Sericin Protein Extraction from Attacus atlas Cocoon and Its Characterization as a Biomaterial

(1)

EKSTRAKSI PROTEIN SERISIN DARI KOKON SUTERA

LIAR

Attacus atlas

DAN KARAKTERISASINYA

SEBAGAI BIOMATERIAL

YUNI CAHYA ENDRAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

i

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekstraksi Protein Serisin dari Kokon Sutera Liar Attacus atlas dan Karakterisasinya sebagai Biomaterial adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012 Yuni Cahya Endrawati


(3)

ii

ABSTRACT

YUNI CAHYA ENDRAWATI. Sericin Protein Extraction from Attacus atlas Cocoon and Its Characterization as a Biomaterial. Under direction of DEDY DURYADI SOLIHIN and ANI SURYANI

The high sericin production is mostly determined by extraction method (degumming and serisin protein isolation). Sericin protein was extracted from silk wastewater by protein isolation with 75% (v/v) ethanol. Silk wastewaters was produced from degumming of cocoon Attacus atlas with 33,3% NaOH 0,25 N. Sericin protein extraction from Attacus atlas not only use a combination of temperature and time, but need a strong solvent for extracting sericin, strong bases such as NaOH. This research has been get the best extraction method to produce the highest sericin protein by optimization of protein extraction with response surface methodology (RSM). Stationary point at 129oC and 70,36 minute can produce maximum percentage of protein yields (± 19%). The molecular weight distribution of sericin was investigated by sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE). The results suggested that sericin represented wide ranging molecular weight distribution (8,24-73,30 kDa). The amino acid of sericin was investigated by high performance liquid chromatography (HPLC) analytical methods that result highest component of Attacus atlas sericin is glysine (24,64%). Amino acids of sericin contains polar groups (50,72%) and non polar groups (49,28%). Sericin has wide applications as a biomaterial in medical, pharmaceutical and cosmetic. One of them as a surfactant material with the ability to reduce water surface tension of 71,67 dyne/cm to 51,8 ± 1,3 dyne/cm on the sericin addition of 0,58 ± 0,01 mg/ml.

Keywords: sericin, biomaterial, degumming, protein isolation, percentage of protein yields, Attacus atlas cocoon.


(4)

iii

RINGKASAN

YUNI CAHYA ENDRAWATI. Ekstraksi Protein Serisin dari Kokon Sutera Liar Attacus atlas dan Karakterisasinya sebagai Biomaterial. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan ANI SURYANI

Serat sutera (fibroin) dihasilkan dari proses degumming kokon. Degumming adalah proses penguraian serat sutera (fibroin) dari bahan perekatnya yang disebut serisin (gum). Proses degumming kokon sutera menghasilkan larutan yang mengandung bahan organik tinggi (BOD 8219.6 mg/l) yang dapat memberikan dampak lingkungan kurang baik sehingga perlu pengolahan lebih lanjut. Pengolahan larutan hasil degumming dengan cara ekstraksi protein serisin dapat menurunkan kadar BOD hingga 86,7%. Hasil ekstraksi berupa protein serisin juga mempunyai manfaat luas sebagai biomaterial di berbagai bidang seperti dalam bidang medis dan kosmetik.

Metode ekstraksi protein serisin dari kokon dilakukan melalui degumming dan isolasi protein. Proses degumming dapat dilakukan dengan kombinasi fisik dan kimia pada suhu, waktu dan bahan pelarut kimia tertentu. Isolasi protein digunakan untuk mengisolasi protein target, salah satunya dengan cara pengendapan. Pada penelitian ini proses ekstraksi dilakukan secara bertahap untuk mendapatkan rendemen protein maksimal. Proses ekstraksi akan menghasilkan crude protein serisin. Kajian-kajian yang dilakukan adalah, 1) kajian pengaruh rasio volume NaOH 0,1 N dan jenis spesies ulat sutera terhadap rendemen protein serisin, 2) kajian pengaruh konsentrasi NaOH terhadap rendemen protein serisin, 3) kajian pengaruh kemurnian etanol terhadap rendemen protein serisin, dan 4) kajian optimasi rendemen protein serisin. Kajian optimasi menggunakan Response Surface Methodology (RSM) pada dua faktor yaitu suhu dan waktu. Titik pusat pada suhu 115oC dan waktu 40 menit. Ada tiga optimasi, yaitu optimasi 1 (O1) menggunakan 33,3% NaOH 0,25N dan etanol teknis 96%, optimasi 2 (O2) menggunakan 33,3% NaOH 0,25N tanpa etanol, dan optimasi 3 (O3) menggunakan etanol teknis 96% tanpa NaOH. Tahap terakhir dari penelitian ini adalah karakterisasi crude protein serisin dengan analisis bobot molekul menggunakan Sodium Dodecyl Sulphate Polyachrylamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE), analisis asam amino dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan uji tegangan permukaan dengan tensiometer.

Teknik pengendapan dengan etanol absolut dipakai dalam proses isolasi protein (Wu et al. 2007). Akan tetapi etanol absolut kurang efisien jika diterapkan dalam skala industri karena harganya cukup mahal. Perlu ada kajian tentang alternatif lain sebagai pengganti etanol absolut. Kajian isolasi protein pada tingkat kemurnian etanol berbeda dilakukan di awal penelitian ini untuk memberikan informasi tersebut. Pada kajian kemurnian etanol, etanol absolut dan etanol teknis 96% tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap rendemen protein serisin. Rendemen protein yang dihasilkan sebesar 1,03 ± 0,04% untuk etanol absolut dan 1,00 ± 0,16% untuk etanol teknis, sehingga etanol teknis 96% akan digunakan pada isolasi protein selanjutnya.

Analisis ragam kajian rasio volume NaOH 0,1 N menghasilkan rasio volume NaOH yang tidak berpengaruh nyata (P>0,05) dan jenis spesies ulat sutera yang dianalisis sangat berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap rendemen protein


(5)

iv serisin. Hal ini menunjukkan bahwa degumming dengan rasio volume 50% dan 33,3% NaOH 0,1 N terhadap larutan tidak mempunyai pengaruh yang nyata pada rendemen protein serisin yang dihasilkan, sehingga volume 33,3 NaOH 0,1 N akan digunakan dalam kajian selanjutnya. Jenis spesies ulat sutera sangat berpengaruh terhadap rendemen protein serisin yang dihasilkan. Bombyx mori menghasilkan rendemen protein lebih tinggi dibanding Attacus atlas pada perlakuan ekstraksi yang sama, yaitu masing-masing sebesar 27%-32% dan 3%-4%. Hal ini berarti bahwa tahap ekstraksi yang dilakukan pada kajian ini belum dapat mengekstraksi protein serisin dari kokon Attacus atlas secara maksimal. Serat sutera Attacus atlas diduga lebih kuat dan lebih sulit diekstraksi serisinnya dibandingkan dengan Bombyx mori, karena makanan Attacus atlas mengandung tanin yang dapat mengikat protein dengan ikatan yang kuat (Hagerman 2002).

Tahap kajian selanjutnya adalah pengaruh konsentrasi NaOH terhadap rendemen protein serisin. Hasil analisis ragam berbeda nyata (P<0,05) pada konsentrasi NaOH 0,25-0,30 N dengan rendemen protein sekitar 11,69%-11,84%. Akan tetapi pada konsentrasi NaOH 0,30 N, fibroin terlihat mengalami kerusakan sehingga konsentrasi NaOH 0,25 N yang akan dipakai dalam kajian selanjutnya.

Optimasi terhadap variabel bebas suhu dan waktu (variabel bebas) dilakukan karena respon diduga belum optimum. Ada tiga optimasi dengan masing-masing dibagi dalam dua kelompok yaitu dengan dan tanpa air dalam fibroin basah (AFB). Respon terbaik ditunjukkan optimasi 2 (O2) menggunakan 33,3% NaOH 0,25 N tanpa etanol. Titik optimumnya tercapai pada suhu 129oC dan waktu 70,36 menit, dengan tipe optimasi maksimum. Hal ini berarti respon maksimum tercapai pada titik optimumnya, atau rendemen protein maksimal tercapai pada suhu dan waktu optimum. Penambahan AFB pada semua perlakuan menghasilkan respon yang lebih baik dibanding tanpa penambahan AFB.

Analisis bobot molekul dengan SDS PAGE secara keseluruhan menghasilkan tujuh fragmen bobot molekul protein serisin A. atlas dengan kisaran 8,24-73,30 kDa pada separating gel 12,5% dan stacking gel 4%. Lima fragmen pada kelenjar sutera Attacus atlas dengan kisaran bobot molekul (BM) 8,99-73,3 kDa, tiga fragmen pada crude protein serisin A. atlas dengan kisaran BM 8,24-10,25 kDa, dan dua fragmen pada crude protein serisin B. mori dengan kisaran BM 8,24-8,99 kDa. Teknik ekstraksi pada penelitian ini menyebabkan molekul protein serisinnya menjadi kecil karena adanya perlakuan basa kuat yang menyebabkan asam amino unit pembangunnya dibebaskan dari ikatan kovalen sehingga membentuk molekul yang relatif kecil. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya fragmen bobot molekul kecil (8,24-10,25 kDa) dan tidak munculnya fragmen bobot molekul besar (34,86-73,30 kDa).

Analisis asam amino pada penelitian ini menghasilkan komposisi asam amino terbesar glisina (24,64%) yang berbeda dengan komposisi spesies ulat sutera lainnya. Protein serisin mempunyai potensi tinggi sebagai biomaterial dan hal ini dibuktikan dalam penelitian ini. Komposisi asam amino crude protein serisin memperlihatkan potensi serisin sebagai surfaktan dengan kelompok polar 50,72% dan non polar 49,28%. Salah satu kemampuan surfaktan adalah dapat menurunkan tegangan permukaan. Penambahan serisin sebesar 0,58 ± 0,01 mg/ml dalam air dapat menurunkan tegangan permukaan air dari 71,67 dyne/cm menjadi 51,8 ± 1,3 dyne/cm. Hasil uji tegangan permukaan menunjukkan bahwa semakin


(6)

v tinggi kadar protein serisin yang ditambahkan maka semakin kecil tegangan permukaan yang dihasilkan.

Kata kunci: ekstraksi protein, degumming, isolasi protein, rendemen protein serisin, kokon Attacus atlas.


(7)

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan kutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

vii

EKSTRAKSI PROTEIN SERISIN DARI KOKON SUTERA

LIAR

Attacus atlas

DAN KARAKTERISASINYA

SEBAGAI BIOMATERIAL

YUNI CAHYA ENDRAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(9)

viii Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi.


(10)

ix Judul Tesis : Ekstraksi Protein Serisin dari Kokon Sutera Liar Attacus atlas

dan Karakterisasinya sebagai Biomaterial Nama : Yuni Cahya Endrawati

NIM : G352100081

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(11)

x

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2011 sampai Maret 2012 ini ialah ekstraksi protein serisin, dengan judul Ekstraksi Protein Serisin dari Kokon Sutera Liar Attacus atlas dan Karakterisasinya sebagai Biomaterial.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA selaku pembimbing, serta Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi. yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Ir. Rini Purwanti, M.Si dari Laboratorium Proses Departemen Teknologi Industri Pertanian, Ibu Devi Murtini, S.Pt dan saudari Febri dari Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Terimakasih juga kepada seluruh teman-teman BSH 2010, staf dan pegawai Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan yang banyak memberikan dukungan dan semangat. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada suami, anak, bapak, ibu dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini menjadi jalan pembuka kebangkitan Persuteraan Indonesia.

Bogor, Juni 2012 Yuni Cahya Endrawati


(12)

xi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Temanggung pada tanggal 9 November 1982 dari bapak Matnur dan ibu Endang Irawati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis juga merupakan istri dari bapak Antonius Hartono, ST dan ibu dari Axella Negyacahya Hartono.

Pada tahun 2000 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Temanggung dan melanjutkan kuliah S1 di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis masuk pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan IPB.

Selama mengikuti perkuliahan S1, penulis mengikuti berbagai kepanitian dan pengurus himpunan profesi dari tahun 2000-2004. Pada Januari 2005, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di IPB dengan mengemban tugas sebagai staf pengajar di laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB.


(13)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……… xiii

DAFTAR GAMBAR ………... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ……… 1

Tujuan ………. 3

TINJAUAN PUSTAKA Attacus atlas………... 4

Kelenjar Sutera ………... 5

Protein Serisin ……… 6

Manfaat dan Aplikasi Serisin ………. 8

Ekstraksi Protein Serisin ………. 9

Karakterisasi Protein Serisin ……….. 11

Response surface methodology………... 14

BAHAN DAN METODE Ekstraksi Protein Serisin dari Kelenjar Sutera Tengah Attacus atlas (KSA) ………. 16

Kajian Pengaruh Rasio Volume NaOH 0,1 N dan Jenis Spesies Ulat Sutera terhadap Rendemen Protein Serisin ……… 17

Kajian Pengaruh Konsentrasi NaOH terhadap Rendemen Protein Serisin ………. 18

Kajian Pengaruh Kemurnian Etanol terhadap Rendemen Protein Serisin ………. 19

Kajian Optimasi Rendemen Protein Serisin ………... 20

Analisis Protein ……….. 22

Analisis Fibroin ……….. 22

Analisis Bobot Molekul (BM) ……… 23

Analisis Asam Amino ………. 23

Uji Tegangan Permukaan (Surface tension) ………... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN Kajian Pengaruh Kemurnian Etanol terhadap Rendemen Protein Serisin Attacus atlas ………... 26

Kajian Pengaruh Rasio Volume NaOH 0,1 N dan Jenis Spesies Ulat Sutera terhadap Rendemen Protein Serisin ……… 27

Kajian Pengaruh Konsentrasi NaOH terhadap Rendemen Protein Serisin Attacus atlas ………... 29

Optimasi Rendemen Protein Serisin ………... 31

Bobot Molekul Protein Serisin (BM) ………. 37

Komposisi Asam Amino Protein Serisin ……… 40

Prospek Kedepan Protein Serisin sebagai Biomaterial ………. 41

KESIMPULAN DAN SARAN ……… 44

DAFTAR PUSTAKA ……….. 45


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Persentase asam amino protein serisin Bombyx mori dengan ekstraksi berbeda (Aramwit et al. 2010) ………. 7 2 Persentase asam amino serisin dari beberapa spesies berbeda ……... 8 3 Tegangan permukaan berbagai cairan (Wikipedia 2012) …………... 14 4 Tabulasi data kajian pengaruh rasio NaOH 0,1 N dan jenis spesies

ulat sutera terhadap rendemen protein serisin ……… 18 5 Tabulasi data kajian pengaruh variasi konsentrasi NaOH terhadap

rendemen protein serisin ………. 19

6 Tabulasi data kajian pengaruh kemurnian etanol terhadap rendemen protein serisin ………... 20 7 Desain rancangan percobaan dengan central composite design……. 21 8 Markerdari Fermentas Multicolor Broad Range Protein Ladder …. 23 9 Tabulasi data tegangan permukaan crude protein serisin …………... 25 10 Hasil kajian pengaruh kemurnian etanol terhadap rendemen protein

serisin ………... 26

11 Rendemen protein serisin hasil perlakuan rasio volume NaOH 0,1 N

dan jenis spesies ulat sutera ……… 28

12 Rendemen protein pada konsentrasi NaOH berbeda ……….. 30 13 Bobot molekul protein serisin hasil SDS PAGE (separating gel

12,5%, stacking gel 4%, Marker Fermentas Multicolor Broad Range Protein Ladder 10-260 kDa) ………... 39 14 Komposisi asam amino protein serisin pada spesies yang berbeda … 41 15 Tegangan permukaan protein serisin Attacus atlas……… 42


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Siklus hidup Attacus atlas (Solihin & Fuah 2010) ………. 4

2 Kelenjar sutera (Brasla & Matei 1997) ………... 6

3 Skema susunan protein sutera (Gulrajani et al. 2008) ……… 8

4 Bagan alir penelitian ………... 16

5 Penampang fibroin Attacus atlas hasil ekstraksi pada suhu 105oC selama 30 menit dengan, a) isolasi etanol absolut dan b) isolasi etanol teknis pada pembesaran 400 kali ………. 27

6 Penampang fibroin Attacus atlas (a. 50% NaOH 0,1 N; b. 33,3% NaOH 0,1 N), dan Bombyx mori (c. 50% NaOH 0,1 N; d. 33,3% NaOH 0,1 N) dengan 400 kali pembesaran ……… 29

7 Penampang fibroin Attacus atlas dengan 1000 kali pembesaran (a. 33,3% NaOH 0,05 N; b. 33,3% NaOH 0,10 N; c. 33,3% NaOH 0,15 N; d. 33,3% NaOH 0,20 N; e. 33,3% NaOH 0,25 N; f. 33,3% NaOH 0,30 N) ……… 31

8 Kontur rendemen protein serisin (33,3% NaOH 0,25 N, berbagai suhu dan waktu, 75%(v/v) etanol 96%), a) tanpa AFB dan b) dengan AFB ……… 33

9 Kontur rendemen protein serisin (Degumming dengan 33,3% NaOH 0,25 N pada berbagai suhu, tekanan dan waktu tertentu), a) tanpa AFB dan b) dengan AFB ……… 34

10 Kontur rendemen protein serisin (Degumming pada berbagai suhu, tekanan dan waktu tertentu serta 75% (v/v) etanol teknis 96%), a) tanpa AFB dan b) dengan AFB ……….. 36 11 Rata-rata rendemen protein pada kajian optimasi teknik ekstraksi … 37 12 Hasil SDS PAGE dengan separating gel 12,5% dan stacking gel 4% 38


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tahapan ekstraksi protein serisin dari kelenjar sutera tengah Attacus atlas (Invitrogen 2012) ………... 50 2 Preparasi sampel dan ekstraksi protein serisin dari kulit kokon

(Solihin & Fuah 2010) ……… 51

3 Tahapan uji tegangan permukaan ………... 53

4 Analisis ragam pengaruh kemurnian etanol terhadap rendemen

protein serisin ……….. 54

5 Analisis ragam pengaruh rasio volume NaOH 0,1 N dan jenis spesies terhadap rendemen protein serisin ……… 55 6 Analisis ragam pengaruh konsentrasi NaOH terhadap rendemen

protein serisin ……….. 56

7 Rendemen protein serisin pada optimasi 1 ………..………... 57 8 Analisis response surface methodology (RSM) pada optimasi 1

tanpa penambahan AFB ………. 58

9 Analisis response surface methodology (RSM) pada optimasi 1

dengan penambahan AFB ………... 59

10 Analisis ragam titik pusat optimasi 1 terhadap rendemen protein

serisin ……….. 60

11 Rendemen protein serisin pada optimasi 2 ………... 61 12 Analisis response surface methodology (RSM) pada optimasi 2

tanpa penambahan AFB ……….. 62

13 Analisis response surface methodology (RSM) pada optimasi 2

dengan penambahan AFB ………... 63

14 Analisis ragam titik pusat optimasi 2 terhadap rendemen protein

serisin ……….. 64

15 Rendemen protein serisin pada optimasi 3 ………... 65 16 Analisis response surface methodology (RSM) pada optimasi 3

tanpa penambahan AFB ……….. 66

17 Analisis response surface methodology (RSM) pada optimasi 3

dengan penambahan AFB ………... 67

18 Analisis ragam titik pusat optimasi 3 terhadap rendemen protein

serisin ……….. 68

19 Kurva standar marker bobot molekul pada separating gel 12,5% dan stacking gel 4% ………... 69

20 Perhitungan bobot molekul sampel ……… 70


(17)

xvi

Halaman

22 Kromatogram analisis asam amino dengan hidrolisis basa ………… 72 23 Analisis ragam uji tegangan permukaan larutan dengan kadar


(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bangsa Cina telah mengenal kain sutera sejak lama dan komoditas tersebut mulai menyebar luas melalui jalur perdagangan yang dikenal dengan nama “Jalur Sutera”. Kain sutera merupakan komoditas berkualitas tinggi dari tenunan (tradisional maupun modern) serat hasil pengokonan ulat sutera. Ada dua macam ulat sutera, yaitu ulat sutera murbei dan non murbei. Ulat sutera murbei makan daun murbei, contoh spesiesnya adalah Bombyx mori, sedangkan ulat sutera non murbei (ulat sutera liar) jumlahnya cukup banyak diantaranya adalah Attacus atlas, Cricula trifenestrata dan Antheraea spp. Ulat sutera liar ini termasuk jenis polifagus, yaitu memakan banyak jenis makanan. Peigler (1989), jenis makanan yang dapat dikonsumsi Attacus atlas sebanyak 90 genus tumbuhan dari 48 famili. Beberapa ulat sutera liar dapat ditemukan di Indonesia, diantaranya Attacus atlas dan Cricula trifenestrata. Hal ini kemungkinan karena sumber makanan dapat tersedia sepanjang tahun di Indonesia.

Ulat sutera murbei maupun non murbei mempunyai siklus hidup sempurna (metamorfosis holometabola) yaitu telur, larva (ulat), imago (ngengat) dan pupa. Secara umum fase pupa merupakan fase yang bernilai ekonomis karena pada fase ini kokon terbentuk dan selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar kain sutera. Kain sutera banyak dikenal orang karena keunggulannya, diantaranya karena sifatnya yang mudah menyerap keringat, anti mikroba, mengkilat, halus (Sihombing 1999, Faatih 2005), eksotik, benang yang panjang, lembut, tidak mudah kusut, tahan panas, dan tidak menimbulkan rasa gatal (Sutera Indonesia 2004).

Perkembangan zaman telah mengubah paradigma tentang sutera. Kokon ulat sutera tidak lagi hanya dimanfaatkan sebagai bahan kain sutera (tekstil) namun sudah mulai dimanfaatkan di berbagai bidang seperti kosmetik dan medis (Padamwar & Pawar 2004) dengan memanfaatkan protein penyusun kokon yaitu fibroin dan serisin (Fabiani et al. 1996). Fibroin adalah protein serat sedangkan serisin merupakan perekatnya. Serisin membungkus filamen yang sangat kecil (serat fibroin) pada kokon, bobotnya 20-30% dari bobot total kokon (Masahiro et al. 2000). Serisin Bombyx mori terdiri dari 18 jenis asam amino yang sebagian


(19)

2

besar merupakan kelompok senyawa polar kuat seperti senyawa yang mengandung gugus hidroksil, karboksil, dan kelompok amino (Wei et al. 2005).

Banyak penelitian terkait dengan protein sutera terutama serisin pada Bombyx mori. Mulai dari cara ekstraksi, kerja gen serisin dan bahkan pemanfaatannya sebagai biomaterial di bidang medis dan kosmetik. Hal ini bermula dari melimpahnya hasil ikutan industri pengolahan kokon yang belum bisa dimanfaatkan. Hasil ikutan tersebut menjadi masalah lingkungan yang cukup serius karena mengandung bahan organik tinggi (BOD 8219.6 mg/l) sehingga perlu pengolahan lebih lanjut. Gulrajani et al. (2008) menyatakan bahwa pengolahan dengan cara ekstraksi protein serisin dapat menurunkan kadar BOD hingga 86,7%.

Protein serisin mempunyai potensi tinggi sebagai biomaterial. Dalam bidang kosmetik, protein serisin dapat digunakan sebagai cream dan lotion pada kulit karena dapat meningkatkan elastisitas kulit, mencegah kekerutan dan penuaan dini (Padamwar & Pawar 2004). Dalam medis, protein serisin dapat digunakan untuk menyembuhkan luka dan menghambat penyebaran tumor (Zhaorigetu et al. 2003, Aramwit & Sangcakul 2007). Masakazu et al. (2003) menemukan bahwa aktivitas serisin secara biologis dapat mencegah terbentuknya sel mati dan merangsang pertumbuhan sel baru.

Hasil-hasil penelitian tentang serisin masih terbatas pada spesies Bombyx mori. Hal ini karena sebagian besar industri pengolahan kokon menggunakan kokon Bombyx mori sebagai bahan dasar, tidak terkecuali di Indonesia. Akan tetapi selain Bombyx mori, Indonesia juga mempunyai potensi ulat sutera liar Attacus atlas yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Attacus atlas mempunyai sifat polivoltin (banyak generasi dalam satu tahun), polifagus dan bobot kokon yang relatif lebih besar dari kokon Bombyx mori. Bobot kokon Bombyx mori 1,5 – 2,5 g (Atmosoedarjo et al. 2000) sedangkan bobot kokon Attacus atlas sekitar 9 g (Solihin & Fuah 2010). Komposisi serat kokon Bombyx mori dan Attacus atlas sama yaitu terdiri dari protein fibroin dan serisin, akan tetapi karakteristik spesifiknya belum diketahui. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai protein serisin pada Attacus atlas agar potensi dan pemanfaatannya dapat dikembangkan dengan baik seperti halnya pada Bombyx mori.


(20)

3

Protein serisin dapat diisolasi dari hasil ikutan (larutan) dari pengolahan kokon (proses degumming) karena serisin merupakan protein larut air yang diduga terlarut dalam hasil ikutan tersebut. Akan tetapi Indonesia belum mempunyai industri pengolahan sutera Attacus atlas sehingga perlu adanya studi lebih lanjut tentang teknik degumming yang dapat menghasilkan rendemen protein serisin tertinggi dengan hasil fibroin yang masih baik juga. Hal ini selaras dengan tujuan awal dari pengolahan kokon yaitu mendapatkan kualitas fibroin yang baik. Proses degumming kokon Attacus atlas akan merujuk pada Aini (2009) dan Suriana (2011).

Karakterisasi protein serisin dari Attacus atlas sangat diperlukan untuk mengetahui sifat protein tersebut. Hal ini diperlukan dalam proses pemurnian protein dan pemanfaatannya lebih lanjut di berbagai bidang terutama sebagai biomaterial.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

- Menghasilkan teknik ekstraksi protein serisin dari kokon Attacus atlas dengan rendemen protein serisin tertinggi


(21)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Attacus atlas

Attacus atlas digolongkan sebagai ulat sutera liar yang dapat menghasilkan serat sutera. Klasifikasi Attacus atlas, masuk dalam kelas insekta, ordo lepidoptera, famili saturniidae, genus Attacus, dan spesies Attacus atlas (Solihin & Fuah 2010). Attacus atlas merupakan serangga holometabola seperti halnya Bombyx mori, yaitu serangga yang mengalami metamorfosis sempurna dengan siklus hidup dimulai dari fase telur, larva (ulat), pupa dan imago (ngengat) (Solihin & Fuah 2010, Peigler 1989). Perbedaan siklus hidup ulat sutera liar dan domestikasi terletak pada jumlah instar dalam fase larva, Attacus atlas mengalami enam instar sedangkan Bombyx mori lima instar. Attacus atlas pertama kali ditemukan di Indonesia dan penyebarannya mulai dari Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) hingga ke Papua (Peigler 1989, Mahendran et al. 2006).

Gambar 1 Siklus hidup Attacus atlas (Solihin & Fuah 2010).

Ulat sutera liar Attacus atlas mempunyai banyak keunggulan karena sifatnya yang polifagus yaitu dapat memakan banyak sumber makanan, dapat memakan 90 genus tanaman dari 48 famili, dan polivoltin yaitu mengalami beberapa generasi dalam satu tahun (Peigler 1989). Beberapa diantaranya adalah daun sirsak (Annona muricata), srikaya (Annona squamusa), teh (Camellia


(22)

5

sinensis), kina (Chincoma siccirubra), dadap (Erythrina sp.), mangga (Mangifera indica L), jeruk (Citrus sp.), alpukat (Persea americana) dan lada (Piper sp.) (Solihin & Fuah 2010). Daun teh segar mempunyai komposisi diantaranya polipenol, kafein, asam amino, karbohidrat dan abu. Polifenol merupakan molekul autoflouresence yang dapat menghasilkan warna sendiri seperti pada lignin dan autoxidation seperti fenomena non enzymatic browning pada wortel. Polifenol adalah komponen terbesar dari daun teh diantaranya seperti katekin dan tanin. Tanin merupakan komponen sekunder dalam metabolisme yang dapat berinteraksi dengan protein dengan cara mengendapkannya (Hagerman 2002). Fenomena ini dimanfaatkan untuk penyamakan kulit dan pengawetan kayu karena tahan terhadap rayap dan jamur (Risnasari 2002).

Kelenjar Sutera

Kelenjar sutera adalah kelenjar penghasil serat sutera yang merupakan organ terbesar kedua dalam tubuh ulat sutera (Brasla & Matei 1997). Pada larva instar akhir (instar kelima pada Bombyx mori dan instar keenam pada Attacus atlas), kelenjar sutera menempati sebagian besar ventral lateral dari tubuh larva untuk persiapan proses pembentukan kokon. Kelenjar sutera terbagi dalam tiga bagian yaitu,

1. Kelenjar sutera posterior

Kelenjar ini berfungsi mensintesis serat sutera (fibroin). Kelenjar ini membentuk lapisan di sekeliling posterior dari usus tengah sehingga kelenjar posterior ini sangat panjang dan berputar-putar dengan ketebalan yang seragam.

2. Kelenjar sutera bagian tengah

Kelenjar ini berada diantara kelenjar posterior dan anterior. Pada kelenjar bagian tengah inilah protein serisin disekresikan.

3. Kelenjar sutera anterior

Kelenjar anterior merupakan saluran tipis yang berperan dalam penggulungan protein sutera. Kelenjar anterior mempunyai tiga bagian yaitu depan, tengah dan belakang. Bagian depan diawali dengan tipis kemudian menebal, bagian tengah sangat tebal sedangkan bagian belakang mulanya tebal kemudian menipis.


(23)

6

Proses pembentukan filamen sutera dimulai dari sekresi protein di kelenjar sutera dan ekskresi filamen pada spineret. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), serat sutera terdiri dari protein serisin dan fibroin. Kedua protein ini saling bergabung menghasilkan serat yang dikeluarkan oleh spineret dan telah dilapisi lilin dari kelenjar filipi. Larva mengeluarkan cairan dengan merentang dan menggelengkan kepala sampai spineret menyentuh titik yang lain. Gerakan membentang dari kedua titik menghasilkan cairan menjadi serat. Gerakan ini dilakukan secara berulang-ulang sehingga membentuk filamen yang panjang. Filamen dikeluarkan larva untuk persiapan perlindungan pada fase pupa. Produk filamen ini berupa kokon. Gambar 2merupakan gambar kelenjar sutera.

Gambar 2 Kelenjar sutera (Brasla & Matei 1997)

Protein Serisin

Serat sutera alami terdiri dari dua jenis protein yaitu fibroin dan serisin (Fabiani et al. 1996). Protein fibroin merupakan protein serat sedangkan serisin merupakan perekatnya. Informasi mengenai serisin masih terbatas pada protein serisin Bombyx mori sehingga rujukan sebagian besar berasal dari jenis ulat sutera domestikasi tersebut. Serisin membungkus filamen yang sangat kecil yaitu serat fibroin pada kokon, bobotnya 20-30% dari bobot total kokon (Masahiro et al. 2000). Serisin merupakan jenis protein globular yang larut dalam air.

Protein tersusun dari asam amino dengan urutan yang khas (Lehninger 1982). Protein serisin Bombyx mori terdiri dari 18 jenis asam amino yang sebagian besar merupakan kelompok senyawa polar kuat seperti senyawa yang mempunyai gugus hidroksil, karboksil dan amino (Wei et al. 2005). Serisin dari Bombyx mori kaya akan serina yaitu sebesar 32% dan asam aspartat 19% (Kwang

1 = Spineret; 2 = Kelenjar Filipi; 3 = Kelenjar Anterior; 4 = Kelenjar Tengah 5 = Kelenjar Posterior; 6 = Oesofagus 7 = Rektum


(24)

7

et al. 2003), akan tetapi Wu et al. (2007) menyatakan hasil serina sebesar 27,3%, asam aspartat 18,8%, glisina 10,7% dan sedikit mengandung sistin 0,3% serta triptofan 0,4%. Serisin merupakan protein dengan permukaan hidrofilik 70% dan hidrofobik 30%. Ekstraksi protein serisin yang berbeda akan menghasilkan persentase asam amino yang berbeda pula (Tabel 1) (Aramwit et al. 2010). Persentase asam amino protein serisin pada beberapa spesies berbeda ditampilkan pada Tabel 2.

Tripoulas & Samols (1986) menyatakan bahwa RNA serisin melimpah pada instar akhir yaitu instar 5, berbeda dengan RNA fibroin yang berlimpah sama pada instar 4 dan 5 pada Bombyx mori. Okamoto et al. (1982), fibroin diproduksi dibagian posterior kelenjar sutera sedangkan serisin dibagian tengah kelenjar sutera.

Tabel 1 Persentase asam amino protein serisin Bombyx mori dengan ekstraksi berbeda (Aramwit et al. 2010)

Asam amino Metode Ekstraksi Protein Serisin

Panas Urea Asam Alkali

Asp 15,64 18,31 15,93 19,88

Ser 33,63 31,27 31,86 30,01

Glu 4,61 5,27 5,75 5,93

Gly 15,03 11,23 10,49 11,01

His 1,06 3,26 2,47 1,72

Arg 2,87 5,41 4,92 4,92

Thr 8,16 8,36 8,51 6,49

Ala 4,1 4,33 3,72 4,21

Pro 0,54 1,46 0,78 1,24

Cys 0,54 0,39 0,53 0,23

Tyr 3,45 0,36 5,56 5,24

Val 2,88 2,96 2,95 2,94

Met 3,39 0,12 0,06 0,15

Lys 2,35 3,14 3,48 2,89

Ile 0,56 0,96 0,87 0,75

Leu 1 1,58 1,43 1,56


(25)

8

Tabel 2 Persentase asam amino serisin dari beberapa spesies berbeda

Asam amino

Bombyx

mori1 Antheraea mylitta2

Antheraea yamamai3

Cricula trifenestrata4

Asam aspartat 12,99 0,00 0,00 0,00

Asam glutamat 4,28 7,14 10,00 1,62

Serina 19,03 23,17 22,35 42,93

Histidina 0,99 16,13 0,00 0,00

Glisina 24,37 22,93 22,96 22,44

Treonina 5,25 14,71 14,57 14,13

Arginina 3,04 3,43 0,00 3,13

Alanina 15,31 3,52 7,78 5,29

Tirosina 4,13 2,32 4,32 7,66

Metionina 0,11 0,00 0,00 0,00

Valina 3,36 1,21 3,83 0,00

Fenilalanina 0,69 0,00 0,00 0,00

Isoleusina 1,83 1,33 6,54 0,86

Leucina 2,00 1,49 7,65 1,19

Lisina 2,08 2,63 0,00 0,76

1

) Tokutake 1980, 2) Dash et al. 2007, 3) Cui et al. 2009, 4) Yamada & Tsubouchi 2001

Gambar 3 Skema susunan protein sutera (Gulrajani et al. 2008)

Manfaat dan Aplikasi Serisin Kosmetik

Kato et al. (1998) menyatakan serisin dapat menekan peroksidasi lemak, menghambat aktifitas tirosinase secara in vitro (polifenol oksidase) dan membantu aktifitas antioksidan pada kelompok senyawa yang mempunyai hidroksil. Tirosinase adalah proses yang bertanggungjawab terhadap biosintesis melanin kulit, sehingga serisin dapat dipergunakan dalam dunia kosmetik. Protein serisin merupakan protein larut dalam air yang mempunyai kemampuan luar biasa dalam


(26)

9

antioksidan, anti apoptotik dan anti inflamasi (Dash et al. 2008). Protein serisin dapat digunakan sebagai cream dan lotion pada kulit karena dapat meningkatkan elastisitas kulit, mencegah kekerutan dan penuaan dini (Padamwar & Pawar 2004). Padamwar et al. (2005), penggunaan serisin pada kulit dapat menurunkan nilai transepidermal water loss (TEWL). TEWL adalah salah satu penyebab kulit kering. Menurunnya nilai TEWL menyebabkan kadar air kulit terjaga karena tidak terjadi kehilangan air pada lapisan kulit terluar sehingga tektur kulit menjadi lebih halus. Hal ini menyebabkan kulit lebih elastis dan tidak mudah berkerut.

Medis

Masahiro et al. (2000) menyatakan bahwa serisin dapat meningkatkan kemampuan secara biologis Zn, Fe, Mg and Ca pada tikus dan disarankan untuk industri makanan karena mempunyai komposisi bahan alami penting. Serisin dapat dipergunakan untuk menghambat aktifitas radiasi UV yang menimbulkan bahaya akut pada tumor dengan menurunkan tekanan oksidatif pada kulit tikus yang tidak berambut. Masakazu et al. (2003) menemukan bahwa aktifitas serisin secara biologis dapat mencegah sel mati dan merangsang pertumbuhan sel baru. Protein serisin dapat digunakan untuk menyembuhkan luka dan menghambat penyebaran tumor (Zhaorigetu et al. 2003, Aramwit & Sangcakul 2007).

Ekstraksi Protein Serisin

Ekstraksi serisin dari hasil ikutan berupa air rebusan kokon perlu dilakukan karena menyebabkan polusi dengan tingkat COD (Chemical Oxygen Demand) dan BOD (Biological Oxygen Demand) tinggi. Protein serisin sebesar 6% per tahun dapat dihasilkan dari ekstraksi air rebusan kokon Bombyx mori (Gulrajani et al. 2008). Ekstraksi protein serisin dapat menurunkan kadar COD sebesar 8870 mg/l menjadi 260 mg/l dan BOD sebesar 4840 mg/l menjadi 158 mg/l (Vaithanomsat et al. 2008).

Ada beberapa teknik ekstraksi serisin yang sudah dilakukan oleh para peneliti. Teknik ekstraksi terdiri dari degumming dan isolasi protein. Aini (2009) menyatakan bahwa degumming dengan penambahan NaOH 2 g/l (0,05 N), teepol 2 cc/l, sabun netral 2 g/l pada perebusan kokon Attacus atlas pada suhu 80oC selama 2 jam akan menghasilkan karakter serat sutera yang lebih baik dari sisi panjang serat dan bobotnya. Basa kuat NaOH 0,1 N adalah bahan pelarut untuk


(27)

10

degumming yang menghasilkan fibroin terbaik Cricula trifenestrata (Suriana 2011). Metode Kato (2000) yaitu kokon Attacus atlas mula-mula dicelupkan ke dalam air hangat dengan suhu sekitar 40oC untuk memisahkan partikel asing. Kokon kemudian dicelupkan dalam air panas dengan suhu 95-98 oC, dan selanjutnya direbus dalam larutan Na2CO3 2 g/l pada suhu 98-100 oC selama 3 jam. Kokon kemudian dicuci menggunakan air panas dengan suhu 95-98 oC, kemudian dicuci kembali dengan air hangat pada suhu sekitar 40 oC. Kokon diisolasi dengan etanol selama 5 hari sebelum digunakan untuk analisis karakteristik seratnya. Metode yang dikerjakan Cui et al. (2009) dalam mengekstraksi serisin kasar dari kokon Bombyx mori adalah dengan penambahan metanol (70% v/v perbandingan terhadap air) yang kemudian didiamkan pada suhu 25oC selama 10 hari. Hal ini untuk menghilangkan pigmen dan komponen non organik. Tahap selanjutnya adalah perebusan kokon pada suhu 98oC selama 2 jam dengan penambahan 0,5% Na2CO3.Padamwar & Pawar (2004) menyatakan bahwa ekstraksi kokon Bombyx mori dengan autoklaf pada suhu 105oC selama 30 menit akan menghasilkan properti gel dan rendemen yang baik.

Proses isolasi protein serisin yang berkembang pada dekade ini adalah menggunakan pelarut organik dan membran filtrasi. Metode isolasi protein serisin yang dilakukan Wu et al. (2007) adalah dengan menambahkan etanol absolut dingin (-18 oC) kedalam air rebusan hasil degumming. Etanol bersifat semi polar dengan gugus hidroksil yang dapat melarutkan beberapa senyawa ionik seperti sodium dan potasium hidroksida dan magnesium klorit (Shakhashiri 2009). Penambahan etanol absolut dilakukan sedikit demi sedikit sampai 75% (v/v) perbandingan dengan volume air rebusan hasil degumming, selanjutnya didiamkan semalaman pada suhu (-18 oC). Campuran serisin dan etanol kemudian disentrifugasi selama 20 menit pada 3500 rpm (rotate per minute). Tahap akhir adalah pengeringbekuan larutan dengan freeze drying. Gulrajani et al. (2008) memurnikan protein serisin dengan membran filtrasi. Metode tersebut diawali dengan sentrifugasi larutan hasil degumming pada 9000 rpm selama 60 menit. Supernatan yang terbentuk akan dibuang sedangkan endapannya akan disaring menggunakan filtrasi Wattman filter grade 1 (11 µm). Tahap selanjutnya adalah filtrasi menggunakan ultrafiltration (UF). Hasil filtrasi dengan UF akan di spray


(28)

11

drying dengan suhu inlet 180oC dan atomisasi 3 kg/cm2. Metode lain yang menggunakan membran filtrasi adalah Cui et al. (2009), tahap pertama air rebusan hasil degumming disimpan pada suhu 25oC selama 2 hari. Larutan tersebut kemudian difiltrasi dengan filtrasi kertas nomor 1, selanjutnya didialisis pada molecular weigth cut off (MWCO) 10.000 membran selama 3 hari. Isolat kemudian dikeringbekukan dengan lyophilization.

Karakterisasi Protein Serisin

Karakterisasi sifat kimia dari protein serisin sangat berguna untuk aplikasi serisin selanjutnya. Protein serisin dapat diekstraksi dari kokon (melalui proses degumming) dan kelenjar sutera tengah. Degumming menggunakan bahan pengurai seperti sabun, NaOH atau Na2CO3, sedangkan ekstraksi kelenjar sutera menggunakan reagen tissue extraction. Beberapa sifat kimia dari protein serisin adalah:

a. Kelarutan

Serisin dapat dibedakan berdasarkan kelarutannya, Padamwar & Pawar (2004) membaginya menjadi serisin A, serisin B dan serisin C. Serisin A merupakan lapisan terluar (outermost layer), tidak larut dalam air panas, dan mengandung 17,5% nitrogen dan asam amino seperti serina, treonin, glisina dan asam aspartat. Serisin B adalah lapisan tengah (middle layer), pada hidrolisis asam akan menghasilkan asam amino serisin A dan triptofan serta mengandung 16,8% nitrogen. Hidrolisis adalah reaksi kimia yang memecah molekul air menjadi atom hidrogen (H) dan gugus hidroksida (OH) melalui suatu proses kimia. Serisin C adalah lapisan terdalam dari serisin (innermost layer) yang berdekatan dengan fibroin. Serisin C tidak larut dalam air panas tapi akan larut dalam alkali atau asam panas. Serisin C akan menghasilkan prolin dan asam amino serisin B pada hidrolisis asam. Serisin C mengandung sulfur dan 16,6 % nitrogen.

b. Bobot Molekul (BM)

Bobot molekul merupakan salah satu penentu kemurnian protein serisin. Protein serisin mewakili kelompok protein dengan bobot molekul antara 10-310 kDa (Wei et al. 2005) dan mempunyai permukaan hidrofilik. Metode ekstraksi


(29)

12

yang berbeda akan menghasilkan BM yang berbeda pula. Aramwit et al. (2010), ekstraksi dengan urea akan menghasilkan kisaran BM protein serisin antara 10-250 kDa, ekstraksi dengan asam menghasilkan kisaran 50-150 kDa, ekstraksi dengan alkali menghasilkan kisaran 15-75 kDa, sedangkan ekstraksi dengan temperatur dan tekanan tinggi akan menghasilkan BM dengan kisaran 25-150 kDa. Takasu et al. (2010), kisaran BM protein serisin dibagi menjadi empat bagian yaitu, di atas 250 kDa pada Ser1, 250 kDa pada Ser3, 225-230 kDa pada Ser2-large dan di bawah 130 kDa pada Ser2-small.

Wu et al. (2007) menyatakan bahwa bobot molekul serisin Bombyx mori berkisar 6 kDa dengan resolving gel 12,5% dan stacking gel 4%. Salah satu metode yang sering digunakan dalam menentukan bobot molekul adalah metode elektroforesis dengan Sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS–PAGE) dan pewarnaan silver (Laemmli 1970). Marker yang digunakan adalah standar protein dengan ukuran bobot molekul tertentu seperti phosphorylase B (97 kDa), bovine serum albumin (66 kDa), ovalbumin (43 kDa), carbonic anhydrase (31 kDa), soy trypsin inhibitor (22 kDa), dan lysozyme (14 kDa) serta paket protein standar yang dikeluarkan suatu perusahaan.

c. Persentase Protein

Komposisi utama serisin Bombyx mori menurut Wu et al. (2007) adalah protein (91,6%), abu (4,2%) dan gula (0,93%), sedangkan menurut Gulrajani et al. (2008) adalah protein (58-62 %), nitrogen (9-10 %), dan abu (22%). Kedua komposisi serisin di atas berbeda karena metode yang digunakan berbeda. Wu et al. (2007) menggunakan pelarut organik dalam mendapatkan serisin murni, sedangkan Gulrajani et al. (2008) menggunakan membran filtrasi.

Beberapa metode yang digunakan untuk pengukuran kadar protein adalah: - Kjeldahl

Persentase nitrogen dalam serisin murni dapat digunakan untuk menduga persentase proteinnya, yaitu dengan mengalikan persentase nitrogen dengan faktor koreksi 6,25 (Apriyantono et al. 1989). Salah satu cara yang dilakukan untuk mengetahui persentase nitrogen adalah dengan metode Kjeldahl yang terbagi tiga tahap yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.


(30)

13

- Lowry (Apriyantono et al. 1989)

Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret tetapi mempunyai sensitifitas 100 kali lebih baik dibandingkan dengan metode biuret. Prinsip kerjanya adalah terjadi reaksi antara Cu2+ dengan ikatan peptida dan reduksi asam fosfomolibdat dan asam fosfotungsat oleh tirosin dan triptofan (merupakan residu protein) akan menghasilkan warna biru. Warna yang terbentuk tergantung pada kadar tirosina dan triptofan dalam protein.

d. Analisis Asam Amino

High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan salah satu teknik yang banyak digunakan dalam memisahkan asam amino penyusun protein. HPLC menggunakan tekanan tinggi untuk merusak aktifitas biologis protein dibagian struktur tersiernya. Kerja HPLC dimulai dengan memasukkan sampel yang telah dipreparasi ke injektor. Sampel bersama fase bergerak akan masuk ke bagian kolom. Pergerakan sampel dalam kolom akan diperlambat oleh bahan kimia khusus sebagai fase diam di kolom. Kecepatan gerak sampel sangat tergantung dari sifat sampel dan komposisi fase diam dalam kolom. Waktu yang dibutuhkan sampel untuk keluar dari kolom disebut waktu tinggal (retention time). Waktu retensi yang dihasilkan sampel merupakan identifikasi dari karakteristik sampel tersebut. Penggunaan ukuran kolom yang lebih kecil akan menciptakan back pressure yang lebih besar untuk menambah kecepatan linier komponen sampel. Hal ini akan meningkatkan resolusi dari kromatogram (Cazes 2005).

Bahan kimia khusus yang digunakan bersifat meningkatkan homogenitas larutan sampel, yang terdiri dari air dan bahan organik seperti metanol dan asetonnitril. Air yang digunakan bersifat sebagai buffer untuk membantu pemisahan komponen-komponen sampel.

e. Surface tension

Surface tension adalah tegangan permukaan dari fasa liquid (cair). Banyak fenomena yang menggambarkan tentang surface tension, dan diantaranya yang memanfaatkan fenomena tersebut adalah surfaktan (surface active agent) dengan cara menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan mempunyai dua sisi (ampifilik) yaitu rantai polar dan non polar dengan komposisi seimbang (Salanger 2002).


(31)

14

Tegangan permukaan yang kecil dapat dimanfaatkan untuk banyak hal. Suryani et al. (2008), penambahan alkil poliglikosida (APG) sebanyak 10 mg/ml dapat menurunkan tegangan permukaan air sampai 23,375 dyne/cm. APG adalah surfaktan berbahan pati sagu dan alkohol lemak kelapa dengan mengubah sumber patinya dari kentang menjadi pati sagu dan netralisasi dengan NaOH. APG dipergunakan sebagai bahan tambahan pada herbisida untuk meningkatkan penetrasi bahan aktif herbisida kedalam tanaman dan mengendalikan gulma jenis rumput-rumputan. Tegangan permukaan dari beberapa bahan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Tegangan permukaan berbagai cairan (Wikipedia 2012)

Cairan Suhu (oC) Tegangan permukaan (dyne/cm)

Asam asetat 20 27,6

Asam asetat (40,1%) + air 30 40,65

Asam asetat (10%) + air 30 54,56

Aseton 20 23,7

Dietil eter 20 17

Etanol 20 22,27

Etanol (40%) + air 25 29,63

Etanol (11,1%) + air 25 46,03

Gliserol 20 63

n- hesana 20 18,4

Asam hidroklorit 17,7 M 20 65,95

Isopropanol 20 21,7

Nitrogen cair -196 8,85

Merkuri 15 487

Metanol 20 22,6

n-oktana 20 21,8

Sodium klorit 6 M 20 82,5

Sukrosa (55%) + air 20 76,45

Air 0 75,64

Air 25 71,97

Air 50 67,91

Air 100 58,85

Toluen 25 27,73

Response surface methodology (RSM)

Metodologi respon permukaan (Response Surface Methodology) adalah suatu kumpulan teknik-teknik statistika dan matematika yang digunakan untuk menganalisis permasalahan tentang variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel tak bebas atau respon dengan tujuan untuk mengoptimasi respon (Gasperz 1992). RSM dapat digunakan untuk mencari suatu fungsi pendekatan yang cocok untuk meramalkan respon dan menentukan nilai-nilai dari variabel


(32)

15

bebas yang dapat mengoptimumkan respon. Hasil analisis RSM ditampilkan dalam bentuk kontur yang menghasilkan titik optimum berupa optimasi maksimum, minimum atau saddle point.

Tahap yang paling penting dalam RSM adalah menentukan daerah optimum (Myers 1971). Daerah optimum dapat diperoleh dari data percobaan sebelumnya tapi jika belum ada maka menggunakan steepest ascent methode (Gasperz 1992) yang sering disebut dengan respon ordo pertama. Respon ordo pertama akan menghasilkan daerah optimum yang dipakai sebagai titik pusat dari respon ordo kedua. Desain respon ordo pertama dan kedua dapat dibantu dengan program software seperti Design Expert, JMP dan Statgraphics. Akan tetapi baru-baru ini ada program baru yang menyediakan semua menu penting untuk RSM seperti pilihan desain, rsm’s ccd.pick (central composite design) yang dapat didesain sendiri (Lenth 2010). Program tersebut adalah R versi 2.11.1 dengan packages 1.40.


(33)

16

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai Maret 2012 bertempat di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Sampel kokon dan larva Attacus atlas berasal dari Perkebunan Teh Walini Panglejar Purwakarta Jawa Barat. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Bagan alir penelitian.

Ekstraksi Protein Serisin

Pada penelitian ini protein serisin diekstraksi dari kelenjar sutera tengah dan kulit kokon. Kelenjar sutera tengah merupakan tempat sekresi protein serisin, sedangkan kulit kokon adalah produk ulat sutera yang mengandung protein serisin dan fibroin. Protein serisin merupakan perekat serat-serat fibroin pada kokon.

A.Ekstraksi Protein Serisin dari Kelenjar Sutera Tengah Attacus atlas (KSA)

KSA adalah tempat protein serisin disekresi, sehingga hasil ekstraksi protein serisin dari KSA digunakan sebagai standar protein serisin Attacus atlas. Protein serisin dari KSA digunakan sebagai pembanding dari crude protein serisin (hasil ekstraksi dari kokon). Tahapan ekstraksi dari KSA sesuai Brasla & Matei (1997) dan Invitrogen 2012 (Lampiran 1). Hasil ekstraksi dianalisis bobot molekulnya dengan SDS PAGE (Laemmli 1970).

Protein serisin Ulat sutera liar Attacus atlas dari

Perkebunan Teh Walini Purwakarta

Larva instar 6 Pembedahan untuk mendapatkan kelenjar sutera

tengah Kokon

Ekstraksi protein serisin

Crude protein serisin

Karakterisasi:

- Kadar protein

- Asam amino

- Tegangan permukaan

- Bobot molekul

Ekstraksi protein serisin Serat sutera

(fibroin)

Karakterisasi: -Analisis serat


(34)

17

B.Ekstraksi Protein Serisin dari Kulit Kokon

B.1 Preparasi sampel kulit kokon (Lampiran 2) sesuai dengan Solihin & Fuah (2010) yang telah dimodifikasi.

B.2 Ekstraksi protein serisin dari kulit kokon

Proses ekstraksi protein serisin dari kulit kokon terdiri dari dua tahap, yaitu teknik degumming dan isolasi protein serisin. Degumming adalah proses penguraian serat sutera (fibroin) dari perekatnya (gum atau serisin) secara fisik yaitu dengan suhu dan tekanan tinggi (Padamwar & Pawar 2004), serta secara kimia dengan NaOH 0,1 N (Suriana 2011). Tujuan degumming adalah menghasilkan serat sutera (fibroin) yang siap untuk dijadikan benang sutera dan mendapatkan serisin yang terlarut dalam larutan hasil degumming. Isolasi protein serisin adalah tahapan mendapatkan protein target (serisin) dari larutan hasil degumming, dan pada penelitian ini targetnya berupa crude protein serisin. Isolasi protein pada penelitian ini menggunakan teknik pengendapan dengan pelarut organik etanol 75% (v/v) terhadap larutan hasil degumming (Wu et al. 2007).

Proses ekstraksi dilakukan secara bertahap untuk mengetahui pengaruh setiap kajian terhadap rendemen protein serisin yang dihasilkan. Setiap kajian sangat tergantung pada hasil kajian sebelumnya. Ada beberapa kajian yang dilakukan, yaitu:

B.2.1 Kajian Pengaruh Rasio Volume NaOH 0,1 N dan Jenis Spesies Ulat Sutera terhadap Rendemen Protein Serisin

Ekstraksi protein serisin melalui teknik degumming secara fisik dan kimia (Padamwar & Pawar 2004, Suriana 2011) yang telah dimodifikasi. Teknik degumming pada suhu 115oC selama 40 menit dan tekanan 700 mbar, serta variasi rasio NaOH 0,1 N (50% dan 33,3% terhadap distiled water/DW). Isolasi protein dengan teknik pengendapan menggunakan etanol teknis 96% sebesar 75% v/v terhadap larutan hasil degumming. Hasil isolasi berupa crude protein serisin dalam bentuk cairan kental. Tahapan ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 2.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam kajian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial (RALF) dengan dua faktor yaitu rasio NaOH 0,1 N (R)


(35)

18

dan spesies ulat sutera (S) yang masing-masing pada dua taraf perlakuan yang diulang dua kali (Tabel 4). Model matematikanya adalah:

Yijk = µ + Ri + Sj + (RS)ij + εijk Keterangan :

Yijk = Pengamatan berupa rendemen protein serisin pada perlakuan ke-i (1, 2) dan ke-j (1, 2) pada ulangan ke-k (1, 2)

µ = Rataan umum

Ri = Pengaruh rasio NaOH 0,1 N ke-i (1, 2) Sj = Pengaruh spesies ulat sutera ke-j (1, 2)

εijk = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ke-j pada ulangan ke-k. Analisis RALF menggunakan program Minitab 14 (Mattjik & Sumertajaya 2002).

Tabel 4 Tabulasi data kajian pengaruh rasio NaOH 0,1 N dan jenis spesies ulat sutera terhadap rendemen protein serisin

Spesies

Perlakuan

Total perlakuan Rasio NaOH 50%

(R1)

Rasio NaOH 33,3% (R2)

Attacus atlas (S1) Y11 Y21 Y.1 = Y.S1

Bombyx mori

(S2)

Y12 Y22 Y.2 = Y.S2

Total perlakuan Y1. = YR1. Y2 = YR2. Y…

B.2.2 Kajian Pengaruh Konsentrasi NaOH terhadap Rendemen Protein Serisin

Ekstraksi protein serisin melalui degumming secara fisik dan kimia (Lampiran 2) pada suhu 115oC selama 40 menit dan tekanan 700 mbar, serta variasi konsentrasi NaOH (0,05 N; 0,1 N; 0,15 N; 0,20 N; 0,25 N dan 0,30 N) pada rasio volume 33,3% terhadap DW. Isolasi protein dengan etanol teknis (96%) pada perbandingan volume 75% v/v terhadap larutan hasil degumming. Hasil isolasi protein berupa crude protein serisin.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam kajian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor (konsentrasi NaOH) dengan dua kali ulangan (Tabel 5). Model matematikanya adalah:


(36)

19

Keterangan:

Yij = Pengamatan berupa rendemen protein serisin pada perlakuan ke-i (1, 2, 3, 4, 5, 6) dan ulangan ke-j (1, 2)

µ = Rataan umum

Ni = Pengaruh konsentrasi NaOH ke-i (1, 2, 3, 4, 5, 6) εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

Jika hasil analisis ragam berpengaruh nyata maka akan dilakukan uji lanjut dengan Tukey. Analisis RAL dan Tukey menggunakan program Minitab 14 (Mattjik & Sumertajaya 2002).

Tabel 5 Tabulasi data kajian pengaruh variasi konsentrasi NaOH terhadap rendemen protein serisin Attacus atlas

Ulangan

Perlakuan

Total NaOH

0,05 N (N1)

NaOH 0,10 N (N2)

NaOH 0,15 N (N3)

NaOH 0,20 N (N4)

NaOH 0,25 N (N5)

NaOH 0,30 N (N6)

1 Y11 Y21 Y31 Y41 Y51 Y61

2 Y12 Y22 Y32 Y42 Y52 Y62

Total Y1 = N1 Y2 = N2 Y3 = N3 Y4 = N4 Y5 = N5 Y6 = N6 YN=N

B.2.3 Kajian Pengaruh Kemurnian Etanol terhadap Rendemen Protein Serisin

Pada kajian ini menggunakan proses ekstraksi dengan teknik degumming secara fisik pada suhu 105oC selama 30 menit, dan tekanan 200 mbar. Isolasi protein menggunakan teknik pengendapan dengan etanol absolut dan teknis 96% (masing-masing perbandingan volume terhadap larutan hasil degumming sebesar 75% v/v). Hasil akhir isolasi berupa crude protein serisin dalam bentuk cairan kental. Tahapan ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 2.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam kajian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor (kemurnian etanol) dengan tiga kali ulangan (Tabel 6). Model matematikanya adalah:

Yij = µ + Ei + εij Keterangan :

Yij = Pengamatan berupa rendemen protein serisin pada perlakuan ke-i (1, 2) dan ulangan ke-j (1, 2, 3)


(37)

20

µ = Rataan umum

Ei = Pengaruh kemurnian etanol ke-i

εij = Pengaruh acak pada kemurnian etanol ke-i dan ulangan ke-j.

Analisis RAL menggunakan program Minitab 14 (Mattjik & Sumertajaya 2002).

Tabel 6 Tabulasi data kajian pengaruh kemurnian etanol terhadap rendemen protein serisin Attacus atlas

Ulangan

Perlakuan

Total Etanol absolut (E1) Etanol teknis 96% (E2)

1 Y11 Y21

2 Y12 Y22

3 Y13 Y23

Total Y1 = E1 YE2 = E2 YE = E

B.2.4 Kajian Optimasi Rendemen Protein Serisin

Kajian optimasi rendemen protein serisin perlu dilakukan untuk mengetahui rendemen protein serisin yang maksimal dari kokon Attacus atlas. Rendemen protein yang maksimal dapat disebabkan oleh teknik ekstraksi yang dilakukan atau kandungan protein serisin dalam kokon Attacus atlas.Ada tiga perlakuan ekstraksi protein serisin yang dikerjakan pada kajian optimasi ini, yaitu:

- Optimasi 1 (O1) menggunakan teknik degumming fisik dan kimia pada kombinasi suhu dan waktu (Tabel 7) serta 33,3% NaOH 0,25 N. Isolasi protein dengan etanol teknis 96%.

- Optimasi 2 (O2) menggunakan teknik degumming fisik dan kimia pada kombinasi suhu dan waktu (Tabel 7) serta 33,3% NaOH 0,25 N. Isolasi protein tanpa menggunakan etanol.

- Optimasi 3 (O3) menggunakan teknik degumming fisik pada kombinasi suhu dan waktu (Tabel 7). Isolasi protein dengan etanol teknis 96%.

Analisis yang digunakan dalam optimasi rendemen protein serisinadalah Response Surface Methodology (RSM) yang diolah dengan Program-R 2.11.1 (Lenth 2010). Hubungan antara respon dan variabel bebas adalah:


(38)

21

Keterangan:

Y = Respon (rendemen protein serisin) Xi = Variabel bebas ( i = 1, 2, 3,...., k ) ε = error.

Daerah optimum (ordo pertama) ditentukan dari percobaan sebelumnya sehingga analisis ordo pertama tidak dilakukan lagi. Analisis ordo kedua (titik optimum) menggunakan model polinomial ordo kedua dengan fungsinya kuadratik:



        j i j i ij k i ii k i i

iX X X X

Y

i  

   1 2 1 0 Keterangan:

Y = respon (rendemen protein serisin) βo = konstanta

i, ii, ij = koefesien dari variabel bebas (X) k = jumlah faktor yang digunakan.

Rancangan percobaan pada penelitian ini menggunakan Central Composite Design (CCD) seperti pada Tabel 7. Percobaan menggunakan dua faktor (2k) yaitu suhu (X1) dan waktu (X2) sehingga α = 1,414. Titik pusat yang digunakan adalah suhu 115oC dan waktu 40 menit.

Tabel 7 Desain rancangan percobaan dengan Central Composite Design (CCD)

Variabel Kode Variabel Asli

X1 X2 Suhu (oC) Waktu (menit)

-1 -1 110 30

-1 1 110 50

1 -1 120 30

1 1 120 50

0 0 115 40

0 0 115 40

0 0 115 40

0 0 115 40

0 0 115 40

-1,414 0 107,93 40

1.414 0 122,07 40

0 -1,414 115 25,86


(39)

22

B.3 Analisis Protein

Pada penelitian ini metode Lowry (Apriyantono et al. 1989) digunakan untuk menganalisis crude protein serisin dan deteksi absorbansinya menggunakan spektrofotometer tipe Gene Quant 1300 pada panjang gelombang 750 nm. Crude protein serisin dihomogenisasi terlebih dahulu dengan stirrer sebelum dianalisis dengan Lowry. Hasil analisis berupa kadar protein serisin (mg/ml) digunakan untuk menghitung rendemen protein serisin. Rendemen protein serisin dihitung dengan rumus:

Rendemen (%) = [ Bobot protein dalam crude protein serisin ] x 100% [Bobot kulit kokon]

Khusus untuk perhitungan rendemen protein serisin pada kajian optimasi, ada dua perhitungan yang dilakukan yaitu tanpa penambahan air dalam fibroin basah (AFB) dan dengan penambahan AFB. AFB adalah larutan hasil degumming yang terikut dalam fibroin karena proses pemisahan antara larutan dan fibroin belum sempurna. Penambahan AFB dalam perhitungan digunakan untuk meminimalkan larutan yang terbuang karena keterbatasan kemampuan alat pemisah. Tanpa penambahan AFB dinotasikan sebagai perlakuan 1, sedangkan dengan penambahan AFB dinotasikan sebagai perlakuan 2 sehingga masing-masing perlakuan optimasi terdiri dari dua perhitungan dengan notasi O11, O12, O21, O22, O31 dan O32.

AFB dihitung dengan analisis kadar air fibroin untuk menghitung volume larutan hasil degumming yang terikut dalam fibroin. Analisis kadar air menggunakan oven Selecta Digitheat pada suhu 115oC selama 18 jam (Apriyantono et al. 1989). Perhitungan kadar air fibroin hasil degumming adalah:

AFB (ml) = [(Bobot basah fibroin – Bobot kering fibroin) x (BJ larutan)] Keterangan: Berat jenis (BJ) larutan = 0,9889.

B.4 Analisis Fibroin

Analisis fibroin dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstraksi terhadap penampang fibroin hasil degumming. Pengamatan fibroin menggunakan mikroskop Optika Micro Image Analysis Versi 1.0 dengan pembesaran 400 kali dan 1000 kali.


(40)

23

C. Karakterisasi Crude Protein Serisin C.1 Analisis Bobot Molekul (BM)

Analisis bobot molekul dengan Sodium Dodecyl Sulphate Polyachrylamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE) merujuk pada Laemmli (1970) yang telah dimodifikasi. Buffer gel yang digunakan adalah 2 M Tris HCl pH 8,8 pada separating gel dan 1 M Tris HCl pH 6,8 pada stacking gel, sedangkan buffer elektrodanya dengan Tris glisin (25 mM Tris dan 192 mM glisin). Pada separating gel 12,5% dan stacking gel 4% dengan rasio perbandingan panjang sebesar 5:1 antara separating gel dan stacking gel. Analisis bobot molekul ini menggunakan pewarnaan silver (silver staining).

Elektroforesis menggunakan dual mini kit pada tegangan listrik konstan 60 volt dan kisaran arus listrik 24 ampere selama kurang lebih 4 jam. Marker yang digunakan adalah Fermentas Multicolor Broad Range Protein Ladder kode #SM1841 (Tabel 8).

Hasil analisis bobot molekul ditampilkan dalam bentuk fragmen atau pita protein dalam gel. Bobot molekul protein target (terlihat sebagai pita protein) dihitung berdasarkan kurva standar dari bobot molekul marker (Lampiran 20).

Tabel 8 Markerdari Fermentas Multicolor Broad Range Protein Ladder

Bobot molekul marker (kDa) Warna

260 Jingga

140 Merah muda

100 Biru

70 Merah

50 Hijau

40 Merah

35 Biru

25 Biru

15 Biru

10 Hijau

C.2 Analisis Asam Amino

Analisis asam amino menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) berdasarkan protokol HPLC Laboratorium Terpadu IPB. Perangkat HPLC yang digunakan adalah Shimadzu HPLC dengan kolom Thermo S Ods-Hypersil (laju aliran fase mobil 1 ml/menit). Analisis asam amino dilakukan dengan memanfaatkan reaksi pra-kolom gugus amino dengan pereaksi ortoftalaldehida (OPA) membentuk suatu senyawa berflouresensi.


(41)

24

Pereaksi OPA akan bereaksi dengan asam amino primer dalam suasana basa yang mengandung merkaptoetanol membentuk senyawa yang berfluoresensi, sehingga deteksinya dapat dilakukan dengan detektor flouresensi.

Hasil analisis asam amino dengan HPLC ditampilkan dalam bentuk kromatogram. Konsentrasi asam amino dapat dihitung dengan rumus:

Asam amino (µmol) = [ Luas puncak sampel x konsentrasi standar] [Luas puncak standar]

Persentase asam amino dalam sampel dihitung dengan rumus:

Asam amino (%) = [ µmol asam amino x BM asam amino ] x 100% [µg sampel]

C.3 Uji Tegangan Permukaan (Surface Tension)

Struktur molekul surfaktan terdiri dari sisi hidrofilik pada bagian kepala dan hidrofobik pada bagian ekor. Protein serisin mempunyai sisi hidrofilik dan hidrofobik (Wu et al. 2007) sehingga diduga mempunyai sifat sebagai surfaktan (surface active agent). Surfaktan merupakan zat yang mempunyai kemampuan menurunkan tegangan permukaan suatu medium dan menurunkan tegangan antarmuka dua fasa yang berbeda derajat polaritasnya (Salanger 2002). Uji tegangan permukaan pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan protein serisin dalam menurunkan tegangan permukaan. Uji tegangan permukaan (surface tension) dilakukan menggunakan tensiometer tipe Cole-Parmer Surface Tensiomat 21 dan tahapannya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam uji tegangan permukaan sampel adalah rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor (kadar protein) dengan tiga kali ulangan (Tabel 9). Model matematikanya adalah:

Yij = µ + TPi + εij Keterangan:

Yij = Pengamatan berupa nilai tegangan permukaan crude protein serisin pada perlakuan ke-i (1, 2, 3) dan ulangan ke-j (1, 2, 3)

µ = Rataan umum

TPi = Pengaruh kadar protein ke-i


(42)

25

Jika hasil analisis ragam berpengaruh nyata maka akan dilakukan uji lanjut dengan Tukey. Analisis RAL dan Tukey menggunakan program Minitab 14 (Mattjik & Sumertajaya 2002).

Tabel 9 Tabulasi data tegangan permukaan crude protein serisin

Ulangan

Perlakuan

Total

1 2 3

1 TP11 TP21 TP31

2 TP12 TP21 TP31

3 TP13 TP21 TP31


(43)

26

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Teknik Ekstraksi Protein Serisin

Hasil ekstraksi protein serisin dari kokon dipengaruhi oleh teknik degumming dan isolasi protein yang dilakukan. Oleh karena itu perlu adanya kajian tentang teknik ekstraksi yang tepat untuk menghasilkan respon (rendemen protein) yang maksimal. Ada beberapa kajian yang dilakukan dalam penelitian ini untuk mendapatkan teknik ekstraksi protein serisin.

Padamwar & Pawar (2004), menghasilkan protein serisin Bombyx mori terbaik dari teknik ekstraksi serisin melalui degumming dengan kombinasi suhu, waktu dan tekanan (105oC, 30 menit dan 200 mbar). Wu et al. (2007), mengisolasi protein serisin Bombyx mori dengan teknik pengendapan menggunakan etanol absolut. Akan tetapi etanol absolut harganya cukup mahal sehingga kurang efisien untuk diterapkan dalam skala industri. Perlu ada kajian tentang alternatif lain sebagai pengganti etanol absolut. Kajian isolasi protein pada tingkat kemurnian etanol berbeda dilakukan di awal penelitian ini untuk memberikan informasi tersebut. Berbeda dengan isolasi protein, teknik degummingAttacus atlas pada awal penelitian ini masih merujuk pada Padamwar & Pawar (2004), karena diduga kulit kokon Attacus atlas dan Bombyx mori mempunyai karakteristik yang sama.

a. Kajian Pengaruh Kemurnian Etanol terhadap Rendemen Protein Serisin Attacus atlas

Etanol digunakan sebagai pengendap dalam isolasi protein serisin. Wu et al. (2007) menggunakan etanol absolut dengan volume 75% (v/v) untuk mengisolasi protein serisin Bombyx mori. Pada kajian ini digunakan etanol dengan kemurnian berbeda yaitu etanol absolut dan etanol teknis 96% dengan masing-masing perbandingan volume terhadap larutan hasil degumming sebesar 75% (v/v). Hasil kajian pengaruh kemurnian etanol disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Hasil kajian pengaruh kemurnian etanol terhadap rendemen protein serisin Attacus atlas

Perlakuan Rendemen protein serisin dalam kulit kokon (%)

E1 1,03 ± 0,04

E2 1,00 ± 0,16


(44)

27

Hasil kajian menunjukkan bahwa E1 (etanol absolut) dapat mengisolasi protein dengan rendemen sebesar 1,03 ± 0,04 %, sedangkan E2 (etanol teknis 96%) sebesar 1,00 ± 0,16 %. Analisis ragam dari data pengaruh kemurnian etanol (Lampiran 4) menunjukkan bahwa kemurnian etanol tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap rendemen protein serisin. Artinya tidak ada perlakuan yang berbeda nyata akibat perbedaan kemurnian etanol. Hasil tersebut memberikan informasi bahwa etanol teknis dapat digunakan untuk isolasi pada tahap kajian selanjutnya.

Teknik ekstraksi hanya dengan degumming secara fisik pada suhu 105oC selama 30 menit belum menghasilkan rendemen protein serisin (Tabel 10) yang maksimal, yaitu hanya sebesar 1,03 ± 0,04 % dan 1,00 ± 0,16 % saja. Rendemen protein serisin tersebut masih jauh dari informasi sebelumnya yang menyatakan bahwa rendemen protein serisin sebesar 20%-30% dari bobot kulit kokon (Masahiro et al. 2000). Hasil ekstraksi yang belum maksimal didukung oleh hasil analisis penampang fibroin dengan mikroskop (Gambar 5). Kondisi fibroin terlihat masih utuh dengan warna coklat tua pada kedua perlakuan. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa serisin belum terekstraksi maksimal.

Gambar 5 Penampang fibroin Attacus atlas hasil ekstraksi pada suhu 105oC selama 30 menit dengan, a) isolasi etanol absolut dan b) isolasi etanol teknis pada pembesaran 400 kali.

b. Kajian Pengaruh Rasio Volume NaOH 0,1 N dan Jenis Spesies Ulat Sutera terhadap Rendemen Protein Serisin

Basa kuat NaOH 0,1 N adalah bahan pelarut untuk degumming yang dapat menghasilkan fibroin terbaik (Suriana 2011). Rasio volume NaOH 0,1 N digunakan untuk mengkaji pengaruhnya terhadap rendemen protein serisin yang dihasilkan. Suhu dan waktu yang digunakan pada kajian ini lebih tinggi daripada kajian sebelumnya yaitu dari 105oC selama 30 menit menjadi 115oC selama 40


(45)

28

menit. Hal ini dilakukan karena rendemen protein serisin yang dihasilkan pada kajian sebelumnya belum maksimal (Tabel 10).

Perlakuan jenis spesies juga digunakan pada tahap ini untuk mengetahui perbedaan pengaruhnya terhadap rendemen protein serisin. Spesies yang digunakan adalah Attacus atlas dan Bombyx mori.Rendemen protein serisin hasil perlakuan rasio volume NaOH 0,1 N dan jenis spesies ulat sutera disajikan pada Tabel 11.

Hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa rasio volume NaOH 0,1 N tidak berpengaruh nyata (P>0,05), sedangkan spesies sangat berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap rendemen protein serisin. Hal ini menunjukkan bahwa rasio volume NaOH 0,1 N baik 50% (1:1 terhadap DW) maupun 33,3% (1:2 terhadap DW) mempunyai pengaruh sama terhadap rendemen protein yang dihasilkan. Oleh karena itu rasio volume yang lebih kecil yaitu 33,3% NaOH 0,1 N akan digunakan pada proses degumming selanjutnya.

Tabel 11 Rendemen protein serisin hasil perlakuan rasio volume NaOH 0,1 N dan jenis spesies ulat sutera

Perlakuan

Rendemen protein serisin dalam kulit kokon

(%)

S1R1 4,21 ± 0,30

a

S1R2 3,99 ± 0,81

a

S2R1 27,83 ± 3,76

b

S2R2 32,34 ± 0,25

b

S1 = Attacus atlas, S2 = Bombyx mori, R1 = 50% NaOH 0,1 N, dan R2 = 33,3% NaOH

0,1 N. Huruf (a,b) adalah superscript dari hasil uji lanjut Tukey. Jika superscript sama hurufnya maka tidak berbeda nyata dan jika berbeda hurufnya maka berbeda nyata.

Perlakuan spesies mempunyai pengaruh nyata pada rendemen protein serisin. Hal ini membuktikan bahwa dengan perlakuan yang sama setiap spesies mempunyai potensi rendemen protein serisin yang berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama karena kandungan protein serisin dalam kedua spesies kokon tersebut berbeda, kedua adalah akibat proses degumming yang digunakan pada kokon Bombyx mori seluruh serisinnya berhasil diekstraksi sedangkan pada Attacus atlas belum seluruhnya terekstraksi. Serat sutera Attacus atlas diduga lebih kuat dan lebih sulit diekstraksi serisinnya dibandingkan dengan Bombyx mori, karena makanan Attacus atlas mengandung tanin yang dapat mengikat protein dengan ikatan yang kuat (Hagerman 2002).


(46)

29

Pada kajian ini rendemen protein serisin Bombyx mori yang dihasilkan sekitar 27%-32% (Tabel 11). Hal ini membuktikan bahwa teknik ekstraksi protein serisin dari kokon Bombyx mori pada kajian ini sudah cukup baik karena hasilnya sudah maksimal melepaskan protein serisin yang ada pada kokonnya dan hasil ini sesuai dengan Masahiro et al. (2000). Akan tetapi rendemen protein serisin Attacus atlas memperlihatkan hasil yang belum maksimal yaitu masih berkisar 3%-4% (Tabel 11). Hal ini berarti bahwa tahap ekstraksi yang dilakukan pada kajian ini belum dapat mengekstraksi protein serisin dari kokon Attacus atlas secara maksimal. Perlu ada perlakuan lebih lanjut dalam mengekstraksi protein serisin dari kokon Attacus atlas. Meskipun demikian, rendemen protein Attacus atlas pada kajian ini sudah mengalami peningkatan dari kajian sebelumnya, dari sekitar 1% (Tabel 10) menjadi sekitar 4% (Tabel 11).

Penampang fibroin pada Gambar 6 mendukung hasil analisis ragam (Lampiran 5), dimana rasio volume NaOH 0,1 N tidak berpengaruh pada penampang fibroin, sedangkan spesies berpengaruh pada penampang fibroin. Penampang fibroin antar spesies terlihat berbeda dimana penampang fibroin Bombyx mori terlihat lebih bersih dan bening dibandingkan penampang fibroin Attacus atlas.

Gambar 6 Penampang fibroin Attacus atlas (a. 50% NaOH 0,1 N; b. 33,3% NaOH 0,1 N), dan Bombyx mori (c. 50% NaOH 0,1 N; d. 33,3% NaOH 0,1 N) dengan 400 kali pembesaran.

c. Kajian Pengaruh Konsentrasi NaOH terhadap Rendemen Protein Serisin Attacus atlas

Pada kajian sebelumnya, rendemen protein serisin Attacus atlas belum maksimal seperti rendemen protein Bombyx mori (Tabel 11) yang sejalan dengan hasil Masahiro et al. (2000). Oleh karena itu dilakukanlah kajian pengaruh variasi konsentrasi NaOH (N) terhadap rendemen protein serisin Attacus atlas. Variasi konsentrasi NaOH yang digunakan adalah 0,05 N, 0,10 N, 0,15 N, 0,20 N, 0,25 N


(47)

30

dan 0,30 N. Rendemen protein serisin dengan konsentrasi NaOH berbeda dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Rendemen protein serisin Attacus atlas pada konsentrasi NaOH berbeda

Perlakuan

Rendemen protein serisin dalam kulit kokon

(%)

N1 5,86 ± 0,27

a

N2 6,78 ± 0,42

a

N3 8,74 ± 2,07

a

N4 7,40 ± 0,44

a

N5 11,69 ± 0,34

b

N6 11,84 ± 1,06

b

N1 = NaOH 0,05N, N2 = NaOH 0,10N, N3 = NaOH 0,15N, N4 = NaOH 0,20N, N5 =

NaOH 0,25N dan N6 = NaOH 0,30N. Huruf (a,b) adalah superscript dari hasil uji

lanjut Tukey. Jika superscript sama hurufnya maka tidak berbeda nyata dan jika berbeda hurufnya maka berbeda nyata.

Data pengaruh konsentrasi NaOH (Tabel 12) dan hasil analisis ragamnya (Lampiran 6) menunjukkan bahwa variasi konsentrasi NaOH berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap rendemen protein. Analisis kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey (Lampiran 6) dan menghasilkan nilai tengah N1, N2, N3 dan N4 yang tidak berbeda, begitu juga antara N5 dan N6 mempunyai nilai tengah yang relatif sama. Hal ini berarti bahwa penggunaan konsentrasi NaOH antara 0,05–0,20 N pada kajian ini mempunyai pengaruh yang sama terhadap rendemen protein, begitu juga konsentrasi NaOH antara 0,25-0,30 N. Akan tetapi nilai tengah dari rendemen protein serisin tersebut berbeda nyata pada konsentrasi NaOH 0,25-0,30 N (Lampiran 6). NaOH merupakan basa kuat yang dapat berfungsi sebagai pelarut. Pada konsentrasi yang semakin tinggi kemampuan melarutkannyapun semakin besar. Hal tersebut terjadi pada kajian ini, dimana pada konsentrasi tinggi yaitu 0,25 N dan 0,30 N, rendemen protein serisin yang dihasilkan lebih tinggi dibanding pada konsentrasi NaOH 0,05-0,20 N.

Hasil tersebut didukung oleh hasil analisis penampang fibroin (Gambar 7) menggunakan mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Pada Gambar 7 (a), (b), (c) dan (d) dengan konsentrasi masing-masing NaOH 0,05 N, 0,10 N, 0,15 N dan 0,20 N, menunjukkan kondisi penampang fibroin yang tidak berbeda jauh, warna coklat muda dan transparan. Warna coklat tua yang mulai memudar menunjukkan adanya material yang terlarut akibat proses ekstraksi. Berbeda dengan Gambar 7


(48)

31

(e) dan (f) dengan masing-masing konsentrasi NaOH 0,25 N dan 0,30 N yang mulai bening transparan.

Gambar 7 (f) fibroin terlihat sudah mengalami kerusakan dengan adanya lubang-lubang pada penampang filamennya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi NaOH 0,30 N dapat menghasilkan rendemen protein tinggi (11,84% ± 1,06%) dan tidak berbeda nyata dengan NaOH 0,25 N, tetapi menyebabkan kerusakan pada fibroinnya sehingga tidak sesuai dengan tujuan awal degumming yaitu menghasilkan fibroin dengan kualitas baik. Kualitas fibroin salah satunya ditentukan oleh bentuk filamen yang tidak berbulu, bersimpul, pecah dan kusut (Atmosoedarjo et al. 2000). Konsentrasi NaOH 0,25 N akan digunakan pada kajian selanjutnya.

Gambar 7 Penampang fibroin Attacus atlas dengan 1000 kali pembesaran (a. 33,3% NaOH 0,05 N; b. 33,3% NaOH 0,10 N; c. 33,3% NaOH 0,15 N; d. 33,3% NaOH 0,20 N; e. 33,3% NaOH 0,25 N; f. 33,3% NaOH 0,30 N).

d. Optimasi Rendemen Protein Serisin

Pada kajian ekstraksi sebelumnya, yaitu pada teknik ekstraksi melalui degumming (115oC selama 40 menit, 33,3% NaOH 0,25N) dan isolasi protein (etanol teknis 96%) dapat menghasilkan rendemen protein serisin 11,69% ± 0,34% dengan penampang fibroin yang baik. Hasil tersebut sudah cukup baik meskipun masih lebih kecil dari hasil Masahiro et al. (2000) yaitu sebesar 20%-30%. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian optimasi rendemen protein serisin

a b c


(49)

32

untuk mengetahui rendemen protein serisin yang maksimal dari kokon Attacus atlas. Rendemen protein yang maksimal dapat disebabkan oleh teknik ekstraksi yang dilakukan atau kandungan protein serisin dalam kokon Attacus atlas memang hanya sekitar 11%.

Optimasi dilakukan dengan cara mencari titik optimum dari faktor-faktor yang berpengaruh dalam ekstraksi protein serisin. Faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah suhu dan waktu degumming, sedangkan volume dan konsentrasi NaOH serta etanol adalah konstan berdasarkan hasil kajian sebelumnya. Pada penelitian ini ada tiga optimasi rendemen protein.

d.1 Optimasi dengan Teknik Ekstraksi pada Degumming (33,3 NaOH 0,25 N) dan Isolasi Protein Serisin (etanol teknis 96%) (O1)

Penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu O11 (tanpa penambahan AFB) dan O12 (dengan penambahan AFB). AFB adalah larutan hasil degumming yang terikut dalam fibroin basah. Hal ini dapat terjadi karena keterbatasan alat pemisah (pemisahan antara larutan dan fibroin) yang digunakan sehingga fibroin terlihat masih basah. Fibroin yang masih basah tersebut diduga karena masih adanya larutan hasil degumming yang terikut di fibroin. Serisin merupakan protein globular yang larut dalam air, sehingga pada proses degumming serisin akan terlarut dalam larutan hasil degumming.

Respon atau rendemen protein serisin dari O11 dan O12 dapat dilihat pada Lampiran 7. Data pada Lampiran 7 kemudian dianalisis dengan Response Surface Methodology (RSM) dan hasilnya disajikan pada Lampiran 8 dan 9 dengan masing-masing menghasilkan titik optimum pada suhu 90,96oC dan waktu 36,31 menit, serta suhu 77,52oC dan waktu 36,24 menit. Titik optimum yang dihasilkan merupakan optimasi minimum, artinya titik-titik tersebut meminimalkan respon (rendemen protein). Hal ini ditunjukkan oleh eigen value yang positif (Lampiran 8 dan 9). Lenth (2010) menyatakan jika dua eigen value bernilai positif maka optimasi minimum, jika keduanya bernilai negatif maka optimasi maksimum dan jika ada positif dan negatif maka optimasi saddle point atau pelana kuda.

Rendemen protein serisin dapat diduga dari persamaan fungsi yang dihasilkan dari pengolahan RSM. Fungsi persamaan yang dihasilkan sebagai berikut:


(1)

68

Lampiran 18 Analisis ragam titik pusat optimasi 3 terhadap rendemen

protein serisin

Source DF SS MS F P Sampel 1 0,001346 0,001346 4,80 0,060 Error 8 0,002245 0,000281

Total 9 0,003590

S = 0,01675 R-Sq = 37,48% R-Sq(adj) = 29,66%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+--- O31 5 0,24800 0,01589 (---*---)

O32 5 0,27120 0,01757 (---*---) ---+---+---+---+--- 0,240 0,255 0,270 0,285 Pooled StDev = 0,01675

Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals All Pairwise Comparisons among Levels of Sampel Individual confidence level = 95,00%

Sampel = O31 subtracted from:

Sampel Lower Center Upper --+---+---+---+--- O32 -0,00123 0,02320 0,04763 (---*---) --+---+---+---+--- -0,020 0,000 0,020 0,040


(2)

69

Lampiran 19 Kurva standar marker bobot molekul pada

separating gel

12,5% dan

stacking gel

4%

Rf marker = [panjang marker pada gel : CBB]

Dimana: Panjang marker diukur dari garis atas

separating gel

CBB adalah batas akhir

running

elektroforesis (ada di bawah

separating

gel

)

Log BM adalah log bobot molekul marker.

y = -1,177x + 1,998 R² = 0,978 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50

0,00 0,50 1,00

L o g B M Rf marker

Kurva Standar

log BM Linear (log BM)


(3)

70

Lampiran 20 Perhitungan bobot molekul sampel

Bobot molekul sampel dihitung dari persamaan linier kurva standar

(Lampiran 19). Persamaan linier kurva standar:

Y = -1,77x + 1,998

Dimana: Y = log bobot molekul sampel


(4)

71


(5)

72


(6)

73

Lampiran 23 Analisis ragam uji tegangan permukaan larutan dengan kadar

protein serisin berbeda

Source DF SS MS F P Kode sampel 2 111,740 55,870 167,61 0,000 Error 6 2,000 0,333

Total 8 113,740

S = 0,5774 R-Sq = 98,24% R-Sq(adj) = 97,66%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+- TP1 3 51,267 0,929 (--*--)

TP2 3 57,467 0,306 (--*--)

TP3 3 59,567 0,208 (--*---) ---+---+---+---+- 52,5 55,0 57,5 60,0 Pooled StDev = 0,577

Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals

All Pairwise Comparisons among Levels of Kode sampel Individual confidence level = 97,80%

Kode sampel = TP1 subtracted from: Kode

sampel Lower Center Upper +---+---+---+--- TP2 4,753 6,200 7,647 (---*---)

TP3 6,853 8,300 9,747 (---*---) +---+---+---+--- -3,5 0,0 3,5 7,0

Kode sampel = TP2 subtracted from: Kode

sampel Lower Center Upper +---+---+---+--- TP3 0,653 2,100 3,547 (---*---)

+---+---+---+--- -3,5 0,0 3,5 7,0