Analisis sifat mekanik dan metalografi baja karbon untuk aplikasi tabungan gas 3 Kg

(1)

ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA

KARBON RENDAH UNTUK APLIKASI TABUNG GAS 3 KG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Oleh :

DEVINTA JULIAPTINI

NIM : 106097003255

PROGRAM STUDI FISIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA KARBON

RENDAH UNTUK APLIKASI TABUNG GAS 3 KG

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Sains dan Teknologi

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sains (S.Si.)

Oleh

DEVINTA JULIAPTINI

NIM: 106097003255

Pembimbing I,

PembimbingII,

Arif Tjahjono, M.Si

Edi Sanjaya, M.Si

NIP : 19751107 200701 1 015

NIP : 150 321 586

Mengetahui,

Ketua Prodi Fisika

Drs. Sutrisno M.Si


(3)

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul

ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA KARBON

RENDAH UNTUK APLIKASI TABUNG GAS 3 KG

telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Sains dan Teknologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal

29

Juni 2010

. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains (

S.Si ) pada Program Studi

Fisika.

Jakarta, 29 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Penguji I,

Penguji II,

Siti Ahmiatri Saptari, M.Si

Drs. Sutrisno, M.Si

NIP : 160477 200501 2008

NIP : 19590202 198203 1 005

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi,

Ketua Program Studi Fisika,

DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis

Drs. Sutrisno, M.Si


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan

hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juni 2010


(5)

i Abstrak

Telah dilakukan penelitian terhadap kualitas bahan baku tabung gas 3 kg terutama untuk mengetahui komposisi unsur pemadunya, kekuatan tarik, kelenturan, kekerasan, kekuatan terhadap benturan dan analisis metalografi. Adapun karakteristik untuk mutu material dari bahan baku tabung gas 3 kg tersebut harus berdasarkan SNI 1452:2007 atau JIS G3116 SG295 (standar of japan). Dalam JIS standar ini berisi tentang kualitas bahan baku yang digunakan sebagai aplikasi tabung gas, seperti komposisi kimia dan kekuatan tarik. Dari hasil pengujian tersebut diketahui bahwa bahan baku tabung gas 3 kg ini adalah jenis baja karbon rendah, dengan nilai kekuatan tarik (483Mpa), nilai kekerasan (140 HB), keuletan (50.57 N/mm2), nilai kekuatan bentur (23 J) sedangkan untuk analisis struktur mikronya bahwa bahan baku tabung gas 3 kg ini memiliki struktur mikro yang kasar atau kurang halus.


(6)

ii

Abstract

Have done a experiment to quality of raw material for gas tube 3 kg, especially for chemical composition, tensile test, banding test, hardeness test, impact test and analisys metalografy. Characteristic which qualify for material of gas tube have been arranged in SNI 1452:2007 or JIS G3116 SG295 (standard of Japan). In JIS standard, it is arranged quality of raw material to be used in gas tube application steel like chemical composition and tensile test. From the results of experiment know that type of this steel is low carbon steel, with value of tensile test (483 Mpa), hardness test (140 HB), banding test ( 50.57 N/mm2), impact test (23 J) and for analysis of mikro structure that this surface of raw material is harder than literature.


(7)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta bantuan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan judul ” ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA KARBON RENDAH UNTUK APLIKASI TABUNG GAS 3 KG.”

Dalam mewujudkan Tugas Akhir ini dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Allah SWT yang selalu melimpahkan segala nikmat dan anugerah-Nya, sehingga saya bisa menyelasaikan Tugas Akhir ini.

2. Kedua orang tua yang senantiasa selalu mengasihi dan menyayangi anaknya, atas motivasi serta doa yang tak henti-hentinya mengalir dalam tiap langkahku.

3. Bapak DR.Syopiansyah Jaya Putra , M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

4. Bapak Drs. Sutrisno, MSi selaku Ketua Prodi Fisika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Arif Tjahjono, ST, M. Si. selaku Dosen Pembimbing I yang telah dengan sabar membimbing saya dan banyak memberikan masukan serta kritik yang berguna bagi saya.


(8)

iv

6. Bapak Edi Sanjaya, M. Si. selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah dengan sabar membimbing saya memberikan masukan serta kritik yang berguna bagi saya dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

7. Teman-teman Fisika “06 UIN Jakarta (Geophysics-Team : Iiz, Iif, Cindi, bahtiar, Agung, Aji, Kia dan Ida), (Instrument Physics-Team : Iik, Putri, Shila, Dewi, Agus, Iwe, Dono, Karima), (Material Physics-Team : Rinan, Rusman, Ana, Absory) . Makasih ya wat kebersamaanya selama ini.

8. Special Thanks to teman-teman senasib dan seperjuangan Iiz faizah, Iif Latifa, Adjie Chico, Agung Satrio, Dewi Lestari, Rinan Ridwan Suhan Donoaji, Desi Solikhati (SI’06), Cindika Pandaini, Irwansyah. (‘Yang Telah Kalian Buat Sungguhlah Indah Buat Diriku Susah Lupa” ). Tak lupa pula adik-adik ku tercinta (Dini, Aida, Arin) yang senan tiasa memberikan senyuman dan canda tawanya sebagai semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Ahmad Fauzi yang telah menemani saya dalam melakukan penelitian ini, terimakasih yah.

Penulis menyadari bahwa ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya, sekalipun penulis telah berusaha dengan segala kemampuan yang ada sehingga karya ilmiah ini dapat tersusun. Untuk menyempurnakannya, penulis dengan senang hati menerima segala kritik dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan karya ilmiah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan Pembaca pada umumnya.

Ciputat, Juni 2010


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Batasan Masalah ... 3

1.5. Sistematika Penulisan ... 4

BAB II DASAR TEORI 2.1. Baja Dan Klasifikasinya ... 6

2.2. Diagram Fasa Baja karbon (Fe – C) ... 8

2.3 Proses Pembuatan Baja ... 10

2.4 Pengerjaan Mekanis Pada Baja ... 12

2.5. Proses Pembuatan Bahan ... 13

2.6. Pengujian Radiografi ... 15

2.7. Pengujian Metalografi ... 18

2.7.1. Cutting (Pemotongan) ... 18


(10)

2.7.3 Grinding (Pengamplasan) ... 20

2.7.4 Polishing (Pemolesan)... 21

2.7.5 Etching (Etsa) ... 22

2.8. Pengujian Kekerasan ... 23

2.9. Kekuatan Tarik Bahan ... 27

2.10. Pengujian Kelenturan ... 36

2.11 Pengujian Impak ... 37

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 43

3.2. Bahan dan Peralatan ... 43

3.2.1. Bahan ... 43

3.2.2. Peralatan Pembuatan Bahan... 44

3.2.3. Peralatan Pengujian ... 45

3.3. Penyiapan Bahan ... 45

3.4. Tahapan Penelitian ... 48

3.5. Pengujian Bahan ... 48

3.5.1. Pengujian Komposisi ... 49

3.5.2. Pengujian Metalografi ... 50

3.5.3. Pengujian Mekanik ... 55

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian Komposisi Kimia ... 61

4.2 Hasil Pengujian Kekuatan Tarik ... 64

4.3 Hasil Pengujian Bandability ... 66


(11)

4.5 Hasil Pengujian Impact ... 69 4.6 Hasil Pengamatan Metalografi (Struktur Mikro) ... 71 BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 74 5.2 Saran ... 75 REFERENSI ... 76


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi baja karbon berdasar kandungan karbon ... 7

Tabel 2.2 Komposisi kimia lembaran pelat baja karbon rendah sebagai spesimen penelitian. ... 7

Tabel 2.3. Skala pada Metode Uji Kekerasan Rockwel ... 27

Tabel 4.1. Perbandingan Komposisi Kimia antara Produk Bahan Baku dan Specifikasi Standar ... 61

Tabel 4.2 Data Hasil Pengujian Kekuatan Tarik ... 65

Tabel 4.3. Perbandingan Kekuatan Tarik Antara Sampel Dengan JIS ... 65

Tabel 4.4 Data Hasil Pengujian Keuletan ... 67

Tabel 4.5 Data Perbandingan Sampel Dengan Literatur. ... 67

Tabel 4.6 Data Hasil Pengujian Brinell ... 68


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagrm Fasa Fe-C ... 9 Gambar 2.2. Penekanan oleh hardened steel ball ... 25 Gambar 2.3. Hasil identasi brinell berupa jejak bentuk dengan ukuran

diameter dalam skala mm ... 25 Gambar 2.4. Skematis prinsip indentasi dengan metode Vickers ... 26 Gambar 2.5 Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat

baja ulet ... 28 Gambar 2.6 Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat

dari bahan getas. ... 30 Gambar 2.7 Grafik tegangan-regangan beberapa baja yang

memperlihatkan kesamaan modulus kekakuan ... 33 Gambar2.8 Perbandingan antara kurva tegangan-regangan rekayasa

dari baja karbon rendah. ... 34 Gambar 2.9 Ilustrasi penampang samping bentuk perpatahan benda

uji tarik sesuai tingkat keuletan/kegetasan ... 35 Gambar 2.10 Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik ... 35 Gambar 2.11. Ilustrasi skematis pengujian kekuatan benturan dengan

Charpy ... 37 Gambar 2.12. Ilustrasi skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy

dan Izod ... 38 Gambar 2.13. Efek temperatur terhadap kekuatan benturan beberapa


(14)

Gambar 2.14. Bentuk dan dimensi benda uji berdasarkan ASTM E23-56T ... 42

Gambar 3.1 Skema produksi SSP ... 44

Gambar 3.2 Diagram Alir penelitian ... 48

Gambar 3.3 Penggrindaan pada specimen uji ... 49

Gambar 3.4 Specimen ditempelkan pada pembangkit sinar x ... 49

Gambar 3.5 Survey meter pada uji radiografi ... 49

Gambar 3.6 Alat untuk melakukan pemotongan benda uji ... 50

Gambar 3.7 Sampel hasil pemotongan ... 50

Gambar 3.8 Mencetak sample cara dingin ... 51

Gambar 3.9 Peralatan untuk melakukan proses grinding ... 52

Gambar 3.10 Proses grinding ... 52

Gambar 3.11 Peralatan untuk melakukan proses polishing ... 54

Gambar 3.12 Peralatan mikroskopik untuk pengambilan photo struktur mikro ... 55

Gambar 3.13 Sampel uji tarik... 56

Gambar 3.14 Tensile test mechine ... 56

Grafik 3.15 Ekstenso meter ... 57

Gambar 3.16 Kurva Pengujian Tarik ... 57

Gambar 3.17 Benda setelah uji tarik ... 58

Gambar 3.18 Pengujian kelenturan... 58

Gambar 3.19 Alat mengukur bekas penekanan ... 59

Gambar 3.20 Pengujian metode brinell ... 59

Gambar 3.21 Impact test machine ... 60

Gambar 4.1 Struktur mikro baja karbon rendah pada sampel. ... 72


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Energi merupakan salah satu kebutuhan penting bagi masyarakat. Keberadaan energi ini sangat berpengaruh bagi ketercapaian kesejahteraan bagi masyarakat khususnya Indonesia. Indonesia memiliki sumber energi yang melimpah dan beragam, baik yang bersumber dari sumber energi fosil maupun sumber energi terbaharukan lainnya. Namun, sampai saat ini Indonesia masih belum dapat memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya sendiri.

Pada tahun 1994 produksi minyak bumi Indonesia mencapai puncak tertingginya lalu setelah itu terus menurun sampai sekarang sehingga jika tidak adanya cadangan minyak baru, maka dalam dua belas tahun lagi minyak bumi di Indonesia akan habis. Menurunnya produksi minyak dikarenakan eksploitasi berlebihan terhadap sumber energi fosil, sementara sumber energi terbaharukan tidak mendapat perhatian. Saat ini negara Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat tergantung dari negara lain untuk mencukupi kebutuhan energinya. Hal ini berdampak pada besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut.

Besarnya anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah tersebut membuat pemerintah harus melakukan upaya penghematan subsidi energi khususnya di sektor minyak tanah untuk rumah tangga yang diprediksikan akan membengkak sebagai akibat dari lonjakan harga minyak dunia yang terus meningkat. Salah satu


(16)

upaya penghematan tersebut adalah membuat program konversi energi dari minyak tanah ke gas LPG.

Program konversi energi dari minyak tanah ke gas LPG ini banyak menuai kontroversi di masyarakat Indonesia. Penyebabnya adalah mayoritas masyarakat Indonesia terutama dalam sektor rumah tanggga masih sangat bergantung dengan minyak tanah, selain itu juga penggunaan LPG sangat beresiko. Terbukti dalam satu bulan ini (April 2010) telah terjadi empat kali kebakaran yang disebabkan oleh meledaknya tabung gas LPG 3kg, pemicu kebakaran ini bisa di sebabkan karna kulitas tabung gas yang rendah atau kesalahan manusia sendiri. Disini akan di bahas dari segi kualitas bahan yang digunakan pada pembuatan tabung gas LPG 3kg.

Bahan yang digunakan untuk tabung gas LPG 3kg merupakan jenis baja karbon rendah dengan komposisi karbon %C< 0,3 % dan unsur penyusun utamanya terdiri dari besi (Fe) dan karbon (C), serta unsur-unsur lain seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang tersusun dalam persentase yang sangat kecil. Unsur-unsur tersebut sangat menunjang sebuah bahan memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik jika digunakan sesuai standar.1

Salah satu penyebab utama sering terjadinya kerusakan (failure) seperti bocor (leak) dan meledak (burst) dalam penggunaannya diakibatkan masih kurangnya pengontrolan terhadap kulitas bahan baku tabung gas tersebut oleh karenanya akan dilakukan pengkajian terhadap karakteristik bahan baku (raw material) tabungn gas 3kg yang diproduksi oleh salah satu perusahaan baja di Indonesia.

Adapun spesifikasi yang dipersyaratkan dalam aplikasinya sebagai bahan baku untuk tabung gas 3 kg adalah harus memenuhi JIS G3116 SG295 dan SNI

1


(17)

1452:2007. Untuk itu perlu dilakukan pengujian untuk memenuhi kedua persyaratan spesifikasi tersebut baik secara mekanik maupun struktur mikronya.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di jelaskan, bahwa setiap produk yang dihasilkan oleh setiap industri harus memenuhi standar yang telah ditetapkan, oleh karena itu diperlukan adanya pengujian kualitas dari produk yang telah dihasilkan, khususnya dalam aplikasi sebagai tabung gas 3kg. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah komposisi kimia, kekuatan tarik, kekerasan, keuletan dan kekuatan benturan produk bahan baku tabung gas LPG 3kg?

2. Bagaimanakah hasil pengamatan struktur mikro bahan baku hasil peleburan tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penulisan tugas akhir ini adalah :

1. Mengetahui komposisi kimia baja karbon rendah yang terkandung di dalam produk bahan baku tabung gas 3 kg.

2. Menentukan nilai kekuatan tarik, kelenturan, kekerasan dan ketahanan terhadap benturan produk bahan baku hasil peleburan.

3. Menganalisis struktur mikro produk bahan baku hasil peleburan.

1.4. Batasan Masalah

Penelitian ini difokuskan pada penentuan kualitas produk baja karbon rendah yang di uji secara mekanik dan struktur mikro untuk aplikasi tabung gas 3kg. Pengujian mekaniknya meliputi pengujian tarik (tensile testing), keuletan,


(18)

kekerasan, dan pengujian impact. Sedangkan pengujian struktur mikronya menggunakan pengujian metalografi dan untuk pengujian komposisi kimianya menggunakan radiografi. Hasil dari pengujian-pengujian tersebut akan dibandingkan dengan literatur pada spesifikasi JIS G3116 SG295. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bahan mentah atau belum melalui proses pembentukan menjadi tabung gas 3 kg.

1.5. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa bab. Penulis membaginya menjadi lima bab, secara singkat akan diuraikan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : DASAR TEORI

Pada bab ini akan dibahas tentang dasar – dasar teori yang didasarkan dari hasil studi literatur dan jurnal, seperti klasifikasi baja, pengujian komposisi kimia, pengujian tarik, pengujian kekerasan, pengujian kelenturan dan pengamatan metalografi.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini berisi tentang data yang diperlukan dalam penelitian, alat dan bahan yang dipergunakan, tahapan-tahapan dalam mengolah data tersebut.


(19)

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi tentang hasil yang didapat dari pengujian dan perhitungan, serta pembahasan tentang bagaimana perbandingan kualitas produk yang dilihat dari nilai kekuatan tarik, keuletan, kekerasan, kekuatan benturan dan metalografi dengan literatur pada JIS SG295.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini berisi kesimpulan dari hasil interpretasi dan pembahasan yang telah didapat pada bab sebelumnya.


(20)

BAB II DASAR TEORI

2.1. Baja Dan Klasifikasinya

Baja merupakan paduan yang terdiri dari unsur besi (Fe), karbon (C), dan unsur lainnya. Baja dapat dibentuk melalui pengecoran, pencanaian, atau penemperan. Karbon merupakan salah satu unsur terpenting karena dapat meningkatkan kekerasan dan kekuatan baja. Baja merupakan logam yang paling banyak digunakan di bidang teknik dalam bentuk pelat, pipa, batang, profil dan sebagainya. Secara garis besar baja dapat dikelompokan menjadi dua yaitu baja karbon dan baja paduan. Baja karbon terbagi menjadi tiga macam yaitu : baja karbon rendah ( 0.25%C), baja karbon sedang (0,25 - 0,55%), baja karbon tinggi ( 0,55). Sedangkan baja paduan terdiri dari baja paduan rendah dan baja paduan tinggi.2

Penggunaan dari masing-masing baja berbeda-beda berdasarkan kandungan karbon pada baja tersebut. Baja karbon rendah digunakan salah satunya untuk tabung gas LPG 3kg, kawat, baja profil, sekrup, ulir dan baut. Baja karbon sedang digunakan untuk rel kereta api, poros roda gigi, dan suku cadang yang berkekuatan tinggi, atau dengan kekerasan sedang sampai tinggi. Baja karbon tinggi digunakan untuk perkakas potong seperti pisau, milling cutter.

Bila dilihat dari komposisi kimianya baja karbon terbagi menjadi tiga macam yaitu : baja karbon rendah ( 0.25%C), baja karbon sedang (0,25 - 0,55%), baja karbon tinggi ( 0,55). Sedangkan baja paduan terdiri dari baja paduan rendah

2


(21)

dan baja paduan tinggi.3 yang terkandung dalam baja karbon rendah dalam bentuk pelat, dimana hasil komposisinya bisa dilihat pada Tabel 2.1. Baja karbon rendah adalah salah satu jenis baja karbon, dimana persentase unsur karbonnya di bawah 0,25%, untuk lebih jelas ditunjukkan pada Tabel 2.1, sedangkan unsur pembentuk lainnya seperti Mn tidak lebih dari 0,8%, Si tidak lebih dari 0,5%, demikian pula unsur Cu tidak lebih dari 0,6%.

Tabel 2.1 Klasifikasi baja karbon berdasar kandungan karbon

Jenis baja karbon Prosentase unsur karbon (%C)

1 Baja karbon rendah 0,25

2 Baja karbon medium 0,25 - 0,55

3 Baja karbon tinggi 0,55

Tabel 2.2 Komposisi kimia lembaran pelat baja karbon rendah sebagai spesimen penelitian.

Unsur Prosentase (%) Unsur Prosentase (%)

C 0,16 Ni 0,018

Si 0,17 Mo 0,0018

Mn 0,76 Cu 0,054

P 0,020 Al 0,012

S 0,0001 Fe 98,83

Cr 0,0064

Di samping jenis baja karbon berdasarkan kandungan karbonnya, juga dikelompokkan berdasarkan komposisi prosentasi unsur pemandu karbonnya seperti yang perlihatkan pada diagram fasa F

e– C Gambar 2.1, baja hypoeutektoid

kurang dari 0,8% C, baja eutektoid 0,8% C, sedangkan baja hypereutektoid lebih besar dari 0,8% C.4

3

Davis, Joseph R. !998. Metal Handbook desk edition ASM International

4


(22)

Dengan memperhatikan diagram fasa maka baja karbon rendah adalah jenis baja hypoeutektoid karena prosentase unsur pemandu karbonnya tidak melebihi 0,8% dan hanya mengandung 0,112% C.Pada kadar karbon 0,8 % akan terbentuk fasa perlit, yaitu fasa yang terbentuk lamel-lamel yang merupakan paduan antara ferrit sebagai matriksnya dan cementit sebagai lamel-lamelnya. Fasa cementit merupakan fasa yang terbentuk dengan kadar karbon maksimum 6,67 %. Sementara ferrit pada kadar karbon maksimum 0,02 %.

2.2. Diagram Fasa Baja karbon (Fe – C)

Baja murni yang dipanaskan akan mengalami dua perubahan struktur mikro sebelum baja tersebut meleleh. Pada suhu ruang bentuknya stabil disebut ferrit atau baja yang mempunyai susunan butir BCC.

Ferrit mengalami perubahan poli morfi dari BCC menjadi FCC austenit atau baja pada suhu 9120C (16740F). Austenit ini bertahan hingga suhu 13940C (25410F) pada suhu FCC austeit kembali pada BCC yang dikenal sebagai ferrit yang akhirnya mendidih pada 15380C (28000F). semua perubahan itu terlihat jelas sepanjang garis vertikal pada diagram fasa berikut.5

5


(23)

Karbon adalah sebuah komponen dalam baja membentuk larutan padat dengan yang lain setiap dan ferrit dan juga dengan austenite sebagaimna ditunjukan pada fasa tunggal , , dan pada diagram fasa diatas dalam BCC ferrit hingga sedikit konsentrasi karbon yang larut. Makismum daya larut adalah 0,02% pada suhu 7270C (13410F). Batas daya larut ditunjukan dengan bentuk dan ukuran BCC position yang membuat baja sulit menampung atom karbon, walaupun keberadaan karbon reletif kecil, karbon sangat besar mempengaruhi sifat mekanis baja karbon.6

Austenite atau fasa dari baja, jika dipadukan dengan sedikit karbon maka akan tidak setabil dibawah suhu 7270C (13410F) sebagaimana ditunjukan dalam diagram fasa diatas. Maksimum daya larut karbon dalam austenite adalah 2,11% . Daya larut maksimum ini mendekati 100 kali lebih besar dari daya larut maksimum BCC ferit.

6

Clark, Donal S. & Varney, Willbur R. Physical metallurgy for engineering Gambar 2.1 Diagrm Fasa Fe-C


(24)

Perubahan fasa yang terjadi dari fasa ke dalam fasa + Fe3C adalah

relative kompleks. Untuk kemudahan dalam memahami perubahan fasa, sebagai contoh adalah sebuah baja karbon dengan kandungan karbon 0,77% yang didinginkan dari temperature fasa sekitar 8000C. pada temperature ini perubahan struktur mikro berubah menjadi fasa yang mempunyai kandungan karbon lebih rendah yaitu 0,022% seperti FeC. Perubahan fasa ini mempengaruhi penyebara karbo karena ketiga fasa mempunyai komposisi yang berbeda.7

2.3 Proses Pembuatan Baja

Proses pembuatan baja diawali dengan proses peleburan bahan baku baja yang berupa besi kasar (pig iron) atau berupa besi spons (sponge iron). Disamping itu bahan baku lain yang biasanya digunakan dalam proses pembuatan baja adalah skrap baja (baja bekas) dan bahan-bahan penambah seperti ingot ferosilikon, feromangan dan batu kapur. Proses peleburan dapat dilakukan pada tungku BOF (Basic Oxygen Furnace) atau pada tungku busur listrik (Electric Arc Furnace/EAF), namun selain dua metode tersebut juga terdapat banyak metode lain yang digunakan untuk proses pembuatan baja. Tanpa memperhatikan tungku atau proses yang diterapkan, proses peleburan baja pada umumnya mempunyai tiga tujuan utama, yaitu :

1. Mengurangi sebanyak mungkin bahan-bahan yang bersifat impuritas.

2. Mengatur kadar karbon agar sesuai dengan tingkat grade/spesifikasi baja yang diinginkan.

3. Menambah elemen-lemen pemadu yang diinginkan.

7


(25)

Bahan yang dijadikan sempel pada penelitian ini dibuat dengna menggunakan proses peleburan baja dengan teknik EAF (electric Arc Furnace). Proses peleburan dalam EAF ini menggunakan energi listrik. Panas dihasilkan dari busur listrik yang terjadi pada ujung bawah dari elektroda. Energi panas yang terjadi sangat tergantung pada jarak antara elektroda dengan muatan logam didalam tungku. Bahan elektroda biasanya dibuat dari karbon atau grafit. Kapasitas tungku EAF ini dapat berkisar antara 2-200 ton dengan waktu peleburannya berkisar antara 3-6 jam.8

Bahan baku yang dilebur biasanya berupa besi spons (sponge iron) yang dicampur dengan skrap baja. Penggunaan besi sponge dimaksudkan untuk menghasilkan kualitas baja yang lebih baik. Tetapi dalam banyak hal (terutama untuk pertimbangan biaya) bahan baku yang dilebur seluruhnya berupa skrap baja, karena skrap baja lebih murah debandingkan dengan besi spons.

Disamping bahan baku diatas, bahan-bahan lainnya yang ditambahkan pada EAF adalah batu kapur, ferosilikon, feromangan, dan lain-lain dengan maksud memisahkan dari kotoran yang menempel agar terbentuk baja murani tanpa impuritas. Peleburan baja dengan EAF ini dapat menghasilkan kualitas baja yang lebih baik karena tidak terjadi kontaminasi oleh bahan bakar atau gas yang digunakan untuk proses pemanasannya.

8


(26)

2.4 Pengerjaan Mekanis Pada Baja

Pengerjaan mekanis baja dilakukan untuk meningkatkan sifat-sifat mekanis pada baja agar lebih baik lagi, pengerjaan mekanis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengerjaan panas dan pengerjaan dingin.

a. Pengerjaan Panas

Pengerjaan panas atau perlakuan panas adalah proses memanaskan baja sampai temperature tertentu dan kemudian didinginkan dengan metode tertentu. Tujuan pengerjaan panas adalah untuk memberikan sifat yang lebih sempurna pada baja. Proses ini dapat mengubah sifat baja dengan cara mengubah ukuran butirnya, juga mengubah unsur pelarutnya terutama karbon dalam jumlah yang lebih kecil.

Proses perlakuan panas secara luas dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu proses perlakuan panas yang menghasilkan kondisi seimbang dan proses perlakuan panas yang menghasilkan kondisi tidak seimbang. Dalam kondisi seimbang suatu material mempunyai nilai kekerasan yang kurang, tetapi memiliki nilai kekenyalan lebih tinggi dari kondisi yang tidak seimbang. b. Pengerjaan Dingin (Annealing)

Proses Annealing dapat didefinisikan sebagai pemanasan pada temperature yang sesuai, diikuti dengan pendinginan pada kecepatan yang sesuai pula.9 Hal ini bertujuan untuk melunakan, memperbaiki sifat-sifat pengerjaan dingin dan membebaskan tegangan pada baja sehingga diperoleh struktur yang dikhendaki.

Sifat-sifat baja yang disebutkan pada definisi di atas dapat diartikan bahwa baja harus dipanaskan sampai temperature pengkristalan kembali untuk

9


(27)

membebaskan tegangan-tegangan yang ada dalam baja. Kemudian mempertahankan pemanasannya pada temperature tinggi untuk membuat sedikit pertumbuhan butir pada struktur austenit. Selanjutnya didinginkan secara perlahan-perlahan untuk membuat struktur lapisan perlit, sehingga sifat baja yang dihasilkan menjadi lebih lunak dan ulet.

2.5. Proses Pembuatan Bahan

Pealatan utama yang digunakan pabrik baja lembaran panas memiliki fungsi dan cara kerja masing-masing sebaimana tersebut dibawah ini:

a. Reheating Furnace

Merupakan peralatan berbentuk dapur untuk memanaskan slab agar dicapai temperatur mampu tempa sehingga mamudahkan proses pengerolan dan mencegah perubahan fisik slab. Pemanasan ini dilakukan dalam 3 zona yaitu, preheating mencapai 6000C, heating mencapai 9000C dan soaking

mencapai temperatur 1250-12800C. b. Sizing Press

Peralatan ini mempunyai fungsi utama untuk mereduksi lebar dari slab, sehingga dapat meringankan kerja vertical edger yang beraada di roughing. Temperature slab pada proses ini adalah sekitar ± 12000C

c. Roughing Mill

Pada peralatan ini berfungsi untuk mereduksi tebal slab sekaligus untuk mengurangi beban pengerolan pada finishing mill. Tipe roghing mill yang digunakan adalah four high mill disebut demikian karena mesin ini terdiri dari 4 buah roll yang disusun secara vertikal yaitu dua buah work roll dan dua buah back up roll. Digunakan untuk mereduksi tebal slab, sedangkan untuk


(28)

mereduksi lebar slab didunakan l vertical edger. Hasil slab dari roging mill disebut dengan transfer bar atau forband (jerman).

d. Thermopanel

Merupakan suatu peralatan berupa coper isolasi panas penutup roler table antara loging mill dan finishing mill yang berfungsi mengurangi kehilangan panas slab ke lingkungan sekitar dengan demikian temperatur sepanjang slab relative konstan sebesar 1100 oC sebelum memasuki finishing mill. Alat ini seperti housing atau penutup berbentuk U yang digerakkan oleh sistem hidrolik. Terdapat 12 stand thermopanel, dimana masing-masing stand panjangnya 5-7 meter.

e. Corp Shear

Merupakan peralatan yang digunakan untuk memotong ujung depan (kepala) dan ekor pada transfer bar. Proses pemotongan ini bertujuan untuk menghasilkan ujung depan dan belakang yang rata untuk proses finishing. Crop shear ini terpasang didepan finishing stand F1.

f. Finishing Mill

Merupakan peralatan yang berfungsi untuk mengerol slab sehingga diakhir finising mill didapatkan tebal strip yang diinginkan. Stand finishing mill berjumlah 6 buah (disebut F1 s/d F6). Selama proses pengerolan difinishing stand transfer bar akan mengalami reduksi ketebalan yang berbeda disetiap stand karena pengaturan gap antara kedua work roll yang berbeda di setiap stand.


(29)

g. Laminar Cooling

Setelah proses melalui finishing mill maka tahapan untuk pengerolan dipastikan selesai dan hasil dari strip tersebut kemudian didinginkan menggunakan laminar colling. Pendinginan ini berfungsi untuk mendapatkan temperatur yang sesuai dengan temperatur penggulungan strip pada down coiller. Tujuan utama dari pendinginan ini adalah untuk mencapai temperatur kristalisasi yang sesuai untuk membentuk struktur mikro yang diinginkan sesuai dengan standar mutu (steel grade) yang diinginkan. Pendinginan dilakukan dengan menyemprotkan air diatas dan dibawah slab dengan tekanan air 1 s/d 2 bar.

h. Down Coiler

Setelah mengalami proses pengerolan, maka proses berikutnya adalah penggulungan strip, menjadi coil di down coiler. Jadi, fungsi dari coiler adalah menggulung strip menjadi coil.

i. Shearing Line

Ini berfungsi untuk membuat plat dan merevisi coil-coil yang kurang baik dari hasil pengerolan.

2.6. Pengujian Radiografi

Pengujian radiografi merupakan salah satu percobaan Non Destructive Testing (NDT) yang secara garis besar dikelompokan dalam dua metoda, yaitu metoda radiasi dan non radiasi. Pengujian radiografi ini termasuk kedalam metoda radiasi yaitu metoda pemeriksaan dengan memanfaatkan sinar radiasi yang dipancarkan oleh isotop tertentu dan mesin pembangkit sinar x.


(30)

Metoda pemeriksaan tersebut diaplikasikan sebagai “Quality Control” dalam produk metalurgi, proses metalurgi. Dari gambaran tersebut maka metoda NDT mempunyai peranan penting dalam inspeksi dan kontrol sehubungan dengan produksi industri, kontruksi, instalasi dan operasi dari fasilitas industri.

1. Sumber Radiasi Untuk Radiografi

Sumber radiasi yang digunakan sebagai pendukung pengujian radiografi untuk menentukan komposisi kimia ini adalah radiasi sinar x, sebagaiman dijelaskan dibawah ini.

a. Pembangkit Sinar X

Prinsip kerja sinar x yaitu dua buah kutub listrik katoda yang cukup tinggi dan berada di ruang hampa. Pada katoda (yang berupa filamen) akan dipancarkan electron, karena dalam tabung hampa maka electron-elektron dari katoda akan bergerak sangat cepat kearah anoda. Terjadi tumbukan dan electron akan kehilangan energi yang berubah menjadi panas (sebagian besar) dan pancaran sinar x (sebagian kecil).

Panas yang timbul di anoda harus didinginkan agar target tidak meleleh atau rusak. Banyaknya elektron yang dilepas oleh katoda (filament) sebanding dengan arus yang diberikan kepada filament, sedangkan tegangan-tegangan positip yang diberikan kepada anoda adalah berhubungan erat dengan kecepatan electron yang menumbuk anoda (target) dan mempunyai hubungan dengan energi sinar yang dipancarkan.

Penetrasi sinar x ditentukan oleh besar tegangan (kV) yang dihasilkan oleh pemancar sinar x. Hubungan antara panjang gelombang dengan kV adalah

kV

A

0

4

.

121

=

λ

kV


(31)

makin kecil daya tembus sinar x semakin besar, sedangkan kuantitas sinar x dapat diatur melalui arus (mA) pada filamen. Dua hal yang dapat diatur dalam

control box dari pesawat sinar x adalah arus dan tegangan. b. Interaksi sinar x, dengan materi (benda uji)

Bila suatu materi dengan ketebalan tertentu diradiasi maka intensitas radiasi semula diperlemah setelah melewati material, karena terjadi proses atenuasi.

I = I0 e- µx

I = Intensitas sinar x, setelah menembus material I0 = Intensitas mula-mula

µ = koefisien pelemahan linear x = tebal material

Perbedaan intesitas inilah yang dipakai sebagai dasar atau dimanfaatkan dalam teknik radiografi. Jika dipakai detector, maka perbedaan intensitas I1 dan I2

akan menghasilkan tingkat kehitaman yang berbeda pada film radiografi. Proses pelemahan sinar x atau akibat interaksi dengan materi dapat dibedakan atas tiga pristiwa, yaitu :

- Efek photolistrik - Pair production - Hamburan Compton


(32)

2.7 Pengujian Metalografi

Pengujian metalografi ini dilakukan untuk menganalisa struktur mikro pada sampel. Adapun prinsip dasar langkah-langkah untuk melakukan pengujian ini adalah sebadagai berikut :

2.7.1. Cutting (Pemotongan)

Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi mikroskopik merupakan hal yang sangat penting. Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada tujuan pengamatan yang hendak dilakukan. Pada umumnya bahan komersil tidak homogen, sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar tidak dapat dianggap representatif. Pengambilan sampel harus direncanakan sedemikian sehingga menghasilkan sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata bahan atau kondisi di tempat-tempat tertentu (kritis), dengan memperhatikan kemudahan pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah yang akan diamati mikrostruktur maupun makrostrukturnya. Sebagai contoh, untuk pengamatan mikrostruktur material yang mengalami kegagalan, maka sampel diambil sedekat mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah kritis dengan kondisi terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang diambil dari daerah yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam proses memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang berlebihan. Oleh karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan yang memadai.

Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong yang digunakan, yaitu meliputi proses pematahan, pengguntingan, penggergajian, pemotongan abrasi (abrasive cutter), gergaji kawat, dan EDM (Electric Discharge


(33)

Machining). Berdasarkan tingkat deformasi yang dihasilkan, teknik pemotongan terbagi menjadi dua, yaitu :

a) Teknik pemotongan dengan deformasi yang besar, menggunakan gerinda b) Teknik pemotongan dengan deformasi kecil, menggunakan low speed

diamond saw.

2.7.2 Mounting

Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran metal tipis, potongan yang tipis, dll. Untuk memudahkan penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu media (media mounting). Secara umum syarat-syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah :

1. Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa) 2. Sifat eksoterimis rendah

3. Viskositas rendah 4. Penyusutan linier rendah 5. Sifat adhesi baik

6. Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel

7. Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk ketidakteraturan yang terdapat pada sampel

8. Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting harus kondusif


(34)

Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan jenis reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang dicampur dengan hardener, atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun bahan castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga kurang cocok untuk material-material yang keras. Teknik mounting yang paling baik adalah menggunakan thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit. Material ini berupa bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam. Thermosetting mounting membutuhkan alat khusus, karena dibutuhkan aplikasi tekanan (4200 lb/in2) dan panas (1490C) pada mold saat mounting.

2.7.3 Grinding (Pengamplasan)

Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan menggunakan kertas amplas silicon karbit (SiC) dengan berbagai tingkat kekasaran yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh, yaitu kombinasi dari 220, 330, 500, 600, 800, dan 1000. Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan oleh pemotongan. Seperti perubahan struktur akibat panas yang timbul pada saat proses pemotongan dan perubahan bentuk sample akibat beban alat potong.


(35)

Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian air. Air berfungsi sebagai pemidah geram, memperkecil kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Hal lain yang harus diperhatikan adalah ketika melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 450 atau 900 terhadap arah sebelumnya.

2.7.4 Polishing (Pemolesan)

Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan. Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidakteraturan sampel hingga orde 0.01 m. Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop harus benar-benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel.

Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan antara lain yaitu sebagai berikut :

a. Pemolesan Elektrolit Kimia

Hubungan rapat arus & tegangan bervariasi untuk larutan elektrolit dan material yang berbeda dimana untuk tegangan, terbentuk lapisan tipis pada permukaan, dan hampir tidak ada arus yang lewat, maka terjadi proses etsa. Sedangkan pada tegangan tinggi terjadi proses pemolesan.


(36)

b. Pemolesan Kimia Mekanis

Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur dengan larutan pengetsa yang umum digunakan.

c. Pemolesan Elektro Mekanis (Metode Reinacher)

Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis pada piring pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia, tembaga, kuningan, dan perunggu.

2.7.5 Etching (Etsa)

Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk beberapa material, mikrostruktur baru muncul jika diberikan zat etsa. Sehingga perlu pengetahuan yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat.

a. Etsa Kimia

Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia dimana zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati. Contohnya antara lain: nitrid acid / nital (asam nitrit + alkohol 95%), picral (asam picric + alkohol), ferric chloride, hydroflouric acid, dll. Perlu diingat bahwa waktu etsa jangan terlalu lam (umumnya sekitar 4 – 30 detik), dan setelah dietsa, segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan alkohol kemudian dikeringkan dengan alat pengering.


(37)

b. Elektro Etsa (Etsa Elektrolitik)

Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektoetsa. Cara ini dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik serta waktu pengetsaan. Etsa jenis ini biasanya khusus untuk stainless steel karena dengan etsa kimia susah untuk medapatkan detil strukturnya.

2.8. Pengujian Kekerasan

Kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahanan material tersebut terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih keras. Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan (scratching), pantulan ataupun indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda uji. Berdasarkan mekanisme penekanan tersebut, dikenal 3 metode uji kekerasan:

a. Metode gores

Metode ini tidak banyak lagi digunakan dalam dunia metalurgi dan material lanjut, tetapi masih sering dipakai dalam dunia mineralogi. Metode ini dikenalkan oleh Friedrich Mohs yang membagi kekerasan material di dunia ini berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs). Skala ini bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah hingga skala 10 sebagai nilai kekerasan tertinggi, sebagaimana dimiliki oleh intan.

b. Metode elastik/pantul (rebound)

Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat Scleroscope yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan berat tertentu yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan benda uji. Tinggi pantulan (rebound) yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji.


(38)

Semakin tinggi pantulan tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur, maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi.

c. Metode indentasi

Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Kekerasan suatu material ditentukan oleh dalam ataupun luas area indentasi yang dihasilkan (tergantung jenis indentor dan jenis pengujian). Berdasarkan prinsip bekerjanya metode uji kekerasan dengan cara indentasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Pengujian Brinell

Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh J.A. Brinell pada tahun 1900. Pengujian kekerasan dilakukan dengan memakai bola baja yang diperkeras (hardened steel ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.2. Hasil penekanan adalah jejak berbentuk lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya di bawah mikroskop khusus pengukur jejak. Contoh pengukuran hasil penjejakan diberikan oleh Gambar 2.3. Pengukuran nilai kekerasan suatu material diberikan oleh rumus:

dimana P adalah beban (kg), D diameter indentor (mm) dan d diameter jejak (mm).


(39)

Gambar 2.2. Penekanan oleh hardened steel ball

Prosedur standar pengujian mensyaratkan bola baja dengan diameter 10 mm dan beban 3000 kg untuk pengujian logam-logam ferrous, atau 500 kg untuk logam-logam non-ferrous. Untuk logam-logam ferrous, waktu indentasi biasanya sekitar 10 detik sementara untuk logamlogam non-ferrous sekitar 30 detik. Walaupun demikian pengaturan beban dan waktu indentasi untuk setiap material dapat pula ditentukan oleh karakteristik alat penguji. Nilai kekerasan suatu material yang dinotasikan dengan ‘HB’ tanpa tambahan angka di belakangnya menyatakan kondisi pengujian standar dengan indentor bola baja 10 mm, beban 3000 kg selama waktu 1—15 detik. Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB diikuti angka-angka yang menyatakan kondisi pengujian. Contoh: 75 HB 10/500/30 menyatakan nilai kekerasan Brinell sebesar 75 dihasilkan oleh suatu pengujian dengan indentor 10 mm, pembebanan 500 kg selama 30 detik.

Gambar 2.3. Hasil identasi brinell berupa jejak bentuk dengan ukuran diameter dalam skala mm


(40)

2) Pengujian Vickers

Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136o, seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.4. Prinsip pengujian adalah sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop pengujur jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:

2

d P 1.854

VHN=

dimana d adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk bujur sangkar.

Gambar 2.4. Skematis prinsip indentasi dengan metode Vickers

3) Pengujian Rockwell

Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers dimana kekerasan suatu bahan dinilai dari diameter/diagonal jejak yang dihasilkan maka metode Rockwell merupakan uji kekerasan dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini banyak dipakai dalam industry karena pertimbangan praktis. Variasi dalam beban dan indetor yang digunakan membuat metode ini memiliki banyak macamnya. Metode yang paling umum dipakai adalah Rockwell B (dengan


(41)

indentor bola baja berdiameter 1/6 inci dan beban 100 kg) dan Rockwell C (dengan indentor intan dengan beban 150 kg). Walaupun demikian metode Rockwell lainnya juga biasa dipakai. Oleh karenanya skala kekerasan Rockwell suatu material harus dispesifikasikan dengan jelas. Contohnya 82 HRB, yang menyatakan material diukur dengan skala B: indentor 1/6 inci dan beban 100 kg. Berikut ini diberikan Tabel 2.3 yang memperlihatkan perbedaan skala dan range uji dalam skala Rockwell:

Tabel 2.3. Skala pada Metode Uji Kekerasan Rockwel

2.9. Kekuatan Tarik Bahan

Uji tarik rekayasa sering dipergunakan untuk melengkapi informasi rancangan dasar kekuatan suatu bahan dan sebagai data pendukung bagi spesifikasi bahan. Pada uji tarik, benda uji tarik diberi beban gaya tarik sesumbu yang bertambah besar secara kontinyu. Sampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan beban kontinyu sambil diukur pertambahan panjangnya. Data yang didapat berupa perubahan panjang dan perubahan beban


(42)

yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik tegangan-regangan. Data-data penting yang diharapkan didapat dari pengujian tarik ini adalah perilaku mekanik material dan karakteristik perpatahan.

Pengujian tarik yang dilakukan pada suatu material padatan (logam dan nonlogam) dapat memberikan keterangan yang relatif lengkap mengenai perilaku material tersebut terhadap pembebanan mekanis. Informasi penting yang bisa didapat adalah:

a. Batas proporsionalitas (proportionality limit)

Merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai hubungan proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan akan diikuti dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan linier = E (bandingkan dengan hubungan y = mx; dimana y mewakili tegangan; x mewakili regangan dan m mewakili slope kemiringan dari modulus kekakuan). Titik P pada Gambar 2.5 di bawah ini menunjukkan batas proporsionalitas dari kurva tegangan-regangan.


(43)

b. Batas elastis (elastic limit)

Daerah elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali kepada panjang semula bila tegangan luar dihilangkan. Daerah proporsionalitas merupakan bahagian dari batas elastik ini. Selanjutnya bila bahan terus diberikan tegangan (deformasi dari luar) maka batas elastis akan terlampaui pada akhirnya sehingga bahan tidak akan kembali kepada ukuran semula. Dengan kata lain dapat didefinisikan bahwa batas elastis merupakan suatu titik dimana tegangan yang diberikan akan menyebabkan terjadinya deformasi permanen (plastis) pertama kalinya. Kebanyakan material teknik memiliki batas elastis yang hampir berimpitan dengan batas proporsionalitasnya.

c. Titik luluh (yield point) dan kekuatan luluh (yield strength)

Titik ini merupakan suatu batas dimana material akan terus mengalami deformasi tanpa adanya penambahan beban. Tegangan (stress) yang mengakibatkan bahan menunjukkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh (yield stress). Titik luluh ditunjukkan oleh titik Y pada Gambar 2.5 di atas. Gejala luluh umumnya hanya ditunjukkan oleh logam-logam ulet dengan struktur Kristal BCC dan FCC yang membentuk interstitial solid solution dari atom-atom carbon, boron, hidrogen dan oksigen. Interaksi antara dislokasi dan atom-atom tersebut menyebabkan baja ulet seperti mild steel menunjukkan titik luluh bawah (lower yield point) dan titik luluh atas(upper yield point). Untuk menentukan kekuatan luluh material seperti ini maka digunakan suatu metode yang dikenal sebagai

Metode Offset.

Dengan metode ini kekuatan luluh (yield strength) ditentukan sebagai tegangan dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari


(44)

proporsionalitas tegangan dan regangan. Pada Gambar 2.6 di bawah ini garis offset OX ditarik paralel dengan OP, sehingga perpotongan XW dan kurva tegangan-regangan memberikan titik Y sebagai kekuatan luluh. Umumnya garis offset OX diambil 0.1 – 0.2% dari regangan total dimulai dari titik O.

Gambar 2.6 Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat dari bahan getas.

Kekuatan luluh atau titik luluh merupakan suatu gambaran kemampuan bahan menahan deformasi permanen bila digunakan dalam penggunaan struktural yang melibatkan pembebanan mekanik seperti tarik, tekan bending atau puntiran. Di sisi lain, batas luluh ini harus dicapai ataupun dilewati bila bahan (logam) dipakai dalam proses manufaktur produk-produk logam seperti proses rolling,

drawing, stretching dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa titik luluh adalah suatu tingkat tegangan yang:

• Tidak boleh dilewati dalam penggunaan struktural (in service) • Harus dilewati dalam proses manufaktur logam (forming process) • Kekuatan tarik maksimum (ultimate tensile strength)

Merupakan tegangan maksiumum yang dapat ditanggung oleh material sebelum terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum uts ditentukan dari beban maksimum Fmaks dibagi luas penampang awal Ao.


(45)

A F UTS= maks

Pada bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M (Gambar 2.6) dan selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga titik B. Bahan yang bersifat getas memberikan perilaku yang berbeda dimana tegangan maksimum sekaligus tegangan perpatahan (titik B pada Gambar 2.6). Dalam kaitannya dengan penggunaan structural maupun dalam proses forming bahan, kekuatan maksimum adalah batas tegangan yang samasekali tidak boleh dilewati.

d. Kekuatan Putus (breaking strength)

Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji putus (Fbreaking) dengan luas penampang awal Ao. Untuk bahan yang bersifat ulet pada saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi hingga titik putus B maka terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat adanya suatu deformasi yang terlokalisasi. Pada bahan ulet kekuatan putus adalah lebih kecil daripada kekuatan maksimum sementara pada bahan getas kekuatan putus adalah sama dengan kekuatan maksimumnya.

e. Keuletan (ductility)

Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam menahan deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini , dalam beberapa tingkatan, harus dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses

rolling, bending, stretching, drawing, hammering, cutting dan sebagainya. Pengujian tarik memberikan dua metode pengukuran keuletan bahan yaitu:

Persentase perpanjangan (elongation)

Diukur sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap panjang awalnya.


(46)

Elongasi, (%) = [(Lf-Lo)/Lo] x 100%

dimana Lf adalah panjang akhir dan Lo panjang awal dari benda uji. • Persentase pengurangan/reduksi penampang (Area Reduction)

Diukur sebagai pengurangan luas penampang (cross-section) setelah perpatahan terhadap luas penampang awalnya.

Reduksi penampang, R (%) = [(Ao-Af)/Ao] x 100%

dimana Af adalah luas penampang akhir dan Ao luas penampang awal. f. Modulus elastisitas (E)

Modulus elastisitas atau modulus Young merupakan ukuran kekakuan suatu material. Semakin besar harga modulus ini maka semakin kecil regangan elastis yang terjadi pada suatu tingkat pembebanan tertentu, atau dapat dikatakan material tersebut semakin kaku (stiff). Pada grafik tegangan-regangan (Gambar 2 dan 3), modulus kekakuan tersebut dapat dihitung dari slope kemiringan garis elastis yang linier, diberikan oleh:

E = / atau E = tan

dimana adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastis kurva tegangan-regangan. Modulus elastisitas suatu material ditentukan oleh energi ikat antar atom-atom, sehingga besarnya nilai modulus ini tidak dapat dirubah oleh suatu proses tanpa merubah struktur bahan. Sebagai contoh diberikan oleh Gambar 2.7 di bawah ini yang menunjukkan grafik tegangan-regangan beberapa jenis baja:


(47)

Gambar 2.7 Grafik tegangan-regangan beberapa baja yang memperlihatkan kesamaan modulus kekakuan

g. Modulus kelentingan (modulus of resilience)

Mewakili kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa terjadinya kerusakan. Nilai modulus dapat diperoleh dari luas segitiga yang dibentuk oleh area elastik diagram tegangan-regangan pada Gambar 2.2.

h. Modulus ketangguhan (modulus of toughness)

Merupakan kemampuan material dalam menyerap energi hingga terjadinya perpatahan. Secara kuantitatif dapat ditentukan dari luas area keseluruhan di bawah kurva tegangan-regangan hasil pengujian tarik seperti Gambar 2.2. Pertimbangan disain yang mengikut sertakan modulus ketangguhan menjadi sangat penting untuk komponen-komponen yang mungkin mengalami pembebanan berlebih secara tidak disengaja. Material dengan modulus ketangguhan yang tinggi akan mengalami distorsi yang besar karena pembebanan


(48)

berlebih, tetapi hal ini tetap disukai dibandingkan material dengan modulus yang rendah dimana perpatahan akan terjadi tanpa suatu peringatan terlebih dahulu. i. Kurva tegangan-regangan rekayasa dan sesungguhnya

Kurva tegangan-regangan rekayasa didasarkan atas dimensi awal (luas area dan panjang) dari benda uji, sementara untuk mendapatkan kurva tegangan-regangan sesungguhnya diperlukan luas area dan panjang aktual pada saat pembebanan setiap saat terukur. Perbedaan kedua kurva tidaklah terlampau besar pada regangan yang kecil, tetapi menjadi signifikan pada rentang terjadinya pengerasan regangan (strain hardening), yaitu setelah titik luluh terlampaui. Secara khusus perbedaan menjadi demikian besar di dalam daerah necking. Pada kurva tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa benda uji secara aktual mampu menahan turunnya beban karena luas area awal Ao bernilai konstan pada saat penghitungan tegangan = P/Ao. Sementara pada kurva tegangan-regangan sesungguhnya luas area actual adalah selalu turun hingga terjadinya perpatahan dan benda uji mampu menahan peningkatan tegangan karena = P/A. Gambar2.5 di bawah ini memperlihatkan contoh kedua kurva tegangan-regangan tersebut pada baja karbon rendah (mild steel).

Gambar2.8 Perbandingan antara kurva tegangan-regangan rekayasa dari baja karbon rendah.


(49)

j. Model perpatahan material

Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan perpatahan seperti diilustrasikan oleh Gambar 2.6 di bawah ini:

Perpatahan ulet memberikan karakteristk berserabut (fibrous) dan gelap (dull), sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan yang berbutir (granular) dan terang. Perpatahan ulet umumnya lebih disukai karena bahan ulet umumnya lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih dahulu sebelum terjadinya kerusakan Pengamatan kedua tampilan perpatahan itu dapat dilakukan baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan stereoscan macroscope.

a. Perpatahan ulet

Gambar 2.10 di bawah ini memberikan ilustrasi skematis terjadinya perpatahan ulet pada suatu spesimen yang diberikan pembebanan tarik:

Gambar 2.10 Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik Gambar 2.9 Ilustrasi penampang samping bentuk perpatahan benda uji


(50)

(a) Penyempitan awal

(b) Pembentukan rongga-rongga kecil (cavity)

(c) Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu Retakan (d) Perambatan retak

(e) Perpatahangeser akhir pada sudut 45°. b. Perpatahan Getas

Perpatahan getas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material 2. Retak/perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin membelah

atom-atom material (transgranular).

3. Pada material lunak dengan butir kasar (coarse-grain) maka dapat dilihat pola-pola yang dinamakan chevrons or fan-like pattern yang berkembang keluar dari daerah awal kegagalan.

4. Material keras dengan butir halus (fine-grain) tidak memiliki pola-pola yang mudah dibedakan.

5. Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang bercahaya dan mulus.

2.10. Pengujian Keuletan

Bahan uji diberikan gaya tekan. Rumus tegangan dan regangan sama dengan yang dipakai pada uji tarik, hanya tanda beban negative (tekan). Hasil uji akan memberikan harga negatif. Tegangan geser di rumuskan :

=

0 A

F

F = gaya yang diberikan


(51)

2.11 Pengujian Kekuatan Benturan

Dasar pengujian kekuatan benturan ini adalah penyerapan energi potensial dari pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda uji mengalami deformasi. Gambar 2.11 di bawah ini memberikan ilustrasi suatu pengujian kekuatan benturan dengan metode Charpy:

Gambar 2.11. Ilustrasi skematis pengujian kekuatan benturan dengan Charpy Pada pengujian kekuatan benturan ini banyaknya energi yang diserap oleh bahan untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan benturan atau ketangguhanbahan tersebut. Pada Gambar 2.11 di atas dapat dilihat bahwa setelah benda uji patah akibat deformasi, bandul pendulum melanjutkan ayunannya hingga posisi h’. Bila bahan tersebut tangguh yaitu makin mampu menyerap energi lebih besar maka makin rendah posisi h’. Suatu material dikatakan tangguh bila memiliki kemampuan menyerap beban kejut yang besar tanpa terjadinya retak atau terdeformasi dengan mudah. Pada pengujian kekuatan benturan, energi yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam satuan Joule dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang terdapat pada


(52)

mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan yang diuji dengan metode Charpy diberikan oleh :

Dimana E adalah energi yang diserap dalam satuan Joule dan A luas penampang di bawah takik dalam satuan mm2. Secara umum benda uji impak dikelompokkan ke dalam dua golongan sampel standar yaitu : batang uji Charpy sebagaimana telah ditunjukkan pada Gambar 2.8, banyak digunakan di Amerika Serikat dan batang uji Izod yang lazim digunakan di Inggris dan Eropa. Benda uji Charpy memiliki luas penampang lintang bujur sangkar (10 x 10 mm) dan memiliki takik (notch) berbentuk V dengan sudut 45o, dengan jari-jari dasar 0,25 mm dan kedalaman 2 mm. Benda uji diletakkan pada tumpuan dalam posisi mendatar dan bagian yang bertakik diberi beban impak dari ayunan bandul, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Gambar 2.11. Benda uji Izod mempunyai penampang lintang bujur sangkar atau lingkaran dengan takik V di dekat ujung yang dijepit. Perbedaan cara pembebanan antara metode Charpy dan Izod ditunjukkan oleh Gambar 2.12 di bawah ini:

Gambar 2.12. Ilustrasi skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy dan Izod


(53)

Serangkaian uji Charpy pada satu material umumnya dilakukan pada berbagai temperature sebagai upaya untuk mengetahui temperatur transisi (akan diterangkan pada paragraph paragraf selanjutnya). Sementara uji impak dengan metode Izod umumnya dilakukan hanya pada temperatur ruang dan ditujukan untuk material-material yang didisain untuk berfungsi sebagai cantilever. Takik (notch) dalam benda uji standar ditujukan sebagai suatu konsentrasi tegangan sehingga perpatahan diharapkan akan terjadi di bagian tersebut. Selain berbentuk V dengan sudut 45o, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang kunci (key hole). Pengukuran lain yang biasa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan (fracografi) yang terjadi. Secara umum sebagaimana analisis perpatahan pada benda hasil uji tarik maka perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme

pergeseran bidang bidang kristal di dalam bahan (logam) yang ulet (ductile). Ditandai dengan permukaan patahan berserat yang berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram.

2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan (cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang rapuh (brittle). Ditandai dengan permukaan patahan yang datar yang mampu memberikan daya pantul cahaya yang tinggi (mengkilat).

3. Perpatahan campuran (berserat dan granular). Merupakan kombinasi dua jenis perpatahan di atas.

Selain dengan harga impak yang ditunjukkan oleh alat uji, pengukuran ketangguhan suatu bahan dapat dilakukan dengan memperkirakan berapa persen


(54)

patahan berserat dan patahan kristalin yang dihasilkan oleh benda uji yang diuji pada temperatur tertentu. Semakin banyak persentase patahan berserat maka dapat dinilai semakin tangguh bahan tersebut. Cara ini dapat dilakukan dengan mengamati permukaan patahan benda uji di bawah miskroskop stereoscan. Informasi lain yang dapat dihasilkan dari pengujian impak adalah temperatur transisi bahan.

Temperatur transisi adalah temperatur yang menunjukkan transisi perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbeda-beda. Pada pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda maka akan terlihat bahwa pada temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile) sedangkan pada temperatur rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Fenomena ini berkaitan dengan vibrasi atom-atom bahan pada temperatur yang berbeda dimana pada temperatur kamar vibrasi itu berada dalam kondisi kesetimbangan dan selanjutnya akan menjadi tinggi bila temperatur dinaikkan (ingatlah bahwa energi panas merupakan suatu driving force terhadap pergerakan partikel atom bahan). Vibrasi atom inilah yang berperan sebagai suatu penghalang (obstacle) terhadap pergerakan dislokasi pada saat terjadi deformasi kejut/impak dari luar. Dengan semakin tinggi vibrasi itu maka pergerakan dislokasi mejadi relatif sulit sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk mematahkan benda uji. Sebaliknya pada temperatur di bawah nol derajat Celcius, vibrasi atom relatif sedikit sehingga pada saat bahan dideformasi pergerakan dislokasi menjadi lebih mudah dan benda uji menjadi lebih mudah dipatahkan dengan energi yang relatif lebih rendah.

Informasi mengenai temperatur transisi menjadi demikian penting bila suatu material akan didisain untuk aplikasi yang melibatkan rentang temperatur


(55)

yang besar, misalnya dari temperatur di bawah nol derajat Celcius hingga temperatur tinggi di atas 100 derajat Celcius, contoh sistem penukar panas (heat exchanger). Hampir semua logam berkekuatan rendah dengan struktur kristal FCC seperti tembaga dan aluminium bersifat ulet pada semua temperatur sementara bahan dengan kekuatan luluh yang tinggi bersifat rapuh. Bahan keramik, polimer dan logam-logam BCC dengan kekuatan luluh rendah dan sedang memiliki transisi rapuh-ulet bila temperatur dinaikkan. Hampir semua baja karbon yang dipakai pada jembatan, kapal, jaringan pipa dan sebagainya bersifat rapuh pada temperatur rendah. Gambar 2.13 memberikan ilustrasi efek temperatur terhadap kekuatan benturan beberapa bahan, sedangkan Gambar 2.14 menyajikan bentuk benda uji berdasarkan ASTM E-23-56T.


(56)

(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tugas akhir ini di lakkukan selama 6 bulan dari September 2009 sampai Maret 2010. Pengujian tarik, pengujian kelenturan dan pengujian impack di lakukan di laboratorium mekanik, sedangkan pengujian kekerasan dilakukan di laboratorium metalografi Balai Pengkajian Penelitian Teknologi (BPPT) Tangerang.

3.2. Bahan dan Peralatan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut dibawah ini.

3.2.1. Bahan

Bahan baku untuk sempel uji ini terbuat dari slab yang diproduksi oleh pabrik baja Slab (Slab Steel Plant/ SSP). Bahan baku lembar baja atau slab ini adalah besi sepons dan scrap ditanbah dengan batu kapur, serta dicampur dengan unsur-unsur lain seperti C, Fe, dan Si. Pabrik ini memproduksi baja slab dengan ukuran : tebal 200 mm, lebar 600-2080 mm, dan panjang maksimum 12.000 mm, dengan berat maksimum 30 ton. Baja yang digunakan sebagi sampel ini memiliki tebal 200 mm dan lebar 950 mm dan panjang 12. 000 mm dan berat 30 ton. Baja yang dihasilkan dari SSP ini merupakan baja ultra low carbon dengan kandungan gas terlarut (hydrogen dan nitrogen) relatif rendah. Hasil produksi SSP ini kemudian dikirim ke Pabrik Baja Lembar Panas (Hot Strip Mill/HSM).


(58)

Di HSM slab mengalami reduksi ketebalan sehingga berbentuk sheet

dengan pemanasan suhu ± 1250 0C dan kemudian dilakukan pengerolan panas (milling). Pengendalian proses dilakukan secara otomatis dengan control set up computer sehingga terbentuklah baja berupa lembaran, kemudian dari lembaran tersebut di potong sesuai ukuran bahan pengujian.

Gambar 3.1 skema produksi SSP

3.2.2. Peralatan Pembuatan Bahan

Pealatan utama yang digunakan pabrik baja lembaran panas adalah : a. Reheating Furnace

b. Sizing Press c. Roughing Mill d. Thermopanel e. Corp Shear f. Finishing Mill g. Laminar Cooling h. Down Coiler i. Shearing Line


(59)

3.2.3 Peralatan Pengujian

Peralatan yang digunakan dalam pengujian sample ini adalah sebagai beerikut. a. Sinar Radiasi (sinar x)

b. Film Radiografi c. Survey meter d. Tensil Test Machine e. Impact Test Machine f. Extenso

g. Brinell Test Machine h. Alat pemotong j. Grinding k. Polishing

3.3 Penyiapan Bahan

Tahapan proses pembuatan bahan secara garis besar terdapat 7 tahap yang masing-masing tahapan dijelaskan sebagaimana berikut:

Tahap I

Proses produksi dimulai dari pembersihan slab terlebih dahulu dari scale yang terbentuk, menggunakan cold descaling device. Kemudian slab ditransferkan melalui cold roll table. Selanjutnya slab masuk kedalam reheting furnace untuk dipanaskan sampai dengan suhu 1250oC selanjutnya slab dikeluarkan oleh extraktor dari furnace untuk diletakkan di hot roll table.

Tahap II

Setelah slab mencapai panas yang diinginkan, slab keluar dari hot roler table menuju mesin sizing press sebelum memasuki sizing press, slab membara


(60)

tersebut dibersihkan di water discaller dari scale dan terak yang terbentuk karena reaksi kimia yang terjadi didalam furnace. Air disemprotkan dengan tekanan 200 bar untuk membersihkan primeris scale dan terak. Pada sizing press ini lebar slab direduksi, alat yang dibeli dari jepang ini juga berfungsi meringankan kerja vertikal edger dalam mempertahankan lebar slab. Suhu pengerjaan pada tahap ini adalah sekitar 1180-12000C

Tahap III

Selanjutnya slab yang telah direduksi lebarnya meluncur diatas roler table menuju mesin beruikutnya. Pada bagian ini terintegrasi tiga alat sekaligus yaitu water discaler untuk membersihkan scon dari skill yang masih tersisa, kemudaian masuk vertikal edgerol untuk menjaga lebarnya kemudian lansung masuk dalam

roughing untuk dibentuk menjadi vorband (jerman) atau transferbar (baja lembaran yang lebih tinggi dan panjang). Pada roughing slab dirol 5-9 kali sampai didapat ketebalan yang diinginkan. Slab dibersihkan dari scale dan terak pada pengerolan maju yang pertama dan terakhir

Tahap IV

Produk dari pengerjaan pada tahap III diatas disebut vorban atau transferbar. Diantara roughing dan finishing mill digunakan thermopanel, dimana fungsinya adalah mengurangi kalor yang terbuang sebelum vorband masuk croupshear, karena ketidak sesuaian suhu akan menyebabkan pengerjaan kurang sempurna.

Croupshear adalah alat yang digunakan untuk memotong kepala dan ekor vorband agar mudah masuk kedalam finishing stands. Kepala dan ekor vorband strip biasanya melengkung keatas atau kebawah atau juga bengkok ke kiri atau ke


(61)

kanan. Jika tidak dipotong, ini akan menyulitkan saat memasuki finishing stands. Akibat lebih parah adalah kerusakan roll.

Tahap V

Setrip memasuki finishing stands yang merupakan 6 roll kontinu dimana fungsinya adalah untuk menipiskan dan menghaluskan permukaan strip. Pengalusan ini juga dengan pengerolan. Tetapi juga dengan beban yang diringankan sehingga reduksi tebalnya sangat kecil. Pada akhir pengerolan disini, strip melewati electric recorder yang berfungsi merekam segala kondisi dari strip meliputi dimensi, tebal dan lebar, suhu, dan kondisi permukaan yang selanjutnya tercatat dalam sistem komputer sebagai status produk dari awal sampai dengan proses ini.

Tahap VI

Selanjutnya strip ini meluncurkan plan melewati laminar cooling didinginkan suhunya sehingga mencapai 6000C. Proses pendinginan ini menggunakan media air yang disemprotkan dari atas dan dari bawah dengan tekanan tertentu. Selanjutnya strip sampai di down coiler untuk digulung menjadi coil. Ada dua mesin down coiler yang tersedia dan bekerja bergantian. Setelah selesai kemudian hot roller coil (HRC) tersebut mengalami inspeksi dimensi dan visual inspection. Sampai disini proses utama selesai.

Tahap VII

Selanjutnya HRC dipindahkan ke gudang dengan transforter untuk didinginkan. Setelah dingin, baru kemudian coil ini mengalami penanganan hasil produksi (PHP). Coil yang telah dingin Masuk shearing line 1 untuk dibuat plate dari bentuk plate ini dipotong untuk kemudian dijadikan sampel pengujian.


(62)

3.4 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian ini melilputi :

Gambar 3.2 Diagram Alir penelitian 3.5 Pengujian Bahan

Untuk mengetahui apakah bahan baku tabung gas 3kg produksi PT. “X” dapat digunakan sebagai bahan baku tabung gas 3 kg, maka bahan baku baja tersebut dikenakan beberapa pengujian, yaitu uji meknik (uji tarik, uji kekerasan, uji tekan dan uji impak), uji komposisi dan pengamatan metalografi.

Uraian tentang prosedur penelitian secara garis besar dimulai dengan pengambilan contoh bahan uji untuk bahan baku di PT. “X” melelui pemotongan sampel bahan baku setelah proses akhir pembuatan bahan baku tersebut. Setelah pengambilan contoh baha uji, maka prosedur pengujian dilakukan sesuai dengan prosedur pengujian masing-masing sebagaiman auraian berikut. :

Preparasi Sampel

Non Destructive Test

Pengujian Komposisi

Destructive Test

Metalografi

Banding Test

Brinell Test

Impact Test

Analisis

Kesimpulan

Tensile Test


(63)

3.5.1. Pengujian Komposisi

Pengujian ini menggunakan metoda radiografi yaitu salah satu non destructive testing yang menggunakan radiasi sinar x. Dimana prinsip kerja dari pesawat atau pembangkit sinar x ini adalah memiliki dua buah kutub listrik katoda dan anoda diberi perbedaan tegangan listrik yang cukup tinggi dan berada diruang hampa. Sebelum specimen ditembakan dengan sinar x terlebih dahulu digrinda seperti terlihat pada gambar 3.3. Specimen di grinda sampai mengkilat untuk menghilangkan kotoran yang menempel dan lebih mudah untuk mendeteksi komposisi yang terkandung dalam suatu material.

Gambar 3.3 penggrindaan pada specimen uji

Setelah penggrindaan specimen diletakan pada pembangkit sinar x untuk mendeteksi komposisi hasil dari pendeteksian tersebut ditampilkan pada survey meter berupa persentase jumlah komposisi dari benda uji.

Gambar 3.4 specimen ditempelkan pada pembangkit sinar x

Gambar 3.5 survey meter pada uji radiografi


(64)

3.5.2 Pengujian Metalografi

Metalografi dilakukan dengan menggunakan peralatan mikroskop atau Normal-Mikroskop dengan perbesaran lebih dari 20 : 1 (20x). Pada uji metalografi, kerataan dan kehalusan permukaan bahan uji adalah suatu keharusan untuk mendapatkan hasil uji yang akurat.

Adapun tahapan pengujian adalah sebagai berikut : 1. Memilih dan mengambil sample

2. Pemotongan Sampel

Mengambil sampel dari material dasar atau komponen aslinnya dilakukan dengan cara memotong mekanis, sampel dipotong arah memenajang Selama proses pemotongan sampel yang perlu dihindari adalah perubahan bentuk sampel akibat beban alat potong.

Arah potongan memanjang akan memberikan informasi perubahan bentuk struktur mikro akibat pertumbuhan butir-butir kristal (dalam rekristalisasi, atau akibat pengerjaan panas lainnya.

Gambar 3.6 Alat untuk melakukan pemotongan benda uji


(65)

3. Membentuk atau mencetak sampel

Membentuk atau mencetak sampel dilakuka didalam suatu cetakan plastik atau karet yang kemudian dicorkan suatu cairan tertentu. Tujuan mencetak sampel adalah untuk menjamin permukaan sampel rata, disamping mudah pegang selama proses preparasi (grinding dan polishing). Sampel dicetak dengan menggunakan dengan cara dingin, bagian dalam cetakan dioleskan bahan pasta khusus atau disemprotkan silicon spray. Pekerjaan ini bertujuan agar memudahkan mengeluarkan sampel dari cetakan. Seperti terlihat pada gambar

Gambar 3.7 Mencetak sampel cara dingin

Gambar 3.8 mencetak sample cara dingin

Sebagai medium cetak digunakan bubuk technovit atau acryfix yang dicampur dengan cairan pengeras dengan perbandingan 1:2, dimana campuran cairan tersebut menjadi keras didiamkan ± 1 jam.

4. Memberi Tanda

Pekerjaan ini dilakukan sebelum sampel mengalami preparasi, tujuannya : a. Untuk membedakan antara contoh yang satu dengan yang lain.

b. Untuk memudahkan dalam dokumentasi

Memberi tanda pada umumnya dikerjakan dengan grafik elektrik pada bagian belakang sampel, sebelum dicetak atau sesudah dicetak.

5. Grinding

Pada tingkat pekerjaan ini dipakai mesin grinding putar atau grinding


(1)

cara menurunkan persentase karbon, menaikan persentase mangan dan bertambahnya persentase pospor. Nilai kandungan persentase ketiga unsur tersebut pada komposisi kimia diatas memenuhi standar namun tidak mencapai nilai maksimum sehingga tempertur transisi naik dan harga impact rendah. Selain komposisi kimia ukuran butir kristal juga menjadi salah satu faktor yang dapat menurunkan temperatur transisi yaitu dengan makin kecilnya ukuran butir kristal (ukuran butir makin halus) maka temperatur transisi akan turun.

Rendahnya nilai kekuatan impact yang dimiliki menyebabkan material bahan baku tabung gas ini tidak kuat dalam menerima benturan yang dating dari luar, terutama pada ttemperatur transisi. Kejadian dilapangan terlihat bahwa tabung gas yang sudah kosong serinng kali dibanting dari mobil pengankut untuk menukar tabung-tabung yang kosong dengan yang berisi, dalam pendistribusiannya ke warung-warung atau toko yang menjual tabung gas 3 kg tersebut. Tabung gas yang secara terus menerus menerima benturan meskipun bukan dalam temperatur transisi akan mengalami kebocoran atau membentuk lubang pada tabung gas tersebut sehingga bisa menyebabkan kebakaran bila ada percikan api.

4.6 Hasil Pengamatan Metalografi (Struktur Mikro)

Pengamatan mikro struktur lembaran baja bahan baku tabung gas 3 kg dilakukan pada sampel dengan menggunakan mikroskop optic (OM) dengan perbesaran 100x. pengamatan ini untuk melihat bentuk struktur material bahan baku tabung gas 3 kg. Berikutnya hasil pengamatan tersebut akan dibandingkan


(2)

dengan literatur. Hasil pengamatan sampel dengan mikroskop optic pada gambar 4.1 dan struktur mikro pada literature pada gambar 4.2 dibawh ini.

Gambar 4.1 Struktur mikro baja karbon rendah pada sampel.

Gambar 4.2 Struktur mikro baja karbon rendah pada literature. Berdasarkan kedua gambar diatas, hasil pengamatan mikro struktur kedua lembaran baja low karbon menunjukan struktur mikro yang hampir sama yakni, memiliki struktur mikro yang lebih membulat dan seragam dengan batas batas butir yang sangat jelas. Namun yang membedakan adalah ukuran butirnya, ukuran butir pada literatur memiliki ukuran yang lebih kecil dan halus dari ukuran butir yang dimiliki pada sampel.

Ukuran butir ini sangat dipengaruhi oleh pengaturan komposisi kimia yakni, unsur-unsr yang terkandung dalam sebuah material atau lembaran baja. Niobium (Nb) adalah salah satu unsur yang sangat berperan dalam penghalusan ukuran butir, karena kelarutan niobium dalam austenite relative lebih kecil dibandingkan titanium dan vanadium atau unsur lainnya, maka penghalusan butir pada fase ferit dapat dicapai dengan hanya menambahkan sedikit unsur niobium kedalam baja karbon rendah. Namun sampel uji yang dijadikan sebagai aplikasi


(3)

tabung gas 3 kg ini tidak mengandung unsur niobium sehingga ukuran butir yang dimiliki tidak halus. Ukuran butir ini sangat mempengaruhi kekuatan suatu bahan, semakin kecil ukuran butirnya maka akan semakin halus permukaan dan semakin kuat material tersebut. Penguatan terjadi karena semakin kecil ukuran butir akan meningkatkan jumlah batas butir yang menghambat dislokasi. Penguatan penghalusan butir ferit juga dapat memperbaiki sifat ketangguhan, karena akan menurunkan temperatur transisi patah ulet getas. 13

13


(4)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil pengujian radiografi bahwa baja yang digunakan sebagai bahan baku tabung gas 3 kg adalah jenis baja karbon rendah yang memiliki kadar karbon 0.16%.

2. Produk bahan baku tabung gas 3 kg ini memiliki nilai kekuatan tarik produk 483 Mpa (JIS : 140 Mpa). Sedangkan nilai kekerassannya 140 HB (JIS : 140 HB) dan keuletanya yang bergantung pada dimensi yaitu sekitar 2.28 mm sesuai dimensi yang disyaratkan yakni 3 mm.

3. Namun nilai kekuatan bentur dari bahan baku tabung gas 3 kg ini masih kurang memenuhi standar yaitu 23 J ( JIS : 27 J). Hal ini terlihat dari energi serap yang ditunjukan, energi serap ini yang mempengaruhi nilai kekuatan impact atau ketahanan terhadap benturan.

4. Hasil pengamatan metalografi menujukan bahwa struktur yang dimiliki produk bahan baku tabung gas ini kurang halus dari struktur mikro baja karbon yang terdapat pada literatur.


(5)

5.2 Saran

1. Adanya penelitian lebih lanjut untuk melihat komposisi bahan baku tabung gas 3 kg ini dengan menggunakan XRF.

2. Bahan baku tabung gas 3 kg ini memiliki kelemahan pada nilai ketahannya terhadap benturan hal tersebut kerena persentase unsur nikel pada komposisi kimianya hanya sebesar 0.018%, oleh sebab itu perlu adanya penambahan unsur tersebut agar memiliki nilai ketahanan bentur yang baik.


(6)

Refrensi

http://www.infometrik.com/wp-content/uploads/2009/09/Mengenalujitarik.pdf ( kamis, 29 april 2010. pkl 09.00 WIB)

http://ft.unsada.ac.id/wp-content/uploads/2008/03/bab4-mt.pdf ( senin, 12 april 2010. pkl 22.00 WIB)

http://www.audioenglish.net/dictionary/hypo-eutectoid_steel.htm ( minggu, 2 mei 2010. pkl 13.00 WIB)

http://www.thaimetaltrade.com/2005/document/steel%209grade (selasa, 16 maret 2010. pkl 18.30 WIB)

Clark, Donal S. & Varney, Wilbur R. 1961. Physical Metallurgy for Engineering, New York.

Callister William D, Jr. 1994. Material Science And Engineering A Introduction, Third edition, Canada.

Dieter, G. 1976. Mechanical Metallurgy of Engineering Materials. Mc-Graw Hill International Book Company.

Handbook of JIS Standard – 2005 (English Version)

Handbook of JIS standard Ferrous Material & metallurgy I & II, Tokyo, 2005 Leslie. 1983. The Physical Metallurgy of Steel. Mc-Graw Hill International Book

Company.

Richard H.G. & Wrighton. 1971. Practical Microscopical Metallography. Chapman Hall Ltd.

T. Hansen and P. Jonsson: 2001. Electric Furnace Conference Proceedings, ISS, Warrendale, PA, (2001), 59, 71-81.

Davis, Joseph R. 1998. Metal Handbook Desk Edition. ASM International. Second Edition. NewYork.