Hubungan Dukungan Keluarga Dan Karakteristik Penderita Tb Paru Dengan Kesembuhan Pada Pengobatan Tb Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DAN KARAKTERISTIK PENDERITA TB PARU DENGAN KESEMBUHAN PADA
PENGOBATAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS POLONIA MEDAN
TESIS
Oleh
MARSINTA PASARIBU 107032132 / IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
(2)
THE CORRELATION OF FAMILY SUPPORT AND THE CHARACTERISTICS OF LUNG CANCER PATIENTS WITH THE HEALING OF LUNG CANCER IN
THE WORKING AREA OF POLONIA PUSKESMAS, MEDAN
THESIS
BY
MARSINTA PASARIBU 107032132/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DAN KARAKTERISTIK PENDERITA TB PARU TERHADAP KESEMBUHAN PADA
PENGOBATAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS POLONIA MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MARSINTA PASARIBU 107032132 / IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
(4)
Judul Tesis : HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DAN KARAKTERISTIK PENDERITA TB PARU TERHADAP KESEMBUHAN PADA
PENGOBATAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS POLONIA MEDAN Nama Mahasiswa : Marsinta Pasaribu
Nomor Induk Mahasiswa : 107032132
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui Komisi Pembimbing :
(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M) (
Ketua Anggota
dr. Taufik Ashar, M.K.M)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
(5)
Telah diuji
Pada Tanggal : 15 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes
2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M 3. dr. Taufik Ashar, M.K.M
(6)
PERNYATAAN
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DAN KARAKTERISTIK PENDERITA TB PARU TERHADAP KESEMBUHAN PADA
PENGOBATAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS POLONIA MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesrjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, September 2012
MARSINTA PASARIBU 107032132 / IKM
(7)
ABSTRAK
Penyakit TB Paru merupakan penyakit menular yang menyebabkan kematian dan penyebaran serta penyembuhannya belum dapat dihentikan secara tuntas dalam masyarakat. faktor – faktor dukungan keluarga, karakteristik penderita memiliki pengaruh terhadap pengobatan TB Paru. Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB Paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB Paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar.
Penelitian ini adalah survey dengan menggunakan rancangan cross sectional yaitu pengamatan tentang adanya pengaruh suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya, yang dimaksudkan untuk menganalisis pengaruh dukungan keluarga dan karakteristik penderita terhadap kesembuhan pada Pengobatan TB Paru di wilayah kerja puskesmas Polonia Medan tahun 2011. Populasi adalah penderita yang sudah selesai berobat selama 6 bulan sebanyak 100 orang responden. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulai Januari sampai Juli 2012. Pengumpulan data melalui wawancara dan yang berpedoman pada kuesioner penelitian. Data dianalisis menggunakan uji regresi logistik berganda.
Hasil penelitian menunjukkan dukungan keluarga dimana p = 0,000 (< 0,05), pendapatan p = 0,000 (< 0,05) dan pengetahuan p = 0,000 (< 0,05) hal ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan kesembuhan pengobatan TB Paru.
Disarankan kepada keluarga penderita untuk tetap memberikan dukungan agar kesembuhan penderita semakin lebih baik lagi. Disamping itu penderita terus meningkatkan pengetahuannya sehingga dapat menyikapi penyakit TB Paru serta mengambil tindakan untuk meningkatkan kesembuhan pengobatan, kepada puskesmas Polonia Medan disarankan untuk terus melakukan sosialisasi, informasi untuk meningkatkan pengetahuan penderita tentang pentingnya kepatuhan berobat sehingga tingkat kesembuhan penderita dapat lebih maksimal.
(8)
ABSTRACT
Lung cancer is an infectious disease which causes death. Its spread and contagion cannot be stopped completely. The factors of family support and the patients’ characteristics have influence on the healing of lung cancer. The unwillingness to be under treatment has caused high rate of the failure to heal lung cancer and more people affected by lung cancer with BTA which is relevant to standard treatment.
The research was a survey, using cross sectional method which observed the influence of one variable on another variable. The aim of the research was to analyze the influences of family support and the patients’ characteristics in the healing of lung cancer in the working area of Polonia Puskesmas, Medan, in 2012. The population was 100 patients of lung cancer who had been treated within six months. The data were analyzed by using square test.
The result of the research showed that income, knowledge, and family support had significant correlation with the rate of healing. This was indicated by the significant value of multivatriate test < 0.05.
It is recommended that the patients’ families should give support in order to heal the patients. They should also increase their knowledge in order to prevent from lung cancer and take action to increase the healing treatment. It is also recommended that Polonia Puskesmas, Medan, should socialize information in order to increase the knowledge of lung cancer patients about the importance of obedience of being treated in order to increase the healing of the patients.
Keywords: Income, Knowledge, Family Support
(9)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya dan atas izinNya pula sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan guna memperoleh gelar Magister Kesehatan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas Polonia Medan guna lebih memahami tentang pengobatan TB Paru. Banyak sekali bantuan dari berbagai pihak yang telah penulis dapatkan selama menjalani pendidikan, melaksanakan penelitian serta menyusun tesis ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H,M.Sc (CTM), Sp. A(k), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
5. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan dr. Taufik Ashar, M.K.M, selaku pembimbing yang telah memberikan perhatian, dukungan dan pengarahan hingga tesis ini selesai.
(10)
6. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku penguji yang telah memberikan perhatian, dukungan dan pengarahan hingga tesis ini selesai.
7. Kepala Puskesmas Polonia Medan dr. Cut Mutia Mars yang telah memberikan izin dan fasilitas sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.
8. Ibunda tercinta yang selalu dengan sabar mendidik, memberi semangat dan menanamkan nilai-nilai luhur yang tidak pernah terlupakan dan dukungan adik-adikku.
9. Suami tercinta, orang yang paling istimewa, terima kasih atas cintanya, kesabarannya dan perhatiannya, semoga kita berdua dapat mencapai cita-cita kita. 10.Rekan-rekan mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku Tahun 2010 yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan pendidikan di Program S2 IKM – FKM USU Medan.
Penulis menyadari, tesis ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun penulisan. Penulis mengharapkan saran dan masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya penulis mengharapkan agar tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, September 2012 Penulis
Marsinta Pasaribu 107032132 / IKM
(11)
RIWAYAT HIDUP
Marsinta Pasaribu dilahirkan pada tanggal 09 April 1972 di Sidikalang. Anak
pertama dari enam bersaudara, dari pasangan Ayahanda T. Pasaribu dan Ibu Erika
Gultom. Menikah dengan P. Naibaho, S.H Tahun 2003 dan dikarunikan dua orang
anak, yaitu Marciano Naibaho, Aurelia Putri Br. Naibaho.
Pendidikan dimulai dari Sekolah Dasar tahun 1979 – 1985 di SD Negeri
06084454 Medan, tahun 1986-1989 pendidikan di SMP Negeri 7 Medan, Tahun
1989-1992 pendidikan di SMA Negeri 13 Medan, tahun 1992-1995 pendidikan di
Akademi Keperawatan Darma Agung Medan, 1998-2001 Pendidikan Ilmu Kesehatan
Masyarakat di Universitas Sumatera Utara. Tahun 1996 diangkat sebagai Pegawai
Rumah Sakit Permata Bunda s/d Tahun 2002. Tahun 2002 s/d sekarang sebagai staf
pengajar di Kebidanan Swasta Senior Medan Akbid Jaya Wijaya dan mengikuti
pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan. Minat Studi Promosi Kesehatan dan
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSCTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Hipotesis ... 6
1.5. Manfaat Penelitian ... 7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1. Keluarga ... 8
2.1.1. Definisi Keluarga ... 8
2.1.2. Peranan Keluarga ... 8
2.1.3. Dukungan Keluarga ... 11
2.2. Karakteristik Penderita Tb Paru ... 14
2.2.1. Pengetahuan ... 14
2.2.2. Sikap ... 16
2.2.3. Pendidikan ... 22
2.2.4. Tingkat Pendapatan Keluarga ... 23
2.2.5. Jarak Tempuh ke Puskesmas ... 23
2.2.6. Cara Transportasi ke Puskesmas ... 23
2.3. Penyakit Tuberkulosis ... 24
2.3.1. Gejala ... 24
2.3.2. Klasifikasi Penyakit ... 26
2.3.3. Etiologi ... 27
2.3.4. Patofisiologi ... 28
2.3.5. Prinsip Pengobatan TB Paru ... 31
2.3.6. Pengobatan Penderita TB Paru ... 32
2.3.7. Tatalaksana Penderita yang Berobat ... 33
2.3.8. Hasil Pengobatan ... 34
2.4. Kepatuhan ... 36
(13)
2.4.2. Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan ... 38
2.5. Kesembuhan Penyakit ... 40
2.6. Landasan Teori ... 42
2.7. Kerangka Konsep ... 45
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 46
3.1. Jenis Penelitian ... 46
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46
3.3. Populasi dan Sampel ... 46
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 47
3.4.1. Data Primer ... 47
3.4.2. Data Sekunder ... 47
3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 47
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 53
3.6. Metode Pengukuran ... 54
3.7. Metode Analisis Data ... 56
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57
4.1. Gambaran Umum Puskesmas Polonia Medan ... 57
4.1.1 Lokasi dan Sejarah Singkat Puskesmas Polonia Medan ... 57
4.1.2 Wilayah Kerja Puskesmas ... 57
4.2. Hasil Penelitian ... 58
4.2.1 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga Responden tentang TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan ... 58
4.2.2 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Pengetahuan Responden tentang TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Puskesmas Polonia Medan ... 58
4.2.3 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan ... 59
4.2.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan ... 59
4.2.5 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan ... 60
4.2.6 Distribusi Responden Berdasarkan Jarak ke Puskesmas Polonia Medan ... 60
4.2.7 Distribusi Responden Berdasarkan Cara Transportasi di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan ... 61
4.2.8 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kesembuhan di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan ... 61
(14)
4.3.1 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kesembuhan
Pengobatan ... 62
4.3.2 Hubungan Pengetahuan dengan Kesembuhan Pengobatan ... 63
4.3.3 Hubungan Sikap dengan Kesembuhan Pengobatan ... 64
4.3.4 Hubungan Pendidikan dengan Kesembuhan Pengobatan 64 4.3.5 Hubungan Pendapatan dengan Kesembuhan Pengobatan ... 65
4.3.6 Hubungan Jarak ke Puskesmas dengan Kesembuhan Pengobatan ... 66
4.3.7 Hubungan Transportasi dengan Kesembuhan Pengobatan ... 67
4.4. Analisis Multivariat ... 67
BAB 5. PEMBAHASAN ... 70
5.1. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru ... 70
5.2. Hubungan Pengetahuan dengan Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru ... 71
5.3. Hubungan Sikap dengan Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru ... 73
5.4. Hubungan Pendidikan dengan Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru ... 74
5.5. Hubungan Pendapatan dengan Tingkat Pengobatan TB Paru .. 75
5.6. Hubungan Jarak Tempuh ke Puskesmas dengan Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru ... 77
5.7. Hubungan Transportasi dengan Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru ... 77
5.8 Analisis Multivariat ... 77
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 79
6.2. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 81
(15)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Pengobatan Penderita TB Paru BTA Positif yang Berobat tidak Teratur . 34
2.2. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak ... 41
3.1. Uji Validitas Variabel Dukungan Keluarga ... 49
3.2. Uji Validitas Variabel Pengetahuan ... 50
3.3. Uji Validitas Variabel Sikap ... 50
3.4. Uji Validitas Variabel Kesembuhan Pengobatan ... 51
3.5. Uji Reliabilitas ... 52
3.6. Variabel dan Definisi Operasional ... 53
3.7. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 55
3.8. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 55
4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan ... 58
4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan ... 59
4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap di WilayaKerja Puskesmas Polonia Medan ... 59
4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan ... 60
4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan ... 60
4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Jarak ke Puskesmas Polonia Medan . 61 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Cara Transportasi di Wilayah Kerja Puskesmas Polonia Medan ... 61
(16)
4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kesembuhan di Wilayah Kerja
Puskesmas Polonia Medan ... 62
4.9 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kesembuhan Pengobatan ... 63
4.10 Hubungan Pengetahuan dengan Kesembuhan Pengobatan ... 63
4.11 Hubungan Sikap dengan Kesembuhan Pengobatan ... 64
4.12 Hubungan Pendidikan dengan Kesembuhan Pengobatan ... 65
4.13 Hubungan Pendapatan dengan Kesembuhan Pengobatan ... 66
4.14 Hubungan Jarak dengan Kesembuhan Pengobatan ... 66
(17)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
(18)
ABSTRAK
Penyakit TB Paru merupakan penyakit menular yang menyebabkan kematian dan penyebaran serta penyembuhannya belum dapat dihentikan secara tuntas dalam masyarakat. faktor – faktor dukungan keluarga, karakteristik penderita memiliki pengaruh terhadap pengobatan TB Paru. Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB Paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB Paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar.
Penelitian ini adalah survey dengan menggunakan rancangan cross sectional yaitu pengamatan tentang adanya pengaruh suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya, yang dimaksudkan untuk menganalisis pengaruh dukungan keluarga dan karakteristik penderita terhadap kesembuhan pada Pengobatan TB Paru di wilayah kerja puskesmas Polonia Medan tahun 2011. Populasi adalah penderita yang sudah selesai berobat selama 6 bulan sebanyak 100 orang responden. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulai Januari sampai Juli 2012. Pengumpulan data melalui wawancara dan yang berpedoman pada kuesioner penelitian. Data dianalisis menggunakan uji regresi logistik berganda.
Hasil penelitian menunjukkan dukungan keluarga dimana p = 0,000 (< 0,05), pendapatan p = 0,000 (< 0,05) dan pengetahuan p = 0,000 (< 0,05) hal ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan kesembuhan pengobatan TB Paru.
Disarankan kepada keluarga penderita untuk tetap memberikan dukungan agar kesembuhan penderita semakin lebih baik lagi. Disamping itu penderita terus meningkatkan pengetahuannya sehingga dapat menyikapi penyakit TB Paru serta mengambil tindakan untuk meningkatkan kesembuhan pengobatan, kepada puskesmas Polonia Medan disarankan untuk terus melakukan sosialisasi, informasi untuk meningkatkan pengetahuan penderita tentang pentingnya kepatuhan berobat sehingga tingkat kesembuhan penderita dapat lebih maksimal.
(19)
ABSTRACT
Lung cancer is an infectious disease which causes death. Its spread and contagion cannot be stopped completely. The factors of family support and the patients’ characteristics have influence on the healing of lung cancer. The unwillingness to be under treatment has caused high rate of the failure to heal lung cancer and more people affected by lung cancer with BTA which is relevant to standard treatment.
The research was a survey, using cross sectional method which observed the influence of one variable on another variable. The aim of the research was to analyze the influences of family support and the patients’ characteristics in the healing of lung cancer in the working area of Polonia Puskesmas, Medan, in 2012. The population was 100 patients of lung cancer who had been treated within six months. The data were analyzed by using square test.
The result of the research showed that income, knowledge, and family support had significant correlation with the rate of healing. This was indicated by the significant value of multivatriate test < 0.05.
It is recommended that the patients’ families should give support in order to heal the patients. They should also increase their knowledge in order to prevent from lung cancer and take action to increase the healing treatment. It is also recommended that Polonia Puskesmas, Medan, should socialize information in order to increase the knowledge of lung cancer patients about the importance of obedience of being treated in order to increase the healing of the patients.
Keywords: Income, Knowledge, Family Support
(20)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyakit TB Paru merupakan penyakit menular yang menyebabkan kematian.
Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 menyatakan
jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga
di dunia setelah India dan Cina. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat
Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu
orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah
India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (Global Tuberculosis Control,
2010). Sampai saat ini, belum satupun negara di dunia yang terbebas dari TB
Paru. Bahkan untuk negara maju yang pada mulanya angka tuberkulosis sudah
menurun, belakangan naik lagi mengikuti peningkatan penderita HIV positif dan
AIDS (Depkes, 2010).
Pada Global Report WHO 2010 didapat data TB Indonesia yakni total seluruh
kasus TB tahun 2009 sebanyak 294731 kasus dengan uraian 169213 kasus TB baru
BTA positif, 108616 kasus TB BTA negatif, 11215 kasus TB Extra Paru, 3709 kasus
TB Kambuh dan 1978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh
(retreatment, excl relaps). Sementara itu, untuk keberhasilan pengobatan dari tahun
2003 sampai tahun 2008 (dalam %), tahun 2003 (87%), tahun 2004 (90%), tahun
(21)
Penyakit TB Paru sebagai salah satu penyebab kematian yang terbesar di
negara kita tampak belum dapat diredakan penyebarannya, apalagi penyembuhannya
secara tuntas dalam masyarakat. Masalah penyakit TB di Indonesia yang demikian
rumit masih belum tuntas seperti adanya faktor risiko eksternal (umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, merokok, kepadatan hunian, status gizi, sosial
ekonomi dan perilaku) yang mempengaruhi penyebaran dan penularan TB, di lain
pihak diperberat lagi dengan tingginya prevalensi HIV (Human Immunodeficiency
Virus) dan munculnya resistensi ganda terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
atau disebut dengan Multidrug Resistance Tuberculosis (MDR-TB) (Depkes, 2010).
Di Sumatera Utara, penderita TB menempati urutan ketujuh nasional.
Jumlah penderita TB Paru klinis di Sumatera Utara pada tahun 2010 sebanyak
104.992 orang setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 13.744
orang serta yang sembuh sebanyak 9.390 orang atau sekitar 68,32% (Dinkes
Prov.Sumatera Utara, 2010). Berdasarkan survei dari jumlah tersebut, kota Medan
merupakan yang terbesar penderitanya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk
dari tiap kab/kota dengan jumlah penderita sebanyak 10.653 orang yang positif
setelah dilakukan pemeriksaan dan dan yang diobati sebanyak 1.960 orang, yang
sembuh sebanyak 790 orang (Dinkes Kota Medan, 2010).
Faktor-faktor kepatuhan, pengetahuan, dukungan keluarga, motivasi minum
obat dan KIE yang rendah memiliki pengaruh terhadap pengobatan TB Paru.
Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka
(22)
penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini
akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat
beban pemerintah. Dari berbagai faktor penyebab ketidakpatuhan minum obat
penderita TB Paru, faktor manusia dalam hal ini penderita TB paru sebagai penyebab
utama dari ketidak patuhan minum obat.
Kepatuhan terhadap pengobatan adalah kesetiaan mengikuti program yang
direkomendasikan sepanjang pengobatan dengan pengambilan semua paket obat yang
ditentukan untuk keseluruhan panjangnya waktu yang diperlukan Untuk mencapai
kesembuhan diperlukan kepatuhan atau keteraturan berobat bagi setiap penderita.
Berbagai pengetahuan yang benar tentang tuberculosis perlu diketahui oleh para
penderita dan keluarganya serta masyarakat luas pada umumnya. Penderita dan
keluarganya tentu perlu tahu seluk-beluk penyakit ini agar kesembuhan dapat
dicapai (Aditama, 2004).
Dalam hal kepatuhan terhadap pengobatan TB Paru, dukungan keluarga
memiliki peranan yang besar dalam hal memberikan dorongan berobat kepada
pasien. Keluarga adalah orang yang pertama yang tahu tentang kondisi sebenarnya
dari penderita TB Paru dan orang yang paling dekat serta berkomunikasi setiap hari
dengan penderita. Dorongan anggota keluarga untuk berobat secara teratur dan
adanya dukungan keluarga yang menjalin hubungan yang harmonis dengan penderita
membuat penderita diuntungkan lebih dari sekedar obat saja, melainkan juga
membantu pasien tetap baik dan patuh meminum obatnya. Pengaruh peran keluarga
(23)
memiliki alasan tersendiri untuk tidak melanjutkan pengobatan. Pada umumnya
alasan responden menghentikan pengobatan karena paket obat terlalu banyak dan
besar-besar, merasa sudah sembuh yang ditandai dengan batuk berkurang, perasaan
sudah enak badan, sesak napas berkurang, nafsu makan baik.
Penelitian yang dilakukan Jojor (2004) tentang ketidakpatuhan pasien TB
Paru dalam hal pengobatan menemukan bahwa pengobatan pasien TB Paru yang
tidak lengkap disebabkan oleh peranan anggota keluarga yang tidak sepenuhnya
mendampingi penderita. Akibatnya penyakit yang diderita kambuh kembali dan
dapat menular kepada anggota keluarga yang lain. Penelitian Erawatyningsih dkk
(2009) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada
penderita tuberkulosis paru menunjukkan bahwa pendidikan, pengetahuan, dan
pendapatan keluarga berpengaruh signifikan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru dan yang paling dominan adalah faktor pendidikan.
Sehubungan dengan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat
anti tuberkulosis, penelitian Hutapea (2009) menunjukkan dukungan keluarga dapat
meningkatkan kepatuhan minum obat penderita TB Paru. Perhatian atas kemajuan
pengobatan memiliki pengaruh yang paling besar terhadap peningkatan kepatuhan
minum OAT penderita paru.
Terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena kurang
pengetahuan dari keluarga terhadap penyakit TB Paru serta kurang pengetahuan
penatalaksanaan pengobatan dan upaya pencegahan penularan penyakit. Apabila
(24)
positif tidak teratur atau droup out pengobatan maka resiko penularan pada
masyarakat luas akan terjadi oleh karena cara penularan penyakit TB Paru untuk
keberhasilan pengobatan, oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dilakukan strategi
DOTS (Directly Observed Treatmen Shortcourse). Strategi ini merupakan yang
paling efektif untuk mengontrol pengobatan tuberculosis.
Pada tahun 2010 jumlah penderita TB Paru di Puskesmas Polonia adalah
sebanyak 47 orang dan tahun 2011 sebanyak 40 orang. Fenomena yang ditemukan
di lapangan menunjukkan bahwa dukungan keluarga dalam pengobatan TB Paru
terhadap penderita tidak sepenuhnya terlaksana. Hal ini terlihat bahwa walaupun
pengobatan gratis sudah tersedia, namun hasil yang dicapai tidak maksimal yang
diakibatkan oleh kurangnya dorongan dari keluarga, malas dan penderita melakukan
pengobatan kembali manakala penyakit yang diderita kambuh kembali. Bahkan
akibat pengobatan yang tidak tuntas tersebut menyebabkan anggota keluarga lain
tertular penyakit tersebut.
Faktor penting lainnya adalah dalam hal pendidikan penderita. Pendidikan
rendah mengakibatkan pengetahuan rendah. Masih banyak penderita berhenti
berobat karena keluhan sakit sudah hilang, padahal penyakitnya belum sembuh. Ini
terjadi karena kurangnya pemahaman tentang apa yang diterangkan oleh petugas.
Hasil observasi yang dilakukan peneliti di Medan Polonia bahwa TB Paru
masih diderita di kawasan tersebut. Faktor-faktor kepadatan penduduk, malnutrisi,
kurangnya pemahaman akan TB Paru serta tindakan yang tidak sepenuhnya tidak
(25)
anggota keluarga lain yang pada selanjutnya membuat jumlah penderitanya tetap
tinggi.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Pengaruh Dukungan Keluarga dan Karakteristik Penderita TB Paru
terhadap Kesembuhan pada Pengobatan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Polonia Medan.”
1.2.Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana hubungan
dukungan
keluarga dan karakteristik penderita TB Paru terhadap kesembuhan pada pengobatan
TB Paru di wilayah kerja puskesmas Polonia Medan ?”
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis hubungan
dukungan keluarga dan karakteristik penderita TB Paru terhadap kesembuhan pada
pengobatan TB Paru di wilayah kerja puskesmas Polonia Medan.
1.4.Hipotesis
Ada hubungan antara dukungan keluarga dan karakteristik penderita TB Paru
dengan kesembuhan pada pengobatan TB Paru di wilayah kerja puskesmas Polonia
(26)
1.5.Manfaat Penelitian
a. Bagi puskesmas Polonia Medan, sebagai informasi mengenai masalah yang
berkaitan dengan dukungan keluarga dan karakteristik penderita TB Paru
terhadap kesembuhan
b. Bagi keluarga, sebagai acuan dalam rangka peningkatan dukungan keluarga
serta memberikan motivasi kepada penderita TB Paru dalam rangka pada pengobatan TB Paru.
kesembuhan
c. Secara teoritis dapat mendukung pengembangan ilmu administrasi dan
kebijakan kesehatan, serta dapat dimanfaatkan sebagai acuan ilmiah untuk
pengembangan ilmu kesehatan khususnya tentang TB Paru. terhadap pengobatan TB Paru
(27)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keluarga
2.1.1. Definisi Keluarga
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan
keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing
yang merupakan bagian dari keluarga (Friedman 1992). Keluarga adalah suatu ikatan
atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan
jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah
sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal
dalam sebuah rumah tangga.
2.1.2. Peranan Keluarga
a. Pola Komunikasi
Bila dalam keluarga komunikasi yang terjadi secara terbuka dan dua arah akan
sangat mendukung bagi penderita TBC. Saling mengingatkan dan memotivasi
penderita untuk terus melakukan pengobatan dapat mempercepat proses
penyembuhan.
b. Peran Keluarga
Bila anggota keluarga dapat menerima dan melaksanakan perannya dengan
baik akan membuat anggota keluarga puas dan menghindari terjadinya konflik dalam
(28)
mengendalikan orang lain untuk mengubah perilaku keluarga yang mendukung
kesehatan. Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan secara musyawarah
akan dapat menciptakan suasana kekeluargaan. Akan timbul perasaan dihargai dalam
keluarga. Dalam hal ini peran keluarga adalah sebagai berikut :
1. Fungsi Afektif
Keluarga yang saling menyayangi dan peduli terhadap anggota keluarga yang
sakit TBC akan mempercepat proses penyembuhan. Karena adanya partisipasi dari
anggota keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit (Friedman, 1992).
2. Fungsi Sosialisasi dan Tempat Bersosialisasi
Fungsi keluarga mengembangkan dan melatih untuk berkehidupan sosial
sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain.Tidak ada
batasan dalam bersosialisasi bagi penderita dengan lingkungan akan mempengaruhi
kesembuhan penderita asalkan penderita tetap memperhatikan kondisinya .Sosialisasi
sangat diperlukan karena dapat mengurangi stress bagi penderita.
3. Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga
kelangsungan keluarga.Dan juga tempat mengembangkan fungsi reproduksi secara
universal, diantaranya seks yang sehat dan berkualitas, pendidikan seks pada anak
sangat penting.
4. Fungsi Ekonomi
Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti kebutuhan
(29)
mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
5. Fungsi Perawatan / Pemeliharaan Kesehatan
Berfungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar
tetap memiliki produktivitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga
di bidang kesehatan.
6. Tugas Keluarga di Bidang Kesehatan
Dikaitkan dengan kemampuan keluarga dalam melaksanakan 5 tugas keluarga
di bidang kesehatan yaitu :
a. Mengenal Masalah Kesehatan Keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena
tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah kadang
seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Ketidaksanggupan keluarga
dalam mengenal masalah kesehatan pada keluarga salah satunya disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang pengertian, tanda
dan gejala, perawatan dan pencegahan TBC (Aditama, 2002).
b. Memutuskan Tindakan Kesehatan yang Tepat Bagi Keluarga
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan
yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga,dengan pertimbangkan siapa diantara
keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan menentukan tindakankeluarga.
Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah
(30)
keputusan dalam melakukan tindakan yang tepat disebabkan karena keluarga tidak
memahami mengenai sifat, berat dan luasnya masalah serta tidak merasakan
menonjolnya masalah.
c. Merawat Keluarga yang Mengalami Gangguan Kesehatan
Keluarga dapat mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi keluarga
memiliki keterbatasan. Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang
sakit dikarenakan tidak mengetahui cara perawatan pada penyakitnya. Jika demikian
,anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan
lanjutan atau perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan (Aditama,
2002).
d. Memodifikasi Lingkungan Keluarga untuk Menjamin Kesehatan Keluarga
Pemeliharaan lingkungan yang baik akan meningkatkan kesehatan keluarga dan
membantu penyembuhan. Ketidakmampuan keluarga dalam memodifikasi
lingkungan bisa disebabkan karena terbatasnya sumber-sumber keluarga diantaranya
keuangan, kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat.
e. Memanfaatkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Sekitarnya Bagi Keluarga
Kemampuan keluarga dalam memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan akan
membantu anggota keluarga yang sakit memperoleh pertolongan dan mendapat
perawatan segera agar masalah teratasi.
2.1.3. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam
(31)
pengobatan yang akan mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan
membuat keputusan mengenai perawatan anggota keluarga yang sakit. Derajat
dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial, secara
negatif berhubungan dengan kepatuhan (Friedman, 1992).
Dukungan keluarga juga terkait dengan bidang ekonomi. Tingkat ekonomi
merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, akan
tetapi ada kalanya penderita TBC sudah pensiun dan tidak bekerja namun biasanya
ada sumber keuangan lain yang bisa digunakan untuk membiayai semua program
pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke
bawah akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya tingkat ekonomi baik tidak
terjadi ketidakpatuhan.
Dukungan lainnya adalah dalam bentuk dukungan sosial. Dukungan sosial
dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga teman, waktu, dan uang
merupakan faktor penting dalam kepatuhan. Keluarga dan teman dapat membantu
mengurangi kecemasan (ansietas) yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka
dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka seringkali dapat
menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.
1.
Sarafino (1994) mengelompokkan lima jenis dukungan sosial atau tindakan
yang mendukung meliputi:
Dukungan Emosional (Emotional)
Keluarga berfungsi sebagai tempat berteduh dan beristirahat yang
(32)
dengan mendengarkan keluhan, menunjukkan kasih sayang, kepercayaan, dan
perhatian. Dukungan emosional akan membuat seseorang merasa lebih
dihargai, nyaman, aman dan disayangi.
2. Dukungan Penghargaan (Esteem Support)
Keluarga berfungsi sebagai pemberi umpan balik yang positif, menengahi
penyelesaian masalah yang merupakan suatu sumber dan pengakuan
identitas keluarga.
3.
Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan rasa
hormat (penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan
dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu
dengan orang- orang lain, contohnya dengan membandingkannya dengan
orang lain yang lebih buruk keadaannya
Dukungan Instrumental (Instrumental)
4.
Keluarga merupakan suatu sumber bantuan yang praktis dan konkrit.
Bantuan mencakup pemberian bantuan yang nyata dan pelayanan yang
diberikan secara langsung bisa membantu orang yang membutuhkannya.
Dukungan ekonomi akan membantu untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan
pemeliharaan kesehatan.
Dukungan Informasi (Informational)
Untuk dukungan informasi, keluarga memberikan informasi, penjelasan
tentang situasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang
sedang dihadapi oleh seseorang. Untuk mengatasi masalah dapat dilakukan
(33)
5. Dukungan Jaringan (Network)
Sehubungan dengan dukungan jaringan, dalam hal ini berarti dukungan yang
memberikan perasaan menjadi bagian dari keanggotaan suatu kelompok
masyarakat yang berbagi kepentingan dan kegiatan-kegiatan sosial.
2.2. Karakteristik Penderita TB Paru 2.2.1. Pengetahuan
Secara etimologi, pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu
knowledge. Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan
adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true believed). Pengetahuan
adalah isi pikiran sehingga pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia
untuk tahu (Danim, 2004).
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan yang terjadi
melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa, dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010).
Depdiknas (2009) pengetahuan adalah persepsi yang jelas mengenai sesuatu,
pemahaman, pembelajaran, pengalaman praktikal, kemahiran, pengecaman, serta
kumpulan maklumat tersusun yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah,
kebiasaan terhadap bahasa, konsep, ide, fakta-fakta dan kesanggupan menggunakan
(34)
Prawiradilaga (2008) menjelaskan pengetahuan adalah berbagai gejala yang
ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul
ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian
tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Pengetahuan
diperoleh dari informasi baik secara lisan ataupun tertulis dari pengalaman seseorang.
Pengetahuan diperoleh dari fakta atau kenyataan dengan mendengar radio, melihat
televisi, dan sebagainya serta dapat diperoleh dari pengalaman berdasarkan pemikiran
kritis. Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah hasil dari tahu
yang diperoleh melalui panca indera, dimana pengetahuan itu merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
2.2.1.1. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa yang dicakup
dalam domain kognitif mempunyai 5 tingkatan, yaitu:
1) Tahu (Know)
Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang rendah. Tahu artinya dapat
mengingat suatu materi yang dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu
adalah ia dapat menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan dan menyatakan.
2) Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan dan
(35)
3) Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
4) Analisis (Analysis)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut dan
kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (Syntesis)
Menunjukkan pada suatu kemampuan meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
2.2.2. Sikap
Sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk
bertindak sesuai dengan objek sikap. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2010).
Azwar (2007) mengemukakan sikap adalah prediposisi untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal
psikologis yang murni dari individu itu sendiri tetapi sikap lebih merupakan proses
kesadaran yang sifatnya individual. Melalui, sikap kita memahami proses kesadaran
yang menentukan tindakan nyata dan tindakan yang mungkin dilakukan individu
dalam kehidupan sosialnya.
Uno (2006) menjelaskan sikap sebagai kecenderungan merespon atau
(36)
terhadap objek psikologis. Sikap terdiri dari sikap positif dan negatif. Orang yang
memiliki sikap positif kehadirannya didambakan, menyenangkan dan orang merasa
senang bersamanya. Sementara sikap negatif umumnya memiliki perilaku yang
kurang menyenangkan dan membuat orang lain tidak betah bersamana dan cenderung
merugikan orang lain.
Maxwell (2004) mengatakan sikap positif merupakan salah satu modal yang
paling penting yang bisa dimiliki seseorang dalam hidupnya. Sikap positif berarti
perilaku yang baik sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang
berlaku pada masyarakat. Sebaliknya sikap negatif adalah perilaku yang kurang
baik dan memunculkan kecendrungan untuk menjauhi, membenci, menghindari
ataupun tidak menyukai keberadaan suatu objek.
Hal yang sama Suryabrata (2005), mengatakan sikap (attitude) berhubungan
dengan sesuatu objek. Sikap biasanya memberikan penilaian (menerima atau
menolak) terhadap objek yang dihadapi.
Sikap merupakan suatu keadaan internal (internal state) yang mempengaruhi
pilihan tindakan individu terhadap beberapa objek, pribadi dan peristiwa. Keadaan
internal tersebut berupa keyakinan yang diperoleh dari proses akomodasi dan
asimilasi pengetahuan yang mereka dapatkan (Gagne, 1974).
Sikap adalah perilaku yang dimiliki seseorang dan tertanam sejak dini
dan perilaku yang dimiliki seseorang berbeda-beda dalam arti ada yang baik, ada
juga yang buruk tergantung dari individu masing-masing (Badudu, 2004). Sikap
(37)
maupun perasaan tidak mendukung (unfavourable) pada suatu objek (Error! Hyperlink reference not valid.,2009).
Rahayuningsih (2008) memberikan pengertian sikap sebagai berikut :
1. Berorientasi kepada respon : sikap adalah suatu bentuk perasaan, yaitu perasaan
mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung
(unfavourable) pada suatu objek.
2. Berorientasi kepada kesiapan respon : sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki adanya respon.
3. Berorientasi pada skema triadic : sikap merupakan konstelasi
komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek di lingkungan
sekitarnya.
Dari definisi yang disebutkan diatas dapat dipahami bahwa :
1. Sikap ditumbuhkan dan dipelajari sepanjang perkembangan orang yang
bersangkutan dalam keterkaitannya dengan objek tertentu.
2. Sikap merupakan hasil belajar manusia, sehingga sikap dapat ditumbuhkan dan
dikembangkan melalui proses belajar.
3. Sikap selalu berhubungan dengan objek, sehingga tidak berdiri sendiri.
4. Sikap dapat berhubungan dengan satu objek, tetapi dapat pula berhubungan
(38)
5. Sikap memiliki hubungan dengan aspek otivasi dan perasaan atau emosi
2.2.2.1. Tingkatan Sikap
1. Menerima
Menerima diartikan bahwa seseorang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek).
2. Merespon
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang
diberikan.
3. Menghargai
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah
suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko
merupakan sikap yang paling tinggi.
2.2.2.2. Komponen Sikap
Sikap mengandung aspek penilaian atau evaluatif terhadap objek dan
memiliki 3 komponen (Notoadmodjo, 2003), yakni :
1. Komponen Kognitif
Komponen kognitif adalah aspek intelektual yang berkaitan dengan apa
yang diketahui manusia. Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,
(39)
2. Komponen Afektif
Komponen ini membentuk sikap dengan rasa senang atau tidak senang
terhadap suatu objek yang menunjukkan arah sikap positif dan negatif. Komponen
afektif adalah aspek emosional yang berkaitan dengan penilaian terhadap apa yang
diketahui manusia.
3. Komponen Konatif
Komponen konatif adalah aspek visional yang berhubungan dengan
kecenderungan berperilaku terhadap objek sikap atau kemauan untuk bertindak.
2.2.2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Terbentuknya Sikap
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah
1. Pengalaman Pribadi
a. Dasar pembentukan sikap. Pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan
yang kuat.
b. Sikap mudah terbentuk jika melibatkan faktor eksternal.
2. Kebudayaan
a. Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut
dibesarkan.
b. Contoh pada sikap orang kota dan orang desa terhadap kebebasan dalam
pergaulan.
3. Orang Lain yang Dianggap Penting 2009).
Uno (2006) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya
(40)
1. Faktor internal yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang
bersangkutan, seperti selektivitas dalam hal memilih rangsang-rangsang
mana yang akan didekati dan yang mana harus dijauhi. Pilihan ini ditentukan
oleh motif-motif dan kecendrungan-kecendrungan dalam diri seseorang.
2. Faktor eksternal yaitu faktor yang berada diluar diri individu. Terbentuknya
sikap sebagai hasil belajar tergantung dari kondisi baik internal maupun
eksternal.
2.2.2.4. Cara Pengukuran Sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap
seseorang. Schultz (2006) menjelaskan pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat
yang mengatakan sesuatu mengenai objek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan
sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai objek sikap,
yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada objek sikap. Pernyataan
ini disebut dengan pernyataan favourable. Sebailknya pernyataan sikap mungkin
pula berisi hal-hal negatif mengenai objek sikap yang bersifat tidak mendukung
maupun kontra terhadap objek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan
pernyataan yang tidak favourable (unfavourable).
2.2.2.5. Komponen dan Skala Pengukuran Sikap
Ada tiga komponen sikap, yakni kognisi, afeksi, dan konasi. Kognisi
berkenaan dengan pengetahuan seseorang tentang objek atau stimulus yang
dihadapinya, afeksi berkenaan dengan perasaan dalam menanggapi hal tersebut,
(41)
sebab itu, sikap selalu bermakna bila dihadapkan kepada objek tertentu (Walgito,
2003).
Skala sikap dinyatakan dalam bentuk pernyataan untuk dinilai oleh responden,
apakah pernyataan itu didukung atau ditolaknya, melalui rintangan nilai tertentu.
Oleh sebab itu, pernyataan yang diajukan dibagi kedalam dua kategori, yakni
pernyataan positif dan pernyataan negatif.
Salah satu skala sikap yang sering digunakan adalah skala Likert. Dalam skala
Likert, pernyataan-pernyataan yang diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif,
dinilai oleh subjek dengan sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju,
dan sangat tidak setuju. Corak khas dari skala Likert adalah bahwa semakin tinggi
skor yang diperoleh seseorang, merupakan indikasi bahwa orang tersebut sikapnya
makin positif terhadap objek sikap, demikian sebaliknya (Walgito, 2003).
2.2.3. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang
makin mudah orang tersebut menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi, maka
seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain
maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak
pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat
kaitannnya dengan pendidikan dimana semakin tinggi maka semakin luas
(42)
2.2.4. Tingkat Pendapatan Keluarga
Pemenuhan kebutuhan keluarga berkaitan dengan tingkat pendapatan.
Tingkat pendapatan adalah besarnya penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan yang
dilakukan. Kepatuhan seseorang terhadap pengobatan TB Paru sering kali
dihadapkan dengan masalah rendahnya pendapatan yang selanjutnya mengarah
kepada kurang terpenuhinya gizi dan kurangnya kepedulian terhadap hal-hal yang
perlu dilakukan untuk pengobatan TB Paru. Tidak terpenuhinya pengobatan TB
Paru secara teratur disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah.
2.2.5. Jarak Tempuh ke Puskesmas
Sarana dan prasarana yang tersedia mendukung tercapainya program
pemerintah dalam hal pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat. Pemerintah
membangun rumah sakit dengan fasilitas yang memadai bertujuan untuk peningkatan
kesehatan masyarakat. Demikian halnya dengan puskesmas yang dibangun dengan
tenaga medis dan sarana serta prasarana yang terus diupayakan mengalami
perkembangan. Dalam hal perawatan kesehatan terutama bagi kaum ekonomi kelas
bawah, jarak tempuh dari tempat tinggal mereka ke puskesmas juga merupakan
salah satu kendala dalam hal kepatuhan mereka menjalankan pengobatan. Pada
akhirnya mereka tidak mematuhi aturan pengobatan yang dianjurkan.
2.2.6. Cara Transportasi ke Puskesmas
Kemudahan sampai ke puskesmas untuk melakukan pemeriksaan dan
pengobatan dan tersedianya transportasi yang memadai memiliki peranan penting
(43)
penderita berkeinginan melakukan pengobatan terhadap penderita yang dialaminya.
Sebaliknya, transportasi yang sulit ke puskesmas membuat si penderita sering
mengurungkan niatnya dalam melakukan pengobatan ditambah lagi faktor waktu dan
biaya yang dikeluarkan. Apabila penderita harus mengeluarkan uang yang lumayan
besar untuk mencapai ke puskesmas, maka kemungkinan besar penderita tidak
mematuhi aturan yang diberikan kepadanya dengan pertimbangan keuangan yang
mereka miliki.
2.3. Penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan mycobacterium
tuberculosis. Kuman ini berbentuk basil dengan ukuran 0,3µ-0,6µ. Sebagian besar
kuman terdiri dari asam (lipid) sehingga kuman ini tahan terhadap asam. Ada dua
spesies Mycobakterium yang menyerang manusia yaitu mycobacterium tuberculosis
(the human strain) dan mycobacterium bovis (Hard dan Mukty, 2008). Kuman
mycobacterium masuk kedalam tubuh manusia melalui udara, masuk kedalam saluran
pernapasan, terus keparu paru dan menetap di sana, atau dapat menyebar keseluruh
tubuh melalui pembuluh darah atau saluran pembuluh limfe (Crofton dkk, 2002)
2.3.1. Gejala-Gejala Tuberkulosis
Keluhan yang dirasakan penderita TB Paru dapat bermacam macam atau
malah tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang terbanyak adalah (Hard dan Mukty,
(44)
1. Demam
Penderita TB Paru sering mengalami demam, yang kadang-kadang panas badan
dapat mencapai 40-410
2. Batuk
C. Demam dapat hilang/timbul sehingga penderita tidak
terbebas dari demam yang menyerupai influenza.
Batuk yang terus menerus dan berdahak 3 minggu atau lebih terjadi karena
adanya iritasi pada bronkus. Batuk dapat bersifat kering (non produktif) kemudian
setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan
lebih lanjut adalah batuk bercampur darah karena terdapat pembuluh darah yang
pecah, hal ini terjadi pada kavitas atau pada ulkus dan dinding bronkus.
3. Sesak Nafas
Pada penyakit ringan (baru kambuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasi sudah terjadi
setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul apabila infiltrasi radang
sudah sampai pada pleura, sehingga menimbulkan pleuritis.
5. Badan Lemah (Malaise), nafsu makan berkurang, tidak enak badan, berkeringat
pada malam hari walaupun tanpa kegiatan, serta berat badan menurun, demam
(45)
2.3.2. Klasifikasi Penyakit
Penentuan klasifikasi dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan
paduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai. Klasifikasi
penderita TB paru adalah (Depkes 2003).
2.3.2.1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru tidak termasuk pleura. Penderita
ini paling banyak ditemukan sekitar 80% adalah penderita TB dan TB paru tipe ini
yang paling menular (Aditama, 2002)
2.3.2.2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh
selain paru-paru seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, saluran kencing, kulit, susunan
saraf dan perut (Crofton dkk, 2002), sedangkan untuk menentukan tipe penderita
ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :
1. Kasus Baru
Penderita yang digolongkan ke pada kasus baru adalah penderita yang belum
pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah minum OAT tetapi kurang dari
satu bulan.
2. Kambuh (Relaps)
Tipe kambuh adalah penderita tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi dan
(46)
3. Pindahan (Transfer in)
Pindahan adalah penderita yang mendapat pelayanan pengobatan di satu kota dan
kemudian pindah berobat ke kota lain.
4. Kasus Berobat Setelah Lalai (pengobatan setelah default/droup out)
Kasus berobat lalai adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan,
dan berhenti berobat 2 bulan atau lebih kemudian datang lagi berobat.
5. Gagal
Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5, atau penderita dengan hasil BTA negative, rontgen
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
6. Kronis
Kronis adalah pengobatan penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.
2.3.3. Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium Tuberkulosis. Kuman
Mycobacterium Tuberkulosis adalah kuman berbentuk batang aerobik tahan asam
yang tumbuh dengan lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar ultraviolet.
Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat
kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik.
Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat
(47)
sifat dormant.Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan
tuberculosis aktif lagi.
Sifat lain kuman ini adalah kuman aerob, sifat ini menunjukkan bahwa kuman
lebih menyenani jaringan yang lebih tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini
tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain,
sehingga bagian apikal inimerupakan tempat prediksi penyakit tuberculosis (Crofton
dkk, 2002).
Kuman TBC menyebar melalui udara (batuk, tertawa dan bersin) dan
melepaskan droplet. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman, akan tetapi
kuman dapat hidup beberapa jam dalam suhu kamar (Dep Kes RI 2002).
2.3.4. Patofisiologi
Tempat masuk kuman M. Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran
pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC)
terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman
basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi (Aditama, 2002).
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas dengan
melakukan reaksi inflamasi Bakteri dipindahkan melalui jalan nafas ,basil tuberkel
yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang
terdiri dari satu sampai tiga basil ; gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di
saluran hidung dan cabang besar bronkhus dan tidak menyebabkan penyakit (Crofton
dkk, 2002). Setelah berada dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan
(48)
memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari
pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh
dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga
berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang-biak di dalam sel. Basil
juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini
membutuhkan waktu 10 – 20 hari (Aditama, 2002).
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan
seperti keju, isi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi
primer. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya
yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda.
Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya
akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel (Crofton dkk, 2002).
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya
kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon
lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair
lepas kedalam bronkhus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan
dari dinding kavitas akan masuk kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini
dapat terulang kembali di bagian lain di paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke
(49)
nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk. Bila lesi ini sampai menembus
pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa (Komala 2006)
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat
menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga
bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui
saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip
dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas (Aditama, 2002). Keadaan ini dapat
menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan
bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.
Organisme yang lolos melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah
dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai
organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang
biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut
yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskuler
dan tersebar ke organ-organ tubuh (Crofton, dkk, 2002).
Komplikasi yang dapat timbul akibat tuberkulosis terjadi pada sistem
pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain
(50)
pernafasan menimbulkan tuberkulosis usus, meningitis serosa, dan tuberkulosis milier
(Komala, 2006).
2.3.5. Prinsip Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB diberikan dalam kombinasi obat dari beberapa jenis, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan. Hal ini supaya semua kuman
(termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Pengobatan TB di bagi menjadi 2 tahap
yaitu tahap intesif dan tahap lanjutan. Dosis tahap intesif dan tahap lanjutan ditelan
sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Pemberian obat yang tidak
tepat, (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan tidak tepat) maka kuman TB akan
berkembang menjadi kebal terhadap obat atau resisten (Aditama, 2002)
Kepatuhan penderita minum obat serta pemeriksaan sputum sangat diperlukan
guna menjamin kesembuha penderita TB. Pengobatan pada tahap intensif, penderita
minum obat setiap hari selama 1 bulan dan diawasi oleh PMO (pengawasan minum
obat). Bila pengobatan intensif diberikan kepada penderita TB paru secara tepat
selama 2 minggu, maka penderita yang tadinya menularkan bibit penyakit TB,
menjadi tidak menular. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA
negative (konversi) pada akhir pengobatan intensif (Crofton dkk, 2002). Sedangkan
pada tahap lanjutan penderita mendapat obat dalam jumlah yang lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lama. Hal ini penting untuk membunuh kuman yang
(51)
2.3.6. Pengobatan Penderita TB Paru
Departemen Kesehatan RI (2010) menjelaskan pengobatan penderita TB paru
dengan memberikan obat standar telah mendapat rekomendasi dari WHO dan
Internatioal Union Against Tuberkulosis And Lung Desease (IUATLD) yaitu :
1. Kategori 1. 2HRZE/4H3R3, 2HRZE/4HR, 2HRZE/6HE
Obat ini diberikan pada penderita kategori 1, yaitu tahap intensif yang terdiri dari
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E). Obat-obat
tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diberikan pada
tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), diberikan 3 kali
seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Penderita dengan kategori 1 adalah ;
• Penderita Baru TB paru BTA positif.
• Penderita paru BTA negatif roentgen positif (sakit berat)
• Penderita TB ekstra paru berat.
2. Kategori 2. 2HRZES/HRZE/5H3R3E3, 2HRZES/HRZE/5HRE
Obat ini diberikan pada penderita kategori II, tahap intensif diberikan selama 3
bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid
(Z), Etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Pemberian obat
dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (P),
Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan 5 bulan dengan HRE
yang diberikan selama 3 kali dalam seminggu. Penderita dengan kategori 2
(52)
• Penderita kambuh (relaps)
• Penderita gagal (Failure)
• Penderita denga pengobatan setelah lalai (after default) 3. Kategori 3. 2HRZ/4H3R3, 2HRZ/4HR, 2HRZ/6HE
Obat ini diberikan pada penderita kategori 3, tahap intensif yang terdiri dari HRZ
diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HEZ), diteruskan dengan tahap lanjutan
yang terdiri dari HR selama 4 bulan dan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).
Penderita kategori 3 adalah :
• Penderita baru BTA negative roentgen positif sakit ringan
• Penderita ekstra paru ringan, yaitu TB kelenjar Limfe, pleuritis eksudativa unilateral, TB kulit, TB tulang kecuali tulang belakang, sendi dan kelenjar
adrenal (Aditama, 2002)
4. OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada tahap akhir intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 dan kategori 2 hasil pemeriksaan masih BTA positif maka diberikan
obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
2.3.7. Tatalaksana Penderita yang Berobat tidak Teratur
Seseorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa
pengobatan selesai. Hal ini dapat terjadi karena penderita belum memahami bahwa
obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan. Pengobatan
(53)
pengobatan sebelumnya, lamanya putus berobat, dan bagaimana hasil pemeriksaan
dahak sewaktu dia kembali berobat (Aditama, 2002). Untuk jelasnya dapat dilihat
dalam tabel berikut :
Tabel 2.1. Pengobatan Penderita TB Paru BTA Positif yang Berobat Tidak Teratur Lama Pengobatan sebelumnya Lama pengobatan terputus Pemeriksaan dahak Hasil Pemeriksaan dahak Diregister
kembali Pengobatan
Kurang dari 1 bulan
< 2 minggu Tidak - - Lanjutkan kat 1
2-8 minggu Tidak - - Kat 1 dari awal
> 8 minggu Ya Positif - Kat 1 dari awal
Negatif - Lanjutkan kat 1
12 bulan
1-8 minggu Ya positif - Tambahkan. 1 bln
sisipan Negatif Lanjutkan kat 1 > 8 minggu Ya Positif Pengobatan
setelah defult
Kat 2 dari awal
Negatif Pengobatan setelah defult
Lanjutkan kat 1
> 2 bln
< 2 minggu Tidak - - Lanjutkan kat 1
2-8 minggu Ya Positif - Kat 2 dari awal
Negatif - Lanjutkan kat 1 > 8 minggu Ya Positif Pengobatan
setelah defult
Kat 2 dari awal
Negatif Pengobatan setelah defult
Lanjutkan kat 1
Sumber : Depkes, 2007
2.3.8. Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut
Hasil pengobatan penderita TB paru dapat dikategorikan menjadi (Depkes
2003) yaitu :
1. Sembuh
Penderita dikatakan sembuh bila hasil pemeriksaan ulang sputum paling sedikit 2
kali berturut-turut negatif, salah satu diantaranya haruslah pemeriksaan akhir
pengobatan. Apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan
(54)
2. Pengobatan Lengkap
Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tetapi tidak ada
pemeriksaa ulang sputum, khususnya pada akhir pengobatan (AP). Seharusnya
semua penderita BTA positif di lakukan pemeriksaan ulang sputum.
3. Meninggal
Penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab
apapun.
4. Pindah
Penderita yang pindah berobat ke daerah kabupaten / kota lain.
5. Drop out
Penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai. Tindak lanjut : Lacak penderita tersebut dan beri
penyuluhan pentingnya berobat secara teratur.
6. Gagal
Penderita dikatakan gagal pada pengobatan TB paru apabila :
a. Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan intensif
atau pada akhir pengobatan kategori 2.
b. Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan sputumnya pada akhir bulan ke
(55)
2.4. Kepatuhan
2.4.1 Definisi Kepatuhan
Kepatuhan adalah suatu sikap yang akan muncul pada seseorang yang
merupakan suatu reaksi terhadap sesuatu yang ada dalam peraturan yang harus
dijalankan. Sikap tersebut muncul apabila individu tersebut dihadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual (Azwar, 2002). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1997), kepatuhan diartikan sebagai sikap yang sesuai
dengan peraturan yang telah diberikan.
Muliawan (2010) menyatakan berhasilnya suatu terapi tidak hanya ditentukan
oleh diagnosis dan pemilihan obat yang tepat, tetapi juga oleh kepatuhan
(compliance) pasien untuk mengikuti terapi yang telah di tentukan. Kepatuhan pasien
ditentukan oleh beberapa hal antara lain persepsi tentang kesehatan, pengalaman
mengobati sendiri, pengalaman dari terapi sebelumnya, lingkungan (teman dan
keluarga), adanya efek samping obat, keadaan ekonomi, Interaksi dengan tenaga
kesehatan (dokter, apoteker dan perawat)
Drennan.V, Graw.C, 2000 kepatuhan (Compliance) dalam pengobatan dapat
diartikan sebagai perilaku pasien yang mentaati semua nasehat dan petunjuk yang
dianjurkan oleh kalangan tenaga medis. Mengenai segala sesuatu yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan pengobatan, salah satu diantaranya adalah
kepatuhan dalam minum obat. Hali ini merupakan syarat utama tercapainya
(56)
(ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang
disarankan oleh dokternya atau yang lain.
Kepatuhan terhadap pengobatan adalah kesetiaan mengikuti program yang
direkomendasikan sepanjang pengobatan dengan pengambilan semua paket obat yang
ditentukan untuk keseluruhan panjangnya waktu yang diperlukan Untuk mencapai
kesembuhan diperlukan kepatuhan atau keteraturan berobat bagi setiap penderita.
Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya
secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8
bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh datang berobat dan minum obat bila
frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai rencana yang ditetapkan. Penderita
dikatakan lalai jika datang lebih dari 3 hari-2 bulan dari tanggal perjanjian dan
dikatakan drop out jika lebih dari 2 bulan terturut-turut tidak datang berobat setelah
dikunjungi petugas ksehatan (Depkes, 2002).
Faktor-faktor pengetahuan, dukungan keluarga, motivasi minum obat dan KIE
yang rendah memiliki pengaruh terhadap pengobatan TB Paru. Besarnya angka
ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan
penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru
dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini akan mempersulit
pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat beban pemerintah.
Dari berbagai faktor penyebab ketidakpatuhan minum obat penderita TB Paru, dapat
disimpulkan bahwa faktor manusia, dalam hal ini penderita TB paru sebagai
(57)
Pada umurnnya alasan responden menghentikan pengobatan karena paket obat
terlalu banyak dan besar-besar, merasa sudah sembuh yang ditandai dengan batuk
berkurang,perasaan sudah enak badan, sesak napas berkurang, nafsu makan baik.
Secara umum, hal-hal yang perlu dipahami dalam meningkatkan tingkat
kepatuhan adalah bahwa:
1. Pasien memerlukan dukungan, bukan disalahkan
2. Konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap terapi jangka panjang adalah tidak
tercapainya tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan
3. Peningkatan kepatuhan pasien dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat.
4. Kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai
efektifitas suatu system kesehatan.
5. Memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam penanganan
secara efektif suatu penyakit kronis
6. Sistem kesehatan harus terus berkembang agar selalu dapat menghadapi berbagai
tantangan baru
7. Diperlukan pendekatan secara multidisiplin dalam menyelesaikan masalah
ketidakpatuhan.
2.4.2. Faktor - Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan
Dalam hal kepatuhan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak
mampu lagi mempertahankan kepatuhanya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak
(58)
a. Pemahaman tentang Instruksi
b.
Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi
yang diberikan padanya. Ley dan Spelman tahun 1967 menemukan bahwa lebih dari
60% responden yang di wawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti
tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Kadang kadang hal ini disebabkan
oleh kegagalan profesional kesalahan dalam memberikan informasi lengkap,
penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus di
ingat oleh penderita.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang diperoleh secara mandiri,
lewat tahapan-tahapan tertentu.
Singgih (1990) mengemukakan bahwa semakin tua umur seseorang maka
proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur – umur
tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat ketika berusia
belasan tahun, dengan demikian dapat disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi
tingkat pengetahuan seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur – umur
tertentu dan akan menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring
dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat pendidikan
(59)
c. Kesakitan dan Pengobatan
d.
Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada
akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai gaya
hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek
samping, perilaku yang tidak pantas.
Keyakinan, Sikap dan Kepribadian
Kepribadian antara orang yang patuh dengan orang yang gagal, Orang yang
tidak patuh adalah orang yang mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan
kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan memiliki kehidupan
social yang lebih, memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri. Kekuatan ego yang
lebih ditandai dengan kurangnya penguasaan terhadap lingkunganya.
Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidak patuhan. Sebagai
contoh, di Amerika Serikat para wanita kaum kulit putih dan orang-orang tua
cenderung mengikuti anjuran dokter (Sarafino, 1990).
2.5. Kesembuhan Penyakit
Sembuh adalah kondisi pulihnya kembali keutuhan atau integritas struktur dan
fungsi sehat setelah mengalami kondisi sakit. Dalam Oxford Advanced Learners’
Dictionary of Current’s English oleh AS Hornby (1974) dikemukakan bahwa
recovery means get well again quickly or quickly regain one’s position after losing
for a time in game, athletic match, disease and etc (sembuh berarti kembali ke
(60)
Ade (2010) sembuh mempunyai dua arti, yaitu : a. Sembuh adalah kembalinya
seseorang pada satu kondisi kenormalan setelah menderita suatu penyakit. b.Suatu
kondisi dimana dalam keadaan istirahat, setelah terjadinya suatu perangsangan.
Tabel 2.2. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak
Dalam Depkes (2008) dijelaskan bahwa dikatakan sembuh dalam
pengobatan TB Paru adalah pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada akhir
pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan follow-up sebelumnya negatif.
Tipe
Pasien TB Uraian Hasil BTA Tindak Lanjut
Pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori Akhir tahap Intensif
Negatif Tahap lanjutan dimulai
Positif Dilanjutkan dengan OAT sisipan
selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, tahap lanjutan tetap diberikan.
Sebulan sebelum Akhir Pengobatan
Negatif OAT dilanjutkan
Positif Gagal, ganti dengan OAT Kategori
2 mulai dari awal.
Akhir Pengobatan (AP) Negatif dan minimal satu pemeriksaan sebelumnya negatif Sembuh
Positif Gagal, ganti dengan OAT Kategori
2 mulai dari awal
Pasien baru BTA neg & foto toraks mendukung TB dengan Pengobatan kategori 1 Akhir intensif
Negatif Berikan pengobatan tahap lanjutan
sampai selesai, kemudian pasien dinyatakan Pengobatan Lengkap
Positif Ganti dengan Kategori 2 mulai dari
(61)
Tabel 2.2 (Lanjutan) Pasien BTA positif dengan pengobatan kategori 2 Akhir Intensif
Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap
lanjutan
Positif Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah
sisipan masih tetap positif, teruskan pengobatan tahap lanjutan. Jika ada fasilitas, rujuk untuk uji kepekaan obat.
Sebulan sebelum Akhir Pengobatan
Negatif Lanjutkan pengobatan hingga
selesai
Positif Pengobata gagal, disebut kasus
kronik, bila mungkin lakukan uji kepekaan obat, bila tidak rujuk ke unit pelayanan spesialistik.
Akhir Pengobatan (AP)
Negatif Sembuh
Positif Pengobatan gagal, disebut kasus
kronik, jika mungkin, lakukan uji kepekaan obat, bila tidak rujuk ke unit pelayanan spesialistik.
Sumber : Depkes, 2007
2.6. Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini mengenai dukungan
keluarga mengacu kepada teori Sarafino (1994) tentang dukungan atau tindakan
yang mendukung, yaitu :
1. Dukungan emosional (emotional).
Keluarga berfungsi sebagai tempat berteduh dan beristirahat yang berpengaruh
terhadap ketenangan emosional mencakup pemberian empati dengan
mendengarkan keluhan, menunjukkan kasih sayang, kepercayaan, dan perhatian.
Dukungan emosional akan membuat seseorang merasa lebih diharagai, nyaman,
(1)
keluarga, pendapatan dan pengetahuan. Namun ada variabel yang mempunya ExpB paling besar adalah variabel dukungan keluarga sehingga variabel inilah yang paling dominan berhubungan dengan pengobatan TB Paru di Wilayah Puskesmas tahun 2012.
Bila kita lihat dari hasil penggunaan persamaan regresi logistik pada salah seorang responden, maka terlihat walaupun dukungan keluarga buruk, pendapatan dibawah Rp.1.000.000 dan pengetahuan juga buruk tetapi peluang untuk tidak sembuh hanya 19%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kesadaran penderita untuk melakukan pengobatan sudah cukup baik, sehingga tanpa dukungan keluarga, dengan penghasilan rendah dan pengetahuan buruk pun mereka tetap rutin melakukan pengobatan untuk kesembuhan TB Paru.
(2)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :
1. Mayoritas responden mempunyai dukungan keluarga yang baik (64%), pengetahuan baik (69%), sikap yang baik (65%), pendidikan menengah ke atas (61%), pendapatan di atas Rp 1 juta ( 52%), jarak ke puskesmas lebih dari 1.000 m(55%), mayoritas menggunakan transportasi berbiaya (89%), mayoritas responden memiliki, dan serta mayoritas responden mengalami kesembuhan ( 86%).
2. Dukungan keluarga, pengetahuan, sikap, pendidikan dan tingkat pendapatan memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat kesembuhan pengobatan TB Paru dengan p = 0.000.
3. Dukungan keluarga merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan tingkat kesembuhan pengobatan TB Paru dengan p = 0.000
6.2. Saran
1. Kepada Puskesmas Polonia Medan, disarankan untuk terus melakukan sosialisasi informasi untuk meningkatkan pengetahuan penderita TB paru tentang pentingnya kepatuhan berobat, sehingga tingkat kesembuhan penderita semakin meningkat.
(3)
2. Kepada keluarga penderita TB paru, disarankan untuk tetap memberikan dukungan termasuk bantuan dana agar kesembuhan pengobatan penderita semakin optimal dan kebutuhan lainnya dapat terpenuhi.
3. Kepada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Polonia Medan, disarankan untuk terus meningkatkan pengetahuannya sehingga dapat menyikapi TB paru secara positif serta mengambil tindakan positif untuk meningkatkan kesembuhan pengobatan.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Y.T., 1994, Tuberkulosis : Masalah dan Penanganannya. UI-Press. Jakarta.
________. 2002. Tuberkulosis. IDI, Jakarta.
Alsagaff dan Mukty H.I., 2008. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press. Surabaya.
Arikunto , 2002. Manajemen Penelitan. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta. _________, 2007. Gejala-gejala Psikologis. Pustaka Hidayah. Bandung.
Azwar, 2007. Metode Penelitian, Penerbit Pustaka Pelajar, Jogyakarta.
Badudu, 2004. Sikap. http://mrahayu.blogspot.com. diakses pada 6 Februari 2012. Crofton S.J. Norman dan Fred M, 2002. Tuberkulosis Klinis. Widya Medika.
Jakarta.
Danim. 2004. Pendidikan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Departemen Kebudayaan RI, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
Departemen Kesehatan, 2002. Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru. Universitas Indonesia. Jakarta.
, 2008. Pedoman Nasional Penanggulan Tuberkulosis. Universitas Indonesia. Jakarta.
Dinkes Prov. Sumatera Utara, 2010. Profil Kesehatan Sumatera Utara 2010. Medan. Dinkes Kota Medan, 2010. Profil Kesehatan Kota Medan 2010 Medan
Drennan, V. G., 2000. Compliance in Treatment. Apleton & Lange, California. Erawatyningsih, dkk., 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan
(5)
Friedman, M.M, 1992. Family Nursing : Theory and Practice. Apleton & Lange, California.
Gagne, 1974. Sikap. Penerbit Bumi Aksara.
Ganda, M
Global Tuberculosis Control, 2010, TB Paru dan Permasalahannya.
Hornby AS. 1974. Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English. Oxford University Press. London.
Hutapea, M, 2009. Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat TB Paru.
Universitas Malang.
Hurlock, 1999, Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Simamora J., 2004. Ketidakpatuhan Pasien TB Paru. Tesis Universitas Sumatera Utara Medan.
Komala, 1996. Pengobatan Tuberkulosis. Hipokrates press. Jakarta
Maxwell W., 2004. Sikap Positif dan Negatif. Jakarta. Rineka Cipta.
Muliawan, 2 Notoatmodjo, 2002, Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta.
, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta.
Nursalam, 2006. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Penerbit Salemba Medika Jakarta.
PPTI, 2010. Isu tentang TB Paru.
Februari 2012.
(6)
Putri, D.E. dan Ade, 2010. http//www.librarygunadrama.ac.id. diakses 14 Mei 2012. Rahayuningsih, 2008. Pengertian Sikap. Penerbit Bina Utama.
Sarafino E.P., 1994. Health Psychology, John Willey & Sons, Inc, New York. Sarwono, 1997. Sosiologi Kesehatan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Singgih. D., 1990. Rentang Kehidupan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sculthz, 2006.Pengukuran Sikap. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suryabrata, 2005. Psikologi Kepribadian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Uno, B., 2006. Perencanaan Pembelajaran, Bumi Aksara.
Umar, 2004. Teknik Menentukan Sampel. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.
Walgito B., 2003. Komponen Sika pada 4 Februari 2012.