Pemanfaatan Citra Landsat untuk Estimasi Biomassa Atas Permukaan dari Berbagai Penutupan Lahan dengan Pendekatan Indeks Vegetasi (Studi Kasus Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat)

(1)

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT UNTUK ESTIMASI BIOMASSA ATAS PERMUKAAN DARI BERBAGAI PENUTUPAN LAHAN DENGAN

PENDEKATAN INDEKS VEGETASI

(STUDI KASUS KABUPATEN MAMUJU UTARA, SULAWESI BARAT)

MELINDA RAKHMAWATI A14070074

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

MELINDA RAKHMAWATI. Pemanfaatan Citra Landsat untuk Estimasi Biomassa Atas Permukaan dari Berbagai Penutupan Lahan dengan Pendekatan Indeks Vegetasi, Studi Kasus Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat.

Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan KOMARSA

GANDASASMITA.

Biomassa sangat relevan dengan isu perubahan iklim dan berperan penting dalam siklus karbon. Biomassa merupakan total bahan organik yang dihasilkan oleh suatu tanaman yang dinyatakan dalam satuan ton berat kering per satuan luas (Brown, 1997). Indeks vegetasi adalah persentase pemantulan radiasi matahari oleh permukaan daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil (Carolita, 1995). Estimasi biomassa dapat dilakukan dengan 3 pendekatan yaitu modeling, pengukuran di lapang dan penginderaan jauh (Lu,2006). Dari tiga pendekatan tersebut, pendekatan dengan penginderaan jauh lebih dipilih karena dapat digunakan untuk kawasan dengan luasan besar.

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu persiapan, pengumpulan data, analisis data (koreksi geometri, interpretasi penutupan lahan, perhitungan indeks vegetasi, pemilihan model, estimasi biomassa Kabupaten Mamuju Utara pada berbagai penutupan lahan). Beberapa indeks vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah NDVI (Normalized Diferrent Vegetation Index), TNDVI (Transformed Normalized Diferrent Vegetation Index), RVI (Ratio Vegetation Index), dan TRVI (Transformed Ratio Vegetation Index).

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis penutupan lahan melalui citra Landsat, membangun model hubungan antara biomass atas permukaan dengan indeks vegetasi, dan mengetahui estimasi biomassa atas permukaan pada berbagai penutupan lahan di Kabupaten Mamuju Utara.

Penutupan lahan di Kabupaten Mamuju Utara berjumlah 12 jenis yang pada umumnya didominasi oleh hutan, perkebunan dan kebun campuran. Sedangkan mangrove, semak belukar, tegalan/ladang, sawah, tubuh air, rawa, tanah terbuka, tambak/empang dan pemukiman relatif lebih sedikit. Indeks vegetasi NDVI memiliki korelasi yang paling tinggi baik dari penutupan vegetasi alami maupun non alami dengan biomassa dengan R sebesar 60%. Jumlah estimasi biomassa atas permukaan di Kabupaten Mamuju Utara pada vegetasi alami: hutan primer 104,1 ton/ha, mangrove 79,0 ton/ha, semak belukar 36,0 ton/ha dan pada vegetasi non alami: perkebunan 66,1 ton/ha, kebun campuran 65,1 ton/ha, tegalan 52,1 ton/ha, sawah 5,6 ton/ha.


(3)

SUMMARY

MELINDA RAKHMAWATI. Utilization of Landsat imagery for Biomass Estimation of Surface On Top Various land cover with Vegetation Index Approach, A Case Study of North Mamuju, West Sulawesi. Guided by

KHURSATUL MUNIBAH and KOMARSA GANDASASMITA.

Biomass is highly relevant to climate change issues and plays important role in the carbon cycle. Biomass is the total organic matter produced by a plant that is expressed in units of tonnes dry weight per unit area (Brown, 1997). Vegetation index is the percentage reflectance of solar radiation by the leaf surface that correlates with the concentration of chlorophyll (Carolita, 1995). Estimation of biomass can be done with three approaches, namely modeling, field measurements and remote sensing (Lu, 2006). Of the three approaches, with a remote sensing approach is preferred because can be used for areas with large extents.

The research was conducted through several stages of preparation, data collection, data analysis (geometry correction, interpretation of land cover, vegetation index calculation, the selection model, the estimated biomass of North Mamuju on various land cover). Some transformation of vegetation indices used in this study are the NDVI (Normalized Diferrent vegetation index), TNDVI (transformed Normalized different Vegetation Index), RVI (Ratio Vegetation Index), and TRVI (transformed Ratio Vegetation Index).

The purpose of this research was to analyze land cover with Landsat imagery, building a model of the relationship between biomass on the surface with a vegetation index, and know the surface of the biomass estimates for the various land cover in North Mamuju.

Land cover in North Mamuju totaling 12 species which are generally dominated by forests, plantations and mixed farms. While mangroves, scrub, moor / field, fields, water bodies, wetlands, open land, farms/ponds and relatively fewer settlements. Correlations NDVI vegetation index has the highest good of the natural vegetation cover and non-natural with R biomass with 60%. The estimated total biomass on the surface in North Mamuju in natural vegetation: primary forest (104,1) ton/ha, the mangrove 79,0 ton/ha, shrubs 36,0 ton/ha and the non-natural vegetation: plantation 66,1 ton/ha, mixed farms 65.1 ton/ha, dry 52,1 ton/ha, rice 5,6 ton/ha. Estimation results are in the range of field measurements of biomass. Amount of biomass stored in each land cover vary, depending on the diversity and density of existing vegetation, soil type and how to manage. Deposits tend to be the greater biomass with increasing plant age.


(4)

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT UNTUK ESTIMASI BIOMASSA ATAS PERMUKAAN DARI BERBAGAI PENUTUPAN LAHAN

DENGAN PENDEKATAN INDEKS VEGETASI

(STUDI KASUS KABUPATEN MAMUJU UTARA, SULAWESI BARAT)

Skripsi

Sebagai salah satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

MELINDA RAKHMAWATI A14070074

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pemanfaatan Citra Landsat untuk Estimasi Biomassa Atas Permukaan dari Berbagai Penutupan Lahan dengan Pendekatan Indeks Vegetasi (Studi Kasus Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat)

Nama Mahasiswa : Melinda Rakhmawati

NIM : A14070074

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr. Khursatul Munibah, M.Sc.) (Dr. Ir. Komarsa Gandasamita, M.Sc.)

NIP. 19620515 199003 2 001 NIP. 19550111 197603 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.)

NIP. 19621113 198703 1 003


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada 13 Mei 1989 sebagai anak kedua dari enam bersaudara pasangan Bapak Lilik Supriyadi dan Ibu Sofiatun Muniroh.

Penulis menempuh pendidikan di TK Rodhotul Muntaha pada tahun 1993-1995, kemudian melanjutkan pendidikan di SD Kebon Melati I pada Tahun 1995-2001 dan SMP Negeri 3 Cirebon. Pada Tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikannya di MAN 3 Cirebon. Setelah lulus SMA pada tahun 2007, penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumnberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Selama menempuh pendidikannya di IPB, penulis aktif sebagai asisten praktikum untuk mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap (GAL), Sistem Informasi Geografis (SIG), dan Penginderaan Jauh Interpretasi Citra (PJIC) di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan pada tahun 2011.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi berjudul “Pemanfaatan Citra Landsat untuk Estimasi Biomassa Atas Permukaan dari Berbagai Penutupan Lahan dengan Pendekatan Indeks Vegetasi

(Studi Kasus Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat)” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Yang Terhormat Ibu Dr. Khursatul Munibah, M.Sc., selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi I dan Bapak Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc., selaku pembimbing skripsi II, atas teladan, bimbingan, ide, kritik, saran, kesabaran, motivasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Serta tidak lupa saya ucapkan terimakasih banyak kepada Bapak Dr. Ir. M. Ardiansyah, selaku dosen penguji skripsi atas arahan dan masukan dalam skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penghargaan dan rasa terimakasih yang tulus disampaikan kepada:

1. Kedua orang tuaku (Papa & Mama) tercinta atas kasih sayang, kesabaran, motivasi, dukungan, moril, materil, dan do’a yang tak pernah putus. Kakak dan Adik-adiku (Mba Lia, Nina, Mila, Riza, dan Farhan) yang menjadi penyemangat penulis untuk terus berjuang.

2. Rekan-rekan MSL 44 “Viva Soil” atas kebersamaannya selama 4 tahun ini, sahabat terdekatku (Deuis, Devi, Melda) thx for a beautiful friendship, rekan-rekan Lab. Penginderaan Jauh (Hanna yang sudah banyak mengajarkan penulis dalam pengolahan data, Tasha makasih telah bersedia meluangkan waktu untuk belajar latihan seminar, Setia, Ranti, Ika, Herdian, Herdiyanto, Farid, Roma, Adi, Aul) atas dukungan dan do’anya, dan teman-teman kost wisma “Do’i”


(8)

(Desi, Dini, Yeni, Alim, Kipo, Ulfah, Nuvi, Mba Reyta, Mila, Uci) atas kebersamaan dan dukungannya.

3. Ka Ivong Verawaty, S.P., Ka Luluk DWH, S.P, Mba Reni, Mba Nurul, Mba Nina atas bantuannya yang telah diberikan oleh penulis dalam mengajarkan pengolahan data.

4. Dony Angga Permana S.Pd., yang selalu setia menemani penulis dalam suka dan duka, terimakasih atas bantuan, doa, dukungan, motivasi dan semangat yang diberikan kepada penulis.

5. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pada skripsi ini. Namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan juga bagi yang membacanya.

Bogor, Februari 2012


(9)

DAFTAR ISI

RINGKASAN ... ii

SUMMARY ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

I . PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Tujuan ... 2

II . TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Biomassa ... 3

2.2. Citra Landsat ... 5

2.3. Pengukuran Biomassa di Lapang ... 8

2.4. Indeks Vegetasi ... 14

2.5. Estimasi Biomassa dengan Pendekatan Indeks Vegetasi ... 15

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 16

3.1. Lokasi dan Tempat Penelitian ... 16

3.2. Alat dan Bahan ... 17

3.3. Metode Penelitian... 17

3.3.1. Tahap Persiapan ... 17

3.3.2. Tahap Pengumpulan Data ... 17

3.3.3. Tahap Analisis ... 19

IV. KONDISI UMUM KABUPATEN MAMUJU UTARA ... 22

4.1. Letak Geografis ... 22

4.2. Penutupan Lahan ... 23

4.3. Penduduk ... 23

V. PEMBAHASAN ... 25

5.1.Interpretasi penutupan lahan Mamuju Utara tahun 2010 ... 25


(10)

5.3.Karakteristik Biomassa Atas Permukaan Hasil Pengukuran Lapang

Pada Masing-Masing Penutupan Lahan di Lokasi Sampel ... 31

5.4.Simpanan Biomassa Berbagai Penutupan Lahan ... 33

5.4.1. Simpanan Biomassa pada Kawasan Hutan Alam ... 35

5.4.2. Simpanan Biomassa pada Kawasan Hutan Tanaman ... 35

5.4.3. Simpanan Biomassa pada Hutan Rakyat dan Tegakan dan Agroforestri ... 36

5.4.4. Simpanan Biomassa pada Kawasan Non Hutan ... 37

5.5.Indeks Vegetasi Pada Berbagai Penutupan Lahan di Lokasi Sampel ... 37

5.6.Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Indeks vegetasi Pada Vegetasi Alami dan Non Alami ... 41

5.7.Implementasi Penggunaan Model Terpilih Untuk Estimasi Biomassa Atas Permukaan Pada Kabupaten Mamuju Utara ... 46

5.8.Estimasi Biomassa Atas Permukaan Berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Pada Vegetasi Alami dan Non Alami ... 48

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

6.1.Kesimpulan ... 52

6.2.Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(11)

DAFTAR TABEL

No Halaman

Teks

1. Karakteristik ETM+ Landsat ... 5

2. Band-band pada Landsat-TM dan Kegunaannya ... 6

3. Persamaan Alometrik pada Penghitungan Biomassa Pohon ... 13

4. Software yang Digunakan dalam Penelitian ... 17

5. Jumlah Sampel Biomassa Lapang Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong ... 18

6. Formula Indeks Vegetasi ... 19

7. Jumlah Penduduk pada Setiap Kecamatan Pada Tahun 2006, 2007, dan 2008 ... 24

8. Luas Penutupan Lahan Kabupaten Mamuju Utara, 2010 ... 29

9. Karakteristik Biomassa Atas Permukaan Hasil Pengukuran Lapang Pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong ... 31

10. Hasil Perhitungan Indeks Vegetasi Berdasarkan Biomassa Atas Permukaan Hasil Pengukuran Lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong ... 40

11. Persamaan Regresi dan Koefisien Determinasi Masing-Masing Indeks Vegetasi pada Penutupan Lahan Alami dan Non Alami ... 44

12. Perhitungan Indeks Vegetasi Berdasarkan Penutupan Lahan di Kabupaten Mamuju Utara ... 46

13. Perhitungan Estimasi Biomassa pada Penutupan Lahan Alami dan Non Alami di Kabupaten Mamuju Utara ... 47


(12)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

Teks

1. Kurva Karakteristik Reflektan dari Objek Tanah, Air, Vegetasi serta

Posisi Band Spektral Sensor Beberapa Jenis Satelit ... 7 2. Plot Pengukuran Biomassa di Hutan Primer, Hutan Sekunder,

Perkebunan, dan Kebun Campuran ... 11 3. Plot Pengukuran Biomassa di Mangrove ... 12 4. Plot Pengukuran Biomassa di Semak Belukar, Tegalan, Sawah, dan Rawa .. 12 5. Peta Lokasi Kabupaten Mamuju Utara ... 16 6. Diagram Alir Penelitian ... 18 7. Contoh Ilustrasi Pengambilan Sampel Berdasarkan Warna di Penutupan

Hutan primer (Hp) Kabupaten Mamuju Utara ... 20 8. Peta Batas Kecamatan Kabupaten Mamuju Utara ... 22 9. Contoh Batas Objek yang Belum Diperbaiki (merah) dan Sudah

Diperbaiki (hitam) pada (a & d) Tubuh Air, (b) Kebun Kampuran,

(c) hutan ... 25 10. Kenampakan Penutupan Lahan pada Citra Landsat Kabupaten

Mamuju Utara, 2010 ... 26 11. Peta Penutupan Lahan Kabupaten Mamuju Utara Tahun 2010 ... 30 12. Grafik Simpanan Biomassa Atas Permukaan pada Berbagai Penutupan

Lahan ... 34 13. Grafik Kisaran Nilai Indeks Vegetasi Masing-Masing Penutupan Lahan

Pada Indeks Vegetasi NDVI, TNDVI, RVI dan TRVI ... 37 14. Kenampakan Citra Indeks Vegetasi dan Penyebaran Titik Sampel

Lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan

Tabalong ... 39 15. Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Rata-Rata Indeks

Vegetasi (a) NDVI, (b) TNDVI, (c) RVI, (d) TRVI pada Vegetasi

Alami ... 42 16. Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Rata-Rata Indeks

Vegetasi (a) NDVI, (b) TNDVI, (c) RVI, (d) TRVI pada Vegetasi

Non Alami ... 42 17. Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Median Indeks

Vegetasi (a) NDVI, (b) TNDVI, (c) RVI, (d) TRVI pada Vegetasi

Alami ... 43 18. Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Median Indeks

Vegetasi (a) NDVI, (b) TNDVI, (c) RVI, (d) TRVI pada Vegetasi

Non Alami ... 43 19. Kurva Biomassa dengan Indeks Vegetasi NDVI (a) Penutupan


(13)

20. Kurva Hubungan NDVI dengan Umur Tanaman ... 46 21. Grafik Jumlah Estimasi Biomassa Atas Permukaan Berdasarkan

Penutupan Lahan Pada Vegetasi Alami ... 48 22. Grafik Jumlah Estimasi Biomassa Atas Permukaan Berdasarkan


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

Teks

1. Perhitungan Indeks Vegetasi Berdasarkan Hasil Intepretasi Penutupan Lahan di Kabupaten Mamuju Utara ... 58 2. Simpanan Biomassa di Atas Permukaan Tanah pada Beberapa Kelas

Hutan Alam ... 59 3. Simpanan Biomassa di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Tanaman ... 61 4. Simpanan Biomassa di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Rakyat

dan Tegakan Agroforestri ... 64 5. Simpanan Biomassa di Atas Permukaan Tanah pada Kawasan Non


(15)

I . PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Biomassa sangat relevan dengan isu perubahan iklim serta berperan penting dalam siklus karbon. Sebagai konsekuensi jika terjadi kerusakan hutan, pembakaran, pembalakan dan sebagainya akan melepas dengan menambah jumlah karbon di atmosfer. Biomassa merupakan total bahan organik yang dihasilkan oleh suatu tanaman yang dinyatakan dalam satuan ton berat kering persatuan luas (Brown, 1997). Dalam perkembangannya, pengukuran biomassa mencakup seluruh biomassa yang hidup ada di atas dan di bawah permukaan. Biomassa diatas permukaan mencakup batang, tunggul, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon dan strata tumbuhan bawah di lantai hutan, sedangkan biomassa bawah permukaan mencakup semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup (Sutaryo, 2009).

Estimasi biomassa dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu modeling, pengukuran langsung di lapang dan Penginderaan Jauh (Lu, 2006). Pengukuran langsung di lapang dipertimbangkan lebih dapat dipercaya dan lebih teliti dibandingkan dua pendekatan lainnya. Namun, pendekatan ini memerlukan waktu lama, keterbatasan pengulangan unit contoh dan tidak mencakup areal vegetasi yang luas (de Gier, 2003). Dari ketiga pendekatan tersebut, pendekatan dengan Penginderaan Jauh lebih dipilih karena dapat digunakan untuk kawasan dengan luasan besar.

Salah satu pemanfaatan teknologi Penginderaan Jauh yaitu melalui citra Landsat. Estimasi biomassa melalui Citra Landsat dilakukan dengan pendekatan lndeks vegetasi. Indeks vegetasi merupakan cara untuk mendeteksi kerapatan vegetasi melalui karakteristik spektral pada saluran-saluran yang peka terhadap fenomena vegetasi pada kisaran spektrum radiasi merah dengan infra merah dekat untuk mendapatkan suatu nilai yang mencerminkan kelimpahan atau kesehatan vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1994).

Estimasi biomassa dengan pendekatan indeks vegetasi telah banyak dilakukan antara lain: Orientasari (2005) melakukan estimasi biomassa dengan pendekatan indeks vegetasi NDVI, TNDVI, RVI, DVI dan TRVI melalui citra


(16)

Landsat pada areal hutan tanaman industri. Ardiansyah et al., (2005)melakukan pendugaan biomassa dan stok karbon atas permukaan menggunakan data penginderaan jauh Landsat melalui indeks vegetasi NDVI pada Acacia mangium dan Acacia crassicarpa. Boone et al., (2000) dan Budi (2000) melakukan pendugaan biomassa dalam memetakan mangrove pada beberapa indeks vegetasi menggunakan citra Landsat. Forestian (2011) mengestimasi biomassa dan kerapatan vegetasi mangrove menggunakan data Landsat melalui pendekatan indeks vegetasi NDVI.

Namun penelitian tersebut diatas mengkonsentrasikan pada tipe penggunaan lahan tertentu, terutama pada penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi seperti hutan tanaman industri (Eucalyptus grandis, Acacia mangium dan Acacia crassicarpa). Dalam penelitian ini dilakukan estimasi biomassa atas permukaan dari beberapa tipe penutupan lahan dengan pendekatan indeks vegetasi. Adapun tipe indeks vegetasi yang digunakan adalah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), TNDVI (Transformed Normalized Diferrent Vegetation Index), RVI (Ratio Vegetation Index), dan TRVI (Transformed Ratio Vegetation Index).

1.2.Tujuan

1. Interpretasi penutupan lahan dan mentransformasikan indeks vegetasi melalui citra Landsat.

2. Membangun model hubungan antara biomassa atas permukaan dengan indeks vegetasi.

3. Mengestimasi biomassa atas permukaan pada berbagai penutupan lahan di Kabupaten Mamuju Utara.


(17)

II . TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biomassa

Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa bisa dinyatakan dalam ukuran berat, seperti berat kering dalam satuan gram, atau dalam kalori. Oleh karena kandungan air yang berbeda setiap tumbuhan, maka biomassa diukur berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa adalah gr per m2 atau ton per ha (Brown, 1997).

Penilaian biomassa penting untuk berbagai tujuan (Parresol, 1999;. Zheng et al, 2004), yaitu untuk penggunaan sumber daya dan pengelolaan lingkungan. Pada tujuan penggunaan sumberdaya, dilakukan untuk mengetahui banyaknya bahan bakar kayu yang tersedia untuk digunakan dan mengetahui banyaknya biomassa yang tersedia pada satu waktu tertentu. Sedangkan pada tujuan dalam pengelolaan lingkungan, penilaian biomassa adalah penting untuk menilai produktivitas dan keberlanjutan hutan. Biomassa juga merupakan indikator penting dalam penyerapan karbon, sehingga dapat diketahui berapa banyak biomassa yang hilang atau terakumulasi dari waktu ke waktu.

Beberapa istilah biomassa disebutkan dalam Clark (1979), sebagai berikut:

 Biomassa hutan (Forest biomass ) adalah keseluruhan volume makhluk hidup dari semua species pada suatu waktu tertentu dan dapat dibagi ke dalam 3 kelompok utama yaitu pohon, semak dan vegetasi yang lain.

 Pohon secara lengkap (Complete tree) berisikan keseluruhan komponen dari suatu pohon termasuk akar, tunggul /tunggak, batang, cabang dan daun-daun.

 Tunggul dan akar (Stump and roots) mengacu kepada tunggul, dengan ketinggian tertentu yang ditetapkan oleh praktek-praktek setempat dan keseluruhan akar. Untuk pertimbangan kepraktisan, akar dengan diameter yang lebih kecil dari daiameter minimum yang ditetapkan sering dikesampingkan.

 Batang di atas tunggul (Tree above stump) merupakan seluruh komponen pohon kecuali akar dan tunggul. Dalam kegiatan forest biomass inventories, pengukuran sering dikatakan bahwa biomassa di atas tunggul/tunggak ditetapkan sebagai biomassa pohon secara lengkap.


(18)

 Batang (stem) adalah komponan pohon mulai di atas tunggul hingga ke pucuk dengan mengecualikan cabang dan daun.

 Batang komersial adalah komponen pohon di atas tunggul dengen diameter minimal tertentu.

 Tajuk pohon (Stem topwood) adalah bagian dari batang dari diameter ujung minimal tertentu hingga ke pucuk, bagian ini sering merupakan komponen utama dari sisa pembalakan.

 Cabang (branches) semua dahan dan ranting kecuali daun.

 Dedaunan (foliage) semua duri-diri, daun, bunga dan buah.

Dalam inventarisasi karbon hutan, ada 4 tampungan karbon yang diperhitungkan. Keempat tampungan karbon tersebut adalah biomassa atas permukaan, biomassa bawah permukaan, bahan organik mati dan karbon organik tanah (Sutaryo, 2009).

Biomassa atas permukaan adalah semua material hidup di atas permukaan, termasuk bagian dari kantong karbon ini adalah batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan.

Biomassa bawah permukaan adalah semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab akar tumbuhan dengan diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan bahan organik tanah dan serasah.

Bahan organik matimeliputi kayu mati dan serasah. Serasah dinyatakan sebagai semua bahan organic mati dengan diameter yang lebih kecil dari diameter yang telah ditetapkan dengan berbagai tingkat dekomposisi yang terletak di permukaan tanah. Kayu mati adalah semua bahan organik mati yang tidak tercakup dalam serasah baik yang masih tegak maupun yang roboh di tanah, akar mati, dan tunggul dengan diameter lebih besar dari diameter yang telah ditetapkan.

Karbon organik tanah mencakup karbon pada tanah mineral dan tanah organik termasuk gambut.


(19)

2.2. Citra Landsat

Teknologi Penginderaan Jauh satelit dipelopori oleh NASA Amerika Serikat dengan diluncurkannya satelit sumberdaya alam yang pertama, yang disebut ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) pada tanggal 23 Juli 1972, menyusul ERTS-2 pada tahun 1975, satelit ini membawa sensor RBV (Retore Beam Vidcin) dan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spasial 80 x 80 m. Satelit ERTS-1, ERTS-2 yang kemudian setelah diluncurkan berganti nama menjadi Landsat 1, Landsat 2, diteruskan dengan seri-seri berikutnya, yaitu Landsat 3, 4, 5, 6 dan terakhir adalah Landsat 7 yang diorbitkan bulan Maret 1998, merupakan bentuk baru dari Landsat 6 yang gagal mengorbit. Kemampuan spektral dari Landsat-TM, ditunjukan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik ETM+ Landsat

No. Jenis Data Keterangan

1.Ketinggian orbit 705 km

2.Sifat orbit Selaras matahari (sun synchronous) 3.Cakupan satuan citra 185 x 185 km2

4.Resolusi temporal 16 hari

5.Resolusi spektral 0.45-0.52 µm : saluran satu 0.52-0.60 µm : saluran dua 0.63-0.69 µm : saluran tiga 0.76-0.90 µm : saluran empat 1.55-1.75 µm : saluran lima 2.08-2.35 µm : saluran enam 10.40-12.50 µm : saluran tujuh 6.Resolusi spasial Saluran 1-5 dan 7 : 30x 30 m²

Saluran 6 : 120 x 120 m² 7.Resolusi radiometrik 8 bit

Sumber : Lillesand dan Kiefer (1997)

Resolusi spektral merupakan fungsi dari panjang gelombang yang digunakan dalam perekaman objek. TM memiliki tujuh saluran spektral yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Kegunaan masing-masing saluran pada Landsat TM dapat dilihat pada Tabel 2.


(20)

Tabel 2. Band-band pada Landsat-TM dan Kegunaannya

Saluran Spektral Kegunaan

1. Biru Peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah dan vegetasi. 2. Hijau Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara dua saluran spektral serapan klorofil. Pengamatan ini dumaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan penilaian kesuburan. 3. Merah Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran

ini terletak pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan non-vegetasi.

4. Inframerah dekat

Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air. 5. Inframerah

pendek

Penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah.

6. Inframerah thermal

Pemisah formasi batuan 7. Inframerah

pendek

Saluran inframerah termal bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisah kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.

Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1997

Ciri Spektral Air, Tanah, dan Tanaman

Agar dapat mengembangkan potensi data spektral Penginderaan Jauh untuk pemantauan suatu objek di permukaan bumi, diperlukan pemahaman tentang ciri spektral tanaman, tanah dan air, dihubungkan dengan sifat fisik, biologi dan agronominya.

Ciri Spektral Air

Ciri reflektansi air dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama kedalaman dan kekeruhan (kandungan bahan organik dan anorganik). Ciri khas reflektansi air adalah terjadinya penyerapan sinar pada spektrum infra merah dan pemantulan secara transmisi maksimum pada spektrum biru dan hijau. Air dalam keadaan jernih pada umumnya tidak lagi memantulkan sinar pada panjang gelombang lebih besar dari 0,75 µm (Lillesand dan Kiefer, 1987). Adanya reflektansi oleh air pada spektrum infra merah disebabkan karena pengaruh kekeruhan, kekeruhan ini juga mempengaruhi reflektansi pada spektrum tampak mata (visible). Air


(21)

berlumpur (keruh) mempunyai reflektansi yang lebih besar dibandingkan air yang jernih dan dalam. Konsentrasi klorofil di dalam air akan meningkatkan reflektansi pada spektrum hijau dan infra merah dekat.

Ciri Spektral Tanah

Hampir semua jenis tanah menunjukan reflektansi yang menaik pada selang panjang gelombang 0,40-2,20 µm, dan setelah itu akan menurun. Sifat-sifat yang dominan dalam menentukan reflektansi tanah adalah komposisi kandungan mineral, bahan organik dan kelembaban, sedangkan tekstur (ukuran partikel) dan struktur (agregat) menentukan kekasaran permukaan dan efek bayangan yang terjadi di atas permukaan tanah yang kemudian mempengaruhi reflektansi tanah. Agregat kasar dengan bentuk yang tidak teratur akan membentuk permukaan yang tidak rata dan ruang antar agregat yang banyak. Keadaan ini menyebabkan banyak sinar terserap sehingga reflektansinya menurun.

Gambar 1. Kurva Karakteristik Reflektan dari Objek Tanah, Air, Vegetasi serta posisi Band Spektral Sensor beberapa Jenis Satelit

Ciri Spektral Tanaman

Ada tiga faktor yang menentukan ciri reflektansi tajuk tanaman, yaitu sifat optik dari masing-masing komponen tajuk, morfologi tajuk dan arah pandang dan penyinaran. Hibungan antara sifat agronomi dan ciri spektral tanaman terutama ditentukan oleh geometri tajuk dan sifat optik komponen tajuk. Ukuran yang


(22)

digunakan untuk menyatakan sifat geometri tajuk adalah indeks luas daun, persentase penutupan tanah dan biomassa.

Morfologi tajuk, yaitu susunan geometri daun di dalam ruang bervariasi dengan berubahnya sifat agronomi tanaman (seperti fase pertumbuhan dan indeks luas saun), persentase penutupan tanah, waktu tanam, populasi tanaman, jarak baris, spesies tanaman, sudut datang sinar, sudut pandang dan arah angin. Banyak faktor pembatas yang berakibat berkurangnya luas tajuk jika dilihat secara vertikal. Berkurangnya luas tajuk mengakibatkan meningkatnya sumbangan komponen yang terdapat di bawah tanaman (tanah, air, tanaman lain atau bayangan) terhadap reflektansi spektral pada satuan luas tersebut. Arah baris tanaman juga mempengaruhi tingkat bayangan.

2.3. Pengukuran Biomassa di Lapang

Biomassa pohon merupakan fungsi dari volume kayu, (yakni diperoleh dari diameter dan tinggi) dan kerapatan kayu (berat kering dalam setiap unit volume kayu segar). Kerapatan bervariasi sesuai dengan spesies, cara hidup, dan faktor lingkungan seperti topografi dan kemiringan lahan. Biomassa pohon dapat dihitung dengan metode langsung (pemanenan destruktif) atau metode tidak langsung (model allometrik). Model allometrik diketahui dengan mengukur variabel diameter at breast height (DBH), tinggi total dan kerapatan kayu. Banyak studi menggunakan model allometrik dalam pendugaan biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass/ABG) karena pemanenan pohon bersifat merusak dan membutuhkan biaya yang besar (Vieira et al., 2008).

Terdapat 4 cara utama untuk menghitung biomassa yaitu (a) sampling dengan pemanenan (Destructive sampling) secara in situ; (b) sampling tanpa pemanenan (Non-destructive sampling) dengan data pendataan hutan secara in situ; (c) Pendugaan melalui penginderaan jauh; dan (d) pembuatan model. Untuk masing masing metode di atas, persamaan allometrik digunakan untuk mengekstrapolasi cuplikan data ke area yang lebih luas. Penggunaan persamaan allometrik standard yang telah dipublikasikan sering dilakukan, tetapi karena koefisien persamaan allometrik ini bervariasi untuk setiap lokasi dan spesies, penggunaan persamaan standard ini dapat mengakibatkan galat (error) yang


(23)

signifikan dalam mengestimasikan biomassa suatu vegetasi (Heiskanen, 2006; Australian Greenhouse Office, 1999).

a. Sampling dengan pemanenan

Metode ini dilaksanakan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan termasuk akarnya, mengeringkannya dan menimbang berat biomassanya. Pengukuran dengan metode ini untuk mengukur biomassa hutan dapat dilakukan dengan mengulang beberapa area cuplikan atau melakukan ekstrapolasi untuk area yang lebih luas dengan menggunakan persamaan alometrik. Meskipun metode ini terhitung akurat untuk menghitung biomass pada cakupan area kecil, metode ini terhitung mahal dan sangat memakan waktu.

Prosedur umum untuk membuat estimasi berat dari individu masing-masing pohon yang menjadi bagian dalam pemanenan biomassa (destructive sampling) adalah sebagai berikut: (Hitchcock and McDonnell, 1979):

 Tebang pohon dan pisahkan material yang ada sesuai dengan komponen dari pohon tersebut.

 Bagi dan timbang setiap komponen bagian-demi bagian.

 Ambil subsample dari masing-masing komponen.

 Tentukan volume dari sub sample dengan metode penenggelaman dalam air atau metode lainnya (optional).

 Keringkan dengan oven dan timbang masing-masing sub sample.

 Tetapkan total berat kering dari masing-masing bagian.

 Terapkan faktor kepadatan berat basah dan berat kering untuk setiap komponen.

 Jumlahkan berat masing-masing komponen menjadi berat keseluruhan pohon. Berat basah keseluruhan pohon dan komponen-komponennya dapat dibagi atau dibedakan dengan cara ini atau melalui cara sampling. Membagi berdasarkan kadar air dan berat kering umumya memerlukan proses laboratorium. Metode untuk mengestimasikan berat dan volume semak dan vegetasi lain mengandung prinsip yang sama dengan pengukuran untuk pohon. Variabel bebas untuk fungsi (persamaan) berat kering dalam beberapa kasus dapat pula disamakan seperti tinggi dan densitas vegetasi.


(24)

a. Sampling tanpa pemanenan

Metode ini merupakan cara sampling dengan melakukan pengukuran tanpa melakukan pemanenan. Metode ini antara lain dilakukan dengan mengukur tinggi atau diameter pohon dan menggunakan persamaan alometrik untuk mengekstrapolasi biomassa.

b. Pendugaan melalui Penginderaan Jauh.

Penggunaan teknologi Penginderaan Jauh umumnya tidak dianjurkan terutama untuk proyek-proyek dengan skala kecil. Kendala yang umumnya adalah karena teknologi ini relatif mahal dan secara teknis membutuhkan keahlian tertentu yang mungkin tidak dimiliki oleh pelaksana proyek. Metode ini juga kurang efektif pada daearah aliran sungai, pedesaan atau wanatani (agroforestry) yang berupa mosaik dari berbagai penggunaan lahan dengan persil berukuran kecil (beberapa ha saja). Hasil pengideraan jauh dengan resolusi sedang mungkin sangat bermanfaat untuk membagi area proyek menjadi kelas-kelas vegetasi yang relatif homogen. Hasil pembagian kelas ini menjadi panduan untuk proses survey dan pengambilan data lapangan. Untuk mendapatkan estimasi biomassa dengan tingkat keakuratan yang baik memerlukan hasil Pengideraan Jauh dengan resolusi yang tinggi, tetapi hal ini akan menjadi metode alternatif dengan biaya yang besar. c. Pembuatan model

Model digunakan untuk menghitung estimasi biomassa dengan frekuensi dan intensitas pengamatan insitu atau Penginderaan Jauh yang terbatas. Umumnya, model empiris ini didasarkan pada jaringan dari sample plot yang diukur berulang, yang mempunyai estimasi biomassa yang sudah menyatu atau melalui persamaan allometrik yang mengkonversi volume menjadi biomassa (Australian Greenhouse Office, 1999).

Plot Pengamatan pada Hutan Primer, Hutan Sekunder, Perkebunan, dan Kebun Campuran.

Plot pengukuran dibuat berdasarkan pertimbangan keterwakilan penutupan lahan dan kualitas citra serta aksesibilitas di lapangan. Bentuk plot berupa jalur berpetak dengan ukuran 20 m x 100 m dan setiap petak berukuran 20 m x 20 m


(25)

Tahapan pembuatan plot ialah sebagai berikut:

1) Ditentukan titik awal jalur pengamatan (titik merah pada Gambar 2) lalu diberi patok. Patok dapat berupa pohon atau jatuhan ranting didirikan dan diberi tanda (diikat dengan tali rafia warna cerah). Koordinat titik awal jalur pengamatan ditentukan dengan menggunakan GPS.

2) Ditentukan arah jalur (azimuth) pengamatan menggunakan kompas. Jika lokasi pengamatan berlereng maka azimuth tegak lurus lereng (ke arah puncak), jika lokasi pengamatan datar atau agak datar azimuth tegak lurus dengan sungai atau jalan.

3) Ditarik tali tambang sepanjang 20 meter sebagai searah azimuth yang membagi petak menjadi dua bagian simetris. Batas 20 meter diberi tanda (diikat dengan tali rafia). Koordinat batas 20 meter tersebut ditentukan menggunakan GPS.

4) Ditarik tali tambang atau rafia sepanjang 10 meter ke arah kanan dan kiri (900 dan 2700 dari arah jalur). Kemudian diberi patok batas 10 meter kanan dan kirinya. Dibatasi petak ukuran 1 m x 1m seperti yang disajikan pada Gambar 2, untuk pengamatan biomassa tumbuhan bawah.

Setelah plot selesai dibuat maka dilakukan pengamatan vegetasi penutup lahan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

- Pohon-pohon dengan diameter setinggi dada ≥ 5 cm diberi nomor dengan menggunakan label yang dituliskan nomor pohon.

- Masing-masing pohon tersebut diukur diameter setinggi dada (cm), tinggi total (m), dan tinggi bebas cabang (m).

Gambar 2. Plot pengukuran Biomassa di Hutan Primer, Hutan Sekunder, Perkebunan, dan Kebun


(26)

- Pada plot tumbuhan bawah (1 m x 1 m), diamati dan dihitung jumlah individu tanaman tiap jenis per plot pengamatan. Kemudian dibabat/dipanen habis seluas plot tersebut dan ditimbang menggunakan timbangan. Sebanyak 250 gram dari tumbuhan bawah yang dibabat tersebut dimasukkan ke dalam plastik untuk dibawa.

- Langkah-langkah nomor 1 s.d 3 dilakukan juga pada plot-plot selanjutnya sampai dengan 5 plot (panjang jalur 100 m).

Mangrove

Pembuatan plot pengamatan mangrove dengan ukuran petak 10 m x 10 m sebanyak 5 petak (jalur petak sampai dengan 50 m) seperti yang disajikan pada Gambar 3. Tahapan pembuatan plot pada mangrove sama seperti pada pembuatan plot hutan sekunder, hutan primer, perkebunan dan kebun campuran pada tahap 1 sampai 3. Namun batas pemberian patok sebesar 10 meter kanan dan kirinya.

Semak Belukar, Tegalan, Sawah, dan Rawa

plot pengamatan dengan ukuran petak 1 m x 1 m sebanyak 5 petak (jalur petak sampai dengan 50 m) seperti yang disajikan pada Gambar 4. Tahapan pembuatan plot ialah sebagai berikut:

Gambar 4. Plot pengukuran biomassa di Semak Belukar, Tegalan, Sawah, dan Rawa.

Tahapan pembuatan plot pada mangrove sama seperti pada pembuatan plot hutan sekunder, hutan primer, perkebunan dan kebun campuran pada tahap 1 sampai 3. Pada tahap selanjutnya, Pada plot 1 m x 1 m, diamati dan dihitung


(27)

jumlah individu tanaman tiap jenis per plot pengamatan atau dapat pula dilihat jarak tanam tiap tanaman. Kemudian dipanen tiap jenis tanaman dalam plot tersebut dan ditimbang menggunakan timbangan. Berat biomassa per plot 1 m2 ialah jumlah tanaman (rumpun) dalam 1 m2 dikalikan berat 1 tanaman (rumpun) pewakil.

Analisis Data Biomassa Pohon

Biomasa pohon (dalam berat kering) dihitung menggunakan persamaan alometrik berdasarkan pada diameter batang setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah (dalam cm), dan/atau tinggi pohon, berat jenis kayu, dan lain-lain sesuai dengan persamaan allometrik yang akan digunakan. Tabel 3 berisi daftar sebagian persamaan alometrik yang tersedia dan digunakan dalam mengestimasi biomassa pada berbagai jenis vegetasi.

Tabel 3. Persamaan Alometrik pada Penghitungan Biomassa Pohon.

Jenis pohon Persamaan Alometrik Sumber

Pohon-pohon bercabang B = 0,11�D2,62 Ketterings, 2001 Pohon tidak bercabang B = ( /40) � H D2 Hairiah, 2002 Nekromas (pohon mati) B = ( /40) � H D2 Hairiah, 2002

Kopi B = 0,281 H D2,06 Arifin, 2001; Van Noordwijk, 2002

Pisang B = 0,030 H D2,13 Arifin, 2001; Van Noordwijk, 2002 Sengon B = 0,0272 H D2,811 Sugiarto, 2002; Van Noordwijk, 2002

Palm B = BA*H* � Hairiah, 2000

Keterangan:

B = berat kering (kg pohon) H = tinggi tanaman (cm)

� = kerapatan kayu (Mg m3), kg dm3 atau g cm3

D = diameter (cm) setinggi dada (1,3 m) BA = basal area (cm2)

Dari berat kering komponen penyimpan karbon dalam suatu luasan tertentu kemudian dikonversi ke nilai karbonnya dengan perhitungan sebagai berikut:


(28)

2.4. Indeks Vegetasi

Hubungan antara respon spektral pada spekturm sinar tampak dan infra merah dengan kerapatan vegetasi dapat dijelaskan dengan suatu indeks yang disebut indeks vegetasi (Huete, 1998). Indeks vegetasi merupakan kombinasi matematis antara band merah dan NIR yang telah lama digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi vegetasi ( Lillesand dan Kiefer, 1994).

Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra (biasanya multispektral), untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, leaf area index (LAI), kosentrasi klorofil. Secara praktis, indek vegetasi merupakan suatu transformasi matematis yang melibatkan beberapa band sekaligus dan menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam menyajikan fenomena vegetasi (Danoedoro, 1996).

Indeks vegetasi merupakan persentase pemantulan radiasi matahari oleh permukaan daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Banyaknya konsentrasi yang dikandung oleh suatu permukaan vegetasi, khususnya daun menunjukan tingkat kehijauan vegetasi tersebut (Carolita, 1995).

Schowengerdt (1997) menyebutkan, bentuk sederhana dari indeks vegetasi adalah ratio antara kanal near-infrared dan kanal red, ratio tersebut disebut ratio vegetation index (RVI) dengan kisaran nilai 0 sampai tak terhingga. Jika vegetasi sehat nilai akan tinggi, begitu pula sebaliknya.

NDVI dapat digunakan untuk mengukur kondisi relatif vegetasi, hal ini memungkinkan untuk dapat digunakan dalam menghitung dan memprediksi biomassa, leaf area index (LAI), photosynthetically active radiation (PAR) yang diserap oleh vegetasi (Sader et al. 1998). Nilai NDVI berkisar antara -1 sampai 1, dimana nilai 0 sering digunakan (diasumsikan) sebagai batas pixel yang bervegetasi dan non vegetasi. Nilai yang mewakili vegetasi pada rentanng 0,1 hingga 0,7, diatas nilai ini menggambarkan tingkat kesehatan tutupan vegetasi (Wahyunto et al., 2006).

Indeks vegetasi TNDVI adalah akar kuadrat dari NDVI. TNDVI memiliki koefisien variabel yang lebih tinggi dibandingkan NDVI. Rumus TNDVI selalu


(29)

bernilai positif. TNDVI menunjukan hubungan antara jumlah biomassa hijau yang ditemukan dalam sebuah pixel (Senseman et al., 1996).

2.5. Estimasi Biomassa dengan Pendekatan Indeks Vegetasi

Hubungan antara indeks vegetasi NDVI dan data hasil pengukuran lapangan mampu memberikan informasi tentang biomassa vegetasi (Brown, 1996).

Estimasi biomassa melalui citra Landsat dengan pendekatan indeks vegetasi NDVI, TNDVI, RVI, TRVI dan DVI mampu menggambarkan hubungan antara nilai spektral dengan biomassa pada areal hutan tanaman industri. Namun dari kelima indeks vegetasi tersebut hanya indeks vegetasi TNDVI dan NDVI memiliki korelasi yang lebih tinggi dengan biomassa dibandingkan indeks vegetasi RVI, TRVI dan DVI yang dinilai dari besarnya nilai R dari persamaan yang dihasilkan yaitu sebesar 89%, sehingga indeks vegetasi TNDVI dan NDVI merupakan indeks vegetasi yang paling baik digunakan untuk mengestimasi biomassa (Orientasari, 2005).

(Ardiansyah et al., 2005) menjelaskan bahwa hubungan antara indeks vegetasi NDVI dengan biomassa tegakan bersifat non-linear dan berdasarkan nilai koefisien determinasinya untuk kedua tegakan Acacia mangium dan crassicarpa dengan nilai R² ≥ 0.8.

Budi (2000) memperoleh model hubungan terbaik antara biomassa dengan indeks vegetasi pada beberapa indeks vegetasi untuk menduga biomassa mangrove pada citra Landsat adalah model hubungan antara biomassa dan infrared index. Nilai infrared index lebih mampu menerangkan biomassa mangrove Segara Anakan, Cilacap dibandingkan nilai indeks NDVI dan IM (Indeks Mangrove).


(30)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Tempat Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Ibu kota kabupaten ini terletak di Pasangkayu. Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 5. Peta Lokasi Kabupaten Mamuju Utara.

KAB. MAMUJU

KAB. DONGGALA

SULTENG

KAB. MAMUJU SELAT

MAKASAR

KAB. PALU SULTENG


(31)

3.2. Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat Kabupaten Mamuju Utara, Paser, Flores dan Tabalong tahun 2010, Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar 2014-63 Gimpubia, 2014-52 Marthasari, 2014-54 Pasangkayu, 2014-33 Banggaiba tahun 1991, skala 1:50000. Alat yang digunakan berupa seperangkat komputer yang dilengkapi dengan beberapa software seperti yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Software yang Digunakan Dalam Penelitian

No. Software Fungsi

1. Arc View 3.3 Digitasi, Query

2. Arc GIS Koreksi geometri

3. ERDAS Imagine 9.2 Mosaic, Transformasi Indeks Vegetasi, Pemotongan citra (cropping), Layout 4. ENVI 4.5 Membuat titik ROI (Region of Interest),

Menghitung nilai statistik pada titik ROI 5. Microsoft Excel Pengolahan data statistik

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu persiapan, pengumpulan data dan analisis data. Secara ringkas tahapan penelitian disajikan pada Gambar 6.

3.3.1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan meliputi penentuan lokasi penelitian dan studi literatur. Penentuan lokasi penelitian dilakukan pada Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Studi literatur merupakan tahap studi pustaka mengenai topik penelitian.

3.3.2. Tahap Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini hanya dilakukan pengumpulan data sekunder, yang berupa data biomassa lapang. Data biomassa lapang ini bersumber dari KLH, 2010, dimana jumlah sampel yang diambil sebanyak 43 yang menyebar pada 4 Kabupaten yaitu Kabupaten Mamuju Utara, Paser, Tabalong dan Flores, seperti yang disajikan pada Tabel 5.


(32)

Tabel 5. Jumlah Sampel Biomassa Lapang Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong.

Penutupan Lahan

Kabupaten

Jumlah Flores Timur Mamuju Utara Paser Tabalong

Hutan Primer (Hp) 1 2 1 - 4

Hutan Sekunder (Hs) 3 - 1 1 5

Perkebunan (Kb) - 2 1 2 5

Kebun Campuran (Kc) 2 2 1 1 6

Mangrove (Mgv) 2 2 1 - 5

Rawa (Rw) 1 1 1 1 4

Semak Belukar (Sb) 2 - 1 2 5

Savana (Svn) 1 - - - 1

Sawah (Sw) - - 1 2 3

Tegalan (Tg) 1 1 1 2 5

Total 13 10 9 11 43

Gambar 6. Diagram Alir Penelitian

Peta penutupan lahan KLH, 2010

Citra Landsat Mamuju Utara, 2010

Citra Landsat Paser, Flores, Tabalong Reinterpretasi Peta penutupan lahan Kabupaten Mamuju Utara Pengambilan RoI

Perhitungan nilai statistik dengan sampel (10x10) pixel (median,rata-rata)

Model hubungan antara Biomassa atas permukaan lapang dengan indeks vegetasi

GCP -Mamuju Utara -Paser -Flores -Tabalong Hasil pengukuran Biomasssa lapang atas permukaan Pengambilan RoI berdasarkan Landuse

1. Analisis model hubungan indeks vegetasi berdasarkan nilai R².

2. Estimasi biomassa atas permukaan pada berbagai tipe penutupan lahan.

Dengan membedakan vegetasi alami dan non alami

Indeks Vegetasi


(33)

3.3.3. Tahap Analisis

Koreksi Geometri dilakukan untuk memperbaiki distorsi geometrik sehingga diperoleh citra dengan sistem proyeksi dan koordinat yang sama. Peta RBI Bakosurtanal skala 1:25000 digunakan sebagai peta referensi.

Interpretasi penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan peta penutupan lahan yang bersumber dari KLH, 2010, karena masih di jumpai beberapa lokasi yang batas penutupan lahannya kurang sesuai dengan kenampakannya di citra. Interpretasi dilakukan secara visual dengan pendekatan kunci interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona, tekstur, dan situs.

Transformasi indeks vegetasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kerapatan kanopi. Indeks vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah NDVI, TNDVI, RVI, TRVI dan DVI. Sedangkan rumus masing-masing indeks vegetasi disajikan pada tabel 6:

Tabel 6. Formula Indeks Vegetasi

Keterangan:

NIR = nilai digital pada citra kanal inframerah dekat (kanal 4) Red = nilai digital pada citra kanal merah (kanal 3)

Model hubungan antara biomassa atas permukaan lapang dengan indeks vegetasidiawali dengan pengambilan sampel nilai DN (Digital Number). Pengambilan nilai DN diperoleh melalui nilai respon langsung spektral citra Landsat yang diperoleh dengan proses ekstraksi langsung nilai digital dengan melakukan transformasi indeks vegetasi. Pengambilan nilai DN dilakukan dengan dua cara yaitu:

No Formula Tipe indeks vegetasi Rumus Sumber 1 NDVI Normalized Diferrent

Vegetation Index

(NIR-Red)/(NIR+Red) Deering et. al, 1975 2 TNDVI Transformed Normalized

Diferrent Vegetation Index NIR−Red

NIR + Red + 0,5

Deering et. al, 1975

3 RVI Ratio Vegetation Index NIR

Red

Rouse et. al, 1974 4 TRVI Transformed Ratio Vegetation

Index NIR

Red


(34)

1) Pengambilan sampel nilai pixel citra Landsat yang dilakukan berdasarkan pada lokasi sampel lapang (GPS) pada 4 Kabupaten (Flores Timur, Mamuju Utara, Paser, Tabalong) dengan ukuran sampel (10x10) pixel yang kemudian dihitung nilai rata-rata dan median. Nilai pixel (rata-rata dan median) masing-masing dikorelasikan dengan nilai biomassa lapang untuk memperoleh model hubungan antara biomassa lapang dengan rata-rata dan median. Keluaran dari tahapan beberapa model hubungan antara biomassa lapang dengan masing-masing indeks vegetasi yang selanjutnya dipilih model yang memiliki R² tinggi untuk setiap penutupan lahan. Jika nilai koefisien mendekati satu (R=1), artinya hubungan antara dua variabel itu kuat (Lu et al.,2002). Nilai R² ini menunjukkan presentase besarnya variabilitas dalam data yang dijelaskan oleh model regresi. Model regresi yang memiliki nilai R² terbaik selanjutnya akan digunakan untuk mengestimasi biomassa pada Kabupaten Mamuju Utara.

2) Pengambilan sampel nilai pixel citra Landsat yang dilakukan berdasarkan pada variasi kondisi penutupan lahan yang ditunjukan dengan warna yang berbeda. Ukuran sampel setiap kondisi penutupan lahan (10x10) pixel yang kemudian dihitung nilai rata-rata dan median. Nilai rata-rata dan median untuk setiap penutupan lahan digunakan untuk mengestimasi biomassa setiap penutupan lahan dengan mendasarkan pada model yang terpilih. Pengambilan sampel ini hanya dilakukan di citra Kabupaten Mamuju Utara untuk estimasi jumlah biomassa permukaan di Kabupaten Mamuju Utara. Adapun ilustrasi pengambilan sampel pada citra disajikan pada Gambar 6.

Gambar 7. Contoh Ilustrasi Pengambilan Sampel Berdasarkan Warna di Penutupan Hutan primer (Hp) Kabupaten Mamuju Utara

Hp 1 Hp 2

Rata-Rata


(35)

Estimasi biomassa atas permukaan Kabupaten Mamuju Utara

Estimasi biomassa atas permukaan Kabupaten Mamuju Utara dicari melalui hubungan matematis terbaik antara biomassa pengukuran lapang dengan indeks vegetasi pada masing-masing parameter rata-rata dan median dengan menggunakan analisis regresi. Analisis regresi yang diperoleh dengan model persamaan:

Y = axb

dimana :

Y = Kandungan biomassa di atas permukaan a,b = Parameter


(36)

IV. KONDISI UMUM

KABUPATEN MAMUJU UTARA

4.1.Letak Geografis

Kabupaten Mamuju Utara terletak di bagian utara Provinsi Sulawesi Barat atau pada bagian barat dari Pulau Sulawesi Ibu kota kabupaten ini terletak di Pasangkayu. Kabupaten Mamuju Utara merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Mamuju yang terletak 719 km dari Makassar. Secara geografis terletak pada posisi:

 0° 40’ 10” –10° 50’ 12” Lintang Selatan

 119° 25’26” –119° 50’ 20” Bujur Timurdari Jakarta, (0° 0’ 0” Jakarta = 160° 48’ 28” Bujur Timur Green Wich).

Kabupaten Mamuju Utara dibatasi oleh :

 Utara : Kabupaten Donggala;

 Timur : Kabupaten Luwu Utara;

 Selatan : Kabupaten Mamuju;

 Barat : Selat Makasar.


(37)

Kabupaten Mamuju Utara dengan luas wilayah 304.375 Ha yang secara administrasi kepemerintahan pada tahun 2007 terbagi atas 11 kecamatan, terdiri dari 63 desa. Kecamatan Baras merupakan kecamatan terluas yaitu 53.631 Ha atau 17,62% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Mamuju Utara, sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Pedongga yaitu 3.011 Ha (0,69%).

Jarak antara kecamatan dengan ibukota kabupaten yang paling jauh adalah Kecamatan Duripoku dengan ibukota Tammarunang yang berjarak sekitar 101 km dari Pasangkayu, sedangkan kecamatan yang terdekat adalah Kecamatan Pedongga yang beribukota di Malei yang berjarak sekitar 15 km dari Pasangkayu.

4.2.Penutupan Lahan

Secara umum wilayah di Kabupaten Mamuju Utara di dominasi oleh penggunaan lahan untuk perkebunan yang terdiri dari perkebunan ke coklat, jeruk dan kelapa dalam. Selain untuk perkebunan seluas 133.197 ha atau 43,76% dari luas wilayah kabupaten Mamuju Utara, sebagian kecil lahan digunakan untuk persawahan seluas 1.211 ha atau 0.40%, pemukiman seluas 2.315 ha atau 0,76%, dan sebagai lahan tambak seluas 1.281 ha atau 0,42%. Meskipun demikian sampai saat ini masih terdapat wilayah hutan yang cukup luas, yang meliputi area seluas 165.187 wilayah Kabupaten Mamuju Utara.

4.3.Penduduk

Kabupaten ini berpenduduk 100.227 jiwa dimana 53.153 adalah laki-laki dan sisanya 47.074 jiwa adalah wanita. Populasi tersebut tersebar di 4 kecamatan dengan total luas wilayah 304.375 Km².

Jumlah penduduk Mamuju Utara pada pada Tahun 2006, 2007 dan 2008 berturut-turut adalah 110 446 jiwa, 130 991 jiwa dan 143 163 jiwa (Mamuju Utara dalam Angka, 2009). Jumlah penduduk mengalami peningkatan sejalan dengan waktu. Pada Tabel 7 nampak bahwa beberapa kecamatan baru dibentuk menjelang 2008 karena adanya pemekaran daerah, sehingga pada Tahun 2006 dan 2007 tidak ada penduduknya.


(38)

Tabel 7. Jumlah Penduduk pada Setiap Kecamatan Pada Tahun 2006. 2007 dan 2008

Kecamatan Tahun - Year

District 2006 2007 2008

Sarundu 22.208 30.209 13.307

Dapurang - - 15.522

Duripoku - - 7.274

Baras 28.924 34.179 16.335

Bulu Taba - - 13.886

Lariang - - 7.136

Pasangkayu 32.163 35.978 18.394

Tikke Raya - - 12.452

Pedongga - - 6.580

Bambalamotu 27.251 30.625 16.507

Bambaira - - 8.987

Sarjo - - 6.783

Jumlah/total 110.546 130.991 143.163

Secara keseluruhan, jumlah penduduk paling besar berada pada kelompok umur 5-9 tahun yaitu sebesar 12.315 jiwa. Jenis kelamin dari penduduk Mamuju Utara lebih besar laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari rasio jenis kelamin masing-masing kecamatan yang mempunyai nilai lebih dari 100.

Pada Tahun 2008 penduduk Mamuju Utara tertinggi berada di Kecamatan Pasangkayu yaitu sebesar 18.394 jiwa, sedangkan kecamatan yang paling sedikit penduduknya adalah Kecamatan Pedongga yaitu 6 580 jiwa. Namun demikian, kecamatan kepadatan penduduk sebesar 25,27 jiwa per km2. Sementara kepadatan penduduk Kecamatan Pasangkayu sendiri sebesar 82,56 jiwa per km2.dengan kepadatan penduduk paling tinggi adalah Kecamatan Sarjo dengan kepadatan penduduk sebesar 25,27 jiwa per km². Sementara kepadatan penduduk Kecamatan Pasangkayu sendiri sebesar 82,56 jiwa per km².


(39)

PEMBAHASAN

5.1. Interpretasi penutupan lahan Mamuju Utara tahun 2010

Peta penutupan lahan bersumber dari (KLH, 2010), namun pada beberapa lokasi dijumpai ketidaktepatan koreksi geometri dan deleniasi penggunaan lahan sehingga dilakukan perbaikan interpretasi pada lokasi tersebut. Beberapa ketidaktepatan kenampakan objek di citra dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Contoh Batas Objek yang Belum Diperbaiki (merah) dan Sudah Diperbaiki (hitam) pada (a & d) Tubuh Air, (b) Kebun Campuran, (c) Hutan.

Dalam interpretasi penutupan dari citra Landsat digunakan kombinasi band 543 (RGB). Kombinasi band tersebut dipilih karena memiliki kekontrasan yang tinggi sehingga memudahkan untuk membedakan penutupan lahan. karakteristik kenampakan kelas penutupan lahan pada citra Landsat yang terdapat di Kabupaten Mamuju Utara disajikan pada Gambar 10.

(a) (b)


(40)

Kebun campuran (kc) Hutan primer (hp) Perkebunan (kb) Mangrove (mgv)

Semak belukar (sb) Tubuh air (Ta) Tegalan (Tg) Tambak/empang (Tmb)

Tanah Terbuka (Tnb) Rawa (Rw) Sawah (Sw) Pemukiman (Pmk) Gambar 10. Kenampakan Penutupan Lahan pada Citra Landsat Kabupaten

Mamuju Utara, 2010.

Hutan primer (Hp) memiliki pola dengan bentuk bergerombol, ukurannya luas, berwarna hijau tua sampai gelap dengan tekstur relatif kasar. Hutan primer tersusun oleh vegetasi yang rapat sehingga kanopi antar vegetasi saling menutupi dan tersusun dari vegetasi dengan ketinggian yang lebih rendah (stara kedua) yang berupa tanaman berkayu, tanaman bawah yang berupa semak belukar dan didominasi oleh pohon Gmenia, Eukaliptus. Hutan Primer merupakan jenis penggunaan lahan yang mendominasi di Kabupaten Mamuju Utara yaitu ± 50%. (KLH, 2010).

Kebun campuran (Kc), dibandingkan dengan hutan, kenampakan kebun campuran pada citra Landsat lebih berwarna terang dengan tekstur relatif kasar dan polanya bergerombol atau berdekatan dengan pemukiman atau mengikuti jalur aliran sungai. Pada Kabupaten Mamuju Utara kebun campuran didominasi oleh tanaman ketapang, pisang, angsana dan coklat. Dalam kawasan kebun campuran juga dijumpai tanaman bawah yang berupa rumput dan dibeberapa lokasi nampak adanya semak belukar (KLH, 2010).

Kc Hp Kb Mgv

Sb

Ta

Tg

Tmb

Tnb

Rw Sw


(41)

Perkebunan (Kb) sawit memiliki karakter bentuk dan pola bergerombol hingga menyebar dengan tekstur halus dan berwarna hijau muda. Perkebunan sawit terletak diantara hutan dan lahan-lahan terbuka, terkadang bercampur dengan kawasan permukiman (KLH, 2010). Umur kelapa sawit memberikan warna serta ukuran kanopi yang berbeda. Pada umumnya, kelapa sawit dengan umur muda memiliki kanopi lebih kecil dan berwarna hijau muda dibandingkan dengan kelapa sawit yang tua. Fenomena tersebut akan berpengaruh terhadap nilai reflektan pada citra Landsat.

Tegalan/Ladang (Tg) memiliki warna terang dan tekstur kasar, pola yang menyebar, bentuk tidak beraturan. Tegalan/ladang didominasi oleh tanaman pangan seperti singkong dan jagung. Tanaman bawah pada kawasan tegalan/ladang relatif lebih jarang dan di beberapa lokasi dijumpai tanah tanpa vegetasi (KLH, 2010).

Rawa (Rw) memiliki pola yang tidak teratur, warna bercak gelap kebiruan. Di Kabupaten Mamuju Utara rawa berupa lahan yang sedikit tergenang dan dijumpai tanaman rawa yang berupa tanaman liar serta dijumpai tanaman lain seperti kelapa dengan jarak yang lebar (KLH, 2010).

Mangrove (Mgv) memiliki pola yang tidak teratur dan bergerombol, warna yang gelap kebiruan dan berada dekat pantai. Mangrove merupakan hutan bakau, nipah dan nibung yang berada disekitar pantai didominasi oleh jenis vegetasi bakau (Rhizophora sp) dan api-api (Avecinia sp). Mangrove merupakan vegetasi hutan yang tumbuh diatas garis pasang dan surut, tetapi juga dapat tumbuh pada pantai karang, dataran koral mati yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur (Darsidi, 1986). Kondisi mangrove bervariasi antara mangrove yang masih kecil (baru ditanam), mangrove yang tua dengan kanopi yang cukup lebar dan mangrove yang telah ditebang. Pada beberapa lokasi, hutan mangrove berada lebih ke pedalaman (KLH, 2010).

Tambak/empang (Tmb), Kenampakan tambak/empang pada citra Landsat memiliki pola berpetak-petak berwarna biru kehitaman gelap. Tambak/empang berupa petakan yang berisi air payau sebagai tempat pemeliharaan ikan, udang. Tambak/empang terletak didekat pantai karena kebutuhan suplay air laut dengan pembatasnya berupa galengan (KLH, 2010).


(42)

Tubuh air (A) berwarna biru dan memiliki pola yang berkelok-kelok (meander) pada sungai. Tubuh air dominan berupa genangan kecil yang menyebar dibeberapa lokasi.

Semak belukar (Sb) bentuk tidak teratur, berwarna hijau agak terang, pola teratur, terdapat diantara perkebunan dan hutan ada juga yang berbentuk spot. Semak belukar merupakan kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengn liputan pohon jarang atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (KLH, 2010).

Tanah terbuka (Tnb) mempunyai bentuk dan pola yang menyebar di antara hutan, semak belukar dan perkebunan dan memiliki warna merah jambu. Tanah terbuka merupakan kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi.

Pemukiman(Pmk) memiliki pola yang rapat, tekstur halus sampai kasar, warna magenta, ungu kemerahan dan dekat dengan areal perkebunan. Pemukiman meliputi perkotaan, pedesaan dan industri.

Sawah (Sw) memiliki pola yang berpetak-petak yang umumnya berada pada daerah yang datar dan rona yang gelap/tergenang. Sawah merupakan lahan pertanian yang secara fisik berpermukaan rata, dibatasi oleh pematang, serta dapat ditanami padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya.


(43)

5.2.Penutupan Lahan Mamuju Utara Tahun 2010

Kelas penutupan lahan setelah dilakukan revisi mengalami penambahan dari 9 kelas menjadi 12. Penambahan kelas penutupan lahan dan luas dari masing-masing tipe penutupan lahan sebelum dan sesudah revisi disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luas Penutupan Lahan Kabupaten Mamuju, 2010

Penutupan Lahan KLH (sebelum revisi)

% Penutupan Lahan (setelah revisi) %

Nama Kode Luas (ha) Nama Kode Luas (ha)

Hutan Primer Hp 149229,1 50 Hutan Primer Hp 151318 49

Kebun Campuran Kc 60315,7 20 Kebun Campuran Kc 41055 16

Perkebunan Kb 56997,8 19 Perkebunan Kb 40386 13

Mangrove Mgv 289,5 1 Mangrove Mgv 1240 0

Rawa Rw 1208,3 1 Rawa Rw 1641 1

Tambak/Empang Tmb 6579,8 2 Tambak/Empang Tmb 5082 2

Tanah Terbuka Ta 21,1 1 Tanah Terbuka Ta 399,5 0

Tegalan/Ladang Tg 21098,6 7 Tegalan/Ladang Tg 21598 7

Tubuh Air A 2244,8 0 Tubuh Air A 5167 3

Semak Belukar Sb 27681,2 8

Sawah Sw 182 0

Pemukiman Pmk 2235 1

Jumlah 9 297984,7 100 12 297984,7 100

Penutupan lahan setelah revisi dikelompokan menjadi 12 kelas yaitu hutan primer (hp), kebun campuran (kc), mangrove (mgv), perkebunan (kb), rawa (rw), tambak/empang (tmb), tanah terbuka (ta), tegalan (tg), dan tubuh air (ta). Sedangkan penambahannya adalah semak belukar (sb), sawah (sw) dan pemukiman (pmk).

Hutan primer, kebun campuran dan perkebunan memiliki urutan persentase luas penutupan lahan dalam kelompok tiga besar baik pada peta penutupan lahan sebelum revisi maupun sesudah revisi. Namun pada peta penutupan lahan sebelum revisi, dimana tegalan berada diurutan ke empat dengan

persentase 7%, sedangkan penutupan lahan yang lain relatif kecil yaitu ≤ 2%.

Sementara setelah revisi, semak belukar dan tegalan berada pada urutan empat dan lima yang masing-masing sebesar 8% dan 7% sedang penutupan lahan lain


(44)

Gambar 11. Peta Penutupan Lahan Kabupaten Mamuju Utara Tahun 2010 Pada peta penutupan lahan nampak bahwa penutupan lahan hutan primer mendominasi di Kabupaten Mamuju Utara, tepatnya dibagian timur Kecamatan Dapurang, Duri Poku, Baras, Bulu Taba dan Kecamatan Bambalamotu. Penutupan lahan dominan kedua ditempati oleh perkebunan sawit yang hampir menyebar merata dari bagian utara sampai bagian selatan di Kecamatan Pasangkayu, Pedongga dan Baras. Kebun campuran tersebar pada bagian utara dan selatan tepatnya pada Kecamatan Sarudu dan Kecamatan Bambaira. Pemukiman mendominasi pada kawasan dekat perkebunan. Namun penyebaran


(45)

mangrove hanya terdapat pada kawasan yang berapa dekat laut atau pantai. Sedangkan semak belukar dan tegalan menyebar secara acak.

5.3. Karakteristik Biomassa Atas Permukaan Hasil Pengukuran Lapang Pada Masing-Masing Penutupan Lahan di Lokasi Sampel

Biomassa atas permukaan hasil pengukuran lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong yang bersumber dari (KLH, 2010) disajikan pada tabel 9:

Tabel 9. Karakteristik Biomassa Atas Permukaan Hasil Pengukuran Lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong

No Koordinat

Sampel Kabupaten Biomassa (kg)/ha Biomassa (ton)/ha Rataan Biomassa (ton)/ha

X Y

1 103,9 -2,25 Hp Paser 85.761,30 85,76

181,0 2 119,51 -1,72 Hp 01 Mamuju Utara 302.273,80 302,27

3 122,99 -8,3 Hp 02 Flores Timur 84.391,00 84,39 4 119,58 -1,12 Hp 02 Mamuju Utara 251.565,70 251,57 5 115,57 -1,8 Hs Tabalong 92.047,60 92,05

85,5 6 103,91 -1,80 Hs 01 Paser 39.371,20 39,37

7 122,89 -8,3 Hs 02 Flores Timur 66.644,50 66,64 8 122,68 -8,5 Hs 03 Flores Timur 144.080,30 144,08 9 104,10 -2,14 Kb Paser 134.306,30 134,31

283,6 10 119,38 -1,3 Kb 01 Mamuju Utara 584.047,00 584,05

11 115,56 -2,1 Kb I Tabalong 132.329,10 132,33 12 103,72 -1,67 Kc Paser 9.196,20 9,20

145,0 13 115,66 -1,79 Kc Tabalong 125.237,00 125,24

14 123,23 -8,3 Kc 01 Flores Timur 506.444,40 506,44 15 119,47 -1,06 Kc 01 Mamuju Utara 37.783,30 37,78 16 122,71 -8,6 Kc 02 Flores Timur 107.856,60 107,86 17 119,39 -1,16 Kc 02 Mamuju Utara 83.424,00 83,42 18 104,21 -1,80 Mgv Paser 5.598,20 5,60

72,7 19 123 -8,3 Mgv 01 Flores Timur 44.122,40 44,12

20 122,79 -8,4 Mgv 02 Flores Timur 135.014,50 135,01 21 119,29 -1,45 Mgv 02 Mamuju Utara 105.882,90 105,88 22 122,78 -8,4 Rw Flores Timur 21.265,60 21,27

12,2 23 119,36 -1,19 Rw Mamuju Utara 11.079,60 11,08

24 104,25 -1,81 Rw Paser 4.174,00 4,17 25 103,82 -1,79 Sb Paser 2.840,80 2,84

5,2 26 115,44 -2,14 Sb I Tabalong 10.418,30 10,42

27 115,44 -2,15 Sb II Tabalong 2.247,50 2,25

28 123,06 -8,4 Svn Flores Timur 9.730,20 9,73 9,7 29 104,39 -1,54 Sw Paser 4.500,00 4,50

2,3 30 115,62 -2,07 Sw I Tabalong 151,4 0,15

31 123,01 -8,3 Tg Flores Timur 68.029,10 68,03

25,1 32 104,11 -2,26 Tg Paser 2.136,80 2,14

33 115,56 -2,01 Tg I Tabalong 18.505,50 18,51 34 115,57 -2 Tg II Tabalong 11.623,40 11,62


(46)

Berdasarkan Tabel 9, dapat diketahui bahwa biomassa atas permukaan hasil pengukuran lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong diperoleh berdasarkan kelas penutupan lahan hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, kebun campuran, mangrove, tegalan, rawa, savana, semak belukar, dan sawah.

Urutan rataan biomassa atas permukaan pada berbagai penutupan lahan dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah perkebunan dengan total rata-rata biomassa sebesar 283,6 ton/ha, hutan primer memiliki total rata-rata biomassa terbesar kedua yaitu sebesar 181,0 ton/ha, sedangkan kebun campuran dengan jumlah rata-rata sebesar 145,0 ton/ha, hutan sekunder memiliki total biomassa terbesar ke empat sebesar 85,5 ton/ha, sedangkan mangrove, tegalan, rawa, savana, semak belukar dan sawah berturut-turut adalah 72,7 ton/ha, 25,1 ton/ha, 12,2 ton/ha, 9,7 ton/ha, 5,2 ton/ha, 2,3 ton/ha.

Urutan rata-rata biomassa hasil pengukuran lapang hutan primer, hutan sekunder, perkebunan dan kebun campuran memiliki jumlah estimasi biomassa dalam kelompok 4 besar dibandingkan penutupan lahan lainnya. Hal ini berkaitan dengan umur tanaman yang mempengaruhi tempat penyimpanan biomassa. Lebih Lanjut Hairiah dan Rahayu (2007) mengatakan, tumbuhan atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan biomassa yang jauh lebih besar dari pada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan biomassa tertinggi (baik diatas maupun di dalam tanah).

Pada hutan, perolehan rataan biomassa di hutan primer jauh lebih besar 181 ton/ha, dibandingkan hutan sekunder 85,5 ton/ha. Hal ini serupa dengan pernyataan Kementerian Kehutanan pada laporan cadangan karbon berbagai tipe hutan, bahwa hutan primer mampu menyimpan biomassa dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan hutan sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap tegakannya sehingga memiliki kerapatan kayu yang rendah dibandingkan hutan primer.

Jumlah biomassa tersimpan pada setiap penutupan lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanah serta


(47)

cara pengelolaannya. Misalnya pada kawasan perkebunan dimana areal tersebut merupakan suatu kawasan yang intensif dalam pengelolaannya sehingga biomassa pada perkebunan relatif lebih besar dibandingkan dengan kebun campuran, tegalan, dan semak belukar. Penyimpanan karbon suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah karbon tersimpan di atas tanah (biomassa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah karbon tersimpan di dalam tanah (bahan organik tanah, BOT) (Hairiah dan Rahayu, 2007).

(Rahayu, S et al., 2007) menyatakan bahwa perbedaan perolehan biomassa dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi dan keragaman ukuran diameternya, dimana penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah. Hasil perolehan nilai kerapatan kayu untuk spesies yang ditemukan pada berbagai sistem penggunaan lahan di Kabupaten Nunukan, hutan primer mempunyai presentase spesies dengan kerapatan kayu berat hingga sangat berat sekitar 42%, hutan bekas tebangan 32%, agroforestri 11% dan jakaw 19%. Sedangkan pada keragaman ukuran diameter, keberadaan pohon dengan diameter > 30 cm pada suatu sistem penggunaan lahan, memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap total cadangan karbon. Pada hutanprimer 70% dari total biomasa berasal dari pohon yang berdiameter > 30 cm, sedangkan pohon yang berdiameter antara 5-30 cm hanya sekitar 30%.

5.4. Simpanan Biomassa Berbagai Penutupan Lahan

Simpanan biomassa di pohon berbeda-beda. Biomasa terbesar sekitar (68,08-82,28) % terdapat di batang, di daun terdapat (4,17-14,44) %, di ranting terdapat (6,16-10,32) % serta (7,15-7,45) % terdapat di cabang (Widyasari 2010). Simpanan Biomassa Berbagai Penutupan Lahan dalam hal ini dikelompokan menjadi 4 yaitu simpanan biomassa di kawasan hutan alam, hutan tanaman, agroforestri, dan kawasan non hutan. Pola jumlah biomassa masing-masing penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 12.


(48)

Gambar 12. Grafik Simpanan Biomassa Atas Permukaan Pada Berbagai Penutupan Lahan yang Diperoleh dari Berbagai Sumber, seperti yang di sajikan pada Lampiran 2 s/d 5.

N o n H u t a n a g r o f o r e s t r y H u t a n t a n a m a n H u t a n A l a m Biomassa 0 100 200 300 400 500 600 B io m assa (t o n /h a)


(49)

5.4.1. Simpanan Biomassa pada Kawasan Hutan Alam

Kawasan hutan alam terdiri dari: hutan dipterokarpa, hutan lindung, hutan sekunder bekas kebakaran hutan, hutan mangrove sekunder, hutan bekas tebangan, hutan alam primer dataran tinggi dan rendah, hutan sekunder dataran tinggi dan rendah, hutan gambut dan hutan gambut bekas tebangan.

Hutan alam memiliki pola yang relatif seragam dibandingkan yang lainnya. Simpanan biomassa pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam berkisar antara (78,96-528,4) ton/ha. Simpanan biomassa terendah terdapat pada hutan sekunder dataran tinggi sedangkan simpanan biomassa tertinggi terdapat pada hutan alam dipterokarpa, seperti tercantum pada Lampiran 2. Secara umum pada hutan lahan kering primer mampu menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan hutan lahan kering sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap tegakannya. Kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan yang menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap kemampuannya menyimpan karbon. Pola tersebut juga terjadi pada hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder. Selanjutnya pada hutan lahan kering relatif memiliki kemampuan menyimpan biomassa dalam jumlah lebih besar daripada hutan rawa dan mangrove karena kemampuannya dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter besar sebagai tempat menyimpan karbon.

5.4.2. Simpanan Biomassa pada Kawasan Hutan Tanaman

Simpanan biomassa untuk berbagai jenis pohon dan umur di hutan tanaman tercantum pada Lampiran 3 yang berkisar antara 71,4–561,78 ton/ha. Dimana pola terendah terdapat pada Hutan tanaman Peronema canescensdan dan pola tertinggi terdapat pada Hutan tanaman Acacia mangium.

Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan biomassa lebih rendah dibandingkan hutan alam. Pada hutan tanaman didominasi oleh tanaman yang cenderung monokultur dan tanaman berumur muda. Apabila dilihat dari produktivitasnya menyimpan biomassa (persatuan luas dan per satuan waktu) maka ada kemungkinan hutan tanaman akan memiliki kemampuan menyimpan


(50)

karbon pada tegakannya dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan di hutan alam karena daurnya lebih pendek.

Pada Gambar 12 terlihat bahwa pola simpanan biomassa bervariasi, hal ini disebabkan karena perbedaan umur yang bervariasi pada masing-masing jenis tanaman. Simpanan biomassa cenderung semakin besar dengan meningkatnya umur tanaman. Hutan tanaman yang memiliki simpanan biomassa yang relatif besar, umumnya terdapat pada hutan tanaman cepat tumbuh yaitu jenis tanaman Acacia dan hutan tanaman lambat tumbuh yang memiliki simpanan biomassa tinggi adalah jenis tanaman Shorea. Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan biomassa tersebut akan dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang ditanam, kondisi tempat tumbuh dan teknik silvikultur atau intensitas pemeliharannya.

Hutan tanaman untuk jenis-jenis pohon berdaur panjang seperti kemiri, agathis, shorea rasamala dan pinus memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah relatif sama dengan tegakan yang hidup di hutan alam. Jenis pohon daur pendek dihutan tanaman yang memiliki prospek menyimpan karbon dalam jumlah besar diantaranya adalah sengon dan Acacia crassicarpa, pohon tersebut termasuk ke dalam jenis pionir dan cepat tumbuh.

5.4.3. Simpanan Biomassa pada Hutan Rakyat dan Tegakan agroforestri

Simpanan biomassa pada hutan rakyat terdiri dari pohon jati, pohon Afrika (Maesopsis eminii), tanaman buah-buahan: rambutan (Nephelium lappaceum) dan non pohon (kopi (Coffea app)). Adapun beberapa tipe tegakan agroforestri adalah: agroforestri pola tegakan murni, pola kebun campuran, tipe agroforestri tanaman kopi agroforestri tegakan murni dan agroforestri kebun campuran. Kisaran biomassa pada hutan rakyat dan tegakan agroforestri sebesar (4-384,66) ton/ha. Sedangkan simpanan biomassa dominan berkisar antara (30-140) ton/ha. Nilai terendah terdapat pada tanaman kopi agroforestri kebun campuran dan nilai tertinggi terdapat pada tegakan pohon Afrika (Maesopsis eminii). Hal tersebut dipengaruhi karena tegakan pada pohon yang terbentuk. Pohon afrika memiliki tegakan yang mampu menyimpan biomassa dalam jumlah yang banyak dibandingkan pada tanaman kopi agroforestri kebun campuran.


(1)

10 Hutan Tanamn Acacia crassicarpa (HTI PT. Sebangun Bumi Andalas Woodbased Industries)

Metode konversi biomassa: rata-rata potensi serapan biomassa menurut kelas umur (1-8 th) dari bagian akar, batang, cabang dan daun: 128,28 ton/ha

Adiriono (2009) Persamaan allometrik untuk pendugaan biomassa dan pendugaan karbon:

1. Hubungan Dbh dengan biomassa pohon, model berbentuk power dengan persamaan WT=0,165D2,399 2. Hubungan Dbh dengan karbon pohon (metode konversi biomassa), model berbentuk power dengan persamaan CT=0,083D2,399

Model hubungan allometrik antara Dbh dengan simpanan karbon masing-masing komponen pohon dan total pohon: Karbon akar: CR=0,012D2,415

Karbon batang: CS=0,009D2,997

Karbon cabang: CB=0,067D1,810 Karbon Daun: CL=0,200D1,154 Karbon pohon: CT=0,08D2,339

Persamaan allometrik, model hubungan umur dengan simpanan karbon tegakan:

C(ton/ha) = 11,823 U1,120 (R²=0,956) 11 Hutan Tanamn Acacia

crassicarpa (HTI PT. Sebangun Bumi Andalas

Woodbased Industries)

Metode Karbonasi: rata-rata

potensi serapan biomassa menurut kelas umur (1-8 th)

dari bagian akar, batang, cabang dan daun: 91,28 ton/ha

Adiriono (2009) Persamaan allometrik untuk pendugaan biomassa dan pendugaan karbon:

1. Hubungan Dbh dengan biomassa pohon, model berbentuk power dengan persamaan WT=0,165D2,339

2. Hubungan Dbh dengan karbon pohon (metode konversi biomassa), model berbentuk power dengan persamaan CT=0,083D2,339

Model hubungan allometrik antara Dbh dengan seimpanan karbon masing-masing komponen pohon dan total pohon:

Karbon akar: CR=0,011D2,377 Karbon batang: CS=0,010D2,837

Karbon cabang: CB=0,070D1,670 Karbon Daun:

CL=e1,965-11,134/D

Karbon pohon: CT=0,081D2,297

Persamaan allometrik, model hubungan umur dengan simpanan karbon tegakan:

C(ton/ha) = e4,503-2,559/u 12 Hutan tanaman Acacia

mangium

Kandungan karbon pada berat kering biomassa adalah

50%, dan jumlah karbon diperkirakan sekitar 3.02

Heriansyah, 2003 Data kandungan karbon diperoleh dari biomassa total. Persamaan allometrik biomassa total y=0.0528x1.3612

Koefisien korelasi 99.19%. Biomassa total A. mangium umur 10 th 82.24 ton/ha yang terdiri


(2)

C/ ha/tahun.

atas biomassa pohon 78.46 ton/ha dan biomassa tanaman bawah 3.78 ton/ha.

13 Hutan tanaman Acacia mangium di PT. Perhutani, Bogor

Acacia mangium umur 3 th

221,94 ton /ha

Acacia mangium umur 5 th

353,68 ton /ha

Acacia mangium umur 8 th

466,16 ton /ha

Acacia mangium umur 10 th 561,78 ton /ha

Heriansyah & Siregar, 2002


(3)

Lampiran 4.

Simpanan Biomassa di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Rakyat dan Tegakan Agroforestri

No Tipe Hutan Simpanan Biomassa di Atas Permukaan Tanah (ton/ha)

Sumber

Keterangan 1 Hutan Rakyat Desa

Dengok, Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul

Jati (98) Non Jati (34,66)

Aminudin (2008) Destruktif/sampling sebanyak ±15 pohon, model alometrik Brown dan metode yang dikembangkan oleh Katterings et. al. (2001): Biomass = 0,11 D2,62 untuk tanaman jati, persamaan alometrik Brown (1997) untuk tanaman mahoni dan lainnya, metode destruktif untuk tumbuhan bawah dan serasah

2 Hutan Rakyat, Desa Karyasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

26,5-385,6 ton/ha Asyisanti (2004) Penetapan massa karbon dilakukan berdasarkan kelas umur 0,5 tahun sampai 7,5 tahun (pohon kayu Afrika sebagai tanaman pokok)

3 Hutan Rakyat, Desa Karyasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

Potensi biiomassa tegakan: 19,86-384,66 ton/ha

Asyisanti (2004) Penetapan massa karbon dilakukan berdasarkan kelas umur 0,5 tahun sampai 7,5 tahun dan dibagi antara pohon (didominasi oleh pohon afrika (Maesopsis eminii) dan tanaman buah-buahan: rambutan (Nephelium lappaceum)) dan non pohon (kopi (Coffea spp))

4 Tegakan Agroforestri Agroforestri pola tegakan murni (30,8-160,4)

Agroforestri pola kebun-campuran (20,8-147,6) Pohon hidup untuk agroforestri tegakan murni (26,8-152,2) untuk agroforestri kebun campuran (kebun campuran 17 – 141,6)

Tanaman kopi agroforestri tegakan murni (9-24)

agroforestri kebun campuran (4-19,4)

Rusolono, 2006 1. Model pendekatan yang menggunakan peubah kerapatan tegakan dan luas bidang dasar tegakan melalui pengukuran individu pohon dalam areal tertentu atau melalui pendekatan dengan point sampling, memberikan tingkat ketelitian yang paling baik untuk pendugaan persediaan karbon tegakan. 2. Pendekatan dimensi tegakan

3. Pendekatan fungsi pertumbuhan

5 Agroforestri di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor

Umur tanaman 15 th: 21,31; 40 th: 80,78


(4)

Lampiran 5.

Simpanan Biomassa di Atas Permukaan Tanah pada Kawasan Non Hutan

No Tipe Hutan

Umur (tahun) Simpanan Biomassa di Atas Permukaan

Tanah (ton/ha)

Sumber

Keterangan 1 Savana/padang rumput

a. Jambi N/A 12 Prasetyo (2000) dalam Muzahid (2008)

b. Indonesia N/A 20 Peace (2007) dalam Muzahid (2008)

2 Semak belukar

a. Jambi N/A 30 Prasetyo (2000) dalam Muzahid (2008)

b. Nunukan N/A 38,8 Lusiana (2005) dalam Muzahid (2008)

3 Agroforestry

a. Desa Pecekelan N/A 90,8 Rusolono (2006) Agroforestry murni

b. Desa Kertayasa N/A 82,2 Rusolono (2006) Agroforestry pola kebun campuran

c. Lampung 13 70 Roshetko (2002) dalam Rusulono (2006) Agroforestry, didominasi oleh jenis penghasil non kayu

d. Kawasan TN. Gunung Halimun

5 10 15 20

10,2 17,8 32,6 41,4

Haryadi (2005) Tanaman teh (Camelia sinensis)

f. PTPN IV Ajamu, Kab.Labuan Batu, Sumatera Utara

9 11 13 17 18

23,76 26,14 24,98 32,86 29,76

Yulianti (2009) Agroekosistem kelapa sawit di lahan gambut

g. Lombok Timur N/A 247,76

150,18 23,06 160,74 184,58 7,1

Nandini (2009) Kebun hutan Budidaya lorong Wanatani Kebun Rau

Pemberaan dgn turi

h. Lombok Barat N/A 461,78

236,8 533,28 223,12 21,6

Kebun hutan Budidaya lorong Wanatani Kebun

Pemberaan dgn turi

i. Lombok Utara 257,48

166 218,84 315,86 117,22 17,36

Kebun hutan Budidaya lorong Wanatani Kebun Rau


(5)

j. Lombok Tengah 207,56 270,94 48,76 192,68

76,12 31

Kebun hutan Budidaya lorong Wanatani Kebun Rau

Pemberaan dgn turi

k. Pulau Sumbawa 127,42

197,62 114,88 34,22

Kebun Hutan Wanatani Kebon Rau

l. Sumbawa Barat 208,66

265,08 275,26 317,64

15

Kebun Hutan Budidaya Lorong Wanatani Kebon Rau m. Leuwiliang, Jabar 15

20 25 30 35 38 40 50 55

40,66 64,86 67,44 66,08 179,32 199,82 185,56 445,16 140,3

Yuli (2003) Kebun campuran

n. Sumatera Barat N/A 198

227,7

Sorel (2007) Kemiri, durian, cengkeh, kayu manis, alpuket .

Karet dan coklat o. Desa Tareran, Kab.

Minahasa, Sulawesi Utara

35 28,84 Langi (2007) Hutan rakyat campuran

p. Nunukan, Kaltim 20 (max) 182 Tomich et al (1998) dalam Asyisanti (2004)

Monokultur kelapa sawit

q. N/A 25 (max) 194 Monokultur karet

r. Pandeglang, Banten 25 78,26 Cesylia (2009) Perkebunan karet, metoda

perhitungan dengan fixed karbon s. Desa Karyasari, Bogor 0,5

1,5 2,5 3,5 4,5

31,12 73,16 97,2 117,78 126,88

Asyisanti (2004) Hutan rakyat didominasi Maesopsis eminii, kopi dan rambutan.


(6)

7,5 389,94 4 Hutan Kota

Hutan kota Jalur hijau jalan Jalur hijau sungai Jalur hijau pantai (Bandar Lampung)

Taman Wisata Alam Taman Eden (Toba Samosir, Sumatera Utara)

N/A 49,4

32,86 34,8 19,12

10,64

Setiawan (2007)

Bakri (2009)

1 jenis pohon 1 jenis pohon 1 jenis pohon 1 jenis pohon

1 jenis tanaman

5 Ruang Terbuka Hijau

Jakarta Timur 1986

1992 2001 2005

(Tahun pengambilan data)

369,94 324,1 363,6 367,42

Isdiyantoro (2007) RTH terdiri dari taman dan jalur hijau.

Pendugaan karbon dengan Citra Landsat MSS, 5TM, 7 ETM dan 7ETM+ SCLOff Aquisisi