wanprestasi akibat pemutusan DI perjanjian

SKRIPSI

WANPRESTASI AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SECARA SEPIHAK

Oleh :

BAGUS GEDE MAS WIDIPRADNYANA ARJAYA

NIM. 030911017

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2013

WANPRESTASI AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SECARA SEPIHAK SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : BAGUS GEDE MAS WIDIPRADNYANA ARJAYA

NIM. 030911017

DOSEN PEMBIMBING PENYUSUN

PROF. Dr. AGUS YUDHA HERNOKO, S.H., M.H. BAGUS GEDE M. W. A

NIP. 196504191990021001 NIM. 030911017

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2013

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji pada tanggal 9 Juli 2013

Tim Penguji Skripsi :

Ketua : Bambang Sugeng Ariadi Subagyo, S.H., M.H. ……………………… NIP. 196812291993031004

Anggota : 1. Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H. ……………………… NIP. 196504191990021001

2. Erni Agustin, S.H., LL.M. ……………………… NIP. 198308102006042001

3. Faizal Kurniawan, S.H., M.H., LL.M. ……………………… NIP. 198402172006041001

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala anugrah dan restu- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “WANPRESTASI AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak, Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua Orang tua yang penulis cintai dan hormati, Ayah I Made Arjaya, S.H., M.H dan ibu Ni Wayan Arniti, S.E., M.Kes., yang tak henti-hentinya memberi dukungan , doa dan semangat kepada penulis dari seberang pulau selama menuntut ilmu di Surabaya.

2. Bapak Prof. Dr Muchammad Zaidun, S.H., M.Si. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.

3. Bapak Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang sudi meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi di tengah kesibukan beliau sebagai Ketua Program Studi Magister Hukum Universitas Airlangga.

4. Ibu Dr. Sri Winarsi, S.H.,M.H. selaku dosen wali yang telah membantu dan mengarahkan penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

5. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, terima kasih atas curahan ilmu pengetahuan yang merupakan bekal bagi penulis menjalani kehidupan setelah menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum.

6. Adik satu-satunya Bendesa Gede Mas I.A., semoga suatu hari nanti dapat mengukir prestasi melebihi penulis.

7. I Gusti Ayu Vedadhyanti W.R, tempat penulis bercerita, berkeluh kesah dan sumber motivasi penulis selama masa penulisan skripsi.

8. Keluarga Besar I Gusti Ganda Kusuma, Bu Man, serta kedua saudari saya yang cantik ning Prasavita, S.H., dan Gek Ria, terima kasih telah memberikan perhatian dan bantuan selama penulis menjalani perkuliahan. Terutama saudari Prasavita yang melalui kata pengantar skripsinya menyadarkan penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban penulisan skripsi.

9. Saudara-saudara satu atap Asrama Mahasiswa Bali Tirtha Gangga, baik senior, satu angkatan maupun adik-adik angkatan yang mengisi dinamika kehidupan penulis selama empat tahun di Surabaya.

10. Kawan-kawan keluarga besar UKMKHD Unair yang mengisi waktu luang penulis di luar jam perkuliahan dengan kegiatan yang positif baik keagamaan maupun minat bakat.

11. Saudara-saudari satu kelompok KKN-BBM Tematik Kelurahan Jagir 2011-2012, dari satu bulan yang singkat penulis mendapat kenangan dan pelajaran yang tak terhitung jumlahnya.

12. Sahabat-Sahabat ACAK dan sahabat-sahabat sejak di kelompok Ospek Budi Susetyo, Mas Gondrong dan Mas Jairon, terima kasih atas semua kenangan di kampus merah tercinta.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis

mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kebaikan pada masa yang akan datang. Akhirnya, penulis berhadap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Om Shanti Shanti Shanti Om.

Surabaya, Juni 2013

Penulis

Bagus Gede M. W. A

3. Pemutusan Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Penjual dengan Memberlakukan Syarat Putus ……………………………………..

BAB III GUGATAN WANPRESTASI OLEH PEMBELI AKIBAT PENJUAL MEMUTUSKAN PERJANJIAN BERDASARKAN SYARAT PUTUS

1. Akibat Hukum Pemberlakuan Suatu Syarat Putus Terhadap Perjanjian ……...................................................................................... 43

2. Keberadaan Pernyataan Lalai dalam Pemberlakuan Syarat Putus

3. Gugatan Wanprestasi akibat Pemutusan Perjanjian yang

Dilakukan oleh Para Tergugat ………………………....................... 53

4. Keberadaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Setelah Penjual Dinyatakan Wanprestasi dalam Putusan Pengadilan …………….

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan………………………………………………………… 71

2. Saran……………………………………………………………….. 72 DAFTAR BACAAN

LAMPIRAN

Salinan Akta Pengikatan Jual Beli Tanggal 10 Mei Nomor 15

Salinan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.787/Pdt.G/2011/ PN.Dps

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Perjanjian atau dalam bahasa sehari-hari kita kenal dengan nama kontrak merupakan salah satu aspek penting dalam hukum, terutama hukum perdata. Terhadap penggunaan istilah perjanjian atau kontrak terdapat perbedaan pendapat dari para sarjana yang membedakan atau menyamakan kedua peristilahan ini. salah satu pendapat sarjana yang menyamakan peristilahan perjanjian dan kontrak adalah Agus Yudha Hernoko yang dalam bukunya menyatakan :

Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian saya sependapat dengan beberapa sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dan perjanjian. Hal ini disebabkan fokus kajiannya saya berlandaskan pada perspektif Burgerlijk Wetboek (BW), dimana antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian

yang sama dengan kontrak (contract). 1

Salah seorang sarjana yang berpendapat bahwa kontrak dan perjanjian memiliki pengertian yang berbeda adalah Subekti. Menurut Subekti suatu perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, 2011, h. 15.

dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dan dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.” 2 “Sedangkan

perkataan kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. 3 ” Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum

mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak

menuntut pelaksanaan janji itu. 4 Dalam kehidupan sehari-hari beragam jenis perjanjian yang melahirkan suatu perikatan antara para pihak yang membuatnya sebagai suatu hubungan hukum

terjadi di sekitar kita. Keberadaan perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temukan pengaturannya pada pasal 1233 BW yang menyatakan bahwa : “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian, baik karena undang- undang.” Selain pasal 1233 BW tersebut terdapat pula pasal 1313 BW yang menegaskan ketentuan pasal 1233 yang rumusan ketentuannya menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian yaitu unsur esenselia, unsur naturalia dan unsur accidentalia. Pada hakikatnya ketiga macam unsur dalam perjanjian tersebut merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang

diatur dalam pasal 1320 BW dan pasal 1339 BW. 5 Unsur esensialia adalah unsur yang menjadi

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002 (selanjutnya disebut Subekti I), h. 1. 3 Ibid.

4 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, h. 4. 5 Lihat Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2003, h.84.

pembeda antara satu perjanjian dengan perjanjian lainnya, tanpa adanya unsur esensialia maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, dan karenanya menjadi tidak sejalan sesuai dengan kehendak para pihak. Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Dan unsur accidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.

Suatu perjanjian bermula dari persamaan kehendak para pihak yang membuatnya dengan tetap memperhatikan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1320 BW. Syarat ini adalah dasar dari segara perjanjian sebagai suatu hubungan hukum antara para pihak yang membuatnya. BW telah mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan dasar hukum suatu perjanjian sebagai pegangan atas keabsahan perjanjian-perjanjian yang dibuat masyarakat dalam kehidupan sehari hari. Jenis-jenis perjanjian yang pengaturannya telah terdapat di dalam peraturan perundang-undangan ini kemudian dikenal sebagai perjanjian bernama. Dikatakan perjanjian bernama karena perjanjian-perjanjian ini diatur secara khusus dalam suatu perundang- undangan contohnya antara lain perjanjian jual-beli, sewa menyewa dan tukar menukar, yang pengaturan mengenai nama bentuk dan penyelenggaraannya telah diatur dalam BW.

Namun seiring berjalannya waktu muncul jenis-jenis perjanjian baru yang pengaturan- pengaturan mengenai bentuk dan pelaksanaannya tidak ditemukan dalam BW dan atau peraturan perundang-undangan lainnya. Bentuk-bentuk perjanjian baru ini muncul akibat perkembangan zaman yang menimbulkan munculnya format-format perjanjian baru yang menyesuaikan dengan kebutuhan manusia dan nuansa hukum yang terjadi saat itu.

Salah satu perjanjian tak bernama yang kini kerap dijumpai adalah perjanjian pengikatan jual beli, perjanjian ini biasanya muncul pada rezim hukum agraria terutama dalam kasus jual

beli tanah atau rumah. Pengikatan jual beli menurut R. Subekti 6 adalah “perjanjian antar para pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-

unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga ”, dan menurut Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian

pendahuluan yang bentuknya bebas 7 . Dari pendapat kedua sarjana ini dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian pengikatan jual beli adalah suatu perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum

perjanjian pokok atau perjanjian utamanya dilaksanakan.

Perjanjian ini pada mulanya muncul akibat rumitnya pemenuhan atas persyaratan- persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian jual beli di hadapan notaris, utamanya praktik jual beli tanah atau jual beli rumah. Maka mengingat asas kebebasan berkontrak dari buku III BW yang membebaskan subjek hukum untuk seluas-luasnya mengadakan perjanjian yang isi dan bentuknya merupakan kesepakatan para pihak yang menyusunnya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan ketertiban umum dan kesusilaan para pihak yang berkepentingan ini kemudian membentuk suatu perjanjian yang kini kita kenal sebagai perjanjian pengikatan jual beli. Karena perjanjian ini lahir karena kebutuhan dan tidak diatur tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan jual beli ini tidak memiliki bentuk tertentu. Sejalan dengan pendapat Herlien Budiono bahwa perjanjian pengikatan jual beli

6 Subekti I, Op. Cit., h.75. 7 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2012 (selanjutnya disebut Herlien Budiono I), h.270.

adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas. Akan tetapi dalam dalam praktik sehari-hari biasanya oleh para pihak perjanjian ini dituangkan dalam suatu akta otentik yang dibuat di hadapan notaris sehingga memiliki kekuatan pembuktian

yang sempurna dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang membuatnya. 8

Dalam praktiknya di masyarakat perjanjian pengikatan jual beli biasanya dipilih oleh para pihak yang mengikatkan diri kepadanya karena :

a. Harga yang telah disepakati untuk pembayaran belum dibayar lunas oleh pembeli atau pembayaran dilakukan secara angsuran.

b. Penjual membutuhkan uang hasil penjualan untuk keperluan mendesak dan tidak dapat menunggu proses balik nama menjadi atas nama pembeli selesai.

c. Permohonan sertipikat tanah atas nama pembeli sedang diproses di Badan Pertanahan Nasional tetapi pembeli tersebut memiliki kebutuhan yang mendesak sehingga terpaksa menjual tanah tersebut tanpa menunggu sertipikat tanahnya selesai.

Perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini terjadi antara I Made Mudra dan I Wayan Sandi sebagai pihak pertama, dan I Nyoman Mirna sebagai pihak kedua. Pihak Pertama adalah pemilik dari tiga bidang tanah hak milik terletak di Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali yang akan dijual kepada pihak kedua. Akan tetapi karena harga jual beli dari tanah belum dilunasi, dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum dibayar maka para pihak sepakat untuk membuat suatu perjanjian pendahuluan yang dituangkan dalam suatu Akta Pengikatan Jual Beli pada

8 R. Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan : Pedoman praktis pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 7.

Notaris I Made Pria Dharsana pada hari Jumat tanggal sepuluh Mei tahun dua ribu dua, dengan Nomor akta 15. Berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli tersebut disepakati beberapa poin yang dituangkan dalam pasal demi pasal dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, antara lain poin pembayaran sebagaimana berikut :

- Harga penjualan atau pembelian dari tanah adalah sebesar Rp 4.884.000.000,00 (empat milyar delapan ratus delapan puluh empat juta rupiah). - Sebesar Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) akan dibayar oleh Pihak Kedua pada Pihak Pertama pada saat akta ditandatangani, dan akta ini dinyatakan sebagai kwitansi pembayaran yang sah.

- Sisanya sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta rupiah akan dibayar oleh pihak kedua kepada pihak pertama selambat-lambatnya setelah hak atas tanah tersebut bersertipikat.

Perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana perjanjian pada umumnya mengandung hak dan kewajiban dari para pihak yang tunduk kepada perjanjian tersebut. Dengan keberadaan hak dan kewajiban ini seringkali muncul perselisihan-perselisihan yang timbul karena salah satu pihak mengingkari janji atau wanprestasi dengan tidak melakukan pemenuhan kewajiban atau prestasi dari perjanjian yang telah mereka sepakati sebelumnya. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) dapat berupa empat macam yaitu tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan, melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian

tidak boleh dilakukannya. 9 Untuk mengantisipasi terjadinya wanprestasi ini para pihak telah

9 Subekti I, Op.Cit., h. 45.

merumuskan suatu syarat batal yang dituangkan dalam pasal 6 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara para pihak yang telah disebutkan diatas :

Pasal 6

- Dalam hal PIHAK KEDUA oleh karena sebab apapun juga tidak dapat melakukan kewajibannya untuk membayar sisa harga jual beli atas TANAH seperti tersebut dalam pasal 3 akta ini, maka PIHAK KEDUA diberikan tenggang waktu 6 (enam) bulan dan jika selama tenggang waktu 6 (enam) bulan PIHAK KEDUA belum juga membayar sisa harga jual beli atas TANAH tersebut diatas, maka jumlah uang yang telah dibayarkan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA tidak akan dikembalikan kepada PIHAK KEDUA, tetapi PIHAK KEDUA akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi dengan diberikan kepastian lokasi.

- Apabila PIHAK PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA.

Untuk mengantisipasi wanprestasi yang mungkin terjadi setelah disepakatinya perjanjian, dalam praktiknya suatu perjanjian pengikatan jual beli menyertakan klausula pembatalan perjanjian secara sepihak atau atas kesepakatan kedua belah pihak. Walaupun dalam kontrak terdapat syarat batal, akan tetapi istilah yang lebih tepat untuk digunakan adalah pemutusan

kontrak. Mengenai penggunaan istilah hukum ini Agus Yudha Hernoko 10 berpendapat :

10 Agus Yuda Hernoko, Op. Cit., h. 296.

Perbedaan penting terhadap pemahaman antara pembatalan kontrak dengan pemutusan kontrak, adalah terletak pada fase hubungan kontraktualnya. Pada pembatalan kontrak senantiasa dikaitkan dengan tidak dipenuhinya syarat pembentukannya (fase pembentukan kontrak), sedangkan pemutusan kontrak pada dasarnya mengakui keabsahan kontrak yang bersangkutan serta mengikatnya kewajiban-kewajiban para pihak, namun karena dalam pelaksanaannya bermasalah sehingga mengakibatkan kontrak tersebut diputus (fase pelaksanaan kontrak).

Setelah akta pengikatan jual beli dinyatakan sah dan mengikat para pihak yang membuatnya, dalam pelaksanaanya pihak kedua mendalilkan bahwa pihak pertama wanprestasi karena pihak pertama tidak pernah memberitahukan kepada pihak kedua bahwa tanah obyek pengikatan telah bersertipikat, dan ketika pihak kedua mendatangi pihak pertama untuk melanjutkan pembayaran pihak pertama menyatakan tidak jadi menjual tanahnya. Atas dalil wanprestasi ini kemudian pihak kedua mendaftarkan gugatan kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denpasar dengan nomor register perkara 787/ Pdt. G/ 2011/ PN. Dps pada tanggal dua puluh delapan Desember dua ribu sebelas.

Dalam gugatannya penggugat mendalilkan para tergugat telah wanprestasi karena tidak adanya itikad baik dari para tergugat untuk memenuhi isi dari Akta Pengikatan Jual Beli tanggal sepuluh Mei dua ribu dua, Nomor 15 dan Akta Kuasa tanggal sepuluh Mei dua ribu dua, nomor :16. Penggugat dalam beberapa poin gugatannya menuntut para tergugat agar dihukum untuk membayar ganti kerugian secara tunai dan seketika terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan Dalam gugatannya penggugat mendalilkan para tergugat telah wanprestasi karena tidak adanya itikad baik dari para tergugat untuk memenuhi isi dari Akta Pengikatan Jual Beli tanggal sepuluh Mei dua ribu dua, Nomor 15 dan Akta Kuasa tanggal sepuluh Mei dua ribu dua, nomor :16. Penggugat dalam beberapa poin gugatannya menuntut para tergugat agar dihukum untuk membayar ganti kerugian secara tunai dan seketika terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan

Pihak pertama selaku para tergugat dalam jawaban atas gugatan dalam salah satu poin konpensi menolak dalil wanprestasi dari pihak kedua selaku penggugat, karena para tergugat menyatakan tindakan para tergugat masih dalam koridor Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 15 khususnya pasal enam paragraf kedua, dan dalil Penggugat untuk menuntut ganti kerugian sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) merupakan dalil tanpa dasar hukum dan bertentangan dengan Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 15 khususnya pasal enam paragraf kedua.

Gugatan wanprestasi ini diputus oleh majelis hakim pada tanggal lima belas Oktober dua ribu dua belas yang dalam pokok perkaranya antara lain menyatakan mengabulkan sebagian gugatan penggugat, menyatakan bahwa pihak pertama selaku tergugat telah melakukan wanprestasi dan menghukum para tergugat untuk melanjutkan proses jual beli tanah dihadapan PPAT atau pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dan diatur dalam Akta Pengikatan Jual Beli tanggal 10 Mei 2002 Nomor 15. dan juga menghukum Para Tergugat untuk membayar uang paksa kepada Penggugat sebesar 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap hari, setiap Para Tergugat lalai melaksanakan putusan terhitung sejak putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap.

2. Rumusan Masalah

Adapun berdasar latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Apakah Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang berisi klausula pemutusan sepihak memiliki kekuatan mengikat?

b. Apakah pemutusan pengikatan jual beli tanpa persetujuan pihak lain dapat dijadikan dasar gugatan wanprestasi?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan oleh pemutusan perjanjian pengikatan jual beli oleh salah satu pihak.

2. Untuk mengetahui Apakah akta pengikatan jual beli mempunyai nilai akta jual beli.

3. Untuk mengetahui Apakah pemutusan akta pengikatan jual beli oleh penjual yang klausula

pemutusannya telah diatur dalam akta pengikatan jual beli dapat dikategorikan wanprestasi.

4. Untuk mengetahui Apakah Hakim yang menyatakan pihak penjual/Tergugat Wanprestasi

dapat menyimpangi ketentuan dalam akta pengikatan jual beli yang telah disepakati oleh para pihak atau Hakim semestinya memutuskan memerintahkan kepada para pihak untuk mengikuti ketentuan dalam akta pengikatan.

4. Metode Penelitian

a. Tipe penelitian

Skripsi ini menggunakan tipe penulisan normatif, dengan melakukan penelitian terhadap norma yang tertuang dalam aturan, yang berangkat dari kekaburan norma, konflik norma atau kekosongan norma.

b. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach ).

Pendekatan undang-undang (statute approach) 11 adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum

yang sedang ditangani.

Pendekatan konseptual menurut Peter Mahmud Marzuki adalah pendekatan yang “... beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,

dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. 12 ”

Pendekatan kasus (case approach) merupakan suatu pendekatan dengan cara menelaah kasus-kasus yang memiliki keterkaitan dengan isu yang dihadapi melalui suatu putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 13

c. Sumber Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primer yang digunakan sebagai sumber penulisan skripsi ini adalah Burgerlijk Wetboek Staatsblad 1847 Nomor 23, Herzien Inlandsch Reglement /

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, h. 93. 12 Ibid , h. 95.

13 Ibid , h. 94.

12

Reglemen Indonesia Yang Dibaharui Staatsblad 1848 No. 16 jo. 57 dan Staatsblad 1941 No. 31, 32 dan 44, Putusan Pengadilan Pengadilan Negeri Denpasar No 787/Pdt.G/2011/PN.DPS, dan Akta Notaris Nomor 15 tanggal 10 Mei 2002.

2. Bahan Hukum Sekunder yang menjadi sumber bahan penunjang penulisan skripsi ini berupa kepustakaan yang terdiri dari buku-buku hukum.

BAB II KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI YANG MENCANTUMKAN KLAUSUL PEMUTUSAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK

1. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang berbentuk bebas, fungsi dan tujuan dari perjanjian pengikatan jual beli ini ialah untuk mempersiapkan, menegaskan memperkuat, mengatur, mengubah, atau menyelesaikan suatu hubungan hukum yang terjadi dalam perjanjian pokoknya, perjanjian pokok dalam perjanjian pengikatan jual beli

adalah perjanjian jual beli 15 . Perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo) merupakan suatu perjanjian bantuan yang memiliki pengertian suatu perjanjian di mana para pihak saling

mengikatkan diri untuk terjadinya suatu perjanjian baru/pokok yang merupakan tujuan dari para pihak. Perjanjian bantuan yang dibuat untuk memperkuat perjanjian pokok dapat dilihat pada perjanjian pembebanan hak tanggungan, gadai, borgtoch, dan fidusia.

Suatu perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan dari perjanjian jual beli maka syarat-syarat perjanjian pengikatan jual beli hampir serupa dengan perjanjian jual beli. Persamaan syarat ini dapat dilihat dari subyek dalam perjanjian pengikatan jual beli. dalam perjanjian pengikatan jual beli subyeknya sama dengan dengan subyek perjanjian jual beli yang diatur dalam pasal 1457 BW yaitu adanya pembeli yang menyerahkan suatu kebendaan dan

15 Lihat Herlien Budiono I, Op.Cit., h.269. Ibid

penjual yang membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam tulisan ini I Made Mudra sebagai salah seorang ahli waris dari almarhum I Sanek; dan juga berdasarkan surat kuasa di bawah tangan tertanggal dua puluh dua april tahun dua ribu dua bertindak untuk dan atas nama I Made Sanik, I Ketut Kanti, Ni Nyoman Samprug, I Ketut Gendra, I Wayan Merta dan Ni Made Sugiani; serta I Wayan Sandi bersepakat dengan I Nyoman Mirna untuk mengikatkan diri kepada suatu perjanjian pengikatan jual beli antara para pihak yang aktanya dibuat di hadapan Notaris I Made Pria Dharsana pada hari jumat, tanggal sepuluh mei tahun dua ribu dua (10-05-2002). Dalam perjanjian pengikatan jual beli ini I Made Mudra dan I Wayan Sandi bertindak sebagai penjual atau pihak pertama dan I Nyoman Mirna selaku pembeli atau pihak kedua.

Selain para pihak atau subyek hukum dalam perjanjian pengikatan jual beli yang memiliki kesamaan dengan subyek hukum dalam perjanjian jual beli, barang dan harga sebagai unsur esensialia dari perjanjian jual beli yang pengaturannya dapat ditemukan dalam pasal 1458 BW juga ditemukan dalam perjanjian pengikatan jual beli, akan tetapi dalam perjanjian pengikatan jual beli juga terdapat suatu syarat-syarat yang belum terpenuhi yang menjembatani keberadaan perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan dan perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok.

Adapun yang menjadi obyek dari perjanjian pengikatan jual beli ini ialah 3 (tiga) bidang tanah dengan rincian sebagai berikut :

1) Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 22.650 (dua puluh dua ribu enam ratus lima puluh) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.049-003.0, Kelas A36;

2) Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 600 (enam ratus) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.049-004.0, Kelas A36;

3) Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 21.150 (dua puluh satu ribu seratus lima puluh) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.048-002.0, Kelas A36;

4) Ketiga obyek tanah tersebut diatas terletak di Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

Mengenai harga yang merupakan salah satu unsur esensialia disepakati oleh para pihak bahwa harga dari obyek disepakati oleh pihak penjual dan pembeli sebesar Rp 4.884.000.000,00 (empat milyar delapan ratus delapan puluh empat juta rupiah) yang pembayarannya disepakati sebagai berikut :

a) Sebesar Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) akan dibayarkan oleh pembeli atau pihak kedua kepada penjual atau pihak pertama pada saat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli ditandatangani, sehingga akta ini oleh pihak pertama dan pihak kedua dinyatakan sebagai kwitansi yang sah.

b) Sisanya sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta rupiah) akan dibayar oleh pembeli atau pihak kedua kepada penjual atau pihak pertama selambat-lambatnya setelah tanah tersebut bersertipikat.

Syarat-syarat yang belum terpenuhi yang menjelaskan kedudukan dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo) 16 yang

mempersiapkan perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok dapat dilihat pada rumusan pasal 1 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang garis besarnya menerangkan bahwa perjanjian jual beli antara para pihak baru akan terjadi atau bergantung pada peristiwa yang masih akan datang, yaitu pelunasan harga jual tanah oleh pembeli kepada penjual, dan juga pembayaran pajak penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum dibayarkan oleh penjual.

Para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian pengikatan jual beli, tidak langsung melaksanakan perjanjian jual beli atas tanah diantara para pihak dikarenakan beberapa alasan, yaitu antara lain karena harga jual beli yang telah disepakati antara penjual dan pembeli belum dibayar lunas oleh pembeli, dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga belum dibayarkan. Mengenai hubungan hukum berupa perjanjian pengikatan jual beli ini Herlien Budiono mendefinisikan bahwa perjanjian pengikatan jual be li adalah “Perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas.” 17 . Suatu perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk

mempersiapkan, menegaskan memperkuat, mengatur, mengubah, atau menyelesaikan suatu hubungan hukum.

Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak memiliki perbedaan dengan perjanjian pada umumnya. Perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III BW yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek

16 Herlien Budiono I, Op.Cit., h.269. 17 Ibid, h.270.

hukum untuk mengadakan perjanjian dengan bentuk dan isi berdasarkan persetujuan para pihak, asal tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

Sifat terbuka suatu perjanjian yang mengandung asas kebebasan berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa „semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya‟. Dengan penekanan pada perkataan semua, maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan untuk membuat suatu perjanjian dengan isi dan bentuk yang disetujui para pihak pembuat, dan perjanjian tersebut mengikat mereka yang membuatnya selayaknya undang- undang. Atau dengan kata lain kita diperbolehkan untuk membuat undang-undang bagi kita sendiri, Pasal-Pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku apabila kita tidak membuat aturan- aturan tersendiri yang ada dalam suatu hukum perjanjian namun tidak tercantum dalam

perjanjian yang disepakati. 18

Asas terbuka (open system) memberi kebebasan kepada setiap orang dalam mengadakan perjanjian, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Kebebasan berkontrak itu dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan atau kepentingan umum. Para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli diberi kebebasan dalam membuat perjanjian asalkan tidak dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan ketertiban umum maupun kesusilaan.

Perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu perjanjian timbal balik (bilateral contract ), perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban

18 Lihat Subekti I, Op.Cit., h.13,14.

kepada kedua belah pihak 19 . Mengenai hak dan kewajiban dari para pihak dapat dilihat dalam rumusan akta pengikatan jual beli nomor 15 tanggal 10 Mei 2002.

Perjanjian pengikatan jual beli juga merupakan suatu perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst) yaitu suatu perjanjian yang tidak diatur dalam BW, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan, dan juga perjanjian pengikatan jual beli seperti dalam tulisan ini. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak,

mengadakan perjanjian atau partij otonomi. 20

Pada dasarnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan hasil inisiatif dari kalangan Notaris untuk dibuatkan akta notariil-nya, walaupun ada kemungkinan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dibuat dengan akta di bawah tangan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak ada yang mengatur secara spesifik mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli, akan tetapi para Notaris berinisiatif untuk membuatnya dengan maksud untuk memecahkan permasalahan yang muncul dalam transaksi jual beli hak atas tanah yang tidak dilakukan secara tunai. Pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dilakukan oleh Notaris merupakan upaya untuk memecahkan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak sebelum melakukan jual beli hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak atas tanah, dimana semua persyaratan tersebut tidak selamanya dapat dipenuhi dalam sekali waktu oleh para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah

19 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, h.86. 20 Mariam Darus Badrulzaman, et al.,Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011,

h.67.

Para pihak dalam tulisan ini sepakat untuk membuat suatu pengikatan jual dengan beberapa alasan, yaitu antara lain harga jual beli dari tanah belum dilunasi oleh pihak kedua atau pembeli, dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum dibayar. Maka daripada itu pihak pertama dan pihak kedua sepakat untuk membuat suatu perjanjian pendahuluan berupa suatu perjanjian pengikatan jual beli sebelum dilangsungkannya perjanjian jual beli dari tanah tersebut di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPHAT) yang berwenang.

Kesepakatan para pihak untuk menghadap Notaris guna menuangkan isi perjanjian pengikatan jual beli dalam bentuk tertulis melahirkan suatu akta pengikatan jual beli yang

berbentuk akta otentik. Akta otentik 21 merupakan salah satu alat bukti tulisan di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat atau pegawai umum

yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Dikenal adanya dua macam akta, yang pertama bentuk akta yang dibuat untuk bukti yang memuat keterangan yang diberikan oleh (para) penghadap kepada Notaris dinamakan akta pihak (partij-akten) dengan (para) penghadap menandatangani akta itu. Akta berikutnya ialah akta berita acara (relaas-akten), yaitu suatu bentuk akta yang dibuat untuk bukti oleh (para) penghadap dari perbuatan atau kenyataan yang terjadi di hadapan Notaris. Akta yang disebut belakangan tidak memberikan bukti mengenai keterangan yang diberikan oleh (para) penghadap dengan menandatangani akta tersebut, tetapi untuk bukti mengenai perbuatan dan kenyataan yang disaksikan oleh Notaris di dalam menjalankan tugasnya di hadapan para saksi. Akta berita acara (relaas-akten) tidak perlu ditandatangani oleh para penghadap.

21 Lihat Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, (selanjutnya disingkat Herlien Budiono II) h. 267.

Perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dituangkan ke dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh Notaris I Made Pria Dharsana pada tanggal 10 Mei 2002 dengan nomor akta 15. Akta Notaris ini merupakan suatu akta pihak (partij-akten) dapat dilihat pada penutup akta yang menyatakan bahwa akta ini ditandatangani oleh para pihak, yang merupakan syarat dari suatu

akta pihak, yang dapat dilihat pada bagian “…. maka akta ini ditandatangani oleh para penghadap, saksi-saksi dan saya, Notaris .”

Dituangkannya perjanjian antara para pihak dalam akta pengikatan jual beli Nomor 15 tanggal 10 Mei 2002 menimbulkan akibat perjanjian tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang lebih tinggi daripada perjanjian tersebut dituangkan hanya ke dalam suatu akta di bawah tangan. Perbedaan kekuatan pembuktian tersebut antara lain suatu akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah (uit wendige bewijskracht), sebab yang mendasari adalah bahwa tanda tangan dalam akta dibawah tangan tersebut kemungkinan masih dapat dipungkiri. Ketentuan Pasal 1876 BW menyatakan bahwa “Barangsiapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tanda tangannya…”, ketentuan Pasal 1877 BW lebih lanjut menerangkan apabila tanda tangan tersebut di pungkiri maka hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut di periksa di muka pengadilan.

Selain yang telah disebutkan diatas, adapun kekuatan pembuktian dari akta pengikatan jual beli yang dituangkan dalam suatu akta otentik ialah 22 :

1. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)

22 Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, h19,20,21.

Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant sese ipsa). Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkalkan keotentikan akta Notaris. Parameter untuk menentukan Akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada Minuta dan Salinan dan adanya awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta.

Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik.

Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik adalah bukan akta otentik memerlukan pmbuktian yang didasarkan kepada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi obyek gugatan bukan merupakan suatu akta Notaris.

2. Formal (Formele Bewijskracht) Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam

akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada

saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf, dan tanda tangan para pihak/ penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta pejabat/ berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/ penghadap (pada akta pihak).

Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan,tahun dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan atau disampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.

Tidak dilarang siapapun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atas aspek formal akta Notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang bersangkutan, misalnya, bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa menghadap Notaris pada hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda

tangan dirinya. Jika hal ini terjadi maka yang bersangkutan atau penghadap tersebut diperbolehkan untuk menggugat Notaris, dan penggugat harus dapat membuktikan ketidakbenaran aspek formal tersebut.

3. Materiil (Materiele Bewijskracht) Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta

merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan atau dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan para pihak yang diberikan atau disampaikan di hadapan Notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian dituangkan atau dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian keterangannya dimuat atau dituangkan dalam akta harus dinilai telah benar berkata. Jika ternyata pernyataan atau keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri, Notaris terlepas dari hal semacam itu.dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk atau di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.

Jika harus membuktikan aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan, bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materiil dari akta Notaris.

Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapa pun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

2. Klausul-Klausul dalam Akta Pengikatan Jual Beli

Terkait isi kontrak, kepustakaan hukum kontrak membaginya ke dalam beberapa unsur 23 , yaitu unsur esensialia, unsur naturalia dan unsur accidentia.

a. Unsur esensialia, merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam suatu kontrak. Unsur esensialia dari suatu pengikatan jual beli hampir serupa dengan unsur esensialia

perjanjian jual beli yaitu barang dan harga 24 . Namun dalam perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan dari perjanjian jual beli disertakan suatu

syarat yang belum terpenuhi yang menjembatani keberadaan perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan dan perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok.

b. Unsur naturalia, merupakan unsur yang ditentukan oleh undang-undang sebagai peraturan- peraturan yang bersifat mengatur, namun demikian dapat disimpangi para pihak. Unsur naturalia adalah perwujudan dari ketentuan Pasal 1339 BW yang menjabarkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,

23 Lihat Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,h.225,226 dikutip dari Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Jakarta,1987, h. 50.

24 Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1985 (selanjutnya disebut Subekti II), h.2

kebiasaan atau undang-undang. Secara tertulis salah satu unsur naturalia yang termuat dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 yang memuat syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang lazim dibuat untuk perjanjian yang serupa.

c. Unsur accidentalia, merupakan unsur yang ditambahkan oleh para pihak dalam hal undang-undang tidak mengaturnya. Dalam perjanjian pengikatan jual beli ini unsur accidentalia dapat dilihat antara lain dalam klausul mengenai cara pembayaran, klausul pemberlakuan syarat putus, klausul ganti rugi akibat pembatalan secara sepihak, dan klausul domisili.

Perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dibuat oleh para pihak berdasarkan kesepakatan antar mereka yang membuatnya dan juga menurut kebiasaaan, kepatutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang dituangkan ke dalam suatu akta Notaris nomor 15 tanggal 10 Mei 2002 ini secara garis besar dimuat dalam klausul-klausul berikut :

1. Klausul Barang atau Obyek Perjanjian

Obyek dari perjanjian pengikatan jual beli ini ialah 3 (tiga) bidang tanah yang terletak di Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali dengan rincian sebagai berikut :

- Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 22.650 (dua puluh dua ribu enam ratus lima

puluh) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.049-003.0, Kelas A36;

- Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 600 (enam ratus) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.049-004.0, Kelas A36;

- Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 21.150 (dua puluh satu ribu seratus lima puluh) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.048-002.0, Kelas A36.