Hak dan Kewajiban Para Pihak

37 Rencana Kerja dan Syarat-syarat untuk pemborongan-pemboronganpembelian dan membuat berita acara penjelasan, melaksanakan pembukuan surat penawaran,mengadakan penilaian dan menetapan calon pemenang serta membuat berita acara hasil pelelangan dan sebagainya. 49 Fungsi mewakili yang terbanyak dari direksi adalah pada fase pelaksana pekerjaan dimana direksi bertindak sebagai pengawas terhadap pekerjaan pemborong. Jadi kewenangan mewakili dari direksi ini ada selama tidak ditentukan sebaliknya oleh pemberi tugas secara tertulis dalam perjanjian yang bersangkutan bahwa dalam hal-hal tertentu hanya pemberi tugas yang berwenang menangani. 50

6. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan. 51 a. Pihak Pemberi Pekerjaan Pemborongan Bangunan 1. Hak pemberi tugas dapat dibagi menjadi 2 dua bagian yaitu : a. Hak utama yaitu menerima hasil pekerjaan secara utuh dan sesuai ketentuan yang dibuat dalam perjanjian diterima sesuai dengan keinginan pihak pemberi tugas dan diselesaikan sesuai jadwal waktunya. b. Hak tambahan adalah : 1. Mengetahui jalannya pekerjaan pemborongan di lapangan 49 Ibid , hal 12 50 Ibid, hal 53 51 Syarat – Syarat Umum Khusus Kontrak, yang ada pada dokumen lelang yang diberikan pada saat pendaftaraan atau dapat didownload pada website pemilk pekerjaan. Universitas Sumatera Utara 38 2. Mengecek jalannya pelaksanaan pekerjaan di lapangan apakah sudah sesuai dengan perjanjian atau tidak 3. Memperoleh laporan bulanan mengenai hasil kemajuan pekerjaan b. Kewajiban pihak pemberi kerja owner dapat dibagi menjadi 2 dua bagian yaitu: 1. Kewajiban utama adalah melakukan pembayaran sesuai dengan nilai kontrak dari pihak pemborong jika pemborong telah menyelesaikan pekerjaannya. 2. Kewajiban tambahan yaitu : a. Membayar uang maka pekerjaan down payment kepada pihak pemborong setelah menerima jaminan pelaksanaan dari pihak pemborong. b. Memberikan pengarahan dan bimbingan apabila dalam pelaksanaan pekerjaan lapangan terdapat hal-hal menyimpang di luar isi perjanjian. c. Memberikan biaya tambahan atas kenaikan harga atau jasa sehubungan dengan pekerjaan tersebut. c. Pihak Pemborong 1. Hak pihak pemborong dapat dibagi menjadi 2 dua bagian yaitu: a. Hak utama adalah menerima pembayaran sebesar nilai kontrak dari pihak pemberi tugas b. Hak tambahan adalah : 1. Hak mendapatkan uang muka down payment dari pihak pemberi borongan pekerjaan bangunan sesuai dengan yang diperjanjikan. Universitas Sumatera Utara 39 2. Berhak menuntut tambahan biaya atas kenaikan harga barang atau jasa sehubungan dengan perkerjaan itu dengan syarat telah mendapat ijin dari pemberi borongan pekerjaan tentang klaim yang diajukan pihak pemborong 3. Mendapat pengarahan dan bimbingan dari pemberi tugas dalam melaksanakan pekerjaan pemborongan bangunan 4. Mencari tambahan dana dari pihak ketiga 2. Kewajiban pihak pemborong pekerjaan dapat dibagi menjadi 2 dua bagian yaitu: a. Kewajiban utama adalah menyelesaikan pekerjaan pemborongan pekerjaan bangunan yang diberikan pihak pemberi borongan pekerjaan. b. Kewajiban tambahan, antara lain meliputi : 1. Menaati dan melaksanakan ketentuan umum yang berlaku di Indonesia termasuk ketentuan mengenai hubungan ketenagakerjaan dan keselamatan kerja. 2. Harus menyelesaikan pekerjaannya sendiri, tidak boleh menyerahkan atau menguasakan secara keseluruhan kepada pihak ketiga 3. Mengadakan tindakan preventif agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilaksanakan dengan cara yang benar dan tidak membahayakan keselamatan, baik bagi para pekerja atau yang berdampak buruk bagi masyarakat sekitar. Universitas Sumatera Utara 40 4. Pemborong wajib mengasuransikan tenaga kerjanya dan harus melaporkan pada pemberi tugas. 5. Melakukan pekerjaan pemeliharaan pekerjaan selama waktu yang diperjanjiakan sejak penyerahan pertama dilakukan 6. Membuat laporan setengah harian, Mingguan dan setengah bulan atas kemajuan fisik yang dicapai dalam pelaksanaan pekerjaan 7. Mengadakan pemberitahuan secara tertulis apabila terjadi force majeure pada pihak pemberi tugas. 8. Jika ada kekurangan atau kekeliruan dalam gambar bestek, maka pemborong wajib memberitahukan pada pemberi tugas dan pemborong wajib bertanggung jawab atas kekurangan serta keamanan dan konstruksi hasil pekerjaan, sehingga jika pekerjaan yang tidak baik, pemborong masih berkewajiban memperbaiki atas biaya pemborong sampai baik dan diterima pihak pemberi tugas. Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari syarat syarat sahnya suatu kontrak tersebut bervariasi mengikuti syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut: 52 a. Batal demi hukum void. Kontrak ini tidak mempunyai akibat hukum, seolah- olah tidak pernah terjadi suatu kontrak. Contoh kontrak untuk melakukan suatu tindak pidana. Apabila kontrak ini batal maka tidak ada satu pihak. Hal 52 Soedjono Dirjosisworo, Aneka Hukum , PT.Raja Grafindo Persada.Jakarta, 1994,,hal. 48. Universitas Sumatera Utara 41 ini terjadi bila dilanggarnya syarat objektif kontrak dalam pasal 1320 KUH Perdata, syarat objektif tersebut adalah: perihal tertentu, dan kausa yang legal. b. Dapat dibatalkan voidable. Kontrak di mana setidak-tidaknya satu pihak mempunyai pilihan untuk meniadakan kewajiban dalam kontraknya. Kontrak yang dapat dibatalkan ini kedua belah pihak dibebaskan dari kewajiban mereka untuk memenuhinya. Apabila pihak dengan pilihan tadi memilih untuk meratifikasi yaitu melaksanakan kontrak tersebut maka kedua belah pihak harus secara penuh melaksanakan kewajiban tersebut. Dengan beberapa pengecualian yaitu dalam hal tidak dipenuhinya syarat subjektif dalam pasal 1320 KUH Perdata. Syarat subjektif itu adalah kesepakatan kehendak dan kecakapan berbuat. c. Kontrak tidak dapat dilaksanakan un-enforceable, Kontrak ini adalah kontrak yang unsur-unsur esensial untuk menciptakan kontrak telah terpenuhi namun terdapat perlawanan secara hukum bagi dilaksanakannya kontrak. Jadi kontrak ini terdapat perlawanan hukum bagi pelaksanaannya. Bedanya dengan kontrak yang batal demi hukum adalah kontrak yang tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dikonversi menjadi kontrak yang sah. Sedangkan bedanya dengan kontrak yang dapat dibatalkan adalah dalam kontrak yang dapat dibatalkan ini kontraknya sudah sah, mengikat dan dapat dilaksanakan sampai dengan dibatalkannya kontrak tersebut. Contoh kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak yang tidak dalam bentuk tertulis, kendatipun Undang-Undang Penipuan telah mengisyaratkan agar Universitas Sumatera Utara 42 dalam bentuk tertulis kontrak ini tidak dapat dilaksanakan. Pihak-pihak bisa saja secara sukarela membuat kontrak yang tidak dapat dilaksanakan.di. Sanksi administratif. Ada juga kontrak yang apabila tidak dipenuhi hanya mengakibatkan sanksi administratif saja.

A. Wanprestasi

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian 53 dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk- bentuk dari wanprestasi yaitu: 54 1. Memberikan sesuatu Bagian tersebut dibuka dengan pasal 1235 yang mengatakan bahwa “ Tiap Perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan sampai penyerahaan, kewajiban disini harus dikaitkan dengan dan timbul karena adanya suatu 53 Nindyo Pramono, Hukum Komersil,Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003, cet. 1, hal. 221 54 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta: Putra Abadin, 1999, cet. 6, hal.18 Universitas Sumatera Utara 43 hubungan obligator tertentu, yang bisa timbul baik karena adanya perjanjian obligatoir tertentu ataupun karena ditentukan oleh Undang-undang. 55 2. Berbuat sesuatu Pembuat Undang–undang lalai untuk memberikan kepada kita suatu patokan untuk membedakan antara perikatan untuk memberikan dan melakukan sesuatu, karena memberikan sesuatu sebenarnya juga melakukan sesuatu itulah sebabnya ada yang mengusulkan pembagian antara memberikan sesuatu dan perikatan melakukan atau tidak melakukan tindakan yang lain, 56 yang lain daripada memberikan sesuatu. Orang yang menutup perjanjian pemborongan atau untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, memikul kewajiban perikatan untuk melakukan sesuatu. 3. Tidak berbuat sesuatu Kewajiban prestasi bukan bersifat aktif namun sebaliknya bersifat pasif, yang dapat berupa tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung. Sementara itu, dengan wanprestasi Defaultt atau non fulfillment, ataupun yang disebut juga dengan istilah istilah breach of contract yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. 57 Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi unuk memberikan 55 J.Satrio Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, PT.Alumni,1999, hal. 83. 56 Ibid . hal. 52. 57 Munir Fuady Hukum Kontrak Dari Pandang Sudut Hukum Bisnis Op.Cit, hal 87. Universitas Sumatera Utara 44 ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satupun pihak yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Ada kemungkinan bahwa sungguhpun salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, tetapi sebahagian prestasi telah dilakukan atau terdapat cukup alasan untuk menunda sementara pelaksanaan prestasi ataupun ada alasan-alasan lain yang menyebabkan kepentingan yang melakukan wanprestasi pun mesti dilindungi. 58 Karena itu dalam ilmu hukum kontrak dikenal dengan prinsip keseimbangan, yakni keseimbangan antara pihak yang dirugikan dengan kepentingan dari pihak yang melakukan wanprestasi. Pada umumnya tidak dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan dalam kontrak atau undang-undang maka wanprestasinya debitur akan resmi terjadi setelah dia debitur dinyatakan lalai oleh pihak kreditur ingebrekestelling yaitu dengan dikeluarkannya ”akta lalai” oleh pihak kreditur, Akta lalai adalah tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dalam hal ini adanya kelalaian dan ditandatangani oleh pembuatnya. Ketentuan ini bisa dilihat dalam Pasal 1238 KUH Perdata yaitu: “Si berutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa siberutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu: 59 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat 58 J.Satrio Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Op.Cit hal. 97. 59 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1985 hal Universitas Sumatera Utara 45 d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi. 60 Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. 61 Contoh kasus Putusan MA No . 201 KPDT2009 Antara Pihak Pihak Pemberi Dinas Pekerjaan Umum Gunung Kidul dengan CV. Nindya Bhuwana, dimana Pihak Pemberi kerja tidak memberikan surat pemberitahuan pemutusan kontrak, walaupun masa pelaksanaan pekerjaan telah lewat waktu, sehingga pekerjaan tersebut 60 Somasi merupakan pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu 61 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2005, cet. 36, Universitas Sumatera Utara 46 diselesaikan 100, hingga pihak pemberi kerja harus membayar prestasi yang dilaksanakan oleh kontraktor. Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi in gebreke stelling. Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah: 62 a Surat perintah Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita” b Akta sejenis Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris. c Tersimpul dalam perikatan itu sendiri Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi. Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis. Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian fatal termijn , prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.

B. Sanksi

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu: 63 62 Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.22 Universitas Sumatera Utara 47 1. Membayar kerugian yang diderita kreditur; 2. Pembatalan perjanjian; 3. Peralihan resiko; 4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

C. Ganti Kerugian

Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen ” pasal 1243. Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan kosten, atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang schaden, tetapi juga berupa kehilangan keuntungan interessen, yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai winstderving 64 . Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu: 65 2. Conditio Sine qua Non Von Buri Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B peristiwa lain dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A 3. Adequated Veroorzaking Von Kries Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B peristiwa lain. Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat peristiwa B. Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya 63 Ibid, hal. 2.22-2.25 64 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005, cet. 32, hal. 148 65 Nindyo Pramono, Op. Cit. 223 Universitas Sumatera Utara 48 dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan. Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu: a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa overmach; b. Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai; c. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

D. Keadaan Memaksa overmach

Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu: 66 1. Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi; 66 R. Setiawan, Op. Cit. 27-28 Universitas Sumatera Utara 49 2. Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi; 3. Resiko tidak beralih kepada debitor; 4. Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik. Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori obyektif dan teori subjektif: Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Terdapat keadaan memaksa jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa. Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah. Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja kembali. Dalam diagram berikut ini terlihat bagaimana pemenuhan prestasi dalam kontrak dengan berbagai kemungkinan yuridisnya. 67 67 Munir Fuady Hukum Kontrak Dari sudut Pandang Hukum Bisnis , Op.cit .hal. 91 Universitas Sumatera Utara 50 Dengan memerlukan doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial, maka untuk mengetahui apakah tidak terlaksananya kontrak merupakan “material” atau Prestasi Wanprestasi Memberikan Sesuatu Berbuat Sesuatu T idak Berbuat Sesuatu Terlambat Berprestasi Tidak Sempurna Berprestasi Tidak Berprestasi Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial Doktrin Pelaksanaan Prestasi Pemenuhan Prestasi Universitas Sumatera Utara 51 tidak, masalah sangat relatif dan dalam praktek sangat sangkutan. Sebagai pedoman bagi hakim, biasanya diberlakukan beberapa criteria dasar sebagai berikut : 68 a. Kelayakan Kompensasi Dalam hal ini akan dilihat apakah tersedia komposensi yang cukup memuaskan terhadap pihak yang dirugikan karena wanprestasi. Apabila tidak cukup baik tersedia kompensasi atau sulit menghitung ganti rugi, maka pelaksanaan kontrak akan dianggap tidak substansial, sehingga dianggap telah terjadi ketidak terlaksanaan kontrak yang material material breach. b. Hilangnya Keuntungan yang Diharapkan Dalam hal ini, semakin besar keuntungan yang hilang dari adanya pelaksanaan kontrak yang tidak sempurna, semakin besar pula kemungkinan wanprestasi yang material terhadap kontrak yang bersangkutan. Sehingga kalau kerugian kepada yang dirugikan tersebut besar, sulit dikatakan terjadi pelaksanaan kontrak yang subtansial. c. Bagian Kontrak yang Dilaksanakan Untuk dapat dikatakan bahwa pihak tertentu telah melaksanakan kontraksnya secara substansial, dapat diukur dari bagian presatsi yang telah dilakukan. Semakin besar bagian prestasi yang telah dilakukan, semakin kemungkinan substansialnya pelaksanaan kontrak yang bersangkutan. d. Kesengajaan Untuk Tidak Melaksanakan Kontrak Apabila ada bagian kontrak yang tidak dilaksanakan dengan unsure kesengajaan bukan karena kelalaian atau sebab-sebab lain yang mengandung unsure itikad baik. Unsur kesengajaan mana biasanya terlihat dari dengan sengaja mengabaikan kontraknya, atau dengan dengan sengaja memasang material yang tidak memenuhi standar, dapat dikatakan bahwa dia belum melaksanakan kontrak secara substansial. e. Kesediaan Untuk Memperbaiki Prestasi Jika pihak yang melakukan wanprestasi dapat memperbaiki dan punya kemauan untuk memperbaiki prestasinya, maka dalam hal yang demikian dapat dianggap tidak terjadi bukan wanprestasi yang bersifat material material breach. f. Keterlambatan Melaksanaan Prestsi Keterlambatan dalam melaksanakan prestasi umumnya tidak dianggap sebagai wanprestasi yang bersifat material. Kecuali jika dengan keterlambatan tersebut akan sangat merugikan pihak lain. 68 Ibid, hal 92 Universitas Sumatera Utara 52

E. Prinsip – Prinsip Hukum Dalam Perjanjian Konstruksi

Prinsip-prinsip yuridis mengenai suatu kontrak pemborongan yang terdapat dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut : 69 1. Prinsip Antara Tanggung Jawab Para Pihak Dengan Kesalahan Dan Penyediaan Bahan Bangunan. Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab masing-masing pihak disangkutkan dengan a kesalahan para pihak dan b pihak mana yang menyediakan bahan bangunan. Dalam hal ini KUH Perdata menentukan bahwa dalam suatu kontrak pemborongan, jika pihak pemborong yang harus menyediakan bahan bangunannya, maka apabila sebelum diserahkan, pekerjaannya musnah dalam keadaan bagaimanapun, maka setiap kerugian yang timbul merupakan tanggung jawab pihak pemborong, kecuali dapat dibuktikan bahwa pihak bouwheer telah melakukan kesalahan berupa lalai untuk menerima pekerjaan tersebut. Sebaliknya, apabila bahan bangunan disediakan oleh pihak bouwheer sementara pihak pemborong hanya berkewajiban : a. Bouwheer telah bersalah yakni lalai dalam memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, danatau b. Musnahnya pekerjaan tersebut akibat dari cacat dari bahan yang bersangkutan. 69 Munir Fuady ,Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Op.cit hal. 26. Universitas Sumatera Utara 53 2. Prinsip Ketegasan Tanggung Jawab Pemborong Jika Bangunan Musnah Karena Cacat Dalam Penyusunan Atau Faktor Tidak Ditopang Oleh Kesanggupan Tanah. Menurut prinsip ini, terhadap suatu pembangunan gedung dan juga ahli bangunan pihak pemborong mesti bertanggung jawab secara hukum atas pekerjaan yang dibuatnya, jika kemudian bangunannya musnah seluruhnya atau sebagian asal memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Yang diborongkan untuk suatu harga tertentu, dan b. Pekerjaan diborongkan untuk suatu harga tertentu, dan c. Tanggung jawab pihak pemborong dan juga ahli bangunan sampai dengan jangka waktu 10 tahun d. Musnahnya barang tersebut disebabkan karena : 1. Cacat dalam penyusunan, atau 2. Tanah tidak sanggup menahan gedung tersebut 3. Prinsip Larangan Perubahan Harga Kontrak. Yang dimaksud dengan prinsip larangan perubahan harga kontrak adalah bahwa pihak pemborong tidak boleh mengubah kontrak secara sepihak dengan menaikkan harga borongan, dengan alasan telah terjadi : a. Telah terjadi kenaikan upah buruh, atau b. Telah terjadi kenaikan harga bahan-bahan bangunan, atau c. Telah terjadi perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan yang tidak termasuk dalam rencana tersebut. Universitas Sumatera Utara 54 4. Prinsip Kebebasan Pemutusan Kontrak Secara Sepihak Oleh Pihak Bouwheer Prinsip ini berasal dari Pasal 1611 KUH Perdata. Prinsip ini menentukan bahwa pihak bouwheer bebas memutuskan kontrak di tengah jalan walaupun tidak disebutkan di dalam perjanjian walau tanpa kesalahan dari pihak pemborong, asalkan bouwheer tersebut mengganti kerugian biaya yang telah dikeluarkan dan keuntungan yang hilang dari pekerjaan tersebut. Prinsip ini menyimpang dari prinsip hukum kontrak yang umumnya berlaku bahwa para pihak tidak dapat memutuskan kontrak di tengah jalan kecuali disetujui oleh kedua belah pihak atau dengan keputusan pengadilan Pasal 1266 KUH Perdata, kecuali ditentukan lain dalam kontrak yang bersangkutan. Bahwa oleh Pasal 1611 KUH Perdata hanya diberikan hak untuk memutuskan perjanjian secara sepihak hanya kepada pihak bouwheer, hak mana tidak diberikan kepada pihak pemborong, hal ini dapat dimengerti, karena apabila suatu konstruksi terbengkalai, pihak bouwheer yang lebih besar kemungkinan menghadapi masalah. Misalnya sulit atau lamanya proses mencari pemborong pengganti. Untuk menghindari masalah seperti itu, maka undang-undang tidak memberikan hak pemutusan kontrak ini kepada pihak pemborong. Hal ini sudah tidak sesuai lagi karena pada saat memulai pekerjaan Pihak kontraktor telah menyerahkan jaminan pelaksanaan minimal 5 dari nilai kontrak yag diterbitkan oleh bank, sehingga apabila pihak pemborong tidak melaksanakan pekerjaan maka jaminan pelaksanaan tersebut akan dicairkan serta perusahan Kontraktor akan masuk dalam daftar hitam selama 2 tahun. Universitas Sumatera Utara 55 5. Prinsip kontrak yang melekat dengan pihak pemborong Pada umumnya hukum menentukan bahwa hak dan kewajiban yang terbit dari suatu kontrak turun ke ahli waris. Prinsip hukum yang berlaku umum seperti ini tidak berlaku terhadap kontrak-kontrak untuk mana kepada salah satu pihak untuk dapat melaksanakan prestasinya diperlukan skill tertentu. Contohnya kontrak pemborongan yang memang memerlukan skill tertentu dari pihak pemborong. Konsekuensinya KUH Perdata menentukan bahwa suatu kontrak pemborongan akan berakhir dengan meninggalnya pihak pemborong. Jadi kewajiban pihak pemborong tidak diteruskan kepada ahli waris. Akan tetapi para ahli waris pemborong tersebut tetap mempunyai hak atas harga borongan terhadap pekerjaan yang lelah dikerjakan oleh pihak pemborong sebanding dengan pekerjaan yang telah dikerjakannya itu. 6. Prinsip Vicarious Liability Yang dimaksudkan dengan vicarious liability tanggung jawab pengganti adalah suatu tanggung jawab dari atasan atas tindakan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahannya terhadap pihak ketiga ketika menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya oleh atasannya itu. Prinsip tanggung vicarious liability ini dianut dalam hukum tentang kontrak pemborongan dan konstruksi. Pasal 1613 KUH Perdata menentukan bahwa pihak pemborong secara hukum mesti bertanggung jawab atas tindakan-tindakan dari orang-orang yang di pekerjakan olehnya. Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai bagaimana Universitas Sumatera Utara 56 pemberlakuan prinsip vicarious liability ke dalam suatu kontrak pemborongan ini. Akan tetapi, sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku secara universal, maka dalam hubungan dengan vicarious liability, istilah tindakan orang lain tersebut haruslah ditafsirkan bahwa tindakan yang bersangkutan dilakukannya dalam rangka melakukan tugas yang dibebankan kepadanya atau dijanjikan untuk dilakukannya. Selanjutnya penafsiran secara universal terhadap istilah “orang yang dipekerjakan” dalam hubungan dengan vicarious liability adalah mereka yang bekerja tetapi tidak dalam arti “independent contractor”. Jadi, dalam hubungan dengan kontraktor dengan subkontraktor, maka subkontraktor akan bertanggung jawab sendiri kepada pihak pemborong, bukan pihak pemilik kontraknya. 7. Prinsip Ekosistensi Hubungan Kontraktual Berlakunya prinsip eksistensi hubungan kontraktual ini juga antara lain sebagai konsekuensi dari keberadaan Pasal 1613 tersebut. Sebab di samping berlakunya prinsip vicarious liability, maka si pemborong juga bertanggung jawab atas tindakan pekerja terhadap pihak bouwheer jadi tidak hanya tindakan pekerja terhada pihak ketiga seperti dalam hal vicarious liability. Sebab yang terikat secara kontrak dengan bouwheer yang menandatangani kontrak adalah pihak pemborong sendiri, sehingga sudah sepantasnyalah jika pihak pemborong yang mesti bertanggung jawab kepada pihak bouwheer, sungguhpun menyangkut dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak pekerja dari pemborong tersebut. Universitas Sumatera Utara 57 Dalam hal ini pihak bouwheer tidak punya hubungan kontraktual dengan pihak pekerja tersebut, sehingga dalam bahasa litigasi dikatakan bahwa satu sama lainnya tidak dapat saling menggugat karena tidak punya cause of action. 70 Selain dari Pasal 1613 KUH Perdata tersebut, maka Pasal 1614 dan Pasal 1615 KUH Perdata juga menegaskan kembali berlakunya prinsip eksistensi hubungan kontraktual ini, di mana para tukang hanya mempunyai hubungan hukum secara kontraktual dengan pihak pemborong bukan dengan pihak bouwheer, kecuali apabila para tukang tersebut bekerja atas tanggung jawab sendiri secara langsung dengan pihak bouwheer dan untuk suatu harga tertentu. 8. Prinsip Hak Retensi Juga merupakan hukum yang telah berlaku secara universal dan diakui secara eksplisit dalam KUH Perdata Pasal 1616 bahwa jika para pekerja menguasai sesuatu barang kepunyaan orang lain untuk membuat sesuatu pekerjaan atas barang tersebut, maka kepada pekerja tersebut diberikan hak retensi. Maksudnya adalah bahwa para pekerja tersebut mempunyai hak untuk menahan barang tersebut meskipun milik orang lain dalam kekuasaannya selama ongkos pembuatan pekerjaan atas barang tersebut belum dibayar lunas. Yang perlu digaris bawahi di sini adalah adanya perbedaan antara hak retensi dengan jaminan hutang. Sebab, dalam hak retensi, pihak yang mempunyai hak retensi tersebut hanya dapat menahan barang yang bersangkutan, dalam arti mempertahankan barang tersebut sehingga tetap berada dalam kekuasaannya. Dia 70 Ibid hal 29 Universitas Sumatera Utara 58 tidak mempunyai wewenang untuk mengeksekusi, jadi barang tersebut tidak dapat dijual, dimiliki atau dinikmati hasilnya. Jika hutang tetap tidak dibayar oleh pemilik barang tersebut kepada pihak pemegang hak retensi, maka tentunya pihak pemegang hak retensi tersebut dapat mengajukan gugatan melalui prosedur biasa ke pengadilan dan minta dilakukan conservatoir beslag 71 atas barang tersebut. Dalam hal ini kedudukan pihak pemegang hak retensi sebagai kreditur konkuren dan penyitaan barang tersebut didasarkan atas Pasal 1331 KUH Perdata. Lain halnya seperti yang berlaku di negara-negara Common Law dimana disana berlaku teori Mechanics lien. Dalam hal ini, berdasarkan teori tersebut, pihak pekerja atau subkontraktor dapat menahan barang yang telah dibuatnya beserta property miliknya pihak bouwheer di mana barang tersebut dibuat, dan, secara hukum walau tidak diperjanjikan dapat menjadi jaminan hutang atas upahongkos pembuatannya itu, dan barang tersebut dapat dieksekusi dengan cara melakukan lelang di muka umum. 9. Prinsip Hukum Pemborongan Dalam Peraturan Selain KUH Perdata 72 a. Prinsip Hukum Pemborongan Dalam AV 1941 Peraturan ini diberlakukan karena ternyata KUH Perdata sangat minim mengatur tentang masalah pemborongankontruksi ini. 71 Conservatoir beslag dalam bahasa hukum Indonesia dapat diartikan ke dalam istilah sita pengukuhan dan istilah sita jaminan.Tetapi agar adanya pembakuan keseragaman pengalihan bahasa, maka istilah yang dipilih adalah istilah sita jaminan.Dalam pengerian sita jaminan dari segi yuridis, dimaksudakan memahami sita jaminan sesuai ketentuan undang- undang. Ketentuan sita jaminan ini diatur dalam pasal 227 HIR jo pasal 261 RBG, disini akan dibahas mengenai sita tindakan hukum eksepsional dan juga sita sebagai perampasan. Sita jaminan ini tujuannya adalah agar tergugat tidak memindahkan atau membebankan hartanya kepada pihak ketiga. 72 Ibid hal 31 Universitas Sumatera Utara 59 b. Prinsip Hukum Pemborongan Dalam Lainnya. Selain dari KUH Perdata dan AV 1941, masih ada lagi peraturan lain yang mesti diikuti dalam mengerjakan suatu konstruksi. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas- asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak. 73 Pasal 1339 KUH Perdata: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal- hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Suatu perjanjian tidak diperkenankan merugikan pihak ketiga, hal ini sesuai dengan Pasal 1340 KUH Perdata: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata. Pihak ketiga adalah mereka yang bukan merupakan pihak dalam suatu perjanjian dan juga bukan penerimapengoper hak rechtsverkrijgenden, baik berdasarkan alas hak umum maupun alas hak khusus. Suatu perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak, isi hak dan kewajiban tersebut selain ditentukan oleh hukum yang memaksa juga sudah tentu oleh sepakat para pihak. Namun 73 Mariam Darus Badrulzaman et.al, Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,2001, hal 87-88 Universitas Sumatera Utara 60 disamping itu hukum yang menambah juga mengisi kekosongan dalam perjanjian mereka, yaitu apabila mereka tidak secara tegas mengaturnya secara menyimpang. Adanya kesempatan kepada para pihak untuk menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah itu,ada kalanya memberikan kesempatan kepada si kuat untuk menyingkirkan tanggung jawab tertentu, bahkan ada kalanya menggesernya ke pundak lawan janjinya, dengan memperjanjikan suatu klausula, yang biasa disebut exoneratie-clausul . Dengan adanya kesempatan seperti itu kita sudah dapat menduga bahwa kemungkinan terjadi, bahwa klausula exoneratie mempunyai kaitan dengan penyalahgunaan keadaan.

F. Terminasi Suatu Kontrak 1. Ketentuan Dalam Kontrak tentang Terminasi

Apakah suatu kontrak yang telah dibuat secara sah dapat diputuskan di tengah jalan. Dan apakah konsekuensi dari pemutusan kontrak tersebut. Untuk mengetahui hal-hal tersebut, pertama-tama harus dilihat dahulu apakah ada ketentuan dalam kontrak yang bersangkutan mengenai cara-cara dan akibat-akibat pemutusan kontrak tersebut. Ada berbagai kemungkinan pengaturan tentang pemutusan kontrak dalam kontrak yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut 74 : a. Penyebutan Alasan Pemutusan Seringkali dalam kontrak diperinci alasan sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat memutuskan kontrak. Maka dalam hal ini tidak semuanya wanprestasi dapat menyebabkan salah satu pihak memutuskan kontraknya, tetapi hanya wanprestasi sepreti yang disebutkan dalam kontrak saja. 74 Ibid , hal 93 Universitas Sumatera Utara 61 b. Kontrak Dapat Diputus Dengan persetujuan Kadang-kadang disebutkan dalam kontrak bahwa suatu kontrak hanya dapat diputuskan jika disetujui oleh kedua belah pihak.Sebenarnya hal ini hanya penegasan saja, karena tanpa penyebutan tentang hal tersebut, demi hokum, kontrak dapat diterminasi jika disetujui oleh kedua belah pihak. c. Penyimpangan Pasal 1266 KUH Perdata Sangat sering dalam kontrak disebutkan bahwa jika ingin memutuskan kontrak, para pihak tidak perlu harus menempuh prosedur pengadilan, tetapi dapat diputuskan langsung oleh para pihak. Dengan ini, pasakl 1266 KUH Perdata harus dengan tegas dikesampingkan berlakunya sebab, menurut Pasal 1266 tersebut setiap pemutusan kontrak harus dilakukan lewat pengadilan. d. Tata Cara Pemutusan Kontrak Di samping penentuan pemutusan kontrak tidak lewat pengadilan, biasanya ditentukan juga prosedur pemutusan kontrak oleh para pihak tersebut.Sering ditentukan dalam kontrak bahwa sebelum diputuskan suatu kontrak, haruslah terlebih dahulu diperingatkan pihak yang tidak memenuhi prestasinya untuk melaksanakan kewajibannya. Peringatan ini biasa dilakukan dua atau tiga kali. Bila peringatan tersebut masih tidak diindahkan, maka salah satu pihak dapat langsung memutuskan kontrak tersebut. Penulisan kewajiban memberi peringatan seperti ini sejalan dengan prinsip yang dianut oleh KUH Perdata yaitu ingebrekesteliling, yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur, 75 dimana somasi dengan berbagai perkecualian pada prinsipnya memang diperlukan untuk dapat memutuskan suatu kontrak

2. Ketentuan Dalam Pasal 1338 Ayat 2 KUH Perdata