Syarat Restorasi Dalam Terminasi Kontrak Akibat Dari Terminasi Kontrak

71 menggunakan faktor kesalahan pihak pelaku wanprestasi untuk dapat menentukan apakah kontrak tersebut juga antara akan menggunakan faktor “kesalahan” pihak pelaku wanprestasi untuk dapat menentukan apakah kontrak tersebut dapat diputus atau tidak. Dengan demikian, menurut sistem KUH Perdata Indonesia, maka pada prinsipnya asal ada kewajiban yang tidak dilaksanakan, dan kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut cukup material material breach, maka suatu kontrak sudah dapat diputuskan dan ganti rugi sudah dapat di mintakan. Asal saja ketidakterlaksanaan kewajiban tersebut bukan kewajiban tersebut bukan karena hal- hal yang bersifat force majeure, yang untuk ini tidak diatur oleh hukum yang mengatur tentang wanprestasi, tetapi sudah merupakan wilayah hukum yang lain, yakni hukum yang mengatur tentang force majeure dan tentang risiko.

6. Syarat Restorasi Dalam Terminasi Kontrak

Pihak yang dirugikan karena wanprestasi atas kontrak pada prinsipnya dapat memutuskan kontrak yang bersangkutan. Akan tetapi, jika pemutusan kontrak tersebut dilakukan dengan maksud agar pihak yang dirugikan dapat mendapatkan kembali prestasinya yang telah diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan oleh wanprestasi tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan restorasi restoration, yakni kewajiban dari pihak yang dirugikan untuk mengembalikan manfaat dari prestasi yang sekiranya telah dilakukan oleh pihak yang melakukan wanprestasi tersebut. Universitas Sumatera Utara 72 Bentuk-bentuk dari tindakan restorasi oleh pihak yang dirugikan oleh wanprestasi kepada pihak yang melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut : 87

a. Pengembalian benda secara fisik

Apabila pihak yang melakukan wanprestasi telah menyerahkan suatu benda tertentu kepada pihak lainnya dalam rangka melaksanakan kewajibannya berdasarkan kontrak, tetapi kemudian pihak yang dirugikan ingin memutuskan kontraknya, maka sebagai tindakan restorasi, pihak yang dirugikan harus menyerahkan kembali benda tersebut secara fisik kepada pihak yang melakukan wanprestasi yang bersangkutan.

b. Pembayaran kompensasi

Akan tetapi jika benda tersebut tidak dapat dikembalikan secara fisik, maka apabila ingin memutuskan kontrak, pihak yang telah dirugikan oleh wanprestasi tersebut harus memberikan kompensasi sejumlah manfaat yang diterimanya. Hal ini dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Karena benda tersebut menyatu dengan bendanya pihak yang dirugikan oleh wanprestasi, ataupun 2. Karena prestasi yang telah diberikan oleh pihak melakukan wanprestasi tersebut berupa benda yang tidak dapat dikembalikan, misalnya dalam bentuk jasa.

7. Akibat Dari Terminasi Kontrak

Dalam suatu kontrak Apabila telah diputuskan karena pihak lainnya telah 87 Ibid , hal 103 Universitas Sumatera Utara 73 melakukan wanprestasi, maka akan berlaku beberapa akibat hukum sebagai berikut: 88

a. Timbulnya Kewajiban untuk Melakukan Restorasi

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa bagi pihak yang ingin memutuskan kontrak karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi berlaku kewajiban untuk melakukan restorasi terhadap pihak yang telah melakukan.wanprestasi tersebut. Dalam hal ini, jika pemutusan kontrak tersebut dilakukan dengan maksud agar pihak yang dirugikan dapat mendapatkan kembali prestasinya yang telah diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan oleh wanprestasi tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan restorasi restoration, yakni kewajiban dari pihak yang dirugikan untuk mengembalikan manfaat dari prestasi yang sekiranya telah dilakukan oleh pihak yang melakukan wanprestasi tersebut.

b. Berlaku Sera Ex Tunc ataupun Ex Nunc

89 Dengan diputuskannya kontrak oleh pihak yang dirugikan karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi, apakah dengan demikian keadaan dikembalikan seperti sebelum kontrak dilakukan ex tunc yakni yang mempunyai efek yang retrospektif kontrak tersebut dianggap sama sekali tidak ada, ataupun kontrak hanya 88 Ibid, hal 104 89 Ex-tunc adalah ungkapan Latin, yang dalam bahasa Spanyol harfiah berartisejak itu, digunakan untuk berbicara tentang suatu tindakan yang menghasilkan efek dari saat yang sama dimana tindakan itu asalnya, kembali kepada situasi hukum dengan keadaan sebelumnya.Ketentuan ex nunc hanya dapat berakibat dari saat timbulnya, ke selanjutnya.Dalam pengujian peraturan perundang- undangan di MA terdapat dua macam pembatalan peraturan.yakni, ex tunc dan ex nunc. Ex tunc bersifat retroaktif sedangkan ex nunc bersifat prospektif Universitas Sumatera Utara 74 membebaskan para pihak untuk melaksanakan kewajibannya untuk masa setelah wanprestasi, sementara apa yang telah dilakukan sebelum wanprestasi tetap dianggap sah, yang disebut sebagai mempunyai efek yang ex nunc, yakni yang mempunyai efek yang prospektif. Tidak kelihatan ketentuan yang tegas dalam KUH Perdata Indonesia tentang efek dari berlakunya pemutusan kontrak karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi ini. Akan tetapi dalam ilmu hukum kontrak terdapat berbagai pandangan tentang efek yang retrospektif atau prospektif ini, bergantung kepada hukum dari negara mana yang diberlakukan. Pemutusan kontrak dalam hukum Prancis, atau yang disebut dengan resolution mempunyai efek yang retrospektif ex tunc, sementara pemutusan kontrak dalam hukum Jerman atau yang disebut dengan rucktritt dahulunya juga mempunyai akibat yang retrospektif. Tetapi dalam hukum Jerman yang modern, pemutusan kontrak sudah dianggap sebagai tindakan yang mempunyai efek ex nunc. Di samping itu, di negara-negara yang berlaku hukum Common Law, tidak ada ketentuan yang unum, tetapi pendekatannya dilakukan secara kasus per kasus, dalam arti ada kasus yang diterapkan efek yang ex tunc, tetapi ada pula kasus yang menerapkan efek yang ex nunc.

c. Akibat terhadap Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi

Seperti telah disebutkan bahwa jika ada pihak yang dirugikan karena wanprestasi dari pihak lainnya, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat memutuskan kontrak yang bersangkutan. Pada prinsipnya dalam ilmu hukum diterima prinsip bahwa upaya pemutusan kontrak karena wanprestasi tersebut tidak Universitas Sumatera Utara 75 diberlakukan secara bersamaan dengan upaya paksaan untuk melaksanakan kontrak, karena jelas itu merupakan dua hal yang bertentangan.Akan tetapi dengan pemutusan kontrak masih dimungkinkan diberlakukan juga upaya ganti rugi dalam kasus yang sama, jika ada alasan untuk itu. Hanya saja, prinsip pelarangan penerimaan ganti rugi secara double selalu dielakkan dalam kontrak, karena hal tersebut dapat merupakan penerimaan tanpa hak unjust enrichment. Karena itu jika dalam satu kasus yang sama, di samping berlaku hak dari pihak yang dirugikan untuk memutuskan kontrak, berlaku juga ganti rugi, maka ganti rugi tersebut haruslah dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak menjadi upaya ganti rugi kedua di samping upaya pemutusan kontrak yang bersangkutan. Universitas Sumatera Utara 76

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK APABILA

DIDALAM KLAUSULA KONTRAK TERDAPAT PENYIMPANGAN PASAL 1266 KUH PERDATA

A. Penggunaan Pengenyampingan Pasal 1266

Perjanjian yang sah tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Perjanjian tersebut mengikat pihak-pihaknya, dan tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi. Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak. 90 Alasan digunakan klausul pengenyampingan pasal 1266 KUHP adalah agar dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak, maka: 1. Pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri Pasal 1266; 2. Pihak yang tidak dipenuhi perikatannya dapat memaksa pihak yang lain untuk memenuhi isi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian tersebut ke pengadilan dengan membebankan penggantian biaya, kerugian dan bunga Pasal 1267. 90 Abdulkadir Muhammad, Hukum perikatan. Op.Cit, hal 97 76 Universitas Sumatera Utara 77 Pengenyampingan Pasal 1267 KUH Perdata dimungkinkan, akan tetapi akan menghapuskan hak pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi, biaya dan bunga; atau haknya untuk memaksa pihak yang wanprestasi untuk melanjutkan persetujuan atas biayanya. Sedangkan, mengenai akibat hukum dari dikesampingkannya pasal-pasal tersebut 91 , “Pada perikatan atau perjanjian yang diakhiri oleh para pihak, para pihak tidak dapat meniadakan atau menghilangkan hak-hak pihak ketiga yang telah terbit sehubungan dengan perjanjian yang mereka batalkan kembali tersebut untuk ini lihat ketentuan Pasal 1340 jo. Pasal 1341 KUH Perdata. Yang dapat ditiadakan dengan pembatalan tersebut hanyalah akibat-akibat yang dapat terjadi di masa yang akan datang di antara para pihak. Sedangkan bagi perjanjian yang dibatalkan oleh Hakim, pembatalan mengembalikan kedudukan semua pihak dan kebendaan kepada keadaannya semula, seolah-olah perjanjian tersebut tidak pernah terjadi, dengan pengecualian terhadap hak-hak tertentu yang tetap dipertahankan oleh undang- undang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu”. Jadi, akibat hukum dari dikesampingkannya pasal-pasal tersebut, pembatalan perjanjian tidak mengembalikan ke keadaan semula, melainkan hanya membatalkan perikatan dan perjanjian antara para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian sehingga pengenyampingan ini berakibat tidak memenuhi prestasi sehingga pihak yang dirugikan tidak akan mendapatkan hak ganti rugi, biaya atau bunga. 91 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja dalam bukunya “Perikatan pada Umumnya” PT.Raja Grafindo Persada, hal 203 Universitas Sumatera Utara 78 Suharnoko berpendapat harus dipertimbangkan kasus demi kasus dan pihak yang membuat perjanjian Perdata yang membuat wanprestasi sebagai syarat batal, tidak menjadi masalah jika kedua pihak menyepakati dan menerima bahwa memang telah terjadi wanprestasi dari salah satu pihak, dan kedua pihak sepakat untuk membatalkan perjanjian, namun yang menjadi masalah jika pihak yang dituduh melakukan wanprestasi mengelak bahwa ia melakukan wanprestasi, sehingga pembatalan lewat pengadilan diperlukan selain terlebih dahulu untuk menentukan apakah memang ada wanprestasi atau tidak, juga untuk menghindari kesewenang- wenangan salah satu pihak yang memutuskan perjanjian sepihak tanpa alasan yang dibenarkan oleh undang-undang sehingga merugikan pihak lainnya. Sedangkan pendapat yang menyebutkan bahwa pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan, Contoh dalam Kasus Posisi Perkara NO. 281PDT.G2007PN.JKT, antara PT.Sapta Sarana Personaprima Sapta Melawan Conoco Philips Conoco, bermula dari menangnya penawaran Sapta Penggugat sebagai Penawar tender pekerjaan Workover Rig Management Service TE- 10707 untuk pekerjaan pembangunan, pengeboran, dan pengoperasian sumur-sumur pada rig-rig didaerah Sumatera Selatan yang dilaksanakan Conoco Philipis tergugat. 92 Pengggugat dan tergugat sepakat untuk menandatangani Contract No. TE 10707RD Rig Management Service tertanggal 1 Agustus 2001 yang berisi ketentuan-ketentuan sehubungan dengan Rig Management Service Jasa pengelolaan Alat-alat Pembor untuk jangka waktu 3 tiga tahun dengan nilai kontark sebesar US 92 http:www.lontar.ui.ac.idfile?file=digital diakses tanggal 20 Desember 2011 Universitas Sumatera Utara 79 58, 468,920 lima puluh delapan juta empat ratus enam puluh delapan ribu sembilan ratus dua puluh dollar Amerika Serikat. Karena ada perubahan pada jadwal di dalam persiapan untuk memulai kontrak, Conoco mengubah waktu berlakunya kontrak mengamandemen kontrak, yang sebelumnya adalah Agustus 2001 menjadi 24 Oktober 2001. Kemudian pihak Conoco juga mengubah permintaan ukuran Top Drive Rig yang sebelumnya 250 HP menjadi 500 HP. Selain itu Conoco juga mengubah jumlah pesanan Rig yang sebelumnya berjumlah 3 tiga Rig menjadi 2 dua Rig yang dilakukan dengan menyatakan bahwa Conoco tidak membutuhkan Rig 6. Perubahan-perubahan tersebut kemudian disepakati oleh kedua belah pihak. Kemudian pihak Sapta melakukan keterlambatan pengiriman rig dan pelaksanaan penyelesaian proyek secara keseluruhan, yang mana atas keterlambatan tersebut pihak Conoco membebankan dendapenalty kepada Sapta. Setelah Sapta selesai mendatangkan, membangun dan menyerahkan Rig- rig, pihak Conoco menyatakan Rig-rig tersebut tidak lagi dibutuhkan. Pemutusan secara sepihak ini dilakukan oleh pihak Conoco karenapihaknya menganggap bahwa Sapta telah melakukan wanprestasi karena telah berkali-kali tidak memenuhi pesanan rig yang sesuai dengan diperjanjikan dan telah melakukan keterlambatan pengiriman Rig-rig. Hal ini dianggap sebagai ketentuan yang telah sesuai dengan apa yang ada dalam perjanjian, yakni berdasarkan pasal 20.1 Kontrak, yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 20 ayat 1 : Universitas Sumatera Utara 80 “Waktu adalah sangat penting. Apabila pada setiap waktu pelaksanaan Kontraktor atas Kontrak ini tidak memadai untuk memenuhi keperluan perusahaan atau terlambat secara wajar, maka perusahaan akan memberitahukan kepada kontraktor. Apabila dalam jangka waktu 14 empat belas hari setelah penerimaan pemberitahuan tersebut Kontraktor lalai untuk memulai atau melanjutkan pelaksanaan yang dipercepat untuk memenuhi keperluan Perusahaan, maka Perusahaan dapat mengakhiri Kontrak ini sesuai dengan pasal 4.1.5. Setiap peningkatan sumber daya yang diberikan oleh Kontraktor untuk mempercepat kemajuan harus ditanggung oleh Kontraktor.“ Maka dengan adanya keterlambatan pengiriman rig oleh pihak Sapta atas dasar pasal tersebut pihak Conoco merasa berhak untuk memutuskan perjanjiannya dengan Sapta Sedangkan dengan adanya pembatalan perjanjian sepihak tersebut, pihak Sapta merasa dirugikan. Karena telah terlanjur memesan Rig dalam jumlah banyak, serta pembatalan sepihak tersebut telah mengakibatkan kacaunya alur keuangan Sapta terhadap suplier-suplier dan pemberi kredit, yakni Bank Mandiri,yang karena kacaunya alur keuangan tersebut, Sapta pernah dimohonkan pailit oleh 38 tiga puluh delapan kreditur melalui Perkara Pailit No.01PAILIT2004PN.NIAGA.JKT Kemudian Conoco memutuskan kontrak secara sepihak sebelum masa kontrak berakhir yang di utarakan oleh pihak Conoco kepada pihak Sapta melalui Surat No. 016LGLII2003 tertanggal 7 Januari 2003 perihal Contract No. TE- 10707RD, serta menolak melakukan pembayaran atas kewajiban-kewajiban Conoco kepada Sapta. Universitas Sumatera Utara 81 Dalam hal pembatalan sepihak, berdasarkan pasal 1266 KUH Perdata, haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Perjanjian harus bersifat timbal balik b. Ada wanprestasi salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya c. Pembatalan haruslah dimintakan kepada hakim Pembatalan sepihak yang dilakukan oleh pihak Conoco terhadap Sapta didasarkan karena pihak Conoco menganggap bahwa pihak Sapta telah melakukan kelalaian wanprestasi yaitu telah melakukan keterlambatan dalam pengiriman Rig- Rig selama 4 empat bulan dari jadwal yang disepakati dan Rig-Rig yang didatangkan tidak memenuhi spesifikasi kelayakan operasional sehingga tidak bisa dioperasikan sama sekali dan dikhawatirkan dapat mengancam keselamatan pekerja di lapangan tidak memenuhi persyaratan i safety, ii healthy, iii environment friendly. Namun Berdasarkan pihak Sapta merasa tidak melakukan ingkar janji wanprestasi sehingga tuduhan wanprestasi yang dilontarkan oleh pihak Conoco terlebih dahulu harus dibuktikan. Menurut saksi ahli DR. Ir. Chandra Arif dari BPPT yang menerangkan apabila ada perubahan Spesifikasi Top Drive Rig, maka memerlukan waktu antara 8 sampai 12 bulan untuk mendapatkan dan mengirimkan Rig tersebut, sehingga waktu yang layak patut diberikan untuk memberi kesempatan kepada Sapta melaksanakan penggantian Rig tersebut adalah 10 bulan dihitung dari tanggal persetujuan Sapta atas perubahan spesifikasi tersebut. Yakni tanggal 20 Mei 2002. Namun yang terjadi Pihak Conoco tidak memberikan waktu yang layak untuk Universitas Sumatera Utara 82 Sapta untuk memenuhi permintaan perubahan yang dimaksud, sehingga Sapta mengalami keterlambatan dalam memenuhi permintaan perubahan tersebut. Dalam hal ini keterlambatan yang dilakukan oleh Sapta merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, karena untuk pemesanan rig dengan spesifikasi baru membutuhkan waktu yang lama. Mengenai Sapta telah menyetujui adanya perubahan tersebut, hal ini dipandang sebagai kelemahan posisi dari Pihak Sapta, karena sebagai kontraktor, ketika pelaksanaan perjanjian telah berjalan, maka tentunya ia akan berharap perjanjian tersebut akan tetap berlangsung, agar ia tetap mendapatkan keuntungan atau setidaknya penggantian atas biaya dan segala hal yang telah dikeluarkan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Selain itu pihak Conoco yang telah lama berkecimpung dalam bisnis ini tentunya telah mengetahui bahwa dalam hal pemesanan rig dengan spesifikasi baru membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Sehingga sekiranya dapat memberikan waktu yang layak bagi Sapta untuk memenuhi permintaan perubahan tersebut, namun walau telah mengetahui, pihak Conoco tidak memberikan waktu yang layak dan tetap menuntut haknya dalam keadaan Sapta yang paling sulit, karena harus memenuhi rig dengan spesifikasi baru dan pada waktu itu juga sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga kemudian digugat pailit oleh sejumlah krediturnya. Oleh karenanya dikaitkan dengan pendapat Suharnoko, dalam hal ini kreditur dapat dikatakan tidak beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian, karena tidak memperhatikan kreditur dalam situasi tertentu. Menurut Ridwan Khairandi Salah Universitas Sumatera Utara 83 satu saksi ahli dalam persidangan kasus tersebut, bahwa perubahan perjanjian secara sepihak dapat dikatakan dengan penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan adalah cacat kehendak yang dikembangkan oleh pengadilan yang telah menjadi yurisprudensi. Bila dalam sebuah perjanjian terjadi ketidak seimbangan posisi tawar, antara para pihak, pihak yang kuat posisi tawarnya dapat menekan pihak lainnya untuk mengikuti kehendaknya dan isi perjanjian dapat dibuat sesuai dengan kehendak dan kepentingan pihak dengan posisi yang lebih kuat. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian tersebut terjadi atas keinginan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, akan tetapi atas unsur lalai yang dilakukan oleh para pihak sehingga terjadi wanprestasi Kemudian juga pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh Conoco hanya melalui surat pemberitahuan biasa pada Sapta, tidak melalui pengadilan. Sehingga hakim harus memutuskan menggunakan saksi ahli dalam untuk mengabulkan gugatan dari pihak Sapta dan meminta kepada conoco untuk membayar kerugian kepada sapta karena tingkat pengetahuan hakim yang masih rendah dalam pemahaman tentang kontrak.

B. Penyelesaian Perselisihan Antara Para Pihak

Penyelesaian Sengketa dibidang kontruksi dapat ditempuh melalui dua pola yaitu Pengadilan dan diluar Pengadilan lazim disebut alternative dispute Resulition ADR . Sebagaimana tercantum pada perjanjian yaitu kontrak, dimana dalam setiap perjanjian pemborongan telah diatur Penyelesaian perselisihansengketa akibat dari adanya klaim konstruksi ataupun faktor- faktor pemicu lainnya diluar para pihak, Universitas Sumatera Utara 84 dalam suatu kontrak konstruksi telah diatur secara jelas dalam UU jasa konstruksi No. 181999 pada Bab IX penyelesaian sengketa yaitu dalam pasal 36 yang dapat kami uraikan secara lengkap sebagai berikut : 93 Pasal 36 Ayat 1 penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Ayat 2 penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur dalam kitab Undang undang hukum pidana. Ayat 3 jika dipilih upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Bahwa dari apa yang tertulis dalam pasal 36 ayat 1 UU jasa konstruksi No. 181999 diatas dapat dilihat bahwa penyelesaian suatu perselisihan atau sengketa dapat ditentukan oleh para pihak dalam kontrak yang telah disepakati dan kontrak tersebut akan menjadi Undang undang pasal 1338 KUH perdata ayat 1 bagi pihak yang akan bersepakat atau dalam istilah azas hukum perjanjian adalah azas pacta sunt Servanda . Bila dalam suatu perjanjian terdapat klausula dalam perjanjian yang menyatakan bahwa perselisihan atau sengketa antara para pihak dalam kontrak dapat dilakukan secara musyawarah, arbitrase, mediasi, konsiliasi atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang ditetapkan dalam syarat – syarat umum kontrak, maka dengan mencantumkan dalam perjanjian pemborongan 93 Gunawan Widjaya “ Seri Hukum Bisnis Alternatif Penyelesaian Sengketa”PT. Raja Grafindo Persada.Jakarta hal 85 Universitas Sumatera Utara 85 ketentuan-ketentuan yang dimaksud maka para pihak dapat menempuh ketentuan – ketentuan itu. Menurut Pasal 36 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa : 1. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. 2. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur dalam KUH Pidana 3. Jika dipilih penyelesaian sengketa diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Selanjutnya dalam Pasal 37 Undang- Undang No. 18 Tahun 1999 disebutkan apabila: a. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi diluar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan. b. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat menggunakan pihak ketiga, yang disepakati oleh para pihak. c. Pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat jasa konstruksi. Universitas Sumatera Utara 86 Dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dapat kita temui sekurangnya ada enam macam tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu : 94

1. Konsultasi