Study Spatial and Temporal of Coral Reef State and Reef Fish Community after Tsunami In Weh and Aceh Islands Waters

(1)

KARANG DAN KOMUNITAS IKAN KARANG PASCA

TSUNAMI DI PERAIRAN PULAU WEH DAN PULAU ACEH

Muliari

C551090091

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis: Kajian Kondisi Spasial dan Temporal Terumbu Karang dan Komunitas Ikan Karang Pasca Tsunami di Perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2011

C551090091 Muliari, S.kel


(3)

Community after Tsunami In Weh and Aceh Islands Waters. Under direction of DEDI SOEDHARMA and NEVIATY P. ZAMANI.

The Tsunami in Aceh had caused to the damage of the Aceh nese reefs ecosystem. However, the ability to recover is naturally found in the coral reef. The purpose of the research are to determine percentages of hard coral cover and coral recruitment in Weh and Aceh Islands. The research was conducted in 2006, 2008, 2009, and 2011. The research was done in Aceh islands, utilization areas, marine natural tourist park (TWAL) and regional marine conservation areas (KKLD). Point Intercept Transect (PIT) and square transect Methods were applied in the research. The research showed that the percentages of hard coral cover in 2011 in Aceh island and utilization areas are 49,38% and 34,16 %, respectively. On the other hand, in marine natural tourist park (TWAL) and regional marine conservation areas (KKLD) are 32,66% and 41,27 % respectively. The percentages of coral cover had increased from 2006, 2008 to 2009. Meanwhile in the percentages of coral cover marine natural tourist park (TWAL) and regional marine conservation areas (KKLD) decreased in 2011. The highest recruitment occurred in 2008 in all survey areas and decreased in 2009. Thus, this study concluded that there existed a recovery of coral reef ecosystem with an increase in the percentage of hard coral cover and coral recruitment from 2006 to 2011. The highest abundances of reef fish in 2011 were found in marine natural tourist park (TWAL) with total amount and biomasses of 15.559 individual/ha and 1.574,43 kg/ha, respectively.


(4)

Komunitas Ikan Karang Pasca Tsunami di Perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA dan NEVIATY P. ZAMANI.

Gempa bumi dan tsunami Aceh mengakibatkan kerusakan ekosistem terumbu karang. Karang memiliki kemampuan untuk pulih secara alami. Pemulihan ini sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan dan kondisi lingkungan. Terumbu karang Pulau Weh diketahui secara umum memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan Pulau Aceh dikarenakan perbedaan pengelolaan di antara kedua wilayah ini pada masa lalu. Kondisi karang akan mempengaruhi keberadaan ikan karang. Apabila kondisi karang mengalami degradasi maka semakin minim jenis ikan karang yang hidup.

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengetahui persentase karang keras di Pulau Weh dan Pulau Aceh, (2). Mengetahui persentase rekrutmen karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh, (3). Mengetahui dinamika kelimpahan dan biomassa ikan karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh.

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2006, 2008, 2009 dan Februari 2011. Kegiatan penelitian dilakukan di Pulau Aceh, Daerah Pemanfatan, Taman Wisata Alam Laut (TWAL) dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Metode yang digunakan untuk pengambilan data karang dalam penelitian ini adalah Point Intercept Transect (PIT) dan transek kuadrat. Pengambilan data ikan karang menggunakan Underwater Fish Visual Census (UVC).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tutupan karang keras pada tahun 2006, 2008, 2009 dan 2011 di Pulau Aceh mempunyai (1,75%, 10,66%, 24,33% dan 49,38%), Daerah Pemanfatan mempunyai (23,5%, 33,76%, 33,02% dan 34,16%), Taman Wisata Alam Laut (TWAL) mempunyai (30,85%, 29,47%, 33,97% dan 32,66%), dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) mempunyai (53,1%, 55,44%, 56,04% dan 41,27%). Pesentase tutupan karang tersebut meningkat dari tahun 2006, 2008, dan 2009, sedangkan pada tahun 2011 terjadi penurunan persentase tutupan karang di wilayah sabang pariwisata dan pulau sabang konservasi.

Pengamatan rekruetmen dilakukan pada tahun 2006, 2008, 2009, dan 2011 secara berturut-turut di seluruh lokasi penelitian. Dari hasil survei di masing-masing lokasi menunjukkan perbedaan nyata dari jumlah koloni karang. Pulau Aceh mempunyai persentase rata-rata rekruetmen setiap tahun (10,49%, 33,44%, 12,22% dan 19,77%), Daerah Pemanfatan mempunyai persentase rata-rata rekruetmen setiap tahun (6,86%, 34,12%, 12,15% dan 13,14%), Taman Wisata Alam Laut (TWAL) mempunyai persentase rata-rata rekruetmen setiap tahun (9,18%, 29,47%, 7,89% dan 12,00 %), Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) mempunyai persentase rata-rata rekruetmen setiap tahun (4,22%, 22,64%, 9,36% dan 3,25%). Rekrutmen tertinggi terjadi pada tahun 2008 pada setiap wilayah survei dan menurun pada tahun 2009.

Hasil analisis terhadap sensus visual ikan (Anderwater Visual Cencus) pada tahun 2006 diperoleh kelimpahan dan biomassa ikan karang tertinggi pada Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yaitu (81.676 ind/ha) dan (1.945,834


(5)

(TWAL) yaitu sebesar (20.505 ind/ha) dan (916,7715 kg/ha), kelimpahan dan biomassa ikan karang terendah pada Pulau Aceh yaitu sebesar (10.149,07 ind/ha) dan (304,6302 kg/ha). Pada tahun 2009 diperoleh kelimpahan dan biomassa ikan karang tertinggi pada Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yaitu (29.277,22 ind/ha) dan (731,9662 kg/ha), kelimpahan dan biomassa ikan karang terendah pada Daerah Pemanfatan yaitu sebesar (13.113,33 ind/ha) dan (528,871). Pada tahun 2011 diperoleh kelimpahan dan biomassa ikan karang tertinggi pada Taman Wisata Alam Laut (TWAL) yaitu (15.558,89 ind/ha) dan (1.574,433 kg/ha), kelimpahan dan biomassa ikan karang terendah pada Daerah Pemanfatan yaitu sebesar (11.765,56 ind/ha) dan (595,097 kg/ha).


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

PERAIRAN PULAU WEH DAN PULAU ACEH

Muliari

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

Pulau Weh dan Pulau Aceh

Nama : Muliari, S.Kel

NRP : C551090091

Program Study : Ilmu Kelautan (IKL)

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA

Ketua Anggota

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

Penulis dilahirkan di Keude Bayu pada 23 Juli 1986 Provinsi Aceh dari pasangan Bapak Ramli dan Ibu Cut Nurlela. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Pendidikan dimulai di SDN Muara Batu (1992-1998) dilanjutkan pada SMPN Muara Batu (1998-2001) kemudian penulis melanjutkan SMA 1 Bireuen (2001-2004). ). Pada tahun 2004 penulis menempuh pendidikan Sarjana (S1) pada Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Aceh - Jurusan Ilmu Kelautan dan menyelesaikan studinya pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis diterima dan melanjutkan pendidikan Program Magister (S-2) pada Mayor Ilmu Kelautan Sekolah Pasca Sarjana IPB.


(11)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang telah diajukan sejak Desember 2010 ini ialah kondisi terumbu karang dan ikan karang di disahkan pada tanggal 1 Februari 2011. Pelaksanaan penelitian di lapangan dilaksanakan sejak Bulan Februari-Maret 2011, sedangkan proses penulisan dan perbaikannya dilakukan di sela-sela penelitian sampai setelah ujian tesis.

Penulis juga berterimakasih kepada:

1. Ayahanda Bapak Ramli dan Ibunda Cut Nurlela. Penulis mengucapkan terimakasih kepada kakak, adik-adik dan abang ipar : Reyna Listiani, Muliana, Rais Aufar, Dila Rahayu dan Riha Dedi Priyantana atas segala doa, semangat, dan dukungannya selama penulis melaksanakan studi di IPB.

2. Ketua komisi pembimbing: Prof.Dr.Ir. Dedi Soedharma, DEA yang telah mendukung dan membimbing penulis dengan kehangatan seorang bapak sekaligus pendidik, sehingga penulis mendapatkan banyak ilmu dan dapat menyampaikannya dalam suatu tulisan.

3. Anggota komisi pembimbing: Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc untuk nasehat, teguran, diskusi hangat, dan argumentasinya sehingga tesis ini menjadi lebih berisi melampaui perkiraan penulis pada saat pertama kali topik ini diajukan.

4. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA sebagai penguji tamu pada ujian akhir tesis yang telah memberikan masukan berharga dan semangat baik pada saat ujian maupun pada saat penulis melaksanakan penelitian.

5. Wildlife Conservation Society (WCS) – Marine Program Indonesia atas fasilitas dan bantuan selama pengambilan data serta pengolahan data dan Program Mitra Bahari-COREMAP II yang memberikan bantuan penulisan tesis.

6. Yudi Herdiana, bang Irfan, bang Epong, Rian Prasetia, bang Tasrif, bg Achai, mbak Shinta dan mbak Susi yang telah memberikan arahan dan petunjuk yang sangat berharga selama proses penelitian ini.


(12)

8. Teman-teman IKL 2009: Kaharuddin, Maria Ulfah, Mardiansyah, Khoirol Imam Fatoni, Wahyu A’idin Hidayat, Lumban Nauli Lumban Touruan, Achmad Zamroni, Anna Ida Sunaryo, Dian Respati Widianari, Emmy Syafitri, Reza Cordova, Yulianto Sutedja, Yuliana Fitri Syamsuni, Citra Satrya Utama Dewi dan Heidi Retnoningtyas. Terimakasih atas dukungan, semangat, bantuan, canda, SMS, telepon, kerjasama, konflik, dan kebersamaannya.

9. Teman-teman Aceh kos: Safrijal Putra, Muhammad Rizal, Masda Admi, dan Hasfiandi yang selalu menyemangati dan membantu penulis menyelesaikan penelitian ini.

10.Rekan-rekan IKAMAPA, IMTR dan ODC untuk segala doa dan dukungannya, terutama kepada ayah Ibnu, bg Adi, Riyan (Boucet), Heru, Naim dan Iko sehingga penulis bisa menyelesaikan studi di IPB.

11.Sahabat-sahabat saya semenjak SMA, Fauzah, Deli, Akmal dan ayi keke atas doa, penghiburan, pengertian, dan motivasinya sehingga beban penelitian dan penulisan tesis ini menjadi lebih ringan.

Penulis menyadari, hasil ini belum memadai karena keterbatasan dana dan waktu, oleh karenanya masukan kritik dan saran sangat penulis hargai. Penulis mengharapkan, semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk memacu perkembangan ilmu kelautan.

Bogor, Desember 2011


(13)

xiii

DAFTARISI ... xiii

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR ...xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Kerangka Pemikiran ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Ekosistem Terumbu karang ... 7

2.1.1 Biologi karang ... 7

2.1.2 Reproduksi karang ... 8

2.1.3 Rekrutmen karang ... 10

2.1.4 Bentuk pertumbuhan karang ... 12

2.2 Faktor Pembatas Terumbu karang ... 14

2.3. Ikan Karang ... 17

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 21

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ... 23

3.3 Metode Pengambilan Data ... 23

3.3.1 Data Primer ... 23

3.3.2 Data Sekunder ... 25

3.4 Analisis Data ... 26

3.4.1 Persentase Tutupan Karang ... 26

3.4.2 Persentase Rekrutmen Karang ... 26

3.4.3 Kelimpahan Ikan Karang ... 27

3.4.4 Biomassa Ikan Karang ... 27

3.4.5 Distribusi spasial dan temporal antara kawasan penelitian dengan genus karang dan famili ikan karang ... 28

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29


(14)

xiv

4.4.1 Pulau Aceh ... 34

4.4.2 Daerah Pemanfaatan ... 35

4.4.3 Taman Wisata Alam Laut (TWAL) ... 37

4.4.4 Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) ... 39

4.5 Pemulihan Karang (Rekrutmen) ... 41

4.6 Komposisi Koloni Karang Rekrutmen ... 43

4.6.1 Pulau Aceh ... 43

4.6.2 Daerah Pemanfaatan ... 45

4.6.3 Taman Wisata Alam Laut (TWAL) ... 46

4.6.4 Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) ... 47

4.7 Kelimpahan dan Biomassa Ikan Karang ... 49

4.8 Komposisi Famili dan Spesies Ikan Karang ... 52

4.8.1 Pulau Aceh ... 52

4.8.2 Daerah Pemanfaatan ... 54

4.8.3 Taman Wisata Alam Laut (TWAL) ... 56

4.8.4 Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) ... 58

4.9 Distribusi spasial dan temporal koloni karang keras antara kawasan penelitian ... 63

4.10 Distribusi spasial dan temporal koloni karang keras antara kawasan penelitian ... 67

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

5.1 Kesimpulan ... 73

5.2 Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(15)

xv

1. Titik dan nama spot penyelaman ... 21

2. Peralatan untuk pengambilan data parameter perairan ... 23

3. Kualitas perairan pada setiap titik lokasi penelitian ... 30

4. Kode genus karang untuk datang spasial dan temporal karang keras ... 66


(16)

(17)

xvii

1. Diagram Kerangka Pemikiran ... 5

2. Struktur polip dan kerangka kapur karang ... 7

3. Reproduksi aseksual karang ... 9

4. Sistem reproduksi karang secara seksual (fertilisasi) ... 10

5. Ilustrasi tiga skala monitoring dan metode yang dapat digunakan dalam menilai kondisi bio-ekologi terumbu karang... 11

6. Bentuk-bentuk pertumbuhan karang berdasarkan responnya terhadap tekanan lingkungan ... 13

7. Peta lokasi penelitian... 20

8. Skema cara pencatatan data karang hidup dengan metode PIT ... 22

9. Posisi peletakan transek untuk survei substrat ... 22

10. Transek survei ikan karang ... 23

11. Persentase tutupan karang keras, alga, pasir, karang lunak dan lain-lain di Pulau Aceh ... 29

12. Jumlah koloni genus karang keras di Pulau Aceh ... 30

13. Persentase tutupan karang keras, alga, pasir, karang lunak dan lain-lain di daerah pemanfaatan ... 32

14 Jumlah koloni genus karang keras di daerah pemanfaatan ... 33

15. Persentase tutupan karang keras, alga, pasir, karang lunak dan lain-lain di taman wisata alam laut (TWAL)... 34

16. Jumlah koloni genus karang keras di taman wisata alam laut (TWAL) ... 35

17. Persentase tutupan karang keras, alga, pasir, karang lunak dan lain-lain di kawasan konservasi laut daerah (KKLD) ... 37

18. Jumlah koloni genus karang keras di kawasan konservasi laut daerah (KKLD) ... 38

19. Persentase rekrutmen karang keras di Pulau Aceh ... 40

20. Jumlah koloni genus karang rekrutmen di Pulau Aceh ... 42

21. Persentase rekrutmen karang keras di daerah pemanfaatan ... 43

23. Jumlah koloni genus karang rekrutmen di daerah pemanfaatan ... 44

24. Persentase rekrutmen karang keras di taman wisata alam laut (TWAL) ... 45

25. Jumlah individu genus karang rekrutmen di taman wisata alam laut (TWAL)... 46


(18)

xviii

daerah (KKLD) ... 48

28. Kelimpahan ikan karang pada setiap kawasan pengamatan ... 51

29. Biomassa ikan karang pada setiap kawasan pengamatan ... 52

30. Komposisi ikan berdasarkan famili di kawasan Pulau Aceh ... 54

31. Komposisi ikan berdasarkan spesies di kawasan Pulau Aceh ... 55

32. Komposisi ikan berdasarkan famili di kawasan daerah pemanfaatan ... 56

32. Komposisi ikan berdasarkan spesies di kawasan daerah pemanfaatan ... 57

33. Komposisi ikan berdasarkan famili di kawasan taman wisata alam laut (TWAL) ... 58

34. Komposisi ikan berdasarkan spesies di kawasan taman wisata alam laut (TWAL) ... 59

35. Komposisi ikan berdasarkan famili di kawasan konservasi laut daerah (KKLD) ... 60

36. Komposisi ikan berdasarkan spesies di kawasan konservasi laut daerah (KKLD) ... 61

37. Hasil analisis faktorial koresponden sebaran koloni karang (A) tahun 2006, (B) tahun 2008, (C) tahun 2009 dan (D) tahun 2011 ... 64

38. Hasil analisis faktorial koresponden sebaran ikan karang (A) tahun 2006, (B) tahun 2008, (C) tahun 2009 dan (D) tahun 2011 ... 67


(19)

xix

1. Persentase tutupan biota karang/kawasan tahun 2006 ... 77

2. Persentase tutupan biota karang/kawasan tahun 2008 ... 79

3. Persentase tutupan biota karang/kawasan tahun 2009 ... 81

4. Persentase tutupan biota karang/kawasan tahun 2011 ... 83

5. Komposisi genus karang kawasan Pulau Aceh ... 85

6. Komposisi genus karang kawasan daerah pemanfaatan ... 86

7. Komposisi genus karang kawasan taman wisata alam laut (TWAL) ... 87

8. Komposisi genus karang kawasan konservasi laut daerah (KKLD) ... 88

9. Persentase rekrutmen karang setiap kawasan ... 89

10. Komposisi genus rekrutmen karang kawasan Pulau Aceh ... 91

11. Komposisi genus rekrutmen karang kawasan daerah pemanfaatan ... 92

12. Komposisi genus rekrutmen karang kawasan taman wisata alam laut ... 93

13. Komposisi genus rekrutmen karang kawasan konservasi laut daerah ... 94

14. Kelimpahan ikan karang setiap kawasan ... 95

15. Biomassa ikan karang setiap kawasan ... 97

16 Komposisi ikan karang di setiap kawasan pada tahun 2006, 2008, 2009 dan 2011 ... 99


(20)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sebagai salah satu ekosistem pantai, terumbu karang memiliki peranan penting dan erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat pesisir. Ekosistem terumbu karang hadir dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, baik keanekaragaman jenis biota karang sebagai penyusun utama ekosistem tersebut maupun keanekaragaman biota laut lainnya. Berbagai jenis ikan, moluska, krustasea, serta echinodermata yang memiliki nilai ekonomis tinggi hidup berasosiasi dalam ekosistem tersebut. Biota laut ekonomis merupakan target utama penangkapan nelayan yang telah menjadi mata pencaharian nelayan.

Selain memiliki fungsi ekonomis, ekosistem terumbu karang juga memiliki fungsi ekologis. Fungsi ekologis ekosistem terumbu karang antara lain adalah sebagai pelindung pantai dari gelombang yang dapat menyebabkan abrasi. Dalam kaitannya dengan siklus dan keberlanjutannya hidup biota laut, ekosistem terumbu karang berperan sebagai daerah perlindungan, pemijahan biota laut dan tempat mencari makanan.

Ancaman-ancaman terhadap terumbu karang bisa terjadi akibat dari bencana alam dan perbuatan manusia. Salah satu yang disebabkan dari bencana alam adalah terjadinya gempa bumi dan tsunami yang akan mematahkan terumbu karang dan memecahkan karang yang rapuh atau menyebabkan terumbu karang terangkat dari laut, sedangkan dari perbuatan manusia antara lain adalah penangkapan ikan berlebihan, penangkapan ikan dengan metode merusak, sedimentasi dan pencemaran serta pembangunan pesisir. Moosa dan Suharsono (1995) menyatakan bahwa kegiatan merusak yang dilakukan oleh manusia lebih bersifat kronis, tidak bersifat sementara seperti halnya yang disebabkan kejadian alami.

Tsunami Aceh adalah salah satu bencana alam terburuk dalam catatan sejarah manusia, kerusakan terumbu karang di pesisir barat laut Aceh ternyata hanya terbatas di beberapa wilayah, walaupun ada sebagian kecil kawasan yang hancur total. Terumbu karang di Aceh yang termasuk ke dalam wilayah Laut Andaman dikenal


(21)

dengan karakteristik terumbu yang dangkal dan rata hingga sejauh 200-500 m dari garis pantai. Terumbu karang tersebut biasanya didominasi oleh spesies karang masif (terutama Famili Poritidae dan Faviidae) dikombinasi dengan spesies Acropora yang bercabang dan Montipora di daerah yang lebih terlindung dan sebagian besar spesies bercabang lainnya di terumbu yang terbuka terhadap faktor fisik (Brown 2005). Pulau Weh dan Pulau Aceh merupakan dua pulau utama di Aceh dan juga merupakan daerah paling barat di Kepulauan Indonesia. Fauna dan flora laut di barat-laut Sumatera, termasuk di dalamnya daerah terumbu memiliki spesies yang berasal dari Lautan Hindia dan Samudera Pasifik.

Terumbu karang Pulau Weh diketahui secara umum memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan Pulau Aceh dikarenakan perbedaan pengelolaan di antara kedua wilayah ini pada masa lalu Baird et al. (2005). Terumbu karang sangat penting untuk perikanan dengan berbagai variasi alat tangkap yang digunakan di daerah pesisir dan sebagian besar perikanan tangkap pelagis komersial. Pulau Weh juga dikenal dengan industri wisata snorkeling, SCUBA diving dan aktivitas rekreasi lainnya sebagai atraksi utama. Aktivitas pariwisata ini memberikan kontribusi bagi masyarakat pesisir disamping sektor pertanian, bisnis dan pemerintahan (Baird et al. 2005).

Baird et al. (2005) kondisi terumbu karang di Pulau Aceh secara umum pasca tsunami pada tahun 2005, menunjukkan kerusakan yang berkisar dari patahan dan hingga kerusakan yang parah. Terumbu karang di Pulau Aceh secara praktis hancur, berubah menjadi pecahan karang (rabel) dan bebatuan. Paparan terumbu karang dangkal di Pulau Aceh mengalami kehancuran yang paling parah pada kedalaman antara 3–8 m sedangkan terumbu yang tidak langsung terpapar oleh lautan bebas biasanya tidak terlalu terpengaruh tsunami.

Sebagai bagian dari proses kerjasama antara Wildlife Conservation Society (WCS) dengan pihak-pihak Universitas, pemantauan terumbu karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh telah mengevaluasi dampak tsunami serta proses pemulihannya yang masih berjalan. Survei yang dilakukan pada tahun 2006, 14 bulan setelah tsunami, menunjukkan bahwa tingkat pemulihan terumbu karang dan nilai rata-rata


(22)

kelimpahan ikan karang jauh lebih besar dibandingkan pada penelitian bulan April 2005, terlepas dari kerusakan parah terumbu karang akibat perikanan yang merusak dan tingginya sedimentasi setelah tsunami, jumlah rata-rata juvenil yang ditemukan (8,0 juvenil/m2) pada terumbu yang rusak di Pulau Aceh besarnya hampir dua kali lipat dari di Pulau Weh (4,9 juvenil/m2

Spesies di ekosistem terumbu karang yang bisa dipakai sebagai bioindikator adalah ikan karang (Tanner et al. 1994; Markert et al. 2003) karena keberadaan ikan-ikan karang sangat tergantung pada kesehatan terumbu karang yang salah satunya ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup (Houringan 1989; Ohman 1998; Lowe-McConnel 1987). Selain itu, ikan karang hidup berasosiasi dengan aneka bentuk dan jenis karang sebagai tempat tinggal, perlindungan dan mencari makan (Nybakken 1997; Barnes 1987; Sale 1991). Kondisi tersebut secara tidak langsung dapat menjadi bioindikator kesehatan ekosistem terumbu karang bila ditinjau dari tingkat pemulihannya di perairan Sabang dan Pulau Aceh.

), menunjukkan tingginya tingkat pemulihan terumbu karang di pulau-pulau tersebut (Ardiwijaya et al. 2007).

1.2 Rumusan Masalah

Gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah mengakibatkan kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang. Karang merupakan spesies yang unik yaitu memiliki kemampuan untuk pulih secara alami. Pemulihan ini sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan dan kondisi lingkungan.

Pengamatan secara periodik terhadap struktur komunitas ekosistem terumbu karang yang mengalami kerusakan bencana alam ataupun yang disebabkan oleh manusia sangat perlu dilakukan dalam pengelolaan terumbu karang. Pengamatan terhadap persentase karang keras dan rekrutmen karang bisa dilihat sejauh mana kemampuannya untuk pulih secara alami. Pemulihan terumbu karang ditandai dengan peningkatan jumlah dan keanekaragaman terumbu karang melalui pertumbuhan koloni karang baru. Pertumbuhan koloni karang muda akan menggantikan populasi yang hilang akibat gangguan dan kerusakan dan bahkan menambah luas areal


(23)

penutupan karang keras sehingga terjadi keseimbangan antara kematian dan kehadiran karang baru di dalam ekosistem terumbu karang.

Hasil monitoring tahun 2006 dan 2007 menunjukkan wilayah perairan Pulau Weh memiliki tutupan karang dan kelimpahan ikan karang yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah Pulau aceh. Daerah terumbu karang Pulau Aceh yang tergolong dalam kondisi ekologis buruk menunjukkan bahwa daerah tersebut telah mengalami berbagai macam tekanan yang sulit menjalani pemulihan. Namun dengan mulai berkurangnya penangkapan ikan yang merusak sejak tahun 2005, terumbu karang Pulau Aceh mulai menunjukkan pemulihan diawali dengan tingginya rekruitmen karang dan meningkatnya kelimpahan ikan karnivora (Ardiwijaya et al. 2007).

Terdapat asosiasi yang erat antara ikan karang dengan habitatnya. Ikan-ikan yang hidup di terumbu karang memiliki kepentingan dan preferensi di ekosistem terumbu tersebut. Kondisi terumbu karang dapat mempengaruhi jenis, kelimpahan dan struktur komunitas ikan karang yang berasosiasi dengannya.

Objek penelitian ini lebih ditekankan terhadap potensi pemulihan persentase karang keras dan persentase rekrutmen karang serta komunitas ikan karang pasca tsunami pada setiap kawasan penelitian untuk dapat menambahkan informasi terkini terhadap kondisi terumbu karang dan komunitas ikan karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh.

1.3 Kerangka Pemikiran

Untuk mencapai berbagai tujuan penelitian yang telah ditetapkan yang didasari dari permasalahan yang ada maka disusun suatu kerangka pemikiran seperti disajikan pada Gambar 1.


(24)

Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran

EKOSISTEM TERUMBU KARANG

Terumbu Karang

• Rekrutmen karang • Karang keras

Ikan Karang

• Famili dan spesies ikan karang

Proses

• Analisis persen penutupan karang hidup • Analisis rata-rata rekrutmen karang • Kelimpahan famili dan spesies ikan

karang

Hasil Akhir (Output)

Kajian Kondisi Spasial dan Temporal Terumbu Karang dan Komunitas Ikan Karang Pasca Tsunami di Perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh


(25)

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perubahan penutupan karang keras dan rekrutmen karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh.

2. Menganalisis komunitas ikan karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh.

1.5 Manfaat Penelitian

Untuk memberikan gambaran mengenai kondisi terumbu karang pasca tsunami serta untuk bahan masukan bagi pengelola agar dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh.


(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang 2.1.1 Biologi Karang

Terumbu karang (coral reef) merupakan organisme yang hidup di dasar laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum cnidaria, kelas anthozoa, ordo madreporia = scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat, yang mana termasuk hermatypic coral atau jenis-jenis karang yang mampu membuat kerangka bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (Nybakken 1997).

Gambar 2Struktur polip dan kerangka kapur karang (Suharsono 1996).

Hewan karang batu pada umumnya merupakan koloni yang terdiri atas banyak individu berupa polip yang bentuk dasarnya seperti mangkok dengan tepian berumbai-umbai (tentakel). Ukuran polip ini umumnya sangat kecil (beberapa mm) tetapi ada pula yang besar hingga beberapa puluh sentimeter


(27)

seperti pada jenis Fungia. Setiap polip tumbuh dan mengendapkan kapur yang membentuk kerangka (Nontji 1993).

2.1.2 Reproduksi Karang

Menurut Suharsono (1984) karang merupakan kelompok organisme yang sudah mempunyai sistem saraf, jaringan otot dan reproduksi sederhana, akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Organ-organ reproduksi karang berkembang di antara mesenteri filamen dan pada saat-saat tertentu organ tersebut terlihat nyata sedang pada waktu lain menghilang, terutama untuk jenisjenis karang di wilayah subtropis. Sebaliknya, untuk karang yang hidup di daerah tropis, organ reproduksi dapat ditemukan sepanjang tahun karena siklus reproduksi berlangsung sepanjang tahun dengan puncak reproduksi dua kali dalam setahun.

Hewan karang dapat melakukan reproduksi baik secara seksual maupun aseksual. Reproduksi aseksual dapat berlangsung dengan cara fragmentasi, pelepasan polip dari skeleton dan reproduksi aseksual larva. Kecuali reproduksi aseksual larva, produk dari yang lainnya menghasilkan pembatasan sacara geografi terhadap asal-usul terumbu karang dan sepanjang pembentukan dan pertumbuhan koloni dapat melangsungkan reproduksi seksual. Dalam hal reproduksi secara seksual, gametogenesis akan berlangsung di dalam gonad yang tertanam dalam mesenterium. Kejadian ini dapat berlangsung secara tahunan, namun dapat juga musiman, bulanan atau tidak menentu. Konsekuensi dari cara reproduksi ini adalah pemijahan gamet-gamet untuk fertilisasi eksternal dan perkembangan larva planula, atau pengeraman larva planula untuk dilepaskan setelah berlangsung fertilisasi internal (Richmond dan Hunter 1990).

Reproduksi aseksual umumnya dilakukan dengan cara membentuk tunas yang akan menjadi individu baru pada induk dan pembentukan tunas yang terusmenerus merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak untuk membentuk koloni baru (Nybakken 1997).

Pertunasan ada dua macam yaitu pertunasan intratentakuler dan pertunasan ekstratentakuler (Suharsono 1984).Pertunasan intratentakuler ialah pembentukan individu baru di dalam individu lama yaitu dimana mulut baru terbentuk di dalam lingkar tentakel individu lama melalui invaginasi lempeng oral, sedangkan


(28)

pertunasan ekstratentakuler ialah pembentukan individu baru di luar individu lama yaitu dimana koralit baru tumbuh di-coenosarc diantara koralit dewasa.

Cara lain dari reproduksi aseksual pada karang ialah dengan fragmentasi yaitu dimana bagian dari koloni karang yang terpisah dari induk disebabkan oleh faktor fisik (arus dan gelombang) atau faktor biologi (predator) dapat beradaptasi di lingkungan yang baru hingga tumbuh dan membentuk koloni yang baru. Suharsono (1984) menyatakan bahwa patahan-patahan karang yang terpisah dari koloninya tidak selalu diikuti dengan kematian pada jaringannya, tetapi dapat hidup dan tumbuh pada substrat yang baru, dan jika kondisinya cocok, dari patahanpatahan karang tersebut bisa terbentuk koloni yang baru.

Gambar 3Reproduksi aseksual karang. Pembelahan intratentakuler (A), pembelahan ekstratentakuler (B) (Tomascik et al. 1997).

Proses reproduksi karang secara seksual dimulai dengan pembentukan calon gamet sampai terbentuknya gamet masak, proses ini disebut sebagai gametogenesis. Selanjutnya gamet yang masak dilepaskan dalam bentuk telur atau planula. Masing-masing jenis karang mempunyai variasi dalam melepaskan telur atau planulanya. Karang tertentu melepaskan telur yang telah dibuahi dan pembuahan terjadi di luar. Sedang karang yang lain pembuahan terjadi di dalam induknya dierami untuk beberapa saat dan dilepaskan sudah dalam bentuk planula. Planula yang telah dilepaskan akan berenang bebas dan bila planula


(29)

mendapatkan tempat yang cocok ia akan menetap di dasar dan berkembang menjadi koloni baru (Nybakken 1997).

Karang dapat bersifat gonokhoris atau hermaprodit, dan ia mempunyai segala macam bentuk variasi reproduksi, termasuk juga adanya variasi-variasi di dalam dan antar famili, genera dan spesies (Veron 1995).

Gambar 4 Sistem reproduksi karang secara seksual (fertilisasi) : (a) Polip dewasa, (b) Larva planula, (c) Planula stadium akhir, (d) Polip muda (Nybakken 1997).

2.1.3 Rekrutmen Karang

Juvenil karang yang mengakhiri kehidupannya sebagai organisme planktonik, lalu menempel pada substrat yang cocok disebut dengan proses rekrutmen karang. Menurut Richmond (1997), reproduksi dan rekrutmen adalah dua proses penting yang menentukan keberadaan dan keberlangsungan suatu terumbu karang. Berbeda dengan reproduksi yang merupakan proses pembentukan individu baru, rekrutmen karang merupakan proses dimana individu karang baru hasil reproduksi tersebut menjadi bagian dari komunitas di suatu terumbu karang. Salah satu proses penting dalam rekrutmen karang tersebut adalah kolonisasi yaitu suatu proses juvenil karang mulai menempati suatu habitat


(30)

baru. Dalam proses ini, ada dua hal penting yang sangat menentukan yaitu ketersediaan larva itu sendiri dan adanya substrat tempat menempel.

Gambar 5 Ilustrasi tiga skala monitoring dan metode yang dapat digunakan dalam menilai kondisi bio-ekologi terumbu karang (Hill dan Wilkinson 2004).

Proses penempelan larva karang pada substrat yang sesuai sampai ia menjadi bagian dari suatu ekosistem terumbu karang berlangsung dalam beberapa tahapan. Keberhasilan dalam reproduksi merupakan tahapan pertama yang harus dilalui oleh karang, sebelum larva mengakhiri kehidupan sebagai organisme planktonik dan menjadi bentik. Proses dan mekanisme pengidentifikasian tempat yang sesuai (cocok) untuk menempel sangat tergantung kemampuan larva dalam pengenalan dan pencarian terhadap substrat tersebut (Richmond 1997).

Kriteria tempat yang cocok bagi penempelan larva karang adalah termasuk tipe substrat, pergerakan air, salinitas (umumnya >32 ppm), cukupnya cahaya bagi organisme simbion zooxanthellae, terbatasnya atau sedikitnya sedimentasi, dan kadang-kadang tersedianya spesies mikroalga tertentu atau terdapatnya lapisan


(31)

biologis (biological films) yang biasanya terdiri dari diatom dan bakteri (Richmond 1997).

Pemilihan tempat oleh larva planula karang kemungkinan dengan dasar signal kimia yang mempengaruhi reseptor yang terletak di permukaan bagian luar larva karang. Planula karang kemudian akan bereaksi dengan lapisan biologis, dan untuk spesies karang Agaricia sp., ditemukan adanya signal kimia spesies spesifik dari CCA (crustose coraline algae) dengan spesies tertentu (Richmond 1997).

2.1.4 Bentuk Pertumbuhan Karang

Menurut Supriharyono (2000), dikenal beberapa macam bentuk umum pertumbuhan karang, diantaranya globose, ramose, branching, digitate plate, compound plate, fragile branching, encrusting, plate, foliate dan micro atoll. Bentuk-bentuk ini dipengaruhi oleh beberapa faktor alam terutama oleh level cahaya dan tekanan gelombang. Menurut Supriharyono (2000), ada empat faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang, yaitu :

1. Cahaya. Ada kecenderungan bahwa semakin banyak cahaya, maka rasio luas permukaan dengan volume karang akan semakin menurun;

2. Tekanan hidrodinamis. Tekanan hidrodinamis, seperti gelombang atau arus akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis, bentuk karang lebih mengarah ke bentuk encrusting. Sebagai contoh, peristiwa ini dapat dilihat dari perbandingan bentuk karang masif, Porites lutea, yang tumbuh di Pantura Jawa, seperti Jepara dengan yang berasal dari Teluk Penyu, Cilacap. Karang yang tumbuh di Cilacap cenderung berbentuk encrusting sedangkan di Jepara berbentuk glabose;

3. Sedimen. Seperti diutarakan sebelumnya bahwa sedimen dapat mempengaruhi pertumbuhan karang. Namun disamping itu sedimen juga diketahui menentukan pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau teradaptasi di perairan yang sedimennya tinggi, berbentuk foliate, branching atau ramose. Sedangkan di perairan jernih dengan sedimentasi yang rendah lebih banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring (plate dan digitate plate);


(32)

4. Subareal eksposure. Subareal yang dimaksud adalah daerah-daerah yang pada saat-saat tertentu, ketika saat surut yang rendah sekali menyebabkan banyak karang yang mencuat ke permukaan air. Kondisi seperti ini biasanya cukup lama sehingga dapat menyebabkan beberapa karang tidak dapat bertahan. Berkaitan dengan hal ini ada kecenderungan bahwa semakin tinggi level eksposure, semakin banyak jenis karang yang berbentuk globose dan encrusting. Selain itu ciri spesifik adanya subaerial eksposure adalah banyaknya karang yang berbentuk micro atoll.

Gambar 6 Bentuk-bentuk pertumbuhan karang berdasarkan responnya terhadap tekanan lingkungan (Supriharyono 2000).

Bentuk koloni secara umum :

1. Globose 6. Fragile branching 2. Ramose 7. Encrusting 3. Branching 8. Plate 4. Digitate plate 9. Foliate


(33)

5. Compound plate 10. Micro atoll

2.2 Faktor Pembatas Terumbu Karang 1. Suhu

Menurut Nontji (1993), suhu yang dibutuhkan untuk pembentukan terumbu karang adalah sekitar 25-30 0

Suhu mempengaruhi tingkah laku makan karang. Kebanyakan karang akan kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33,5

C. Suhu mempunyai peranan penting dalam membatasi sebaran terumbu karang.

0 C dan dibawah 16 0C (Supriharyono 2000). Pengaruh suhu terhadap karang tidak saja yang ekstrim maksimum dan minimum saja, namun perubahan mendadak dari suhu alami sekitar 4–6 0

2. Cahaya

C di bawah atau di atas ambient dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya.

Alasan untuk pembatasan kedalaman adalah berhubungan dengan kebutuhan cahaya. Cahaya adalah suatu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang sehubungan dengan laju fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang (Nybakken 1997).

Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang sehingga besama dengan itu kemampuan karang dalam menghasilkan kalsium karbonat akan berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang sampai 15-20% dari intensitas permukaan (Nybakken 1997).

Menurut Veron (1995), sehubungan dengan proses fotosintesis oleh zooxanthellae, karang hermatipik mampu membentuk kerangka kapur 2 hingga 3 kali lebih cepat di tempat terang dibandingkan di tempat gelap. Ini merupakan pengaruh cahaya dalam meningkatkan laju kalsifikasi yang memungkinkan terumbu lebih cepat dibandingkan pengikisan oleh pengaruh laut dan organisme lain.

Cahaya diperlukan bagi proses fotosintesis alga simbiotik. Kedalaman penetrasi cahaya matahari mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang hermatipik. Kebutuhan oksigen untuk respirasi fauna pada suatu terumbu karang


(34)

dapat diatasi dengan adanya alga simbiotik (zooxanthella). Oksigen tambahan tersebut dihasilkan dari proses fotosintesis, yang hanya dapat berlangsung apabila ada cahaya matahari. Oleh karenanya intensitas dan kualitas cahaya matahari yang dapat menembus air laut penting untuk fotosintesis pada zooxanthella yang seterusnya akan menentukan sebaran vertikal karang yang mengandungnya (Saptarini et al. 1996).

3. Kedalaman

Supriharyono (2000) mengemukakan secara umum pertumbuhan karang tumbuh pada kedalaman berkisar antara 10-15 m. Semakin dalam laju pertumbuhan karang semakin menurun. Hal ini membuktikan bahwa setiap gangguan yang merubah kualitas lingkungan akan berpotensi terhadap turunnya laju pertumbuhan karang.

Kedalaman maksimum untuk karang hermatipik adalah 45 m, lebih dalam dari ini cahaya sudah terlampau lemah untuk memungkinkan zooxanthellae menghasilkan oksigen yang cukup bagi karang (Saptarini et al. 1996).

4. Pergerakan air, arus, dan gelombang

Umumnya terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah yang mengalami gelombang besar. Koloni karang dengan kerangka-kerangka yang padat dan masif dari kalsium karbonat tidak akan rusak oleh gelombang yang kuat. Pada saat yang sama gelombang-gelombang itu memberikan sumber air yang segar, memberi oksigen dalam air laut dan menghalangi pengendapan pada koloni, selain itu juga memberi plankton yang baru untuk makanan koloni karang (Nybakken 1997).

Menurut Nontji (1993), arus diperlukan untuk mendatangkan makanan berupa plankton. Di samping itu juga untuk membersihkan diri dari endapan-endapan dan untuk mensuplai oksigen dari laut lepas. Oleh karenanya pertumbuhan karang di tempat yang airnya selalu teraduk oleh arus dan ombak, lebih baik dari daerah berarus dan berombak.

5. Salinitas

Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35‰, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36‰ (Supriharyono 2000).


(35)

Nybakken (1997) mengutarakan perairan yang menerima pasokan air tawar dari sungai secara terus menerus maka daerah tersebut tidak akan terdapat terumbu karang.

6. Sedimentasi

Sedimentasi umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pembangunan daerah pantai, pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan dan aktivitas pertanian yang membebaskan sedimen (terrigenous sediments) ke perairan pantai atau terumbu karang. Selain jenis sedimen di atas, ada pula sedimen lain yang berasal dari erosi karang-karang, baik secara fisik maupun biologi (bioerosi) yang disebut carbonate sediment. Bioerosi biasanya dilakukan oleh hewan-hewan laut seperti bulu babi, ikan, bintang laut dan sebagainya (Supriharyono 2000).

Endapan baik dalam air maupun di atas terumbu karang, mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Kebanyakan karang hermatipik tak dapat bertahan dengan adanya endapan yang berat, yang menutupinya dan menyumbat struktur pemberian makanannya. Endapan dalam air juga mempunyai akibat sampingan yang negatif, yaitu mengurangi cahaya untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang akibatnya, perkembangan terumbu karang berkurang atau menghilang dari daerah-daerah yang pengendapannya besar (Nybakken 1997).

Suatu daerah yang tidak banyak menerima limpahan dari sungai, seperti daerah kepulauan, laju sedimentasi cenderung rendah, terkecuali jika ada aktivitas yang merangsang terbentuknya sedimen. Namun jika perairan karang tersebut berdekatan dengan muara sungai dengan pengelolaan lahan di atas yang buruk biasanya memiliki laju sedimentasi yang tinggi terutama pada saat musim penghujan (Supriharyono 2000).

7. pH

Terumbu karang sebagai biota laut membutuhkan tingkat keasaman yang sesuai dengan pH rata-rata yang terdapat di perairan laut. (Tomascik et al. 1997) menyatakan habitat yang cocok bagi pertumbuhan karang adalah yang memiliki


(36)

pH antara 8,2-8,5. perubahan pH air laut (asam atau basa) akan mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas biologis. Jika nilai pH rendah atau bersifat asam berarti kandungan oksigen rendah.

2.3 Ikan Karang

Indonesia merupakan salah satu kawasan yang memiliki jumlah ikan karang terkaya di dunia. Allen (1991) menyatakan bahwa terdapat 123 spesies yang termasuk famili Pomacentridae, yang sekarang diperbarui sebanyak 152 spesies yang merupakan total tertinggi di dunia. Allen et al. (1998) mencatat sebanyak 87 spesies ikan bidadari (Pomacentridae) dan ikan kupu-kupu (Chaetodontidae) yang terdapat di Indonesia, yang juga merupakan jumlah tertinggi di dunia.

Komunitas ikan karang merupakan salah satu komponen utama dalam ekosistem terumbu karang karena didapatkan dalam jumlah banyak dan menyolok. Karena jumlahnya yang besar dan mengisi seluruh daerah di terumbu, maka terlihat dengan jelas bahwa mereka merupakan penyokong hubungan yang ada di dalam ekosistem terumbu karang. Salah satu sebab tingginya keragaman spesies di terumbu karang adalah variasi habitat terumbu yang terdiri dari karang, daerah berpasir, teluk dan celah, daerah alga dan juga daerah yang dangkal serta zona-zona yang ebrbeda yang melintasi karang (Nyabakken 1997). Secara komersial, ikan-ikan karang memegang peranan penting dalam sektor perikanan dan pariwisata (English et al. 1997).

Ikan karang merupakan jenis ikan yang umumnya menetap atau relatif tidak berpindah tempat dan pergerakannya relatif mudah di jangkau. Jenis substrat yang biasanya dijadikan habitat antara lain karang hidup, karang mati, pecahan karang dan karang lunak (Suharti 2005). Berdasarkan tingkah lakunya, ikan karang ada yang hidup secara individual atau ditemukan menyendiri contohnya ikan lepu ayam (Pterios sp.), mengelompok 3-10 ekor contohnya ikan kambuna (Platax sp.) dan dalam bentuk gerombolan contohnya ikan ekor kuning (Caesio sp.). Kelompok ikan karang terdiri dari: a) jenis ikan yang hidup menetap di karang; b) ikan yang minimal menggunakan wilayah terumbu karang sebagai habitatnya; c) jenis ikan yang hanya berada di terumbu karang pada sebagian siklus hidupnya, misalnya saat juvenil dan pada saat dewasa baru keluar dari terumbu (Nybakken 1997).


(37)

Selain kecenderungan tersebut, ikan karang juga mempunyai sifat teritorial, mereka akan menentukan wilayah kekuasaannya sehingga jika mereka diusik oleh penyelam, beberapa saat kemudian akan datang kembali ke wilayah tersebut. Contohnya pada jenis ikan betok laut (Pomacentrus sp.), ikan giru (Amphiprion sp.) dan ikan kepe-kepe (Chaetodon sp.), sedangkan yang bersifat migratori atau senantiasa berpindah ekosistem antara lain ikan hiu (Carcharinus sp.) (Nybakken 1997).

Sekitar 30 sampai 100 spesies dari beberapa famili ikan karang yang banyak mendominasi, diantaranya adalah Pomacentridae (ikan betok laut), Chaetodontidae (ikan kepe-kepe), Acanthuridae (ikan pakol), Scaridae (ikan kakatua), Apogonidae (ikan serinding), Gobiidae (ikan gobi) dan Serranidae (ikan kerapu). Umumnya ikan-ikan karang ini mudah ditandai dari warna, corak dan struktur badannya yang berbeda, sehingga memudahkan dalam pengamatan jenis dan tingkah laku ikan-ikan karang.

Keberadaan ikan karang pada suatu daerah terumbu karang secara langsung dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penututupan karang hidup yang berhubungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan (Sukarno et al. 1983). Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi dan fisik seperti gelombang, sedimen, kedalaman, perairan kompleksitas topografi dari substrat terumbu karang (Galzin et al. 1994; Chabanet et al. 1997). Hampir seluruh ikan yang hidup di terumbu karang mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem karang, baik dalam hal perlindungan maupun makanan. Oleh karenannya jumlah individu, jumlah spesies dan komposisi jenisnya sangat dipengaruhi oleh kondisi setempat. Telah banyak penelitian yang membuktikan adanya korelasi positif antara kompleksitas topografi terumbu karang dengan distribusi dan kelimpahan ikan-ikannya. Oleh karena itu pengamatan ikan karang ini senantiasa dilakukan bersamaan dengan pendataan bentuk pertumbuhan terumbu karang.


(38)

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian di laksanakan pada bulan Februari–Maret 2011 yang berlokasi di perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh. Survei kondisi terumbu karang dan ikan karang dilakukan di 24 lokasi, 18 lokasi diantaranya ada di Pulau Weh dan 6 lokasi di Pulau Aceh (Tabel 1 dan Gambar 7) . Lokasi pengamatan yang dipilih mewakili terumbu karang di lokasi tersebut dan tipe pengelolaan lokasi berdasarkan: Pulau Aceh, Daerah Pemanfaatan, taman wisata alam laut (TWAL) dan Kawasan konservasi daerah (KKLD).

Tabel 1 Titik dan nama spot penyelaman

KAWASAN TITIK STASIUN SPOT PENYELAMAN

PULAU ACEH

1 Deudap *

2 Lamteng *

3 Lapeng

4 Leun Balee 1*

5 Leun Balee 2

6 Lhoh *

7 Paloh *

8 Pasi Janeng 1

9 Pasi Janeng 2 *

DAERAH PEMANFAATAN

10 Ba Kopra *

11 Beurawang *

12 Gapang *

13 Jaboi *

14 Lhong Angin 1

15 Lhong Angin 2 *

16 Lhong Angin 3

17 Pulau Klah *

TAMAN WISATA ALAM LAUT (TWAL)

18 Batee Meuronron *

19 Canyon *

20 Lhok Weng *

21 Rubiah Channel *

22 Rubiah Sea Garden *

23 Ujung Seurawan *

KAWASAN KONSERVASI LAUT

DAERAH (KKLD)

24 Anoi Itam *

25 Benteng *

26 Reuteuk *

27 Sumur Tiga *

28 Ujung Kareung *


(39)

(40)

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari rubber boat, roll meter (150 m), transek kuadrat (50 x 50 cm), GPS (Global Positioning System), kamera digital bawah air, alat tulis bawah air dan peralatan selam dengan menggunakan SCUBA (Self Contained Underwater Buoyancy Apparatus). Peralatan untuk pengambilan data parameter perairan disajikan dalam tabel 1 di bawah ini:

Tabel 2 Peralatan untuk pengambilan data parameter perairan.

Parameter Unit Alat Keterangan

Suhu °C Thermometer In Situ

Salinitas Ppt Refraktometer In Situ

Kedalam M Deep Gauge In Situ

Kecerahan M Secchi disc In Situ

3.3 Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei untuk data primer dan data sekunder dengan penelusuran literatur, yaitu:

3.3.1 Data Primer a) Kualitas Perairan

Pengukuran dan pemgambilan contoh air dilakukan selama penelitian sebanyak 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) kali pengulangan pada masing-masing stasiun pengamatan. Variabel-variabel yang diukur langsung (in situ) di lapangan meliputi suhu (°C), salinitas (‰), kedalam (m), kecerahan (m) dengan alat ukur masing-masing adalah thermometer, refraktometer, deep gauge, secchi disc.

b) Persentase Penutupan Karang

Pengambilan data persen penutupan karang dilakukan dengan metode PIT (Point Intercept Transect) (English et al. 1997). Dengan membentang rollmeter sepanjang 150 meter. Transek garis sepanjang 150 meter diletakkan sejajar dengan


(41)

garis pantai sepanjang tepi terumbu karang pada kedalaman 6-7 m. Data yang diambil berupa genus karang yang menyinggung transek, dan bentuk pertumbuhan (life form). Identifikasi genus karang menggunakan buku identifikasi coral id oleh Veron (1995).

Gambar 9 Skema cara pencatatan data karang hidup dengan metode PIT.

c) Pengambilan Rekrutmen Karang

Pengambilan data rekrutmen karang dilakukan dengan menggunakan metode transek kuadrat, dicatat dengan menggunakan 50 cm x 50 cm transek kuadrat yang ditempatkan pada transek substrat benthik sepanjang 150 meter dengan interval 10 meter, karang diindentifikasi sampai dengan tingkat genus. Pengamatan terhadap rekruitmen karang dilakukan sejalan dengan pengamatan karang.


(42)

d) Ikan Karang

Pengambilan data ikan karang menggunakan metode Underwater Fish Visual Census (UVC) termodivikasi yang diadopsi dari English et al. (1997), ikan diamati di atas roll meter yang telah di bentangkan sepanjang 150 meter pada metode Point Intercept Transek. Pengamatan dan pengambilan data ikan berupa jenis dan kelimpahan ikan karang dilakukan secara visual pada radius 2,5 meter di sebelah kiri dan kanan sepanjang garis transek.

Gambar 10 Transek untuk pengamatan ikan karang dengan batas pengamatan masing-masing 2,5 m pada bagian kiri dan kanan transek garis (WCS 2006).

Data ikan yang diamati untuk kemudian dicatat ke dalam kolom tabel yang telah disusun pada kertas ukuran A4 (tahan air) dengan alat pensil dan sabak. Pengambilan data ikan per masing-masing stasiun pengamatan dilakukan sebanyak 1 kali dengan 2 kali pengulangan dan di bantu dengan kamera undewater.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari Wildlife Conservation Society (WCS) – Marine Program Indonesia, data yang di ambil seperti: data time series rekrutmen, persentase karang hidup dan ikan karang (2006, 2008 dan 2009).


(43)

3.4 Analisis Data

3.4.1 Persentase Tutupan Karang

Persentase tutupan karang digunakan untuk menduga kondisi terumbu karang pada suatu lingkungan. Rumus yang digunakan untuk menghitung penutupan biota karang (English et al. 1997).

% 100

1 x

L n L = i

Keterangan :

Li = persentase penutupan biota karang ke-i ni = jumlah boita yang ditemukan

L = jumlah titik yang ditemukan.

Data persentase penutupan karang hidup yang diperoleh dikategorikan berdasarkan Gomez dan Yap (1988), yaitu :

a. Buruk : 0-24,90 % b. Sedang : 25-49,90% c. Baik : 50-74,90% d. Sangat Baik : 75-100%

3.4.2 Persentase Rekrutmen Karang

Rekrutmen adalah jumlah biota tertentu yang ditemukan pada satu lokasi pengamatan persatuan luas transek pengamatan. Kelimpahan komunitas terpilih dapat dihitung dengan rumus (Odum 1994).

A ni Xi=


(44)

Keterangan :

Xi = Kelimpahan komunitas terpilih

ni = jumlah total biota pada stasiun pengamatan A = Luas transek pengamatan

3.4.3 Kelimpahan ikan karang

Kelimpahan ikan karang adalah jumlah biota ikan karang yang ditemukan pada suatu lokasi pengamatan persatuan luas transek pengamatan. Kelimpahan ikan karang dapat dihitung dengan rumus:

A ni = N

Keterangan : N = Kelimpahan (individu/750 m2

n

) i

A = Luas area sensus ikan (750 m = Jumlah individu ikan spesies ke i

2

3.4.4 Biomassa ikan karang

)

Biomassa ikan dicari dengan mengkonversi estimasi panjang individu ikan hasil pengamatan visual ke dalam berat. Rumus yang digunakan adalah:

W = a.L Keterangan: W = weight (kg)

b

L = total length

a, b = index spesifik spesies

Konstanta hubungan panjang berat ikan berdasarkan Froese dan Pauly (2010); Kulbicki et al 1993. Pertumbuhan ikan untuk tiap-tiap spesies mempunyai perbedaan untuk tiap-tiap lokasi. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini, bahwa berat ikan mengikuti kaidah pada konstanta hubungan panjang-berat ikan berdasarkan publikasi tersebut.


(45)

3.4.5 Distribusi spasial dan temporal antara kawasan penelitian dengan genus karang dan famili ikan karang

Distribusi spasial genus karang dan famili ikan karang pada habitatnya (kawasan penelitian) dianalisis dengan analisis koresponden (Coresponden Analysis, CA). Analisi tersebut didasarkan pada data baris (I) dan kolom (J), dimana keduanya disajikan dalam bentuk tabel kontigensi antara misalnya: genus karang x modalitas karakteristik kawasan penelitian.

Matriks data disusun dengan menggunakan perangkat lunak. Ms.Excel. Data matriks dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak MVSP versi 3.1 (Multi Variate Statistical Package) dan statistica versi 6.


(46)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Pulau Weh dan Pulau Aceh

Pulau Weh terletak di ujung barat pulau Sumatra memiliki luas wilayah 153 km2 atau 15.300 ha. Dilihat dari letak geografis, Pulau Weh terletak antara 050 -46’28”-05054’28” LU dan 95013’02”-95022’36”

Kecamatan Pulo Aceh dengan pusat pemerintahan di Lampuyang terdiri dari 17 gampong (desa) dan 3 mukim dengan luas wilayah adalah 24,075 Km

BT. Berdasarkan letak geografis Indonesia wilayah kota Sabang berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Malaysia, Thailand dan India. Pulau Weh berada pada ketinggian rata-rata 28 meter diatas permukaan laut, berbatasan dengan Selat Malaka di utara dan timur, Samudra Hindia di selatan dan barat. Pulau Weh dikenal dengan selogan Point of Zero Kilometer Republic of Indonesia (Titik Nol Kilometer Indonesia), ditandai dengan didirikan monumen untuk menandai dimulainya perhitungan jarak dan luas teritorial Negara Republik Indonesia (Bappeda Aceh 2005). Wilayah administrasi Kota Sabang terdiri atas 5 (lima) pulau yaitu Pulau Weh (153 km²), Pulau Rubiah (0,357 km²), Pulau Seulako (0,055 km²), Pulau Klah (0,186 km²) dan Pulau Rondo (0,650 km²).

2 atau 24.075 Ha. Batas wilayah kecamatan di sebelah utara Selat Malaka, dan di sebelah selatan, barat dan timur adalah Samudra Hindia. Pulau Aceh yang secara geografis terletak pada koordinat 5°40’-5°45 LU; 95°00’-95°10 BT. Secara geografis, Pulau Aceh terletak di kawasan pantai barat Aceh yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia (Bapeda Aceh 2005).

4.2 Kualitas Perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh

Kondisi perairan baik secara fisik maupun kimiawi akan sangat menentukan ada tidaknya ekosistem terumbu karang, jika pun telah terbentuk faktor lingkungan akan menyebabkan perubahan ekosistem terumbu karang. Setiap perubahan kondisi perairan akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ekosistem karang. Hasil pengambilan data kondisi fisik dan kimiawi pada titik penelitian dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini:


(47)

Tabel 3 Kualitas perairan pada setiap titik lokasi penelitian.

Stasiun

Suhu

(°C) Salinitas (‰)

Kecerahan (%)

Kedalaman (m)

Anoi Itam 27.00 32.50 100 6-7

Ba Kopra 28.30 32.50 100 6-7

Batee Meurenon 29.00 32.50 100 6-7

Benteng 29.00 32.50 100 6-7

Beurawang 29.00 32.70 100 6-7

Canyon 28.00 32.50 100 6-7

Deudap 31.20 32.50 100 6-7

Gapang 29.00 32.30 100 6-7

Jaboi 28.30 33.00 100 6-7

Lamteng 28.00 32.60 100 6-7

Leun Balee 1 27.80 33.00 100 6-7

Lhoh 28.40 33.00 100 6-7

Lhok Weng 28.00 32.40 100 6-7

Lhong Angin 2 29.00 33.50 100 6-7

Paloh 28.00 33.50 100 6-7

Pasi Janeng 2 27.70 33.60 100 6-7

Pulau Klah 28.30 32.50 100 6-7

Reuteuk 28.40 33.70 100 6-7

Rubiah Channel 29.20 33.50 100 6-7

Rubiah Sea arden 29.00 32.50 100 6-7

Sumur Tiga 28.50 32.00 100 6-7

Ujong Seuke 27.80 32.30 100 6-7

Ujung Kareung 28.00 33.00 100 6-7

Ujung Seurawan 29.00 34.00 100 6-7

MAKSIMUM 30.20 34.00 100 6

MINIMUM 27.00 32.00 100 7

Perbedaan suhu pada masing-masing stasiun yang di ukur relatif kecil yaitu berkisar antara 27,00-30,20 °C. Suhu terendah diperoleh pada Anoi Itam dan suhu tertinggi diperoleh pada stasiun Deudap. Kisaran suhu yang diperoleh dari keseluruhan stasiun yang diamati masih berada dalam kisaran suhu yang baik bagi pertumbuhan biota karang. Menurut Nybakken (1997), terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 23°C-25°C, sedangkan suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 36°C-40°C.

Salinitas yang diperoleh pada semua stasiun penelitian berkisar antara 32-34 ‰. Salinitas terendah diperoleh pada stasiun Sumur Tiga sedangkan salinitas lainnya relatif seragam. Kisaran salinitas yang diperoleh ini menunjukkan bahwa


(48)

salinitas di Pulau Weh dan Pulau Aceh masih berada dalam kisaran toleransi bagi pertumbuhan karang

Nilai kecerahan yang diperoleh pada semua stasiun pengamatan adalah 100%. Hal ini berhubungan dengan kualitas perairan dan kedalaman perairan karena semua stasiun pengamatan berada dalam perairan yang relatif dangkal antara 6-7 m. Jika karang berada dalam tempat teduh atau terhindar dari cahaya matahari maka pertumbuhannya akan terhambat bahkan dapat mengalami kematian jika ketersidiaan cahaya tidak memadai untuk fotosintesis. Cahaya dibutuhkan oleh zooxanthellae untuk fotosintesis yang keberadaannya sangat erat dengan kelangsungan hidup karang (Nybakken 1997).

4.3 Kondisi Terumbu Karang

Di perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh, komunitas karang ditemukan berbatasan langsung dengan pantai dan tebing-tebing curam. Terumbu yang berbatasan langsung dengan pantai memiliki kemiringan yang landai (10-40o) dan terumbu ditemukan pada kedalaman 5 sampai 20 meter. Berbatasan dengan tebing, kemiringan dasar laut sangat curam (60-80o

Persentase tutupan karang keras yang diamati selama 2006, 2008, 2009 dan 2011 pada setiap kawasan penelitian menunjukkan adanya perubahan persentase tutupan karang berkisar antara 1,75%-56,04% dengan rata-rata 34,52%. Persentase karang lunak berkisar antara 0,03%-4,55% dengan rata-rata 1,5%, sedangkan persentase tutupan alga berkisar antara 14,29%-76,89% dengan rata-rata 40,91%. Persentase pasir berkisar antara 7,15%-32,23% dengan rata-rata-rata-rata 18,49% dan penutupun biota lainnya berkisar antara 0,00%-16,73% dengan rata-rata 3,65%. Persentase biota karang pada setiap kawasan penelitian disajikan pada lampiran 1.

) dan terumbu ditemukan dari kedalaman 3 sampai 15 meter. Terumbu karang di Pulau Aceh adalah terumbu karang tepi dengan laguna dangkal dengan lebar 30 dan 200 meter. Kondisi terumbu karang di lokasi penelitian berdasarkan substrat dasar pada masing-masing stasiun penelitian terdiri dari tutupan karang keras (hard coral/HC), soft coral (karang lunak), alga, pasir dan lainnya (Gambar 11).


(49)

Gambar 11 Persentase tutupan karang keras, alga, pasir, karang lunak dan lain-lain (rata-rata ±SE) di setiap kawasan.

Dari data di atas dapat terlihat bahwa rata-rata persentase tutupan karang keras pada Pulau Aceh dan daerah pemanfaatan terendah terjadi pada tahun 2006 dan cendrung meningkat pada tahun-tahun selanjutnya. Hal ini disebabkan substrat pada tahun 2006 sangat dominan ditutupi oleh alga. Alga merupakan saingan utama dalam hal ruang hidup bagi karang di terumbu karena dapat menutupi substarat tempat tumbuhnya karang. Alga dapat berkembang lebih cepat dari pada karang (Nybakken 1997).

Peristiwa tsunami di Aceh pada akhir tahun 2004 juga mengakibatkan kerusakan ekosistem terumbu karang di pulau Aceh dan daerah pemanfaatan. Menurunnya persentase alga dan biota lain pada tahun berikutnya memberikan ruang pertumbuhan terhadap karang keras di Pulau Aceh dan daerah pemanfaatan. Hal ini dapat dilihat dengan terjadi peningkatan persantase tutupan karang keras pada setiap tahun pengamatan.

Pada kawasan taman wisata alam laut dan Kawasan konservasi laut daerah dampak tsunami tidak terlalu berpengaruh terhadap ekositem terumbu karang. Pada kedua kawasan ini dapat dilihat bahwa kenaikan persentase tuutpan karang keras tidak signifikan yang terjadi pada setiap tahun pengamatan. Rendahnya persentase karang keras di taman wisata alam laut lebih disebabkan kegiatan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

2006 2008 2009 2011 2006 2008 2009 2011 2006 2008 2009 2011 2006 2008 2009 2011

P e rs e nt a se T ut upa n ( % )

Karang Keras Alga

Pasir Karang Lunak


(50)

pengembangan ekowisata belum optimal dan masuknya sedimen dari daratan ke daerah terumbu karang akan menyebabkan tingginya penutupan alga dan timbunan sedimen yang menghambat pertumbuhan karang dan mengurangi laju pemulihan karang.

Rendahnya persentase alga dan biota lain disetiap tahun pada kawasan konservasi laut daerah berdampak peningkatan persentase karang keras pada setiap tahun pengamatan. Hal lain yang menyebabkan tingginya persentase karang keras adalah rendahnya dampak terjadinya tsunami di kawasan ini selain dari peraturan perlindungan laut sebagai sumber daya yang tak dapat diperbaharui telah menjaga terumbu karang dari praktek perusakan sehingga meningkatkan ketahanan terumbu terhadap ancaman yang tidak berhubungan dengan perikanan.

Secara umum kondisi terumbu karang di kawasan konservasi laut daerah Pulau Weh lebih baik dibandingkan dengan Pulau Aceh. Terumbu karang Pulau Weh memiliki penutupan karang yang tinggi dan penutupan alga yang rendah, sementara terumbu di Pulau Aceh secara kontras memiliki penutupan alga yang tinggi, penutupan karang yang rendah. Gangguan bagi terumbu mepengaruhi struktur terumbu karang karena terumbu karang adalah ekosistem yang dinamis secara alamiah. Selama pemulihan, jenis biota berinteraksi dan merubah kelimpahan serta peranan dalam struktur komunitasnya. Hasilnya pertumbuhan karang menjadi komunitas yang berbeda dari sebelumnya secara substansial akibat gangguan dan tetap dalam ekosistem yang berkembang dan beragam (Westmacott et al. 2000).

Dilihat dari segi pemulihan karang setelah tsunami selama tahun 2006, 2008, 2009 dan 2011 menunjukkan bahwa di Pulau Aceh dan daerah pemanfaatan menunjukkan tingkat pemulihan yang sangat tinggi dibandingkan dengan taman wisata alam laut dan kawasan konservasi laut daerah. Hal ini disebabkan dampak tsunami tidak terlihat lagi, turunnya persentase alga pada setiap tahun dan tekanan penangkapan ikan secara tidak ramah lingkungan telah berkurang. Kemampuan pemulihan terumbu karang adalah kemampuan dari suatu koloni individual atau suatu sistem terumbu karang untuk mempertahankan diri dari dampak lingkungan serta menjaga kemampuan untuk pulih dan berkembang (Moberg dan Folke 1999). Faktor penting bagi ketahanan terumbu karang tergantung dari faktor


(51)

internal dan eksternal yang saling mempengaruhi terumbu karang. Populasi pembebasan larva menciptakan keragaman genetika tinggi yang sangat penting untuk pemulihan dari gangguan (Nystrom dan Folke 2000).

4.4 Komposisi koloni karang keras 4.4.1 Pulau Aceh

Berdasarkan kehadiran karang keras di Pulau Aceh waktu pengamatan pada tahun 2006, di peroleh 16 jumlah genus karang keras, kemudian terjadi peningkatan sebasar 21 jumlah genus karang keras pada tahun 2008. Pada tahun 2009 menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan sebesar 33 jumlah genus karang keras dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2011 menurun menjadi 23 genus karang keras hal ini di sebabkan dengan substrat yang kosong untuk penempelan larva karang sudah berkurang dan terjadinya kenaikan suhu permukaan laut di daearah perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh. Sepuluh besar persentase koloni karang keras di Pulau Aceh pada masing-masing waktu pengamatan disajikan pada Gambar 12.

Dari hasil pengamatan menggunakan PIT di peroleh persentase koloni karang keras pada tahun 2006, 2008, 2009 dan 2011 yang terbanyak ditemukan selama pengamatan adalah koloni Acropora sebesar 13%, 23%, 32% dan 39%, Porites sebesar 43%, 30%, 17% dan 15 dan Pocillopora 3%, 25%, 22% dan 10%. Tingginya jumlah koloni dari koloni Acropora, Porites dan Pocillopora hal ini disebabkan kondisi perairan antara lain substrat sangat mendukung dan larva karang yang tersedia. Jumlah koloni karang keras di Pulau Aceh disajikan pada lampiran 5.

Setiap tahunnya terjadi peningkatan dan penurunan persentase koloni karang secara keseluruhan. Penurunan tersebut terjadi akibat adanya penambahan koloni baru pada lokasi penelitian setiap tahunnya akibat pemulihan kondisi ekosistem terumbu karang setelah peristiwa tsunami.


(52)

Gambar 12 Persentase koloni karang keras di Pulau Aceh.

Pada pengamatan tahun 2006 genus montipora belum ditemukan di lokasi pengamatan. Genus Montipora memiliki daya tahan yang rendah terhadap perubahan lingkungan. Hal inilah yang mungkin menyebabkan lambatnya pemulihan genus ini setelah terjadinya tsunami. Pada tahun berikutnya mengalami perubahan dengan terdapatnya genus Montipora di Pulau Aceh ini menunjukkan ada kecendrungan kenaikan jumlah koloni yang ditemukan karena kondisi perairan yang semakin baik.

4.4.2 Daerah Pemanfaatan

Berdasarkan hasil pengamatan di daerah pemanfaatan pada tahun 2006, diperoleh 33 jumlah genus karang keras, kemudian pada tahun 2008 dan 2009 jumlah genus menunjukkan peningkatan yaitu sebesar 41 dan 43 genus karang keras. Hal ini menunjukkan adanya pemulihan ekosistem terumbu karang setelah terjadinya gempa dan tsunami pada tahun 2004. Pada tahun 2011 terjadi penurunan jumlah genus karang keras sebesar 31 genus karang keras, hal ini


(53)

diakibatkan terjadinya kenaikan suhu permukaan laut di perairan Pulau Weh. Jumlah koloni karang keras pada daerah pemanfaatan disajikan pada lampiran 6 dan Sepuluh besar persentase koloni karang keras di daerah pemanfaatan pada masing-masing waktu pengamatan disajikan pada Gambar 13.

Pada daerah pemanfaatan, persentase koloni karang yang terdapat pada setiap tahun di dominansi oleh koloni Acropora sebesar 24%, 29%, 23% dan 19%. Koloni Favites sebesar 2%, 2%, 3% dan 2%. Koloni Heliopora sebesar 5%, 7%, 3% dan 7%. Koloni Montipora sebesar 4%, 6%, 8% dan 18%. Koloni Pocillopora sebesar 5%, 6%, 7% dan 4%. Porites sebesar 41%, 31%, 30% dan 25%. Koloni Acropora dan Montipora biasanya tumbuh pada perairan yang jernih dan lokasi yang terdapat pecahan ombak sedangkan Porites merupakan genus karang yang mempunyai bentuk pertumbuhan masive, biasanya ditemukan di daerah rataan terumbu sampai dengan daerah tubir.

Selain itu juga ditemukan sepuluh besar persentase koloni yang mengalami perbedaan pada setiap tahunnya. Koloni Echinopora hanya ditemukan pada tahun 2009 dengan jumlah 4%. Koloni Pavona dengan jumlah 5% pada tahun 2011. Perbedaaan koloni karang yang ditemukan pada setiap tahun menggambarkan bahwa perubahan secara alami pada struktur komunitas menciptakan suatu yang baru pada komunitas tersebut.


(54)

Gambar 13Persentase koloni karang keras di Daerah Pemanfaatan.

4.4.3 Taman Wisata Alam Laut (TWAL)

Berdasarkan kehadiran genus karang keras di TWAL pada tahun 2006 diperoleh 36 jumlah genus karang keras. Tahun 2008 dan 2009 jumlah genus karang keras menunjukkan peningkatan sebesar 39 dan 38 genus. Hal ini menunjukkan setelah terjadinya gempa dan tsunami pada tahun 2004 di Aceh kondisi pemulihan ekosistem terumbu karang di Pulau Weh secara alami telah terlihat. Pada tahun 2011 terjadi penurunan sebesar 29 jumlah genus karang keras. Jumlah genus karang keras di TWAL disajikan pada lampiran 7 dan Sepuluh besar persentase koloni karang keras pada masing-masing waktu pengamatan disajikan pada gambar 14.


(55)

Gambar 14 Persentase koloni karang keras di TWAL.

Dari hasil pengamatan di TWAL pada tahun 2006, 2008, 2009 dan 2011 diperoleh persentase koloni karang keras yaitu dari koloni Acropora sebesar 34%, 33%, 26% dan 25%. Koloni Favites sebesar 2%, 7%, 4% dan 6%. Koloni Montipora sebesar 6%, 7%, 6% dan 8%. Koloni Pocillopora sebesar 3%, 6%, 6% dan 6%. Koloni Porites sebesar 26%, 24%, 30% dan 26%.

Selain itu juga ditemukan sepuluh besar persentase koloni karang yang mengalami perbedaan pada setiap tahunnya, seperi koloni Favia hanya ditemukan dalam sepuluh besar pada tahun 2008 dan 2011 dengan 3% dan 3%. Koloni Goniastrea hanya ditemukan pada tahun 2006 dan 2008 dengan jumlah 3% dan 3%, pada pengamatan tahun 2006 koloni Diploastrea belum ditemukan. Pada tahun 2008, 2009 dan 2011 koloni Diploastrea telah terdapat 1%, 5% dan 5%. Koloni pavona hanya terdapat pada sepuluh besar pada tahun 2006, 2009 dan 2011 dengan 3%, 1% dan 2%.


(56)

4.4.4 Kawasan Konservasi laut Daerah (KKLD)

Dari hasil pengamatan terhadap genus karang keras di KKLD terlihat adanya perbedaan jumlah genus karang keras pada waktu 2006, 2008, 2009 dan 2011. Jumlah genus karang keras pada setiap tahun pengamatan yaitu sebesar 37, 29, 34 dan 21 jumlah genus karang keras. Jumlah genus masing-masing di KKLD menunjukkan adanya fluktuasi antara kehadiran genus baru pada setiap tahun pengamatan. Jumlah genus karang keras di KKLD disajikan pada lampiran 8dan sepuluh besar persentase koloni karang keras pada masing-masing waktu pengamatan disajikan pada gambar 15.

Dari hasil pengamatan pada tahun 2006, 2008, 2009 dan 2011 di peroleh persentase koloni Acropora sebesar 19%, 18% dan 21%. Koloni Heliopora sebesar 13%, 8%, 5% dan 17%. Koloni Montipora sebesar 2%, 1%, 5% dan 18%. Koloni Porites tertinggi yang ditemukan pada setiap tahun sebesar 51%, 56%, 50% dan 47%.

Terdapat sepuluh besar persentase koloni karang yang mengalami perbedaan pada setiap tahunnya seperi koloni Favia dan Goniopora ditemukan dalam sepuluh besar pada tahun 2009 dan 2011, koloni Millepora ditemukan dalam sepuluh besar pada tahun 2006 dan 2008. Pada setiap tahun terjadi perubahan terus berlangsung dan mulai adanya kenaikan genus karang di KKLD. Hal ini terkait dengan strategi karang yang berbeda-beda untuk menempati suatu kawasan (Sorokin 1993).


(57)

Gambar 15 Persentase koloni genus karang keras di KKLD.

Jumlah individu genus karang secara umum di Pulau Weh dan Pulau Aceh di dominansi oleh genus Acropora, Favites, Heliopora, Millepora, Montipora, Pavona, Pocilliopora dan Porites. Morton (1990) menyatakan bahwa pola penyebaran biota karang di kawasan Indo-Pasifik secara umum hampir sama. Pada daerah dimana energi gelombang paling besar diterima oleh terumbu didominasi oleh Pocillopora spp yang berasosiasi dengan karang api (Millepora sp.). Pada lereng terumbu paling luar dimana pergerakan airnya kecil, kecepatan arus dan kekuatan gelombang berkurang didominasi oleh Acropora spp, dengan beberapa Pocillopora dan Millepora sebagai selingan.

Bentuk utama Acropora yang mendominasi daerah pengamatan adalah bentuk branching (bercabang) dan tabulate (meja). Pada daerah rataan terumbu, daerah arus kuat, Porites sp, merupakan jenis karang yang paling banyak dijumpai dan biasanya berasosiasi dengan Pavona sp. atau Acropora sp. Ini sejalan dengan Stoddart (1971) yang mengatakan bahwa komunitas Acropora banyak terdapat di terumbu yang menghadap angin dan komunitas Porites yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap perairan yang keruh serta arus yang kuat (Nasir et al. 2004).


(58)

Selanjutnya Suharsono (1995) menyebutkan bahwa genus Acropora dan Pocillopora tumbuh sangat cepat dan mendominansi pertumbuhan karang di bekas muntahan lahar Pulau Gunung Api.

4.5 Pemulihan Karang (Rekruetmen)

Salah satu cara melihat proses pemulihan ekosistem karang adalah dengan melihat rekruetmen karang. Dari hasil penelitian di masing-masing kawasan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan rekruetmen yang sangat signifikan pada tahun 2008 dibandingkan pada tahun 2006 dan kembali turun pada tahun 2009 dan 2011 (Gambar 16). Peningkatan jumlah rekrutmen pada tahun 2008 menunjukkan telah terjadi pemulihan secara alami setelah terjadinya gempa dan tsunami di Aceh. Hal yang paling penting dalam proses ini adalah ketersedian larva karang dan substrat yang baik untuk penempelan. Kelompok organisme yang berasosiasi akan berperan dalam pembentukan komunitas karang yang stabil. Komunitas karang yang berada disekitar lokasi ataupun komunitas karang serta sifat-sifat reproduksi karang akan berpengaruh terhadap rekruetmen karang dan kemampuannya untuk membentuk komunitas karang.

Persentase rekruetmen paling tinggi terdapat pada lokasi daerah pemanfaatan dan Pulau Aceh. Hal tersebut terjadi akibat di kedua kawasan tersebut merupakan kawasan yang paling sedikit persentase karang keras dibandingkan TWAL dan KKLD yang persentase karang keras lebih tinggi di tahun sebelumnya. Rekrutmen akan tumbuh pada substrat keras yang belum ditempeli karang hidup sehingga kawasan yang tutupan karangnya tinggi maka jumlah rekruetmennya akan sedikit. Sedangkan pada lokasi yang persentase karang hidupnya sedikit maka akan terjadi peningkatan persentase rekruetmen, kondisi tersebut menandakan adanya proses pemulihan ekosistem terumbu karang secara bertahap. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan persentase tutupan karang keras secara bertahap setiap tahunnya di kawasan penelitian.


(59)

Gambar 16. Persentase rekrutmen karang keras di setiap kawasan (rata-rata ±SE). Pengamatan rekruetmen dilakukan pada tahun 2006, 2008, 2009, dan 2011 secara berturut-turut di seluruh kawasan penelitian. Dari hasil transek kuadrat di masing-masing kawasan menunjukkan perbedaan nyata dari persentase rekrutmen karang keras. Pulau Aceh mempunyai rata-ratarekruetmen setiap tahun (10,49%, 33,44%, 12,22% dan 19,77%), Daerah Pemanfaatan mempunyai tingkatan rata-rata rekruetmen setiap tahun (6,86%, 34,12%, 12,15% dan 13,14%), TWAL mempunyai tingkatan rata-rata rekruetmen setiap tahun (9,18%, 29,47%, 7,89% dan 12,00 %), KKLD mempunyai tingkatan rata-rata rekruetmen setiap tahun (4,22%, 22,64%, 9,36% dan 3,25%), persentase rekrutmen karang disetiap kawasan disajikan pada lampiran 9.

Rekruetmen karang merupakan perintis penting bagi pemulihan karang yang mengalami kerusakan akibat gangguan (Connell 1997). Rekruetmen merupakan supply individu baru dalam suatu populasi, untuk terumbu karang didefenisikan sebagai pertumbuhan karang muda dengan ukuran lebih kecil dari 10 cm. Hasil pengamatan rekruetmen karang ini secara umum menunjukkan bahwa kondisi substrat dan kualitas perairan berpengaruh terhadap koloni karang yang di jumpai pada lokasi ini.

Proses rekrutmen karang merupakan indikator yang penting terhadap regenerasi terumbu karang dan potensi pertumbuhannya. Keberhasilan rekrutmen karang dengan berbagai cara reproduksi akan bervariasi di dalam dan antar lokasi,

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Pulau Aceh Daerah PemanfaatanTaman Wisata Alam Laut Kawasan Konservasi Laut Dae

P ew rs en ta se Rek ru tm en K a ra n g ( %

) 2006 2008


(60)

sehingga data-data tentang pola rekrutmen karang dapat diaplikasikan untuk kegiatan pengelolaan terumbu karang yang baik dan berkelanjutan (Richmond dan Hunter 1990).

Potts (2002) mengatakan bahwa pertumbuhan rekrutmen tergantung dari sumber larvanya, komunitas lokal dan dinamika populasi mempunyai efek sangat penting dalam pola rekrutmen karang. Jika larva secara berkelanjutan disuplai dari area yang jauh maka gangguan lokal seperti populasi, jalur pelayaran kapal atau proses lainnya yang membunuh koloni induk terhadap komunitas tidak akan besar. Namun jika larva didatangkan dari komunitas lokal maka proses-proses yang menyebabkan turunnya kelimpahan individu karang dewasa yang reproduktif kemungkinan juga akan menimbulkan turunya populasi rekrutmen. Hal ini yang mungkin menyebabkan turunnya persentase rekrutmen yang terjadi pada tahun 2009 dan 2011.

4.6 Komposisi Koloni Karang Rekruitmen 4.6.1 Pulau Aceh

Dari hasil pengamatan di Pulau Aceh berdasarkan transek kuadrat pada tahun 2006 diperoleh jumlah rata-rata komposisi genus rekrutmen sebesar 20 koloni/transek. Pada tahun 2008 dan 2009 terjadi peningkatan jumlah komposisi genus rekrutmen sebesar 31 dan 26 koloni/transek. Terjadi penurun jumlah komposisi genus rekrutmen yang signifikan pada tahun 2011 sebesar 20 koloni/transek (Lampiran 10). Peningkatan jumlah rekrutmen pada tahun 2008 dan 2009 menunjukkan telah terjadi pemulihan secara alami setelah terjadinya gempa dan tsunami di Aceh. Hal yang paling penting dalam proses ini adalah ketersedian larva karang dan substrat yang baik untuk penempelan.

Kelompok organisme yang berasosiasi akan berperan dalam pembentukan komunitas karang yang stabil. Komunitas karang yang berada disekitar lokasi ataupun komunitas karang serta sifat-sifat reproduksi karang akan berpengaruh terhadap rekruetmen karang dan kemampuannya untuk membentuk komunitas karang. Sepuluh besar persentase koloni karang rekrutmen pada masing-masing waktu pengamatan (Gambar 17).


(1)

globiceps 4 3 2 1

niger 14 48 30 17 71 47 6 9 19 54 19

oviceps 1 3

prasiognathus 2 7 1 1 1 2 10 psittacus 1 1 2

quoyii 2 6 3 2 1 7 1 4 6 2 rivulatus 4 2 2 1 7 6 3 rubroviolaceus 9 13 1 7 4 2 schlegeli 1 3 5 1 1 5 9 7 spinus 3 1 1 1

tricolor 2 4 10 6 7 2 2 1 4 7 xanthopleura 4 1 1 5

Scarus Total 27 114 82 20 108 64 10 40 26 26 113 65 SCARIDAE Total 45 158 136 26 164 102 20 53 45 35 166 104 SCARINI-LABRIDAE Chlorurus bleekeri 2 3 1 4

capistratoides 2 1

sordidus 14 25 5 11

strongylocephalus 3 3 1 5

Chlorurus Total 21 31 8 20

Scarus chameleon 2

forsteni 1 5 2

frenatus 2

globiceps 1 2

niger 1 19 3 16

prasiognathus 1 2

psittacus 1 1

quoyii 2 1

rubroviolaceus 7 3 9 4

schlegeli 1 1

spinus 2 1

tricolor 2 2

troschelli 1

12


(2)

Scarus Total 14 37 15 31

Scarus ghobban 3

juv 1

niger 11 14 2 5

psittacus 1

spinus 1

tricolor 3 2 3

Scarus Total 14 17 6 9

SCARINI-LABRIDAE Total 49 85 29 60

SCORPAENIDAE Pterois antennata 7 5 3 1 5 3 3 6 4 2 6 2 3 radiata 1 1 2 1 1

volitans 1 6 3 2 3 2 4 2 1 6 3 2 Pterois Total 1 14 8 4 3 7 7 3 2 10 7 2 1 12 5 5 Scorpaenopsis macrochir 1 1 oxycephala 1 1 1 5 venosa 1

Scorpaenopsis Total 2 1 1 1 1 5 SCORPAENIDAE Total 1 14 10 5 3 7 7 4 2 10 7 3 1 12 6 10 SERRANIDAE Aetheloperca rogaa 2 1 1 2 1 4 6 2 7 1 Aetheloperca Total 2 1 1 2 1 4 6 2 7 1 Anyperodon leucogrammicus 1

Anyperodon Total 1

Cephalopholis argus 4 25 7 2 18 4 2 11 6 5 27 5 boenak 1 3 1 2 1 1 cyanostigma 2 1 1 2 1 1

leopardus 3 6 12 6 22 32 7 2 7 8 microprion 4 1 1 1 1 2 miniata 1 3 3 1 4 sexmaculata 7 5 5 2 6 5 sonnerati 1 20 9 6

spiloparaea 11 24 20 18 7 8 13 4 urodeta 15 2 2 2 8

Cephalopholis Total 10 91 47 10 77 57 8 34 20 7 73 26 Diploprion bifasciatum 1 1 1

12


(3)

caeruleopunctatus 3 1 1 3

diacanthus 2

fasciatus 3 22 10 1 3 8 43 40 8 10 4 fuscoguttatus 1

hexagonatus 5 2 1 1 14 longispinis 2 1

macrospilos 1

merra 8 1 5 1 5 18 12 4

ongus 2 1 1 3 1 4

polyphekadion 1

quoyanus 1 1 2 4 1 2 1 3 spilotoceps 2

tauvina 1 1 1 2

Epinephelus Total 6 39 13 2 14 2 23 78 59 10 20 14 Plectropomus areolatus 1 1

oligacanthus 1

Plectropomus Total 1 1 1 Pseudanthias evansi 2 11 4 2 8 7 1 2 4 2 squamipinnis 12 54 24 4 9 8 2 21 12 9 33 33 Pseudanthias Total 14 65 28 6 17 15 3 21 12 11 37 35 Variola louti 1 1 3 2 1 1

Variola Total 1 1 3 2 1 1

SERRANIDAE Total 31 199 89 20 109 76 35 141 99 33 138 77 SIGANIDAE Siganus argenteus 1 1

corallinus 1

fuscescens 1 1

guttatus 1 1 1 1 1 1 puellus 1

punctatissimus 1

spinus 2

stellatus 1

vermiculatus 1

12


(4)

virgatus 3 2

Siganus Total 1 1 5 1 3 1 2 4 1 2 1 Siganus virgatus 2 3

Siganus Total 2 3

SIGANIDAE Total 1 1 5 2 1 3 1 2 4 1 2 1 3 SPHYRAENIDAE Sphyraena barracuda 1 6 1

flavicauda 2

jello 1

Sphyraena Total 1 6 4

SPHYRAENIDAE Total 1 6 4

SYNGNATHIDAE Corythoichthys intestinalis 1 3 1 Corythoichthys Total 1 3 1 SYNGNATHIDAE Total 1 3 1 SYNODONTHIDAE Saurida gracilis 4 4 7 2 3 3 Saurida Total 4 4 7 2 3 3 Synodus binotatus 3 6 19 6

dermatogenys 5 1 3 1

jaculum 1 1

variegatus 1 5 1 1 6 5 3 7

Synodus Total 7 8 1 1 12 5 1 22 1 3 13 2 SYNODONTHIDAE Total 7 12 5 1 19 5 3 22 1 3 16 5 SYNODONTIDAE Saurida gracilis 1 1

Saurida Total 1 1

SYNODONTIDAE Total 1 1

TETRAODONTIDAE Arothron mappa 1

meleagris 1

nigropunctatus 5 21 10 2 2 11 4 5 4 4 1 7 8 3 stellatus 1 2 2 1 2 2 Arothron Total 5 23 10 2 4 11 6 5 4 6 1 9 10 3 Arothron mappa 1

nigropunctatus 3 6 1 3

stellatus 1

Arothron Total 4 6 2 3

Canthigaster compressa 3 2 1 5 1 1 2 2

12


(5)

rivulata 2

valentini 4 11 6 3 6 3 2 22 12 6 3 14 4 4

Canthigaster Total 4 16 8 4 13 3 3 27 15 6 3 17 6 4

Canthigaster compressa 1

Canthigaster Total 1

TETRAODONTIDAE Total 9 39 18 10 4 24 9 11 3 31 21 8 4 26 16 11

ZANCLIDAE Zanclus cornutus 8 44 25 4 6 23 22 12 4 14 5 5 23 17 4

Zanclus Total 8 44 25 4 6 23 22 12 4 14 5 5 23 17 4

Zanclus cornutus 1 2 3

Zanclus Total 1 2 3

ZANCLIDAE Total 8 44 25 4 6 23 22 13 4 14 5 2 5 23 17 7

Keterangan :

DP : Daerah Pemanfaatan

KKLD : Kawasan Konservasi Laut Daerah

PA : Pulau Aceh

TWAL : Taman Wisata Alam Laut

 

 

12


(6)