout soal.

g. Penyajian Tes

Setelah tes tersusun, naskah (tes) siap diberikan atau disajikan kepada peserta didik. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyajian tes ini adalah administrasi penyajian tes, antar lain meliputi: petunjuk pengerjaan, cara menjawab, alokasi waktu yang disediakan, ruangan, tempat duduk peserta didik,


(18)

dan pengawasan. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyajian tes, misalnya waktu penyajian, petunjuk yang jelas mengenai cara menjawab butir soal tes, tempat duduk siswa dan ruang yang digunakan.

h. Skoring

Penskoran atau pemeriksaan atas jawaban peserta didik dan pemberian angka dilakukan dalam rangka mendapatkan informasi kuantitatif dari masing-masing peserta didik. Penskoran harus dilakukan seobjektif mungkin. Skoring dilakukan untuk memperoleh informasi kuantitatif dari masing-masing siswa. Pada prinsipnya skoring harus diusahakan objektif dengan cara memperhatikan pembobotan aspek-aspek yang dinilai sesuai kriteria yang telah ditentukan. i. Pelaporan Hasil Tes

Setelah tes dilaksanakan dan dilakukan skoring, hasil pengetesan perlu dilaporkan kepada siswa, orang tua, atau pihak-pihak yang berkepentingan sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban guru dalam penilaian hasil belajar siswa (Phil & Indrawati, 2009). Laporan dapat digunaan sebagai alat untuk menentukan kebijakan atau kebijaksanaan selanjutnya.

j. Pemanfaatan Hasil Tes

Hasil pengukuran yang diperoleh melalui tes berguna dengan tujuan dilakukannya tes. Informasi hasil pengukuran dapat dimanfaatkan untuk perbaikan atau penyempurnaan system, proses, atau kegiatan belajar mengajar, maupun sebagai data untuk mengmabil keputusan atau menentukan kebijakan. 2.5 Penyusunan Kisi-kisi Tes Hasil Belajar

a. Pengertian

Salah satu tahapan yang sangat penting dalam pembuatan dan penggunaan tes adalah mengembangkan kisi-kisi yang berguna untuk menjamin bahwa soal yang dikembangkan sesuai dengan tujuan yang hendak diukur (content validity). Namun demikian, kualitas soal sangat bergantung kepada materi yang ditanyakan, tidak bergantung kepada format yang digunakan. Kisi-kisi adalah suatu format berbentuk matrik yang memuat informasi untuk dijadikan pedoman dalam menulis soal atau merakit soal menjadi tes. Menurut Phil & Indrawati (2009), kisi-kisi merupakan suatu format yang memuat informasi yang dijadikan pedoman


(19)

untuk mengkonstruksi tes atau merakit soal menjadi tes, sedangkan Surapranata (2005) menjelaskan bahwa kisi-kisi merupakan suatu format berbentuk matriks yang memuat informasi untuk dijadikan pedoman dalam menulis soal atau merakit soal menjadi tes. Hal ini memberikan informasi bahwa kisi-kisi merupakan suatu format yang memuat informasi yang dijadikan pedoman untuk mengkonstruksi tes atau merakit soal menjadi tes dengan salah satu bentuk yang dapat dipilih adalah kisi-kisi berbentuk matriks.

b. Kegunaan dan Fungsi

Kisi-kisi tes berfungsi sebagai pedoman dalam penulisan soal dan perakitan tes. Dengan adanya panduan ini, penulis soal dapat menghasilkan soal-soal yang sesuai dengan tujuan tes dan pengkonstruksi tes dapat menyusun perangkat tes dengan mudah. Dengan demikian, jika tersedia sebuah kisi-kisi yang baik, maka penulis soal yang berbeda akan dapat menghasilkan perangkat soal yang relatif sama, baik dari tingkat kedalaman maupun cakupan materi yang ditanyakan.

c. Syarat Kisi-kisi yang Baik

Kisi-kisi harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu 1) mewakili isi kurikulum yang akan diujikan, 2) komponen-komponennya rinci, jelas dan mudah dipahami, 3) dan soal-soalnya harus dapat dibuat sesuai dengan indikator dan bentuk soal yang ditetapkan (Surapranata, 2005).

d. Komponen Kisi-kisi

Komponen yang diperlukan dalam sebuah kisi-kisi sangat ditentukan oleh tujuan tes yang hendak disusun. Komponen-komponen ini dapat dihimpun menjadi dua kelompok, yaitu kelompok identitas dan kelompok matriks. kelompok identitas dicantumkan di bagian atas matriks, sedangkan kelompok matriks dicantumkan dalam kolom-kolom yang sesuai dengan tujuan tes. Komponen-komponen yang biasa digunakan dalam penyusunan kisi-kisi tes prestasi belajar adalah sebagai berikut: jenis/jenjang sekolah, mata pelajaran, tahun ajaran, kurikulum yang diacu, alokasi waktu, jumlah soal, bentuk soal, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, bahan kelas, jumlah soal, nomor


(20)

urut soal, dan bentuk soal. Idealnya semua kompetensi dasar dan indikator yang ada dalam kurikulum, yang tentunya telah dilakukan dalam pembelajaran, diujikan di kelas. Namun, bila kompetensi dasar dan indikator tidak dapat diujikan semua, maka perlu dipilih dengan memperhatikan kriteria-kriteria berikut:

1. Urgensi, yaitu kompetensi dasar atau indikator yang secara teoritis mutlak harus dikuasi oleh peserta didik

2. Kontinuitas, yaitu kompetensi dasar atau indikator lanjutan yang merupakan pendalaman dari satu atau lebih kompetensi dasar atau indikator yang sudah dipelajari sebelumnya, baik dalam jenjang yang sama maupun antar jenjang 3. Relevansi, maksudnya kompetensi dasar atau indikator terpilih harus

merupakan kompetensi dasar atau indikator yang diperlukan untuk mempelajari atau memahami bidang studi lain

4. Keterpakaian, kompetensi dasar dan indikator harus merupakan kompetensi dasar dan indikator yang memiliki terapan tinggi dalam kehidupan sehari-hari.

Pada kisi-kisi termuat informasi mengenai tujuan pembelajaran kompetensi, materi pokok dan uraian materi yang akan diujikan kepada siswa, indikator, kemampuan yang akan diujikan (level ranah kognitif), dan tingkat kesukaran yang dipertimbangkan oleh penulis soal, dan jumlah butir soal. Contoh format kisi-kisi penulisan soal seperti Tabel 8.

Tabel 8. Format kisi-kisi Konstruksi soal

Sekolah : ... Alokasi Waktu : ... Kelas/Semester : ... Jumlah soal : ... Mata Pelajaran : ...

No. Urut

Kompetensi Dasar

Materi Pokok

Indikator Soal

Jenjang Kemampuan

No. Soal

Jumlah Item

(diadaptasi dari Surapranata, 2005) Contoh kisi-kisi tes hasil belajar (pemahaman dan kemampuan berpikir tingkat tinggi) terlampir.


(21)

Pada tahapan pengkonstruksian tes ataupun penyusunan butir-butir tes, terdapat berbagai jenis tes yang dapat kita pilih. Khusus dalam evaluasi hasil belajar yang terkait dengan tes buatan guru (teacher made test), menurut Arikunto (2002) terdapat dua jenis tes yang dapat disusun meliputi tes subjektif dan tes objektif. Penjelasan masing-masing tes yaitu sebagai berikut.

2.6.1 Pengkonstruksian Tes Subjektif

Tes subjektif pada umumnya berbentuk esai (uraian (Arikunto, 2002). Secara ontologis tes essay adalah salah satu bentuk tes tertulis, yang susunannya terdiri atas item-item pertanyaan yang masing-masing mengandung permasalahan dan menuntut jawaban siswa melalui uraian-uraian kata yang merefleksikan kemampuan berpikir siswa (Sukardi, 2008). Menurut Suherman (1993) tes essay adalah tes yang menuntut siswa untuk dapat menyusun dan memadukan gagasan-gagasan tentang hal-hal yang telah dipelajarinya, dengan cara mengekspresikan atau mengemukakan gagasan tersebut secara tertulis dengan kata-kata sendiri. Sejalan dengan pernyataan di atas, menurut Hamalik (2001) tes essay adalah salah satu bentuk tes yang terdiri dari satu atau beberapa pertanyaan essay, yakni pertanyaan yang menuntut jawaban tertentu oleh siswa secara individu berdasarkan pendapatnya sendiri. Setiap siswa memiliki kesempatan memberikan jawabannya sendiri yang berbeda dengan jawaban siswa lainnya.

Arikunto (2002) memberikan paparan secara umum mengenai tes esai, dimana butir tes yang disajikan dalam tes esai memilliki jumlah yang tidak begitu banyak (lima hingga sepuluh soal) dengan alokasi waktu penyelesaian soal dari rentang 90 menit hingga 120 menit. Tes dalam bentuk esai, menuntut kemampuan siswa untuk dapat mengorganisir, menginterpretasi, dan menghubungkan pengertian-pengertian yang telah dimiliki. Beberapa karakteristik penting dari tes uraian (Sudijono 2005) yaitu sebagai berikut. (1) Tes tersebut berbentuk pertanyaan atau perintah yang menghendaki jawaban berupa uraian atau paparan kalimat. (2) Bentuk-bentuk pertanyaan atau perintah itu menuntut peserta tes (testee) untuk memberikan penjelasan, komentar, penafsiran, perbandingan, pembedaan. (3) Umumnya memiliki jumlah butir soal yang terbatas. 4) Umumnya diawali dengan kata perintah atau kata tanya jelaskan, terangkan, uraikan, mengapa, bagaimana, dan sebagainya.


(22)

Penggunaan tes esai sebagai salah satu instrumen nyata dalam proses evaluasi hasil belajar siswa, didasarkan atas kelebihan-kelebihan tes maupun kekurangan-kekurangannya yang dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam memutuskan jenis tes yang akan disusun. Beberapa kelebihan penggunaan tes esai baik ditinjau dari segi guru maupun segi siswa menurut Arikunto (2002) yaitu sebagai berikut. (1) Mudah disiapkan dan disusun. (2) Tidak memberi banyak kesempatan untuk berspekulasi atau untung-untungan. (3) Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusun dalam bentuk kalimat yang bagus. (4) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan maksudnya dengan gaya bahasanya dan caranya sendiri. (5) Dapat diketahui sejauh mana siswa mendalami sesuatu masalah yang diteskan. Untuk kekurangan tes esai yaitu sebagai berikut. (1) Kadar kadar validitas dan reabilitas rendah karena sukar diketahui segi-segi mana dari pengetahuan siswa yang betul-betul telah dikuasai. (2) Kurang representatif dalam hal mewakili seluruh materi bahan pelajaran yang akan dites sebab tes yang disusun jumlahnya terbatas (tidak banyak). (3) Cara pemeriksaan oleh guru akan berpotensi bersifat subjektif. (4) Pemeriksaannya lebih sulit sebab membutuhkan pertimbangan individual lebih banyak daripada penilai. (5) Membutuhkan banyak waktu dalam melakukan koreksi dan tidak dapat diwakilkan pada orang lain. Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk meminimalisir dampak dari kekurangan tes esai yaitu (1) menentukan jawaban yang paling baik untuk satu butir pertanyaan uraian, (2) menentukan butir-butir yang harus ada dalam jawaban pertanyaan uraian, dan (3) menentukan butir soal yang lebih penting di antara butir-butir jawaban yang diharapkan.

Beberapa pertimbangan dalam penggunaan jenis tes esai atau uraian terudama dalam hal penyesuaian terhadap kebutuhan evaluasi hasil belajar nitu sendiri. Menurut Hamalik (2001), tes uraian dapat digunakan dalam kondisi-kondisi yaitu:

 Kelompok yang dites kecil dan tes itu tidak akan digunakan kembali pada tes berikutnya.

 Pengajar ingin mengajarkan semua yang mungkin untuk mendorong dan memberikan ganjaran terhadap perkembangan keterampilan siswa melalui pernyataan tertulis.


(23)

 Pengajar lebih berminat untuk menyelidiki sikap siswa daripada mengukur prestasinya.

 Pengajar lebih percaya terhadap penguasaannya selaku pembaca kritis daripada sebagai penulis imaginatif tentang item-item tes yang baik.

 Waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan tes lebih singkat daripada waktu yang tersedia bagi tes bentuk lain.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, tampak bahwa pertimbangan kita dalam menggunakan tes esai kembali pada tujuan, faktor pendukung persiapan dan pelaksanaan tes itu sendiri. Namun, menurut Phil & Indrawati (2009) jenis tes yang akan digunakan seharusnya lebih banyak ditentukan oleh kemampuan dan waktu yang tersedia bagi penyusun tes. Guru semestinya mampu mengkonstruksi tes yang disesuaikan dengan tujuan dan faktor pendukung.

Menurut Phil & Indrawati (2009), prinsip-prinsip dalam mengkonstruksi soal bentuk uraian yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.

 Tipe tes uraian digunakan untuk mengukur hasil belajar yang cocok, misalnya untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mengekspresikan pikirannya dengan kata-kata sendiri.

 Pertanyaan dipilih untuk mengukur tujuan/hasil belajar yang penting saja.  Kemampuan dan keterampilan menulis siswa dipertimbangkan.

 Perlu dihindari pemberian butir soal yang tidak dapat dipilih atau tidak dapat dikerjakan.

 Petunjuk awal ditulis dengan jelas dan juga petunjuk untuk setiap butir soal harus rinci dan dapat dipahami oleh peserta tes.

 Waktu yang tersedia harus diperkirakan cukup untuk menyelesaikan semua butir soal.

 Pertanyaan hendaknya menuntut respon yang bersifat pemikiran peserta tes.  Kombinasi jenis tes uraian terbatas dan bebas perlu diperhatikan.

 Rumusan butir soal menggunakan bahasa yang sederhana, tidak mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan siswa, tidak menimbulkan penafsiran ganda atau salah pengertian. Perlu dilakukan penggunaan kata-kata deskriptif, misalnya tulislah garis besar, berilah contoh, atau bandingkanlah


(24)

atau kata-kata perintah lainnya.

Perlu diupayakan pencantuman skor maksimal pada setiap butir soal yang dapat diperoleh jika jawaban peserta tes sesuai dengan yang diminta dan perlu dijelaskan juga batasan-batasan jawaban yang diminta, misalnya panjang uraian, arah pemaparan, banyaknya aspek atau butir jawaban yang diminta. Beberapa kaidah-kaidah penting juga harus dilaksanakan dalam evaluasi dengan menggunakan tes esai dalam konstruksinya adalah sebagai berikut. (1) Meyakinkan bahwa pertanyaan telah terarah, (2) menghindari pemberian izin kepada peserta ujian untuk memilih di antara beberapa pertanyaan esai yang akan mereka jawab, (3) terlebih dahulu memutuskan cara memberikan skor pada pertanyaan esai (Bloom dalam Dimyati & Mudjiono, 2009).

Sudijono (2005) membedakan tes uraian ke dalam dua golongan, yaitu tes uraian bentuk bebas atau terbuka dan tes uraian bentuk terbatas. Pada tes uraian bentuk terbuka, jawaban yang dikehendaki muncul sepenuhnya dari peserta tes. Hal ini mengindikasikan bahwa peserta tes mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya dalam merumuskan, mengorganisasikan, dan menyajikan jawabannya dalam bentuk uraian, sedangkan pada tes uraian bentuk terbatas, jawaban telah diarahkan. Penilaian terhadap hasil tes ditentukan dengan mengikuti rubrik penilaian. Contoh tes esai dan rubrik penilaiannya terlampir.

2.6.2 Pengkonstruksian Tes Bentuk Objektif

Tes objektif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif (Arikunto, 2002). Penggunaan tes ini dimakudkan untuk mengatasi berbagai kelemahan dari tes subjektif. Pengertian lebih luas mengenai tes objektif diberikan oleh Wakhinudin (2010) di mana tes objektif adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang terdiri dari butir-butir soal (items) yang dapat dijawab oleh peserta tes dengan jalan memilih salah satu atau lebih jawaban di antara beberapa kemungkinan jawaban yang telah dipasangkan pada masing-masing items, atau dengan jalan menuliskan (mengisikan) jawaban berupa kata-kata atau simbol-simbol tertentu pada tempat yang telah disediakan untuk masing-masing butir item yang bersangkutan. Dalam penggunaan tes objektif, jika dibandingkan dengan tes subjektif dalam hal jumlah butir, tes objektif dapat dibuat dengan


(25)

jumlah yang jauh lebih banyak, yaitu 30 – 40 butir tes yang dialokasikan selama 60 menit.

Secara umum sebagaimana halnya dengan tes subjektif, tes objektif juga memiliki kelebihan maupun kekurangan. Kelebihan penggunaan tes objektif menurut Arikunto (2002) yaitu sebagai berikut. (1) Mengandung lebih banyak segi-segi yang positif, misalnya lebih representatif mewakili isi dan luas bahan, lebih objektif, dapat dihindari campur tangannya unsur-unsur subjektif baik dari segi siswa maupun dari segi guru yang memeriksa. (2) Lebih mudah dan lebih cepat cara memeriksanya karena dapat menggunakan kunci tes bahkan alat-alat hasil kemajuan teknologi. (3) Pemeriksaannya dapat diserahkan ke orang lain (diwakilkan). (4) Dalam pemeriksaan, tidak ada unsur subjektif yang mempengaruhi. Namun demikian, tes objektif juga memiliki beberapa kelemahanah, yaitu sebagai berikut (Arikunto, 2002). (1) Persiapan untuk menyusun tes objektif jauh lebih sulit daripada tes subjektif karena jumlah soal yang lebih banyak dan harus teliti untuk menghindari kelemahan-kelemahan yang lain. (2) Soal-soal cenderung untuk mengungkapkan ingatan dan daya pengenalan kembali saja, dan sukar untuk mengukur proses mental yang tinggi. (3) banyak kesempatan untuk main untung-untungan terutama bagi peserta tes/siswa. (4) Memicu terjadinya kerja sama antar siswa saat mengerjakan tes.

2.6.3 Macam-macam Tes Objektif

Berdasarkan definisi mengenai tes objektif, maka dalam penyusunannya menurut Arikunto (2002) tes objektif terdiri dari berbagai jenis tes meliputi (1) tes benar salah (true-false), (2) tes pilihan ganda (multiple choice test), (3) tes menjodohkan (matching test), dan (4) tes isian (completion test). Dalam hal ini menurut Ibrahim & Syaodih (2003), tes isian atau melengkapi, tidak termasuk dalam ke dalam bentuk tes objektif, melainkan masuk ke dalam golongan tersendiri. Meskipun demikian, jika dipandang dari segi objektivitas dalam penilaiannya, maka keempat jenis tes tersebut dapat dimasukkan ke dalam bentuk tes objektif dengan variasi ada yang memberikan pilihan (options) dan tanpa pilihan (mengisi atau melengkapi). Hamalik (2001) menyatakan bahwa tes objektif dapat digunakan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut.


(26)

 Kelompok yang akan diberikan tes memiliki jumlah yang besar dan/atau instrumen tes itu mungkin akan digunakan kembali dalam waktu yang berbeda.

 Dituntut adanya pemerolehan reliabilitas yang tinggi secara efisien pada suatu tes.

 Perlunya imparsialitas evaluasi dan keterbukaan absolut.

 Kondisi pengajar yang cenderung lebih percaya terhadap kemampuannya untuk merumuskan item-item tes objektif dibandingkan dengan kemampuannya dalam mempertimbangkan jawaban-jawaban tes uraian.  Laporan skor tes yang diperlukan dalam waktu cepat.

Adapun paparan mengenai berbagai macam tes objektif terkait hasil belajar, yaitu sebagai berikut.

1) Tes Objektif Bentuk Benar-Salah ( True-False Test )

Tes objektif bentuk benar-salah merupakan salah satu bentuk tes objektif di mana butir-butir soal yang diajukan dalam tes hasil belajar berupa pernyataan (statement). Pernyataan yang dibuat ada yang benar dan ada yang salah (Sudijono, 2005). Peserta tes ditugaskan untuk menentukan benar atau tidaknya pernyataan tersebut. Contohnya:

 Dua buah karet, yaitu karet A dan karet B sama-sama ditegangkan kemudian digetarkan. Selama bergetar ternyata jumlah getaran karet A dalam waktu satu detik lebih banyak dibandingkan jumlah getaran karet B dalam satu detik. Berarti karet B selama bergetar memiliki nilai periode yang lebih kecil daripada karet A. (Benar - Salah)

 Dalam rangkaian pararel sederhana (dua buah baterai dan tiga buah lampu), jika diukur pada titik AB dan titik CD maka besarnya tegangan yang terukur adalah sama. (Benar - Salah)

Menurut Sudijono (2005), keunggulan jenis tes ini adalah pembuatan dan pengerjaannya mudah, pengoreksiannya mudah, dapat dipergunakan berulang

A B


(27)

kali, dapat mencakup bahan pelajaran yang luas, dan tidak terlalu banyak memerlukan lembaran kertas, sedangkan kelemahannya adalah memberikan peluang pada peserta tes untuk menjawab secara spekulasi, umumnya memiliki reliabilitas yang rendah (kecuali jika butir-butir soalnya dibuat dalam jumlah yang sangat banyak), dan ada kemungkinan butir-butir soal tidak dapat dijawab dengan kemungkinan benar atau salah saja. Konstruksi tes objektif bentuk benar-salah diupayakan mengikuti kaidah-kaidah berikut.

 Diyakinkan sepenuhnya bahwa butir soal dapat dipastikan benar atau salah.  Menghindari penulisan butir soal yang memindahkan satu kalimat secara

harfiah dari teks.

 Menghindari pernyataan negatif.  Menghindari pernyataan berarti ganda.  Menggunakan suatu bentuk yang tepat.

 Menghindari kata-kata kunci, seperti pada umumnya, semua, dan yang lain.  Menghindari jawaban benar yang berpola (Bloom, dalam Dimyati &

Mudjiono, 2009).

2) Tes Objektif Bentuk Menjodohkan ( Matching Test )

Tes objektif bentuk menjodohkan merupakan salah satu bentuk tes objektif dengan ciri-ciri terdiri dari satu seri pertanyaan dan satu seri jawaban, sedangkan tugas peserta adalah menemukan dan menempatkan jawaban-jawaban yang telah tersedia agar cocok dengan pertanyaannya. Berikut diberikan contoh soal menjodohkan.

Contoh:

Berikut ini terdapat dua daftar, yaitu daftar 1 dan 2. Temukan pasangan yang tepat dengan menuliskan huruf abjad yang terdapat pada daftar 2, pada titik-titik yang telah disediakan pada daftar 1.

No Daftar 1 Daftar 2

1 Bunyi yang dipantulkan hampir bersamaan dengan bunyi aslinya disebut (...)

A. Gema 2 Berteriak di dalam goa ataupun di depan

tebing akan menimbulkan (...)

B. Resonansi 3 Peristiwa ikut bergetarnya suatu benda akibat

memiliki frekuensi yang sama dengan oleh benda yang bergetar (...)


(28)

4 Piano memiliki bunyi frekuensi yang teratur, sehingga bunyi piano termasuk (...)

D. Desah 5 Suara ombak yang berdeburan memiliki

frekuensi tidak teratur sehingga bunyi ombak termasuk (...)

E. Nada

Menurut Sudijono (2005), kebaikan dari bentuk tes ini adalah pembuatannya mudah, dapat dinilai dengan mudah, cepat, dan objektif, faktor menebak praktis dapat dihilangkan jika tes dapat dibuat dengan baik, berguna untuk menilai berbagai hal (masalah-penyelesaian, teori-penemuan, sebab-akibat), sedangkan kelemahannya adalah lebih banyak mengungkap aspek hafalan, kurang baik untuk mengevaluasi pengertian dan kemampuan penafsiran, dan seringkali masuk hal-hal yang perlu untuk diujikan. Kelemahan-kelemahan tersebut tentunya dapat diminimalisir dengan mengikuti kaidah penulisannya yang baik. Kaidah yang dapat diikuti adalah sebagai berikut.

 Meyakinkan bahwa antara premis dan pilihan yang dijodohkan keduannya homogen.

 Menggunakan bentuk yang cocok.

 Dasar untuk menjodohkan setiap premis dan pilihan dibuat secara jelas. (Bloom, dalam Dimyati & Mudjiono, 2009).

3) Tes Objektif Bentuk Melengkapi ( Completion Test )

Bentuk tes ini memiliki ciri-ciri terdiri atas susunan kalimat yang bagian-bagiannya sudah dihilangkan (dihapuskan), bagian yang dihilangkan diganti dengan titik-titik (...), dan tugas peserta tes adalah melengkapi bagian yang dihilangkan tersebut.

Contoh:

1) Dongkrak Hidrolik merupakan penerapan dari Hukum ... 2) Gaya tarik-menarik antara partikel yang sejenis disebut ....

Menurut Sudijono (2005), bentuk tes ini memiliki kebaikan antara lain tes ini mudah disusun, lebih menghemat kertas, persyaratan komprehensif dapat dipenuhi karena bahan yang disajikan cukup beragam dan banyak,. Kelemahannya adalah pada umumnya digunakan untuk mengungkap hafalan saja, dapat terjadi bahwa butir-butir item dari tes kurang relevan untuk diujikan, kalimat-kalimat


(29)

soalnya sering kali dibuat dengan kurang hati-hati karena pembuatannya mudah. Kaidah yang dapat diikuti dalam penyusunannya adalah sebagai berikut.

 Meyakinkan bahwa pertanyaan dapat dijawab dengan kata atau penggalan kalimat yang mudah atau khusus, dan hanya ada satu jawaban yang benar.  Menggunakan bentuk yang cocok.

 Butir-butir soal dapat diputus-putus.

 Menghindari pemberian petunjuk ke arah jawaban yang benar. (Bloom, dalam Dimyati & Mudjiono, 2009).

4) Tes Objektif Bentuk Isian ( Fill in Test )

Tes ini biasanya berbentuk cerita atau karangan. Beberapa kata penting dalam cerita ini dikosongkan atau dihilangkan. Testee mendapat tugas untuk melengkapi bagian-bagian yang hilang.

Contoh:

Isilah titik-titik berikut dengan jawaban yang tepat!

Hukum I Newton memberikan bahwa jika ... (1) yang bekerja pada suatu benda sama dengan nol, maka benda yang semula diam akan ... (2) dan yang semula bergerak lurus beraturan akan ... (3). Hukum I Newton juga sering disebut sebagai hukum ... (4).

Menurut Sudijono (2005), bentuk tes ini memiliki sisi-sisi kebaikan dan kelemahan. Kebaikan yang dimaksud adalah masalah yang diujikan tertuang secara keseluruhan dalam konteksnya, butir-butir itemnya sangat berguna untuk mengungkap pengetahuan peserta tes secara bulat atau utuh mengenai suatu hal atau bidang, dan cara penyusunan itemnya mudah, sedangkan kelemahannya adalah bentuk tes ini cenderung lebih banyak mengungkap aspek pengetahuan atau pengenalan saja, umumnya banyak menghabiskan tempat karena berbentuk rangkaian cerita, sifatnya kurang komprehensif karena hanya mengungkap sebagian saja dari bahan yang semestinya diteskan, dan terbuka peluang bagi peserta tes untuk menebak-nebak. Kaidah penyusunan bentuk tes ini hampir sama dengan kaidah penyusunan tes objektif bentuk melengkapi, hanya saja bentuk tesnya berupa rangkaian cerita yang tidak boleh diputus-putus. Hal ini yang


(30)

membuat orang sering menyamakan antara tes objektif bentuk melengkapi dengan isian.

5) Tes Objektif Bentuk Pilihan Ganda ( Multiple Choice Item Test )

Arikunto (2002) menyatakan bahwa tes pilihan ganda terdiri atas suatu keterangan atau pemberitahuan tentang suatu pengertian yang belum lengkap. Secara umum format soal objektif pilihan ganda terdiri atas pokok soal yang diikuti oleh sejumlah pilihan jawaban (option). Di antara pilihan jawaban ada satu kunci jawaban (jawaban yang paling tepat), sedangkan pilihan lainnya berfungsi sebagai distraktor (pengecoh). Keunggulan soal bentuk pilihan ganda di antaranya adalah dapat diskor dengan mudah, cepat dan objektif sehingga dalam pemeriksaannya tidak selalu dilakukan oleh guru/pemberi tes, tetapi bisa dilakukan dengan bantuan orang lain atau bantuan komputer (khusus untuk lembar jawaban khusus komputer). Materi yang ditanyakan dapat mencakup ruang lingkup yang luas, sedangkan beberapa keterbatasannya antara lain memerlukan waktu yang relatif lama dalam mengkonstruksinya, sulit membuat pengecoh yang homogen dan berfungsi dengan baik, dan terdapat peluang untuk menebak kunci jawaban. Prinsip-prinsip pengkonstruksian soal pilihan ganda dapat diuraikan sebagai berikut.

 Soal harus sesuai dengan indikator yang akan diukur.  Setiap soal harus memiliki satu jawaban yang paling benar.

 Permasalahan yang akan ditanyakan harus ditempatkan pada pokok soal dan berisi pernyataan yang diperlukan saja.

 Pokok soal dihindarkan dari adanya petunjuk ke arah jawaban yang benar.  Kalau pokok soal merupakan pernyataan yang belum lengkap, maka kata-kata

yang melengkapi harus diletakkan pada ujung pernyataan.

 Pokok soal diusahakan tidak menggunakan ungkapan atau kata yang bermakna tidak tentu, misalnya seringkali atau kadang-kadang.

 Pokok soal sedapat mungkin dalam pernyataan atau pertanyaan positif. Jika terpaksa menggunakan pernyataan negatif maka kata negatif tersebut digarisbawahi atau ditulis tebal.


(31)

atas salah atau semua pilihan benar.

 Homogenitas pilihan jawaban harus logis ditinjau dari materi serta panjang rumusan pilihan jawabannya.

 Pilihan jawaban yang berbentuk angka atau waktu harus disusun berdasarkan urutan besar dan kecilnya nilai angka tersebut.

 Butir soal diupayakan tidak bergantung pada jawaban soal sebelumnya.

 Gambar, grafik, tabel, diagram dan sejenisnya yang terdapat pada pokok soal harus jelas dan berfungsi.

 Rumusan kata atau redaksi diupayakan tidak berlebihan (Phil & Indrawati, 2009).

Selain prinsip-prinsip tersebut, ada beberapa tambahan kaidah penulisan yang diperoleh dari Dimyati & Mudjiono (2009), yaitu alternatif jawaban (option) sebaiknya logis dan pengecoh harus berfungsi (menarik), dalam merakit soal diusahakan agar jawabanyang benar letaknya tersebar diantara a, b,c dan/atau yang lain ditentukan secara acak, sehingga tidak terjadi pola jawaban tertentu. Salah satu contoh butir tes pilihan ganda diperluas yaitu sebagai berikut.

Contoh:

Luffy memiliki dua buah gelang karet (karet A dan karet B) yang sama-sama ditegangkan kemudian dipetik hingga bergetar. Jika periode getaran gelang karet A lebih kecil daripada periode getaran karet B, maka...

a. Frekuensi getaran karet A lebih kecil daripada frekuensi getaran karet B b. Gerakan getaran karet A lebih lambat

c. Dalam waktu satu sekon, jumlah getaran pada karet A lebih banyak daripada jumlah getaran pada karet B

d. Amplitudo getaran pada karet A lebih besar daripada amplitudo getaran pada karet B.

2.7 Validasi isi dan Uji Statistik dalam Pengkonstruksian Tes Hasil Belajar 2.7.1 Validasi Isi (Penelaahan Soal)

Validitas isi adalah tingkat representatif sampling yang terdapat dalam muatan suatu perangkat (Kerlinger, 2000). Sebuah tes dikatakan memiliki


(32)

validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sesuai dengan materi pelajaran yang diberikan (Arikunto, 2002). Validitas isi tidak dapat dikuantisasi atau tidak memerlukan uji coba dan analisis statistik (Sudjana & Ibrahim, 2004), sehingga validitas isi tes ditentukan melalui pertimbangan para ahli. Secara umum, pertimbangan para ahli tersebut dilakukan dengan cara mengamati secara cermat semua item dalam tes yang hendak divalidasi, kemudian item-item dalam tes dikoreksi. Pada akhir perbaikan, para ahli juga diminta untuk memberikan pertimbangan tentang bagaimana tes tersebut menggambarkan cakupan isi yang hendak diukur.

2.7.2 Uji Coba Tes

Proses selanjutnya setelah dilakukan validasi isi adalah uji coba tes. Uji coba dilakukan pada siswa yang sudah pernah mempelajari materi yang terkandung dalam tes. Setelah diperoleh hasil uji coba, kemudian dilakukan analisis butir.

Analisis butir merupakan proses pengujian respon-respon siswa untuk masing-masing butir tes dalam upaya menjustifikasi kualitas item. Kualitas item, khususnya direpresentasi oleh daya beda item, tingkat kesukaran item, validitas butir, dan reliabelitas tes (Mehrens & Lehmann, 1984).

1) Indeks Daya Beda (IDB)

Daya beda item adalah kemampuan suatu item/soal dalam memisahkan antara subjek yang pandai dengan subjek yang kurang pandai dalam suatu kelompok (Arikunto, 2002). Sebelum menentukan daya beda item, terlebih dahulu ditentukan kelompok atas dan kelompok bawah. Penentuan masing-masing kelompok dilakukan dengan mengurutkan nilai siswa dari skor tertinggi ke skor terendah yang dicapai siswa. Daya beda item dapat dihitung dengan menggunakan formulasi untuk pilihan ganda sebagai berikut.

IDB =

T R RKA KB

2 1 

dengan IDB = Indeks Daya beda Butir, RKA = jumlah responden Kelompok Atas yang menjawab benar, RKB = jumlah responden Kelompok Bawah yang menjawab benar, dan T = jumlah responden seluruhnya.


(33)

Pada tes esai, daya beda item dapat diketahui dengan menggunakan formulasi sebagai berikut.

IDB =

) (Score Scoremin

N

L H

mx

Keterangan

H = jumlah skor kelompok atas,

L = jumlah skor kelompok bawah,

N = jumlah responden kelompok atas atau kelompok bawah, Scoremx = skor tertinggi butir, dan

Scoremin = skor terendah butir.

Klasifikasi daya beda yang umum digunakan adalah IDB = 0,00 yang berarti sangat jelek; 0,00 < IDB  0,20 adalah jelek; 0,20 < IDB  0,40 adalah cukup; 0,40 < IDB  0,70 adalah baik; dan 0,70 < IDB  1.00 adalah sangat baik. Kriteria pengujiannya adalah item dikatakan mempunyai daya beda yang baik jika IDB > 0,20 (Subana & Sudrajat, 2001).

2) Indeks Kesukaran Butir (IKB)

Indeks kesukaran butir bertujuan untuk menentukan apakah suatu instrumen terlalu sukar atau terlalu mudah bagi siswa, sehingga item benar-benar dapat menggambarkan kemampuan yang dimiliki siswa yang akan diukur kemampuannya. Penghitungan terhadap tingkat kesukaran butir tes pada pilihan ganda dapat dilakukan dengan menggunakan rumus berikut.

IKB =

T R

 100%

dengan IKB = Ideks Kesukaran Item, R = jumlah responden yang menjawab benar, dan T = jumlah responden seluruhnya.

Pada tes esai digunakan rumus berikut. IKB =

) (

2

) 2

(

min max

min

Score Score

N

Score N

L H

  

Keterangan

H = jumlah skor Kelompok Atas (KA),


(34)

N = jumlah responden pada KA atau KB, Scoremax = skor tertinggi butir, dan

Scoremin = skor terendah butir

Klasifikasi tingkat kesukaran yang umum digunakan adalah IKB = 0,00 berarti butir soal terlalu sukar, 0,00 < IKB  0,30 adalah sukar, 0,30 < IKB 

0,70 adalah sedang, 0,70 < IKB < 1,00 adalah mudah, dan IKB = 1,00 adalah terlalu mudah. Kriteria pengujiannya adalah suatu butir dapat digunakan apabila dapat memenuhi 0,20 < IKB < 0,80, yang berarti tingkat kesukarannya berada pada tingkat sedang (Subana & Sudrajat, 2001).

Contoh Analisis IKB dan IDB Pada Pilihan Ganda

Langkah-langkah dalam melakukan analisis butir adalah sebagai berikut. 1. Hasil pekerjaan siswa diperiksa dan diberikan skor secara teliti dan cermat,

kemudian skor-skor tersebut dimasukkan ke dalam Tabel 9. Tabel 9. Skor butir tes pilihan ganda

No. Resp

Skor Perbutir Skor

Total

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 4

2 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 8

3 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 7

4 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 6

5 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 5

6 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 3

7 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 5

8 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 5

9 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 3

10 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 6

2. Indeks daya beda (IDB) dan indeks kesukuran butir (IKB) dianalisis dengan melakukan berbagai hal berikut.

a) Hal yang pertama dilakukan adalah mengurutkan skor siswa dari yang tertinggi hingga yang terendah. Langkah ini dilakukan hanya dengan mengubah skor-skor pada Tabel 9 dengan mengurutkan dari skor tertinggi hingga terendah, seperti pada Tabel 10.


(35)

Tabel 10. Skor butir tes pilihan ganda setelah skor responden diurutkan

No. Resp Skor Perbutir Skor

Total

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 8

3 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 7

4 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 6

10 1 1 1 0 1 0 1 0 0 1 6

5 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 5

7 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 5

8 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 5

1 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 4

6 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 3

9 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 3

6 8 8 6 7 3 4 3 3 4 52

b) Kelompok atas (KA) dan kelompok (KB) ditetapkan dari skor-skor siswa yang telah diurutkan seperti pada Tabel 2. Jumlah KA atau KB disesuaikan dengan jumlah responden seluruhnya. Pada jumlah responden relatif banyak (sekitar 100), dapat digunakan angka 30%, 27%, 25%. Tetapi untuk jumlah responden relatif sedikit, jumlah tersebut dapat disesuaikan, bahkan jika hanya 40 orang, maka KA atau KB dapat ditetapkan 20.

c) Jumlah siswa pada KA maupun pada KB dihitung untuk masing-masing pilihan jawaban.

d) Sebagai contoh, misalkan jumlah responden seluruhnya adalah 10, maka KA = 5 dan KB = 5. Jumlah siswa pada KA dan KB yang menjawab pada masing-masing pilihan disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Sebaran jumlah siswa pada masing-masing pilihan

---Pilihan A B C* D E tidak memilih

KA 0 1 3 1 0 0

KB 1 0 2 1 1 0

-*) berarti kunci jawaban


(36)

IKB =

T R

 100% Berdasarkan contoh pada Tabel 4, maka IKB =

10 5

 100% = 50% = 0,50 Berdasarkan kriteria IKB tersebut, maka butir yang memiliki IKB = 0,50 termasuk butir sedang.

f) Indek Dayabeda Butir (IDB) dihitung dengan formula berikut.

Untuk contoh pada Tabel 4, berarti RKA = 12, RKB = 8, sehingga dapat dihitung IDB = 0,20, yang beraktegori rendah.

Contoh Analisis IKB dan IDB Pada Tes Esai

Pada tes esai, analisis butir hanya menyangkut IKB dan IDB. Prosedur analisisnya adalah sebagai berikut.

1. Semua jawaban responden pada semua butir tes dikoreksi kemudian ditabulasi ke dalam tabel kerja, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12. Pada Tabel 12, dicontohkan skor maksimum tiap item adalah 5 dan skor minimumnya adalah 0.

Tabel 12. Skor-skor Butir Tes Esai

No. Resp

Skor Perbutir Skor

Total

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 3 3 4 4 4 5 5 2 1 0 31

2 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 47

3 3 3 3 2 2 2 2 5 4 1 27

4 1 1 1 0 0 0 2 3 4 5 17

5 3 3 3 3 4 5 3 4 2 0 30

6 4 4 4 2 2 3 3 3 1 2 28

7 3 3 2 1 2 2 2 4 5 3 27

8 5 5 5 5 5 4 4 4 4 3 44

9 4 4 4 4 4 4 2 2 2 5 35

10 4 5 4 2 3 1 2 3 4 4

2. Skor-skor responden tersebut diurutkan dari yang tertinggi ke yang terendah, seperti pada Tabel 13.


(37)

Tabel 13. Skor Butir Tes Esai Setelah Skor-skor Responden Diurutkan

No. Resp

Skor Perbutir Skor

Total

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 47

8 5 5 5 5 5 4 4 4 4 3 44

9 4 4 4 4 4 4 2 2 2 5 35

10 4 5 4 2 3 1 2 3 4 4 32

1 3 3 4 4 4 5 5 2 1 0 31

5 3 3 3 3 4 5 3 4 2 0 30

6 4 4 4 2 2 3 3 3 1 2 28

3 3 3 3 2 2 2 2 5 4 1 27

7 3 3 2 1 2 2 2 4 5 3 27

4 1 1 1 0 0 0 2 3 4 5 17

3. Berdasarkan Tabel 13, dilakukan penetapan 50% dari urutan nomor 1 ke bawah sebagai KA dan 50% dari urutan terakhir ke atas sebagai KB. Jumlah skor-skor untuk masing-masing butir dihitung, baik pada KA maupun pada KB.

Kelompok Atas No.

Resp

Skor Perbutir Skor

Total

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 47

8 5 5 5 5 5 4 4 4 4 3 44

9 4 4 4 4 4 4 2 2 2 5 35

10 4 5 4 2 3 1 2 3 4 4 32

1 3 3 4 4 4 5 5 2 1 0 31

Jumlah 21 22 22 20 21 19 18 15 15 16

Kelompok Bawah No.

Resp

Skor Perbutir Skor

Total

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

5 3 3 3 3 4 5 3 4 2 0 30

6 4 4 4 2 2 3 3 3 1 2 28

3 3 3 3 2 2 2 2 5 4 1 27

7 3 3 2 1 2 2 2 4 5 3 27

4 1 1 1 0 0 0 2 3 4 5 17


(38)

4. IKB dan IDB masing-masing ditentukan dengan formula-formula berikut. IKB =

) ( 2 ) 2 ( min max min Score Score N Score N L H    

IDB =

) cos

(Score S emin

N L H mx  

Sebagai contoh, misalkan untuk menentukan IKB dan IDB soal nomor 1 adalah sebagai berikut.

IKB = 0,15

100 15 ) 0 5 ( 20 ) 0 20 ( 14 21      

IDB = 0,14

50 7 ) 0 5 ( 10 14 21    

Hasil analisis menunjukkan bahwa butir tes tersebut memiliki IKB dengan kategori sangat sukar dan IDB yang berkategori sangat rendah. 3) Validitas Butir

Validitas butir merupakan derajat konsistensi pengukuran yang ditampilkan oleh butir terhadap apa yang ingin diukur. Menurut Nazir (2003) dan Riduwan (2006) validitas butir dengan skor total pada tes hasil belajar dapat dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi product moment dengan persamaan sebagai berikut.



    2 2 2

2 X N Y Y

X N Y X XY N rxy Keterangan:

rxy = kofesien korelasi

N = jumlah sampel X = skor butir Y = skor total.

Menurut Long et al. (1985), klasifikasi pengujian yang digunakan adalah rxy  0,30 berarti valid (dapat langsung digunakan); 0,10  rxy 0,30 berarti valid

(tetapi direkomendasikan untuk direvisi kembali); rxy  0,10 ataupun bernilai

negatif berarti tidak valid (gugur). Dalam penelitian yang dilaksanakan, peneliti menggunakan soal yang memiliki rxy  0,30 dan 0,10  rxy 0,30.


(39)

Contoh Analisis Validitas Butir

Analisis validitas butir dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah berikut.

Contoh Analisis Validitas Butir Nomor 1

No Resp X Y XY X2 Y2

1 0 4 0 0 16

2 1 8 8 1 64

3 0 7 0 0 49

4 0 6 0 0 36

5 1 5 5 1 25

6 1 3 3 1 9

7 1 5 5 1 25

8 0 5 0 0 25

9 1 3 3 1 9

10 1 6 6 1 36

Σ 6 52 30 6 294

Syarat-syarat untuk menguji validitas butir soal:

a) Menggunakan persamaan korelasi product moment dengan anggka kasar: Di mana:

rXY adalah koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y, dua variabel

yang dikorelasikan

b) Derajat Kebebasan = 10-2 = 8

c) Harga “r” pada taraf signifikansi 5% dengan derajat kebebasan 8 adalah 0,632

 Jika rxy (korelasi product moment) > dar “r” tabel, maka soal tersebut dikatakan valid

 Jika rxy (korelasi product moment) < dar “r” tabel, maka soal tersebut dikatakan tidak valid atau drop

Kesimpulan: dari analisis validitas nomor 1 diperoleh nilai korelasi product momen sebesar -0,15945 lebih kecil dibandingkan r table, berate soal nomor 1 tersebut tidak valid.

2 ( )2



2 ( )2

) )( ( Y Y N X X N Y X XY N rXY           

10 6 (6)

10 294

  

52

0.15945 52

6 30 10

2 2 

      XY r


(1)

BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan

1. Prinsip atau dasar pertama dalam mengkonstruksi butir soal adalah soal tersebut harus mampu mengukur apa yang telah dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran. Prinsip ini harus mengacu pada tujuan pembelajaran yang ada dalam setiap kegiatan pembelajaran. Taksonomi tujuan pendidikan menurut Bloom yang direvisi oleh Anderson & Krathwohl, (2001) pada ranah kognitif, yaitu CI (Mengingat), C2 (Memahami), C3 (Mengaplikasikan), C4 (Menganalisis), C5 (Mengevaluasi), dan C6 (Mencipta).

2. Tes dapat didefinisikan sebagai suatu pertanyaan, tugas, atau seperangkat tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang atribut pendidikan atau psikologik tertentu. Setiap butir pertanyaan atau tugas tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar, dan bila tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka jawaban anda dianggap salah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan dalam rangka pengukuran dan penilaian dengan cara atau aturan-aturan yang telah ditentukan. Pada level pendidikan, peserta tes biasanya adalah siswa.

Kegunaan tes pada level pendidikan adalah untuk: 1) mengetahui tingkat kemampuan peserta didik, 2) mengukur pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, 3) mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik, 4) mengetahui hasil pengajaran, 5) mengetahui hasil belajar, 6) mengetahui pencapaian kurikulum, 7) mendorong peserta didik untuk belajar, dan 8) mendorong pendidik mengajar yang lebih baik dan peserta didik belajar lebih baik.

Ditinjau dari tujuannya, ada empat macam tes yang banyak digunakan dilembaga pendidikan, yaitu: 1) tes penempatan, 2) tes diagnostik, 3) tes formatif, 4) tes sumatif.

Tujuan tes pada level pendidikan adalah untuk: 1) mengetahui tingkat kemampuan peserta didik, 2) mengukur pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, 3) mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik, 4) mengetahui hasil pengajaran, 5) mengetahui hasil belajar, 6) mengetahui pencapaian


(2)

kurikulum, 7) mendorong peserta didik untuk belajar, dan 8) mendorong pendidik mengajar yang lebih baik dan peserta didik belajar lebih baik.

3. Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Tes Hasil Belajar, sebagai berikut.

a. Tes hasil belajar harus mengukur apa-apa yang telah dipelajari dalam proses pembelajaran sesuai dengan tujuan atau hasil pembelajaran yang diharapkan. Dengan demikian langkah pertama adalah menentukan hasil belajar yang akan diukur, apakah termasuk ranah kognitif, afektif, atau psikomotor, kemudian baru dilakukan perumusan tujuan pembelajaran khusus yang mencerminkan perilaku yang akan diukur.

b. Tes hasil belajar disusun benar-benar mewakili materi yang telah dipelajari siswa. Pada keperluan ini, penyusun tes dapat mengambil sampal materi apa saja yang mewakili dan patut ditanyakan kepada siswa.

c. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam THB hendaknya disesuaikan dengan aspek-aspek tingkat belajar yang diharapkan. Pada keperluan ini diperlukan pemahaman tipe dan ragam tes mana yang cocok untuk mengukur setiap aspek tingkat belajar yang diharapkan,misalnya siswa akan diukur untuk mengingat kembali fakta, maka tipe pertanyaan yang sesuai adalah jawaban singkat atau bentuk benar salah.

d. Tes hasil belajar disusun sesuai dengan tujuan penggunaan tes, misalnya untuk keperluan tes awal-tes akhir, tes penguasaan, diagnostik, prestasi, formatif, atau sumatif.

e. Tes hasil belajar disesuaikan dengan pendekatan pengukuran yang dianut, apakah mengacu pada kelompok (Norm-referenced Test: penilaian acuan norma) atau mengacu pada kriteria (Criterion-referenced Test: penilaian acuan kriteria).

4. Tes hasil belajar hendaknya dapat digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran. Prinsip ini merupakan tujuan utama dari pengujian siswa dengan catatan kelima prinsip di atas dilaksanakan dengan baik dan dilanjutkan dengan adanya tindak lanjut setelah hasil tes diketahui (Phil & Indrawati, 2009). Secara umum, proses penyusunan dan pengembangan tes meliputi penentuan tujuan tes, penyusunan kisi-kisi, pengkonstruksian soal, penelaahan soal, uji coba soal, perakitan soal, penyajian tes, skoring, pelaporan hasil tes, dan pemanfaatan hasil tes.


(3)

pedoman untuk mengkonstruksi tes atau merakit soal menjadi tes dengan salah satu bentuk yang dapat dipilih adalah kisi-kisi berbentuk matriks. Kisi-kisi tes berfungsi sebagai pedoman dalam penulisan soal dan perakitan tes. Kisi-kisi harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu 1) mewakili isi kurikulum yang akan diujikan, 2) komponen-komponennya rinci, jelas dan mudah dipahami, 3) dan soal-soalnya harus dapat dibuat sesuai dengan indikator dan bentuk soal yang ditetapkan (Surapranata, 2005). Komponen-komponen yang biasa digunakan dalam penyusunan kisi-kisi tes prestasi belajar adalah sebagai berikut: jenis/jenjang sekolah, mata pelajaran, tahun ajaran, kurikulum yang diacu, alokasi waktu, jumlah soal, bentuk soal, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, bahan kelas, jumlah soal, nomor urut soal, dan bentuk soal.

6. Pada tahapan pengkonstruksian tes ataupun penyusunan butir-butir tes, terdapat berbagai jenis tes yang dapat kita pilih. Khusus dalam evaluasi hasil belajar yang terkait dengan tes buatan guru (teacher made test), menurut Arikunto (2002) terdapat dua jenis tes yang dapat disusun meliputi tes subjektif dan tes objektif. Berdasarkan definisi mengenai tes objektif, maka dalam penyusunannya menurut Arikunto (2002) tes objektif terdiri dari berbagai jenis tes meliputi (1) tes benar salah (true-false), (2) tes pilihan ganda (multiple choice test), (3) tes menjodohkan (matching test), dan (4) tes isian (completion test).

7. Validitas isi adalah tingkat representatif sampling yang terdapat dalam muatan suatu perangkat (Kerlinger, 2000). Sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sesuai dengan materi pelajaran yang diberikan (Arikunto, 2006). Validitas isi tidak dapat dikuantisasi atau tidak memerlukan uji coba dan analisis statistik (Sudjana & Ibrahim, 2004), sehingga validitas isi tes ditentukan melalui pertimbangan para ahli. Setelah dilakukan validasi isi adalah uji coba tes. Uji coba dilakukan pada siswa yang sudah pernah mempelajari materi yang terkandung dalam tes. Setelah diperoleh hasil uji coba, kemudian dilakukan analisis butir. Analisis butir merupakan proses pengujian respon-respon siswa untuk masing-masing butir tes dalam upaya menjustifikasi kualitas item. Kualitas item, khususnya direpresentasi oleh


(4)

daya beda item, tingkat kesukaran item, validitas butir, dan reliabelitas tes (Mehrens & Lehmann, 1984).

3.2 Saran-Saran

Guna mewujudkan profesionalitas guru dalam mengevaluasi peserta didiknya, maka ada beberapa hal yang perlu dihayati ialah kemampuan menyesun butir soal dengan baik tidak hanya bersifat pengetahuan atau pemahaman, tetapi lebih berupa keterampilan. Bahkan untuk mencapai tahap mahir dalam kemampuan mengkonstruksi soal, maka aspek kiat akan mempunyai peran yang penting.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, O. W. & Krathwohl, D. R. 2001. A taxonomy for learning, teaching,

and assessing: a revision of bloom’s taxonomy of educational objectives.


(5)

Arikunto, S. 2002. Dasar-dasar evaluasi pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Arnyana, I. B. P. 2005. Pengembangan perangkat model belajar berdasarkan masalah dipandu strategi kooperatif serta pengaruh implementasinya terhadap kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa Sekolah Menengah Atas pada pelajaran Ekosistem. Disertasi (tidak diterbitkan). PSSJ Biologi, PPS Universitas Negeri Malang.

Ball, A. L. & Garton, B. L. 2005. Modeling higher order thinking: The alignment between objectives, classroom discourse, and assessments. Journal of

Agricultural Education. 46(2). 58-69.

Cakir, M. 2008. Constructivist approaches to learning in science and their implications for science pedagogy: A literature review. International

Journal of Environmental & Science Education, 3(4): 193-206.

Ennis, R. H. 1985. Goal critical thinking curriculum. Dalam: Costa, A. L. (Ed.): Developing Minds: a resourse book for teaching thinking. Alexandria, Virginia: Association for Supervision and Curriculum Developing (ASCD). 54-57.

Enger, S. R., & Yager, R. E. 2001 Assesing student understanding in science: A

standards-based K-12 handbook. California: Corwin Press, INC.

Hamalik, O. 2001. Teknik Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan. Bandung: Mandar Maju

Johnson, E. B. 2002. Contextual teaching and learning. Califorenia: Corwin Press, Inc.

Kerlinger, F. N. 2000. Asas-asas penelitian behavioral. Terjemahan: Foundation Behavioral Research, oleh: Simatupang, L. R. & Koesoemanto, H. J. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Liliasari, dan Darsati, S. 2002. Pengembangan model pembelajaran kimia analitik untuk meningkatkan mutu pendidikan guru kimia. Jurnal Pengajaran MIPA. 3 (1). 52-61.

Mehrens, W. A. & Lehmann, I. J. 1984. Measurement and evaluation in education

and psychology, Third edition. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Nasution, S. 2008. Metode research: Penelitian ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara. Nazir, M. 2003. Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.


(6)

Phil, E. H. M. & Indrawati. 2009. Penilaian Hasil Belajar untuk Guru SMP. Bandung: PPPPTK IPA.

Riduwan. 2006. Belajar mudah penelitian untuk guru, karyawan dan peneliti

pemula. Bandung: Alfabeta.

Santyasa, I W. 2005. Analisis butir dan konsistensi internal tes. Makalah.

Disajikan dalam work shop bagi para Pengawas dan Kepala Sekolah Dasar di Kabupaten Tabanan pada tanggal 20-25 Oktober 2005, di Kediri Tabanan Bali.

Suherman, E. 1993. Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka

Sukardi, H.M. 2009. Evaluasi Pendidikan Prinsip & Operasionalnya. Yogyakarta: Bumi Aksara

Suparno, P. 1997. Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Surapranata, S. 2004. Panduan Peniulisan Tes Tertulis: Implemetasi kurikulum 2004. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suryabrata, S. 2005. Metodologi penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Thomas, A., Thorne, G., & Small, B. 2000. Higher order thinking it’s HOT. CDL.

1 (3). 1-16.

Wakhinudin. 2010. Tes objektif. Artikel. Tersedia pada http:// wakhinuddin. wordpress.com /2010/06/03/ tes-objektif/ diakses pada tanggal 22 Desember 2011