Bidang bangunan Bidang persenjataan

3.3 Bidang bangunan

Telah dijelaskan pada klasifikasi kesenian, bahwa manyatta merupakan adalah sebuah gubuk yang berukuran 3 x 5 meter berukuran bulat terbuat dari kotoran sapi, kain, dan ranting yang dianyam. Manyatta dijadikan tempat tinggal sementara suku Samburu. Manyatta dibuat oleh para Samburu wanita karena di dalam suku Samburu pria dan wanita telah mempunyai tugasnya sendiri. Dan wanita bertanggung jawab atas pembuatan manyatta dan segala urusan rumah tangga. Kotoran sapi digunakan untuk merekatkan gubuk agar tahan lama.

3.4 Bidang persenjataan

Senjata tradisonal yang digunakan prajurit masai yang berbentuk tongkat dinamakan rungu. Ciri-ciri rungu yang berbentuk tongkat pendek terbuat dari kayu yang dibuat menonjol pada bagian ujung dan selalu dibawa oleh prajurit masai, dijadikan sebagai penandanya. Sedangkan petanda pada rungu adalah senjata tradisional prajurit Masai di Kenya. Rungu adalah simbol bagi prajurit masai dan penting keberadaannya sehingga mereka selalu membawa serta rungu mereka kemanapun mereka pergi. Rungu digunakan prajurit Masai untuk berburu, akan selalu dibawa oleh mereka untuk berjaga-jaga dari hewan buas yang biasanya berkeliaran di sekitar desa untuk mengincar hewan ternak mereka dan untuk berjaga-jaga jika ada serangan dari suku lain. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas terlihat bahwa makna yang berkaitan dengan tanda budaya yang muncul dalam roman ini meliputi beberapa aspek dari tujuh unsur kebudayaan universal yang dibagi menjadi tiga klasifikasi, meliputi bahasa yang digunakan suku Samburu. Suku Samburu berbicara dengan menggunakan bahasa Swahili dalam kehidupan sehari-hari mereka. Adapun bahasa yang mempunyai makna budaya tersendiri meliputi, mzungu yang berarti orang kulit putih. Lalu ketika suku Samburu bertemu, mereka menyapa dengan kata jambo sebagai bentuk kepedulian dan keramahtamahan. Berbeda dengan kata sapaan yang digunakan oleh prajurit. Ketika sesama prajurit bertemu mereka akan menyapa dengan kata supa, moran yang artinya halo, prajurit Suku Samburu adalah mereka mempunyai Tuhan yang mereka sebut Enkai dalam setiap doa-doa mereka. Suku Samburu tidak menunjukkan hal-hal semacam keindahan yang dipamerkan pada orang lain, karena hal itu justru akan membawa dampak buruk bagi dirinya. Mereka juga melarang orang hamil untuk melakukan hubungan suami istri dan melarang orang untuk menangis. Beberapa adat istiadat yang diterapkan suku Samburu, antara lain, adat pernikahan tradisional suku Samburu, adat perlakuan Samburu pria terhadap wanita, pria Samburu boleh beristri lebih dari satu, dan adat makan untuk prajurit Masai. Samburu mempunyai perlakukan tertentu terhadap tamunya sebagai bentuk kehormatan. Suku Samburu mempunyai kesenian berupa tarian prajurit Masai yang ditampilkan bersama gadis Samburu. Tarian ini dinamakan conga. Kostum dan aksesoris yang dikenakan penari yang memberikan kesan erotis dengan gerakannya dalam menarikan tarian conga. Mereka memiliki tempat tinggal yang berbentuk gubuk bernama manyatta dan kanga, yaitu kain yang digunakan sebagai pakaian tradisional. Makanan utama suku Samburu adalah ugali atau sejenis bubur jagung dan mandazi. Mereka mengonsumsi daun penenang bernama miraa. Selain makanan, mereka juga mengkonsumsi minuman yang dianggap sebagai obat agar mereka pulih dari sakit, seperti meminum buih lemak domba dan meminum darah hewan ternak. Suku Samburu menjadikan chai sebagai suguhan wajib mereka. Mereka juga menerapkan hukuman berupa pemberian hewan ternak oleh pelaku kepada orang yang telah dirugikan. Hukum suku Samburu terdiri dari hukum lingkungan dan hukum sosial. Dalam bidang mata pencaharian, suku Samburu membagi tugas menjadi pekerjaan pria dan pekerjaan wanita. Suku Samburu mempunyai alat transportasi umum satu-satunya yang dinamakan matatu dan kendaraan pribadi berupa mobil angkut bernama Land Rover. Suku Samburu menjadikan manyatta yang dibuat wanita Samburu sebagai tempat tinggal, sedangkan dalam bidang persenjataan, prajurit Masai mempunyai rungu. Senjata ini berfungsi menjaga diri dan lingkungan dan mereka.

C. Keterbatasan Penelitian

Tentunya peneliti memiliki keterbatasan ketika meneliti tanda budaya dalam roman Die Wei e Massai, keterbatasan tersebut antara lain: 1. Terbatasnya informasi yang berkaitan dengan suku Samburu di Kenya, sehingga peneliti hanya terpacu pada roman Die Wei e Massai dalam memaknai tanda budaya berdasarkan alur yang ada. 2. Peneliti yang masih pemula memiliki banyak kekurangan dalam melakukan penelitian ini, terutama dalam hal terjemahan dan mengulas makna tanda dari suku Samburu tersebut.