Perubahan Penutupan Lahan di DAS Citarum Hulu – Jawa Barat dengan Menggunakan Citra Satelit LANDSAT ETM+

(1)

1.1Latar Belakang

Daerah aliran sungai merupakan suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak 2002). DAS Citarum Hulu mempunyai fungsi penting bagi masyarakat yang ada di sekitarnya, seperti pembangkit listrik tenaga air, irigasi pertanian, industri, dan pariwisata bagi masyarakat Jawa Barat.

Pertumbuhan penduduk dan pembangunan industri mengakibatkan kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Pemanfaatan sumberdaya lahan untuk kegiatan pembangunan mempengaruhi perubahan penutupan lahan pada hutan di daerah tangkapan air. Berkurangnya luas hutan telah mengakibatkan terjadinya banjir, berkurangnya debit air tanah, dan bertambahnya lahan kritis.

Perubahan penutupan hutan dan lahan yang dinamis tersebut, perlu diimbangi dengan ketersediaan informasi terbaru dalam rangka pemantauan perubahan hutan yang akurat dan tepat waktu, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan yang memadai. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi penginderaan jauh di Indonesia sangat dibutuhkan, karena mampu memberikan informasi secara lengkap, cepat, dan relatif akurat (Jaya 2010).

LANDSAT adalah satelit pengindraan jarak jauh yang dikembangkan dan diluncurkan oleh NASA Amerika Serikat. Satelit LANDSAT 7 mempunyai tiga instrumen pencitraan, yaitu RBV (Return Beam Vidicon), MSS (Multispectral Scanner), dan ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) (Jaya 2002). Satelit LANDSAT merupakan salah satu satelit yang dapat digunakan untuk memantau perubahan penutupan lahan dan penggunaan lahan dengan menggunakan sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper).

Identifikasi perubahan penutupan lahan dapat dilakukan dengan menggunakan Citra Satelit LANDSAT ETM+ sehingga dapat diketahui perubahan lahan yang terjadi di DAS Citarum Hulu . Informasi mengenai perubahan penutupan lahan khususnya pada lahan hutan dapat menjadi sumber dalam


(2)

pengelolaan hutan di sekitar DAS Citarum Hulu sehingga kerugian yang terjadi akibat dari banjir, berkurangnya debit air tanah, dan bertambahnya lahan kritis dapat diatasi.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi dan analisis perubahan penutupan lahan khususnya hutan yang terjadi di DAS Citarum Hulu, Jawa Barat pada tahun 2001, 2006, dan 2011 dengan menggunakan data citra satelit LANDSAT ETM+.

1.3Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi perubahan penutupan lahan untuk pengelolaan hutan secara lestari di DAS Citarum Hulu, Jawa Barat.


(3)

2.1 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menganalisis, dan menampilkan informasi yang berefrensi geografis (Jaya 2002).

Menurut Prahasta (2002), SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalsis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi data serta keluaran.

Berdasarkan definisi tersebut, SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem berikut:

1. Data input: sub sistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Sub sistem ini bertanggung jawab dalam mengonversi atau mentransformasikan format-format data-data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG.

2. Data output: sub sistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti tabel, grafik, dan peta.

3. Data Management : sub sistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update dan di-edit.

4. Data Manipulation & Analysis : sub sistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, sub sistem ini juga melakukan


(4)

manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan (Prahasta 2002).

2.2 Citra LANDSAT

Teknologi penginderaan jauh satelit dipelopori oleh NASA Amerika Serikat dengan diluncurkannya satelit sumberdaya alam yang pertama, yang disebut ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) pada tanggal 23 Juli 1972, menyusul ERTS-2 pada tahun 1975, satelit ini membawa sensor RBV (Retore Beam Vidcin) dan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spasial 80 x 80 m. Satelit ERTS-1, ERTS-2 yang kemudian setelah diluncurkan berganti nama menjadi LANDSAT 1, LANDSAT 2, diteruskan dengan seri-seri berikutnya, yaitu LANDSAT 3, 4, 5, 6 dan terakhir adalah LANDSAT 7 yang diorbitkan bulan Maret 1998, merupakan bentuk baru dari LANDSAT 6 yang gagal mengorbit.

LANDSAT 5, diluncurkan pada 1 Maret 1984, sekarang ini masih beroperasi pada orbit polar, membawa sensor TM (Thematic Mapper), yang mempunyai resolusi spasial 30 x 30 m pada band 1, 2, 3, 4, 5 dan 7. Sensor Thematic Mapper mengamati obyek-obyek di permukaan bumi dalam 7 band spektral, yaitu band 1, 2 dan 3 adalah sinar tampak (visible), band 4, 5 dan 7 adalah infra merah dekat, infra merah menengah, dan band 6 adalah infra merah termal yang mempunyai resolusi spasial 120 x 120 m. Luas liputan satuan citra adalah 175 x 185 km pada permukaan bumi. LANDSAT 5 mempunyai kemampuan untuk meliput daerah yang sama pada permukaan bumi pada setiap 16 hari, pada ketinggian orbit 705 km (Sitanggang 1999 dalam Ratnasari 2000). Karakteristik citra LANDSAT 7 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik citra LANDSAT 7

Sistem LANDSAT-7

Orbit 705 km, 98.2o, sun-synchronous, 10:00AM

crossing, rotasi 16 hari (repeat cycle)

Sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper)

Swath width 185 km (FOV=15o)

Band-band spektral (um) 0.45 -0.52 (1), 0.52-0.60 (2), 0.63-0.69 (3), 0.76-0.90 (4), 1.55-1.75 (5), 10.4-12.50 (6), 2.08-2.34 (7), 0.50-0.90 (PAN)

Resolusi spasial 15 m (PAN), 30 m (band 1-5, 7), 60 m band 6


(5)

Sistem LANDSAT merupakan milik Amerika Serikat yang mempunyai tiga instrument pencitraan, yaitu RBV (Return Beam Vidicon), MSS (Multi Spectral Scanner) dan ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) (Jaya 2002). RBV merupakan instrumen semacam televisi yang mengambil citra snapshot dari permukaan bumi sepanjang trek lapangan satelit pada setiap selang waktu tertentu. MSS merupakan suatu alat scanning mekanis yang merekam data dengan cara meninjau permukaan bumi dalam jalur atau baris tertentu. ETM+ merupakan alat scanning mekanis yang mempunyai resolusi spektral, spasial, dan radiometrik.

2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air (2008) mendefinisikan daerah aliran sungai secara umum sebagai suatu hamparan atau wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau.

Menurut Wibowo (2005), DAS adalah suatu wilayah yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak sungai yang dibatasi oleh alam topografi yang berfungsi menampung, menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Sasaran pengelolaan DAS adalah sumberdaya yang ada di dalam “ruang” tersebut berupa hutan, lahan, air, vegetasi, manusia, dan lain sebagainya.

DAS merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, abiotik, dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan komponen keluaran terdiri dari debit air dan muatan sedimen. Komponen-komponen DAS yang berupa vegetasi, tanah, dan saluran atau sungai dalam hal ini bertindak sebagai prosessor. Komponen hidrologi terkena dampak kegiatan pembangunan di dalam DAS meliputi koefisien aliran permukaan (C), koefisien regim sungai (KRS), nisbah debit maksimum-minimum, kadar lumpur


(6)

atau kandungan sedimen laying sungai, laju, frekuensi dan periode banjir serta keadaan air tanah (Surpin 2004).

Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan (Kodoatie dan Sjarief 2005).

Pengelolaan DAS pada dasarnya adalah pengelolaan sumberdaya alam dan buatan (natural and man made capital) yang terdapat di suatu DAS. Praktek pengelolaan sumberdaya alam dan buatan di Indonesia dibagi atau dikelompokan ke dalam sektor-sektor pengelolaan atau pembangunan. Sebut saja sektor yang terkait dengan tanah dan batuan yang menyusunya serta vegetasi di atasnya yaitu pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan; yang terkait dengan badan air dan sumberdaya buatan, yaitu energi, transportasi, prasarana, pemukiman dan produksi, kelestarian fungsi lingkungan dan kelestarian fungsi sosial-ekonomi (Putro et al. 2003).

Tingginya tekanan terhadap keberadaan hutan di Indonesia mengakibatkan kondisi hutan semakin menurun serta berkurang luasnya. Berdasarkan data yang tersedia, luas hutan selama periode 1985-1997 untuk tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) telah berkurang seluas 1,6 juta ha/tahun atau sekitar 21 juta ha selam kurun waktu tersebut. Pada periode 1997-2000 laju penurunan luas hutan di dalam kawasan hutan Indonesia bahkan meningkat menjadi 2,84 juta ha/tahun, sedangkan untuk periode 2000-2005 laju penurunan luas hutan mencapai angka 1,08 juta ha/tahun atau sekitar 5,4 juta ha selama kurun waktu lima tahun (PIPH BAPLAN 2008).

2.4 Penutupan Lahan

Tutupan lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan yang diartikan dengan sejumlah karakteristik alami, yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi (Aldrich 1981 dalam Hendayanti 2008).

Secara nasional, peta penutupan lahan atau penggunaan lahan tertua adalah peta penggunaan lahan tahun 1969 yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional


(7)

(BPN), Departemen Dalam Negeri. Berdasarkan peta ini, penutupan lahan dibagi menjadi 14 tipe penggunaan lahan, pada skala 1:250.000. Pada tahun 2003 dan 2008 Direktorat Planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh Indonesia. Data ini dibuat berdasarkan interpretasi visual citra LANDSAT dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer atau sekunder) dan kondisi lahan (rawa atau lahan kering). Klasifikasi Direktorat Jendral Planologi Kehutanan menggunakan 23 kelas (JICA 2011).

Prosedur klasifikasi citra secara dijital bertujuan untuk mengategorikan semua piksel citra ke dalam kelas penutupan lahan secara otomatis. Digunakan bentuk klasifikasi pola spektral data untuk pengategorian setiap piksel berbasis numerik. Pola spektral tersebut merupakan prosedur klasifikasi yang menggunakan informasi spektral setiap piksel untuk pengenalan kelas-kelas penutupan lahan secara otomatis. Bentuk klasifikasi lain yaitu klasifikasi pola spasial, meliputi kategorisasi piksel citra dengan basis hubungan spasial antar piksel tersebut (Purwadhi 2001).

Klasifikasi spasial mencakup beberapa aspek atau dikenal dengan elemen interpretasi. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara dijital. Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri atau karakteristik objek secara keruangan. Sedangkan interpretasi secara dijital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra.

Dasar interpretasi citra dijital berupa klasifikasi citra piksel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Dalam pengklasifikasian citra secara dijital, mempunyai tujuan khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap piksel yang mempunyai informasi spektral yang sama dengan mengikutkan pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema keruangan (spasial) tertentu (Purwadhi 2001). Karakteristik objek dalam interpretasi citra secara manual dapat dikenali berdasarkan 7 unsur interpretasi (Jaya 2010), yaitu :


(8)

Tone (derajat keabu-abuan atau grayscale) dan warna adalah elemen dasar dari sebuah objek. Variasi tone atau warna sangat bergantung pada karakteristik dari setiap objek, karena warna merupakan hasil reflektansi, transmisi dan atau radiasi panjang gelombang yang dihasilkan dari objek yang bersangkutan. Tone atau warna sangat bergantung pada panjang gelombang atau band yang digunakan saat perekaman. Tingkat kecerahan dari objek sangat bergantung pada sifat dasar dari objek yang bersangkutan. Tone pada citra radar dapat didefinisikan sebagai intensitas rata-rata dari sinyal backscatter. Backscatter yang tinggi akan menghasilkan kecerahan yang tinggi (tone terang), sebaliknya backscatter yang rendah akan menghasilkan tingkat kecerahan yang rendah (tone gelap).

b. Tekstur

Dalam interpretasi terbentuk dari variasi dan susunan tone dan atau warna yang ditampilkan oleh suatu objek atau sekumpulan objek pada citra. Tekstur kasar umumnya dibentuk oleh tone dengan variasi tinggi (belang-belang) dimana terjadi perubahan tone yang besar, sedangkan tekstur halus terbentuk dari variasi yang relatif kecil.

c. Bentuk

Secara umum bentuk sebuah objek mengacu pada bentuk-bentuk umum bagian luar (eksternal), struktur, konfigurasi atau garis besar dari individu objek. Bentuk-bentuk umum yang digunakan adalah variasi bentuk poligon dan atau garis, seperti segi empat panjang, segitiga, lingkaran, garis lurus, garis melengkung, dan sebagainya. Bentuk-bentuk objek buatan manusia umumnya lebih teratur dibandingkan dengan bentuk-bentuk alam. Pada citra radar, bentuk objek merupakan hasil rekaman dari posisi miring (oblique/side looking), jarak slant dari radar.

d. Ukuran

Ukuran suatu objek atau yang tampak dalam citra atau foto sangat bergantung pada skala, resolusi dan ukuran objek yang sebenarnya ada di alam. e. Pola

Pola yang digunakan pada interpretasi visual umumnya mengacu pada tata ruang atau tata letak objek dalam suatu ruang. Pola merupakan susunan spasial


(9)

suatu objek dalam suatu bentuk yang khas dan berulang. Pola sebaran objek dengan jarak yang teratur, tone yang sama akan menghasilkan tampilan pola yang berbeda dengan objek yang tersebar secara acak (random) dan tone yang relatif berbeda.

f. Bayangan

Pada citra radar, bayangan topografi adalah bagian yang tidak ada informasi backscatter. Bayangan itu juga berguna untuk meningkatkan atau mengidentifikasi topografi dan bentang alam, khususnya dalam citra radar. Bayangan pada radar sangat terkait dengan sudut miring dari radiasi gelombang mikro yang dipancarkan sistem sensor dan bukan oleh geometri dari iluminasi matahari.

g. Site dan asosiasi

Site atau tapak atau lokasi menunjukan kekhasan tempat objek tersebut berada. Elemen asosiasi mempertimbangkan hubungan keberadaan antara objek yang satu dengan objek lainnya.

Setiap tutupan lahan memiliki karakteristik spektral yang berbeda. Hal ini terjadi karena bagi material-material yang menjadi target sensor, jumlah radiasi sinar matahari yang dipantulkan, diserap, atau bahkan diteruskan kembali akan bervariasi sesuai dengan beberapa panjang gelombang yang dipancarkan. Karakteristik dari setiap materi tersebut diantaranya :

1. Nilai pantulan dari target clear water (unsur air jernih atau bersih) pada umumnya rendah (cenderung berwarna biru-gelap). Walaupun demikian, pantulan ini akan mencapai nilai maksimum pada akhir spektrum biru dan kemudian menurun sejalan dengan meningkatnya panjang gelombang. Air jernih menyerap tenaga pada panjang gelombang kurang dari 0,6 μm (Prahasta 2008).

2. Turbid water (air keruh), kemungkinan besar , mengandung endapan atau sedimen (biasanya pada layer bagian atas perairan yang bersangkutan) yang dapat meningkatkan nilai pantulan pada domain merah-akhir spektrum hingga kenampakannya bisa jadi kecoklatan (nilai pantulannya lebih baik dan kenampakannya lebih cerah). Sementara warna kenampakannya akan memperlihatkan suatu pergeseran yang mulus ke arah gelombang yang lebih


(10)

panjang. Ada kalanya fakta (fenomena) pada air keruh tidak jauh berbeda dengan kondisi pada perairan dangkal (shallow water) yang bersih. Pada kasus ini, keberadaan klorofil alga (jika banyak terdapat di dalam perairan yang bersangkutan) lebih banyak menyerap radiasi gelombang pada domain biru dan memantulkan yang hijau. Kehadiran alga dalam shallow water akan menyebabkan perairan yang bersangkutan berwarna kehijauan (kadang juga berwarna biru-hijau atau cyan)

3. Secara umum, pada wilayah perairan, radiasi elektromagnetik visible yang lebih panjang dan near-infrared lebih banyak diserap daripada radiasi elektromagnetik visible yang panjang gelombangnya lebih pendek. Wilayah perairan sering juga nampak berwarna kebiruan atau kehijau-biruan karena pantulan yang lebih kuat dari gelombang yang lebih pendek. Walaupun demikian, tubuh air akan nampak lebih gelap jika menggunakan band-band merah (visible paling kanan [lebih panjang]) atau near-infrared.

4. Beberapa faktor yang mempengaruhi pantulan tanah ialah kandungan kelembaban tanah, tekstur tanah (susunan pasir, debu, dan lempung), kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi, dan kandungan bahan organik (Prahasta 2008). Adanya kelembaban di tanah akan mengurangi pantulanya. Pengaruh ini terjadi paling besar pada spektrum 1,4 μm, 1,9 μm dan 2,7 μm. Kandungan kelembaban tanah berhubungan kuat dengan tekstur tanah. Misalnya pada tanah berpasir dengan tekstur kasar menghasilkan kandungan kelembaban tanah rendah dan pantulanya relatif tinggi. Dengan tidak adanya kandungan air tanah akan bertekstur kasar dan akan tampak lebih gelap pada tanah bertekstur halus. Dua faktor lain yang memperkecil pantulan tanah yaitu kekasaran permukaan dan kandungan bahan organik (Lillesand dan Kiefer 1990).

5. Vegetasi memiliki spectral signature yang unik dan memungkinkan untuk membedakan tipe-tipe penutupan lahan pada image near-infrared. Pantulanya akan bernilai rendah pada spektrum biru dan merah, hal ini terjadi karena terjadi penyerapan klorofil untuk proses fotosintesis (Prahasta 2008). Vegetasi memiliki pantulan puncak pada spektrum hijau, hal ini dipengaruhi oleh pigmen daun pada tumbuhan. Klorofil misalnya, banyak menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat antara 0,45 μm – 0,65 μm. Apabila terjadi


(11)

gangguan pada tumbuhan dan mengakibatkan penurunan produksi klorofil, maka serapan klorofil pada spektrum merah dan biru akan berkurang, hal ini akan mengakibatkan warna untuk tumbuhan tersebut menjadi kuning (gabungan antara hijau dan merah karena pantulan pada spektrum merah bertambah). Setelah panjang gelombang 1,3 μm, tenaga yang datang pada vegetasi pada dasarnya akan diserap atau dipantulkan, dan tidak ada atau sedikit yang ditransmisikan. Penurunan pantulan pada daun akan terjadi pada panjang gelombang 1,4 μm, 1,9 μm dan 2,7 μm karena air yang terdapat pada daun pada panjang gelombang ini kuat sekali serapannya sehingga pada panjang gelombang ini sering disebut spektrum penyerap air (Lillesand dan Kiefer 1990).

2.5 Penggunaan Citra LANDSAT ETM+ Untuk Identifikasi Penutupan Lahan

Penelitian mengenai identifikasi tutupan lahan dengan menggunakan citra LANDSAT ETM+ telah banyak dilakukan karena citra ini memiliki sensor ETM+ (EnhancedThematic Mapper) yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi tutupan lahan. Klasifikasi penutupan lahan di Indonesia dilakukan oleh berbagai instansi, dengan pendekatan dan ketelitian yang berbeda-beda sehingga menghasilkan tipe penutupan lahan atau penggunaan lahan yang berbeda-beda. Penelitian tersebut diantaranya yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), Departemen Dalam Negeri. Penutupan lahan dibagi menjadi 15 tipe penggunaan lahan. Pada tahun 2003 dan 2008 Direktorat Planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh Indonesia. Data dibuat berdasarkan interpretasi visual citra LANDSAT di peroleh 29 tutupan lahan dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer atau sekunder) dan kondisi lahan (rawa atau lahan kering). Lembaga lain yang melakukan klasifikasi penutupan lahan adalah Kementrian Lingkungan Hidup yang dibuat pada tahun 2005 berdasarkan citra LANDSAT (Tabel 2) (JICA 2011).

Tabel 2. Klasifikasi penutupan lahan menurut beberapa sumber

Klasifikasi Badan Planologi Departemen Kehutanan (2001)

Klasifikasi Badan Pertanahan Nasional

(1969)

Klasifikasi Kementrian Lingkungan Hidup (2005)


(12)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29

Hutan lahan kering primer dataran rendah Hutan lahan kering primer pegunungan rendah

Hutan lahan kering primer pegunungan tinggi Hutan lahan kering primer sub- alpine Hutan lahan kering sekunder dataran rendah Hutan lahan kering sekunder pegunungan rendah

Hutan lahan kering pegunungan sub-alpine Hutan lahan kering sekunder sub-alpine Hutan rawa primer Hutan rawa sekunder Hutan mangrove primer Hutan mangrove

sekunder

Semak atau belukar Semak atau belukar rawa Savana

HTI

Perkebunan

Pertanian lahan kering Bercampur dengan semak Transmigrasi Sawah Tambak Tanah terbuka Pertambangan Salju Permukiman Tubuh air Rawa Awan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Hutan Lahan kering Tadah hujan Ladang berpindah Padang penggembalaan Rawa Semak belukar Padi Perkebunan Perumahan, ladang dan padi Permukiman desa Permukiman perkotaan Kolam atau tambak Lapangan udara Badan air 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Hutan mangrove

Hutan lahan kering Hutan rawa Hutan tanaman Pertanian lahan kering Padang rumput Semak belukar Sawah

Perkebunan (teh, kelapa sawit, karet, dan lain-lain)

Kebun campuran Permukiman Lahan kosong Tubuh air


(13)

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu – Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2012. Observasi lapangan dilakukan pada bulan Juni 2012. Selanjutnya pengolahan data dan analisis dilakukan dari bulan Juli – Agustus 2012 di Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 1 Lokasi penelitian. 3.2 Alat dan Data

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu seperangkat komputer pribadi (personal computer) yang dilengkapi dengan software Erdas Imagine 9.1, Arc-View versi 3.1, Arc-GIS versi 9.3, Microsoft Excel 2007, Microsoft Word 2007, dan Gapfill. Peralatan lainnya yaitu GPS (Global Positioning System), kamera digital, dan alat tulis.


(14)

3.2.2 Data

Data citra yang digunakan dalam penelitian ini berupa data digital citra satelit LANDSAT ETM+ resolusi 30x30 m multiwaktu yang diperoleh dari BPDAS (Badan Perencanaan Daerah Aliran Sungai) Citarum-Ciliwung. Secara rinci data citra yang digunakan pada penelitian ini tersaji pada Tabel 3. Adapun data pendukung yang digunakan yaitu Peta Rupa Bumi Indonesia daerah Jawa Barat dengan skala 1 : 25.000 tahun 2009 dari BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survey dan Perpetaan Nasional) dan data vektor batas DAS Citarum Hulu tahun 2009 dari BPDAS Citarum-Ciliwung, serta Peta Administrasi Provinsi Jawa Barat.

Tabel 3. Data citra satelit LANDSAT ETM+

Tahun perekaman

2001 2006 2011

Tanggal dan bulan perekaman (liputan awan)

22 Juli (9%) dan 8 Agustus (22%)

18 Mei (0%) dan 11 Agustus (17%)

17 Mei (6%) dan 22 September (20%)

Jumlah band 7 7 7

Band yang digunakan

3,4,5 3,4,5 3,4,5

3.3 Metode Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu pengolahan awal citra (pre-image processing), pengambilan data di lapangan (ground check), pengolahan citra digital (image processing), dan analisis perubahan penutupan lahan.

3.3.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing)

Pengolahan awal citra (pre-image processing) merupakan tahap awal dari pengolahan citra satelit LANDSAT ETM+, berupa perbaikan atau koreksi terhadap data citra yang masih memiliki beberapa kesalahan atau distorsi di dalamnya, hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas data citra yang akan berpengaruh terhadap hasil akhir yang akan dicapai, oleh karena itu koreksi terhadap distorsi atau kesalahan data perlu dilakukan sebelum data dianalisa lebih lanjut.

Langkah awal sebelum masuk pada kegiatan pengolahan awal citra yaitu melakukan proses import data citra. Citra yang digunakan untuk penelitian ini adalah

citra LANDSAT ETM+ tahun perekaman 2001 (format *.TIFF), citra LANDSAT


(15)

perekaman 2011 (format *.TIFF). Proses import data citra ini mengubah format data mentah citra (format *.RRD dan format *.TIFF) menjadi format yang lebih mudah diolah oleh perangkat lunak pengolah citra (format *.IMG). Proses ini dilakukan menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1.

3.3.1.1 Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik ditujukan untuk memperbaiki distorsi citra melalui penetapan bentuk hubungan antara sistem koordinat citra aktual dengan sistem koordinat geografis dengan menggunakan data kalibrasi sensor atau titik kontrol lapangan atau GCP (Ground Control Point) (Richards 1986). Salah satu tujuan dilakukannya koreksi geometrik adalah untuk melakukan retifikasi (pembetulan) agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi (Purwadhi 2001). Dalam penelitian ini koreksi geometrik dilakukan dengan menyamakan koordinat citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 dan 2011 dengan citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 yang telah terkoreksi. Sebagai data acuan untuk pemilihan titik kontrol lapangan digunakan peta rupa bumi skala 1 : 25.000 tahun 2009.

Secara singkat, tahapan dari koreksi geometrik ini yaitu dengan melakukan penentuan sistem koordinat, proyeksi dan datum sistem koordinat yang dipilih untuk koreksi ini adalah Universal Tranverse Mercator (UTM) dengan proyeksi yang digunakan adalah UTM 48 zona Selatan. Pemilihan proyeksi ini disesuaikan dengan pembagian area pada sistem UTM, dimana Jawa Barat termasuk wilayah DAS Citarum Hulu berada pada zona South UTM row 48, sedangkan datum yang digunakan adalah World Geografic System 84 (WGS 84). Dengan adanya tahapan ini bertujuan untuk mendefinisikan informasi yang akan digunakan dalam proses koreksi selanjutnya.

3.3.1.2 Mosaik Citra

Mosaik citra merupakan proses menggabungkan beberapa citra secara bersamaan membentuk satu kesatuan (satu lembar) peta atau citra yang kohesif. Dalam penelitian ini mosaik citra dilakukan pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 dan 2011. Tujuan dari kegiatan mosaik adalah menghasilkan citra gabungan yang mempunyai kualitas kekontrasan yang baik sehingga citra hasil (output)


(16)

tampak menjadi citra yang kohesif (kontrasnya konsisten, teroganisir, solid dan koordinatnya ter-interkoneksi) (Jaya 2010). Data asli citra LANDSAT ETM+ daerah DAS Citarum Hulu terdiri dari 2 scene citra. Data tersebut kemudian di mozaik menjadi satu scene untuk memudahkan proses pengolahan dan analisis citra.

3.3.1.3 Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki bias pada nilai digital atau nilai kecerahan piksel yang terukur pada data histogram saluran-saluran spektral citra, yang disebabkan oleh gangguan atmosfer maupun akibat kesalahan respon detektor. Koreksi terhadap gangguan atmosfer dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode histogram minimum (histogram minimum method). Pada metode histogram minimum, gangguan atmosfer diduga sebagai nilai terkecil yang terukur pada plot histogram masing-masing saluran citra digital multi saluran. Untuk menghilangkan gangguan atmosfer dari data multi saluran cukup dilakukan operasi aljabar dengan mengurangkan nilai digital terkecil pada setiap nilai digital piksel yang terukur pada masing-masing saluran citra tersebut (Lillesand dan Kiefer 1990).

3.3.1.4 Penyekatan Area Penelitian (Croping)

Setelah proses koreksi citra kemudian dilakukan proses penyekatan citra sesuai dengan area penelitian (kawasan DAS Citarum Hulu) pada citra terkoreksi. Citra hasil penyekatan ini akan digunakan dalam proses selanjutnya. Penyekatan citra dilakukan sesuai dengan batas Citarum Hulu dengan menggunakan data vektor yang berasal dari BPDAS Citarum Ciliwung.

3.3.2. Interpretasi Visual Citra Satelit (Visual Image Interpretation)

Interpretasi visual (interpretasi secara visual citra satelit) merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi objek-objek yang ada dipermukaan bumi yang tampak pada citra dengan mengenalinya atas dasar karakteristik spasial, spektral, dan temporal. Pendekatan ini melibatkan analis atau interpreter untuk mendapatkan informasi yang terekam pada citra dengan tujuh cara interpretasi visual.


(17)

Keberhasilan ini sangat tergantung kepada analis dalam mengeksploitir secara kolektif objek-objek yang tampak pada citra.

Interpretasi visual citra dilakukan dengan kombinasi 3 saluran dalam format

Red Green Blue (RGB) untuk memperoleh warna komposit yang paling jelas pada

setiap kelas penutupan. Dalam Hakim (2006), kombinasi tersebut setidak-tidaknya terdiri atas 1 band sinar tampak, 1 dari Near Infrared (NIR), dan 1 dari Middle

Infrared (MIR). Dalam penelitian ini, kombinasi band yang digunakan dalam

interpretasi visual citra menggunakan band 5-4-3 (mengacu kepada standar dari Deparemen Kehutanan untuk analisis hutan dan vegetasi). Interpretasi visual citra dilakukan berdasarkan karakteristik visual pada citra seperti warna, bentuk, ukuran, pola, tekstur, bayangan, dan asosiasi.

Penelitian dilakukan untuk memberikan gambaran awal dalam survey lapangan, mengidentifikasi pola sebaran, penentuan jumlah kelas penutupan lahan dan macam kelas penutupan lahan yang ada di lapangan daerah penelitian. Untuk memperoleh data dalam interpretasi visual, citra ditampilkan dalam format RGB (Red Green Blue) untuk dapat menghasilkan warna komposit. Interpretasi visual juga dilakukan pada tahap reklasifikasi hasil klasifikasi dijital.

3.3.3 Pemeriksaan Lapangan (Ground Check)

Kegiatan pengecekan lapangan dilaksanakan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan atau kondisi lapangan secara nyata sebagai pelengkap dan pembanding bagi analisis selanjutnya. Pemeriksaan lapangan dilakukan dengan menelusuri lokasi-lokasi pengamatan yang telah ditentukan. Kegiatan yang dilakukan meliputi pengambilan titik-titik pengamatan dan dokumentasi contoh-contoh penutupan atau penggunaan lahan yang ada dan juga melakukan wawancara dengan responden yang memahami dan mengenali dengan baik tentang kondisi daerah pengamatan.

3.3.4 Pengolahan Citra Digital (Image Processing)

3.3.4.1 Klasifikasi Terbimbing ( Supervised Classification)

Metode yang digunakan dalam kegiatan klasifikasi citra adalah metode kemungkinan maksimum (Maximum Likelhood Method), karena metode ini adalah metode yang paling banyak digunakan dalam sebagian besar klasifikasi


(18)

citra digital pengindraan jauh (Jaya 1997). Metode kemungkinan maksimum mengelompokan piksel-piksel yang belum diketahui identitasnya berdasarkan vektor rata-rata sampel multivariate (MJ) dan matriks ragam peragam antar band (Ci) dari setiap kelas atau kategori i. Semua kombionasi band dari data citra diklasifikasi berdasarkan piksel contoh yang telah dibuat pada tahap training area.

3.3.4.2 Penentuan Area Contoh (Training Area)

Pengambilan contoh dilakukan berdasarkan data yang didapat dari pemeriksaan lapangan kemudian dilakukan penentuan dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh (training area) untuk mengambil informasi statistik tipe-tipe penutupan lahan. Pengambilan informasi statistik dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh piksel dari setiap tipe penutupan lahan dan ditentukan lokasinya pada citra komposit. Informasi statistik dari setiap tipe penutupan lahan akan digunakan untuk menjalankan fungsi separabilitas dan fungsi akurasi. Informasi yang diambil adalah nilai rata-rata, simpangan baku, nilai dijital minimum dan maksimum, serta matrik varian-kovarian untuk setiap tipe penutupan lahan.

Banyaknya training area yang perlu diambil untuk mewakili masing-masing kelas adalah sebanyak band (N) yang digunakan ditambah satu (N+1), yaitu untuk menghindari matrik ragam peragam singular yang matriks kebalikannya (inverse) tidak bisa dihitung. Pada prakteknya dianjurkan jumlah piksel per kelasnya sebanyak 10 N dan bahkan 100 N (Swain dan Davis 1978).

Jumlah band yang digunakan adalah tiga band sehingga jumlah training area yang digunakan dalam penelitian ini adalah minimum empat piksel untuk setiap kelas tutupan lahan.

3.3.4.3 Analisis Separabilitas

Sebelum dilakukan pemetaan atau klasifikasi tipe-tipe penutupan lahan berdasarkan hasil area latihan (training area) terlebih dahulu dilakukan analisis separabilitas untuk mengukur tingkat keterpisahan antar kelas tutupan lahan.


(19)

Analisis separabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan metode Transformed Divergence (TD). Metode ini digunakan untuk mengukur tingkat keterpisahan antar kelas. Nilai TD antara kelas i dan j dapat diketahui dengan rumus dibawah ini :

� = 2000�1−exp

−D g Nilai divergensi dihitung dengan :

= 0.5���� − �� −1− −1��+ 0.5���� −1+ −1��µ −µ ��µ −µ ���

dimana D adalah divergence, tr adalah teras matriks, C adalah matriks ragam peragam, µ adalah vektor rata-rata dan T adalah transposisi dari matriks. Nilai TD berkisar antara 0 sampai 2000 (Jaya 1997).

Adapun kriteria yang digunakan dalam memisahkan antar kelas dari nilai transformeddivergence menurut Jaya (1997) adalah sebagai berikut :

a. Tidak terpisah (Insperable) : 0 – 1600

b. Jelek keterpisahannya (Poor) : 1601 – 1699

c. Sedang (Fair) : 1700 – 1899

d. Baik keterpisahannya (Good) : 1900 – 1999 e. Sangat baik keterpisahannya (Excellent) : 2000

3.3.4.4 Evaluasi Akurasi

Evaluasi akurasi dilakukan untuk melihat besarnya kesalahan klasifikasi area contoh sehingga dapat ditentukan besarnya prosentase ketelitian pemetaan. Analisis akurasi dilakukan dengan menggunakan matriks kesalahan (confusion matrix) atau disebut juga matriks contingency. Ketelitian tersebut meliputi jumlah piksel area contoh yang diklasifikasikan dengan benar atau salah, pemberian nama kelas secara benar, presentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta prosentase kesalahan total.

Pada evaluasi akurasi, interpreter menggunakan empat jenis perhitungan nilai akurasi, yaitu Producer’s Accuracy, User’s Accuracy, Overall Accuracy dan Kappa Accuracy. Menurut Story dan Congalton (1986), Producer’s dan User’s Accuracy merupakan dua penduga dari ketelitian keseluruhan (Overall Accuracy). Producer’s Accuracy adalah peluang rata-rata (dalam persen) bahwa suatu piksel


(20)

akan diklasifikasikan dengan benar yang secara rata-rata menunjukan seberapa baik masing-masing kelas di lapangan telah diklasifikasi, ukuran ini juga mencerminkan rata-rata dari kesalahan komisi (comition error) yaitu kesalahan klasifikasi berupa kelebihan jumlah piksel dalam suatu kelas yang mengakibatkan masuknya piksel dari kelas yang lain. Sedangkan User’s Accuracy adalah peluang rata-rata (dalam persen) bahwa suatu piksel dari citra yang terklasifikasi secara actual mewakili kelas-kelas yang ada di lapangan, ukuran ini mencerminkan rata-rata dari kesalahan omisi (omission error) yaitu kesalahan klasifikasi berupa kekurangan jumlah piksel dalam suatu kelas akibat masuknya piksel-piksel kelas tersebut ke kelas yang lain.

Sedangakan Overall Accuracy adalah suatu presentase yang sama dengan proporsi dari piksel-piksel yang terkelaskan dengan tepat yang dibagi dengan jumlah piksel yang diuji. Nilai akurasi yang paling banyak digunakan adalah Kappa Accuracy, karena nilai akurasi ini memperhitungkan semua elemen atau kolom dari matriks. Adapun matriks kesalahan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Matriks kesalahan (confusion matrix) Data acuan

training area

Disklasifikasi kelas (data klasifikasi di peta)

Total baris

Producer’s accuracy

A B C D

A X11 X12 X13 X14 X1+ X11/X1+

B X21 X22 X23 X24 X2+ X22/X2+

C X31 X32 X33 X34 X3+ X33/X3+

D X41 X42 X43 X44 X4+ X44/X4+

Total kolom

X+1 X+2 X+3 X+4 N

User’s accuracy

X11/X+1 X12/X+2 X13/X+3 X14/X+4

Akurasi yang bias dihitung dari user’s accuracy, producer’s accuracy dan overall accuracy. Secara matematis jenis-jenis akurasi diatas dapat dinyatakan sebagai berikut :


(21)

Kappa accuracy

=

� ∑ ��� �

� −∑ ��� �+�+�

�2−∑ ��+�+� x100% User’s accuracy

=

���

+� x 100% Producer’s accuracy

=

���

��+ x 100% Overall accuracy =∑ ���

� �

x 100%

dimana :

N = Jumlah piksel yang digunakan dalam contoh

r = Jumlah baris atau kolom pada matriks kesalahan (jumlah kelas) Xi+ = Jumlah piksel dalam baris ke-i

X+i = Jumlah piksel dalam kolom ke-i

Xii = Nilai diagonal dari matriks kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i

3.3.5 Reklasifikasi

Reklasifikasi merupakan kegiatan pengkelasan kembali data atribut dengan memecah bagian dari boundary dan menyatukannya dalam poligon baru yang telah direklasifikasi. Reklasifikasi memiliki tujuan memperbaiki hasil klasifikasi citra dijital. Reklasifikasi dilakukan secara manual dimana data direklasifikasi berdasarkan input pengguna yaitu karakteristik visual citra, hasil klasifikasi citra dijital, dan pengamatan di lapangan.

3.3.6 Analisis Perubahan Penutupan Lahan

Berdasarkan hasil dari klasifikasi citra LANDSAT ETM+ multiwaktu melalui metode maksimum likelihood, selanjutnya dilakukan analisis perubahan penutupan lahan. Analisis perubahan penutupan lahan adalah dengan cara menumpangtindihkan (overlay) citra hasil klasifikasi dan analisis Thematic Change pada kurun waktu tahun 2001-2006, 2006-2011, dan 2001-2011. Tahapan penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.


(22)

YA

TIDAK

Gambar 2 Diagram alir langkah kerja penelitian. Start

Penyiapan data

Pra-pengolahan

(koreksi geometrik dan radiometrik)

Penyekatan (cropping)

Metode klasifikasi visual

Seleksi training area

Analisis separabilitas

Klasifikasi metode

Maximum Likelihood

Analisis akurasi

Citra hasil klasifikasi

Overlay dan Thematic Change

Data digital LANDSAT ETM+

Peta rupa bumi

Data vektor batas DAS

Data lapangan

Peta perubahan penutupan lahan


(23)

4.1. Lokasi dan Luas

Secara geografis, DAS Citarum bagian hulu berada pada 107o15’46.27” – 107o57’1.99” BT dan 6o43’8.65”-7o14’32.09” LS dengan luas area ± 230.802 ha. Wilayah bagian hulu DAS Citarum merupakan catchment Unit Bisnis Pembangkit Saguling yang merupakan sumber pembangkit PLTA utama di Pulau Jawa. DAS Citarum memiliki luas sekitar 6.600 km2. DAS Citarum terletak di bagian Tengah Jawa Barat dan bagian hulu sungai berada di Kabupaten Bandung. Sungai Citarum bersumber dari Situ Cisanti yang terletak di kaki Gunung Wayang pada ketinggian ± 2.198 m di atas permukaan laut, mengalir ke arah Utara melewati Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, Purwakarta dan akhirnya bermuara di Laut Jawa di daerah Kabupaten Karawang dengan panjang total dari hulu sampai ke muara Laut Jawa sekitar 245 km (Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu 2010).

Secara administratif, 56,24% wilayah DAS Citarum bagian hulu masuk wilayah Kab. Bandung, 29,26% termasuk wilayah Kab. Bandung Barat, 6,53% masuk Kota Bandung, Kota Cimahi 1,76%, Kab. Sumedang 5,50% dan sebagian kecil berada di Garut 0,71%. Wilayah administrasi Kab. Bandung, Kota Cimahi dan Kota Bandung semuanya merupakan wilayah DAS Citarum Bagian Hulu. Wilayah Kab. Bandung Barat yang tidak masuk wilayah DAS Citarum bagian hulu yaitu Kecamatan Cikalong Wetan; Cipendeuy; Kec. Gunung Halu; Sindang Kerta dan Rongga hanya sebagian kecil. Wilayah Kab. Sumedang yang termasuk wilayah DAS Citarum bagian hulu adalah Kec. Cikeruh, Cimanggu, Sukasari dan Tanjungsari, hanya sebagian kecil wilayah Kec. Sumedang Selatan dan Pemulihan termasuk wilayah DAS Citarum Bagian Hulu. Wilayah Kab. Garut yang termasuk wilayah DAS Citarum bagian hulu hanya sebagian kecil wilayah di Kec. Leles dan Blubur Limbangan (Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu 2010).

Luas setiap wilayah setiap sub DAS disajikan Tabel 5. DAS Citarum bagian hulu terbagi menjadi 8 sub DAS. Sub Das yang paling luas adalah Cirasea


(24)

(16,51%) selanjutnya Sub DAS Cisangkuy dan Ciminyak. Sub DAS Cikeruh hanya sekitar 8,24% dari wilayah DAS Citarum Bagian Hulu.

Tabel 5. Luas Sub DAS Citarum bagian hulu

Sub DAS Kabupaten atau kota Jumlah Bandung Garut Bandung

Barat

Kota Bandung

Kota Cimahi

Sumedang (ha) (%) Cihaur 1.691 - 21.488 756 4.046 - 27.981 12,12

Cikapundung-Cipamokolan

8.564 - 9.950 11.821 11 127 30.472 13,20 Cikeruh 8.870 - - 2.497 - 7.662 19.029 8,24 Ciminyak 1.071 - 31.504 - - - 32.575 14,11 Cirasea 37.219 892 - - - - 38.110 16,51 Cisangkuy 34.159 - - - 34.159 14,80 Citarik 17.295 758 - - - 4.899 22.951 9,94 Ciwidey 20.941 - 1.228 - - - 22.169 9,61 Tubuh Air

(Waduk)

- - 3.356 - - - 3.356 1,45 Jumlah (ha) 129.810 1.694 67.562 15.073 4.056 12.688 230.802 100,00 Jumlah (%) 56,24 0,71 29,26 6,53 1,76 5,50 100.00

Sumber : Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu (2010)

4.2 Morfologi

Morfologi DAS Citarum bagian hulu dapat diklasifikasikan ke dalam dua satuan utama, yaitu satuan vulkanik dan struktural. Satuan vulkanik sebagian besar terletak di bagian Utara, sedangkan satuan struktural terletak di bagian Selatan. Satuan vulkanik terdiri atas cone vulkanik, lereng, dan vulkanik-tektonik (Dataran Lembang). Relief dari unit geomorfologi vulkanik berkisar dari sangat datar (Dataran Lembang) hingga lereng sangat curam. Unit ini sebagian besar tersusun dari tuff, lava, breccia, dan lapilli. Satuan struktural merupakan areal yang terbentuk dari pertahanan normal Lembang, yang tersebar dari arah Timur hingga Barat. Kondisi topografi DAS Citarum sangat bergelombang, terutama di daerah hulu dan tengah. Gradien sungai terbagi dalam tiga bagian, yaitu bagian hulu sepanjang ± 25 km merupakan bagian yang paling terjal dengan kemiringan sungai rata-rata 1:30. Bagian tengah sepanjang ± 150 km, mulai dari Daerah Cekungan Bandung ke hilir, kemiringan sungai cukup terjal yaitu rata-rata 1: 300.

Fisiografi lahan DAS Citarum bagian hulu nampak seperti cekungan raksasa, yang lebih dikenal sebagai cekungan Bandung. DAS Citarum bagian hulu dikelilingi oleh daerah pegunungan dan perbukitan, diantaranya dari bagian Utara terdapat Gn. Tangkuban Perahu; sebelah Timur terdapat Gn. Munggang, Gn. Mandalawangi; sebelah selatan terdapat Gn. Malabar, Puncak Besar, Puntang, Haruman, Gn. Tilu, Gn. Tikukur, Gn. Guha dan punggung-punggung gunung


(25)

yang tidak beraturan di bagian Barat. Bentuk sistem lahan gunung berapi, punggung gunung dan punggung bukit lebih mendominasi daerah ini. Pada umumnya daerah ini memiliki kelas lereng dari sedang sampai sangat curam dengan proporsi luasnya ± 33,7% dari luas daerah tangkapan air Waduk Saguling tanpa tubuh air. Sekitar 86,659 ha di bagian tengah daerah tangkapan air Waduk Saguling merupakan daerah dataran (lereng kurang dari 8%). Berdasarkan bentuk sistem lahan di bagian tengah ini merupakan aliran lava basa atau sedang yang agak tertoreh di bagian Utara dan di bagian Selatan lebih didominasi dataran lakustrin yang tertoreh ringan.

Elevasi DAS Citarum bagian hulu berkisar antara 625-2.600 m dpl (diatas permukaan laut). Daerah tertinggi terdapat di bagian hulu Citarum, di sekitar Gn. Guha dekat Pegunungan Kendal. Elevasi terendah berada di sekitar Waduk Saguling. Perincian elevasi setiap sub DAS di DAS Citarum bagian hulu ditunjukkan pada Tabel 6. Untuk perincian kelas lereng setiap Sub DAS disajikan pada Tabel 7.

Tabel 6. Elevasi setiap Sub DAS di DAS Citarum bagian hulu Catchment

Elevasi (m)

Minimum Maksimum Rata-rata Standar deviasi Cikapundung-Cipamokolan 662 2.200 1.430 444 Cikeruh 662 1.962 1.310 374 Cisangkuy 662 2.337 1.500 484 Citarik 662 1.731 1.191 306 Cirasea 662 2.600 1.629 558 Ciwidey 662 2.437 1.548 512 Ciminyak 625 1.512 1.068 256 Cihaur 637 2.075 1.356 416

Sumber: Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu (2010)

Tabel 7. Kelas lereng setiap Sub DAS di DAS Citarum bagian hulu

Sub DAS Kelas slope (%) Jumlah (ha) 0-8 8-15 15-25 25-40 >40

Cikapundung-Cipamokolan Cikeruh Cisangkuy Citarik Cirasea Ciwidey Ciminyak Cihaur

18.800 3.918 4.845 2.648 260 30.472 10.799 3.354 2.880 1.799 197 19.029 14.831 7.388 6.997 4.200 742 34.159 12.418 4.035 4.288 2.090 120 22.951 15.436 7.723 8.817 5.610 525 38.111 6.696 4.950 6.881 3.385 258 22.169 10.631 7.230 8.960 5.423 332 32.575 17.942 4.708 3.479 1.689 162 27.981 Jumlah (ha)

Jumlah (%)

107.553 43.307 47.147 26.844 2.596 227.446 47,29 19,04 20,37 11,80 1,14 100.00


(26)

4.3 Geologi

Kondisi geologi regional, sebagian besar dataran Bandung ditutupi oleh aluvium yang terbentuk dari endapan sungai dan situ. Endapan aluvial yang menjadi aquifer utama di DAS Citarum umumnya tertutup oleh produk vulkanik kuarter yang dibentuk dari material pyroclastic dan aliran lava. Permeabilitas produk vulkanik bervariasi pada material yang tidak terkonsolidasi atau aliran lava berongga. Produk vulkanik ini memainkan peranan penting pada aquifer. Produk vulkanik kuarter ditutupi oleh batuan sedimenter dari zaman tersier. Batuan sedimenter yang membentuk rangkaian pegunungan di bagian Selatan dan Barat dataran Bandung ini tersusun atas pasir, lempung, marl (campuran tanah liat dan kapur), breksi, dan batu kapur yang sebagian besar bercampur. Tingkat permeabilitas tanah pada umumnya rendah namun sangat bervariasi pada batuan kapur (Dinas PSDA 2009).

Menurut Silitonga (1973) kondisi geologi di DAS Citarum hulu dapat dibagi ke dalam empat kategori:

1. Hasil gunung api tua yang tidak dapat dibedakan, tersusun atas pasir tuffaceous, lapilli, lava yang berlapis berseling. Unit-unit ini tersebar, menutup hampir 65% DAS Citarum hulu dari mulai bagian Utara hingga Selatan.

2. Hasil gunung api muda yang tidak dapat dibedakan, terdiri dari pasir tuffaceous, lapilli, lava, agglomerate yang sebagian besar berasal dari Gunung Tangkuban Perahu. Unit ini ditunjukkan di areal datar sampai bergelombang atau berbukit dengan warna tanah abu kekuning-kuningan hingga abu kemerah-merahan. Unit-unit ini tersebar, mencakup hampir 10% area ke bagian Timur hulu DAS Citarum.

3. Pumiceous Tuff, terdiri stsd tuffsceous sand, lapilli, scoriaceous lava, letusan A Gunung Tangkuban Perahu. Unit-unit ini tersebar, mencakup hampir 5% area, di sepanjang lembah sungai.

4. Sandy tuff, terdiri dari sandy tuff yang berasal dari letusan C Gunung Tangkuban Perahu, sandy tuff berwarna kecoklatan, sangat poros, terdiri atas kristal-kristal hornblende yang kasar, juga lahar red-weathered,


(27)

lapisan-lapisan lapilli dan breccia. Area ini tersebar mencakup hampir 20% area, di bagian tengah hulu DAS.

Berdasarkan peta klasifikasi PSDA skala 1:250.000, DAS Citarum bagian hulu tersusun attas tanah distropepts, eutrandepts, eutropepts, hidraquents, paleudults, tropaquepts dan tropudults, namun lebih didominasi oleh jenis tanah distropepts (42,73%), hidraquants (21,74%) dan tanah tropaquepts (20.8%). Tanah hidraquents dan tropaquepts merupakan tanah gleisol sedangkan tanah distropepts merupakan asosiasi tanah andosol. Sub DAS Cikapundung-Cipamokolan lebih didominasi tanah distropepts (15.499 ha) dan tidak ditemukan tanah jenis eutropepts, paleudults, dan tropudults. Di Sub DAS Cikeruh, tanah distropepts; hidraquents dan tropaquepts hampir tersebar merata; tanah tropudults hanya sedikit sekali tersebar (606 ha). Tanah hidraquents tersebar dominan di Sub DAS Cisangkuy (11.287 ha) dan tidak terdapat tanah tropudults. Seperti halnya Sub DAS Cikeruh, di Sub DAS Citarik distropepts, hidraquents dan tropaquepts hampir tersebar merata; tanah tropudults hanya sedikit sekitar 521 ha. Tanah distropepts dan hidraquents lebih dominan di Sub DAS Cisarea. Sedangkan di Sub DAS Ciwidey, Ciminyak dan Cihaur tanah distropepts lebih dominan tersebar dibandingkan jenis tanah lainnya.

4.4 Fungsi Kawasan

Berdasarkan peta fungsi kawasan yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Departemen Kehutanan skala 1:250.000, DAS Citarum bagian hulu terbagi menjadi dalam kawasan hutan yang termasuk wilayah KPH Bandung Selatan dan KPH Bandung Utara, yang harus dikelompokkan menjadi hutan lindung dengan aktivitas pemanfaatan yang terbatas, dan sisanya merupakan area luar kawasan hutan yang terdiri dari lahan hak milik dan areal perkebunan teh, kina, karet yang dikelola oleh pemerintah dan swasta, serta lahan milik masyarakat yang digunakan untuk keperluan budidaya lahan kering, sawah, dan sayuran. Perincian fungsi kawasan di setiap Sub DAS disajikan dalam Tabel 8.

Dalam area kawasan hutan di Sub DAS Cikapundung-Cipamokolan terdapat Tahura Ir. H. Djuanda dan TWA Tangkuban Perahu. Di Sub DAS Cisangkuy terdapat CA Gn. Tilu, di Sub DAS Citarik terdapat SM. Gn.


(28)

Calancang. Di Sub DAS Citarum hulu banyak terdapat kawasan lindung, diantaranya CA. Gn. Malabar, CA. Papandayan, TWA. Cigenteng, CA Gn. Tilu dan TWA Cimanggu. Di Sub DAS Cihau terdapat CA dan TWA Tangkuban Perahu. Peta fungsi kawasan di catchment Waduk Saguling ditunjukkan Tabel 8. Tabel 8. Fungsi kawasan setiap sub DAS di DAS Citarum bagian hulu

Sub DAS

Kawasan hutan Luar kawasan

hutan Luas

(ha) Luas (ha) Luas (%) Luas (ha) Luas (%) Cikapundung-Cipamokolan Cikeruh Cisangkuy Citarik Cirasea Ciwidey Ciminyak Cihaur

5.320 17,46 25.152 82,54 30.472 2.806 14,74 16.224 85,26 19.029 10.632 31,12 23.527 68,88 34.159 4.735 20,63 18.217 79,37 22.951 14.508 38,07 23.602 61,93 38.110 8.958 40,41 13.211 59,59 22.169 9.336 28,66 23.239 71,34 32.575 4.541 16,23 23.440 83,77 27.981

Jumlah 60.835 26,75 166.611 73,25 227.446

Sumber : Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu (2010)

4.5 Iklim

Keadaan iklim di DAS Citarum, sebagaimana umumnya wilayah Jawa Barat, adalah memiliki iklim tropis monsun dengan suhu dan kelembaban udara relatif konstan sepanjang tahun. Iklim tropis monsun dicirikan dengan terjadinya dua musim, yaitu hujan dan kemarau. Musim hujan terjadi pada bulan-bulan Oktober - Maret dan musim kering atau kemarau terjadi pada bulan-bulan Juni – September. Bulan-bulan lainnya merupakan masa transisi atau pancaroba.

Suhu udara rata-rata harian berkisar 22-23oC, sementara kelembaban relatif berkisar antara 25-83%. Kecepatan angin bulanan berkisar antara 23-106 km/hari dengan kecepatan angin tertinggi 213 km/hari dan terendah 7 km/hari. Rata-rata radiasi sinar matahari bulanan berkisar 1,289-1,687 J/cm2/hari dengan kisaran tertinggi dan terendah pada periode 1980-1990 adalah 1,124 j/cm2/hari terjadi pada Bulan September 1985 dan 1182 J/cm2/hari pada Bulan Januari 1990. Rata-rata evaporasi bulanan dari 1972-1992 berkisar antara 2 mm/hari (Januari) sampai 5,5 mm/hari (Oktober) dengan evaporasi tertinggi adalah 7,3 mm/hari dan terendah 2,7 mm/hari (Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu 2010).


(29)

Dengan tinggi curah hujan tahunan berkisar antara 1.500-4.000 mm, potensi sumberdaya air permukaan pada daerah pengaliran Sungai Citarum rata-rata mencapai 11 milyar m3 per tahun dalam kondisi normal. Dari potensi tersebut, sampai dengan saat ini baru sekitar 5,2 milyar m3 per tahun yang sudah terkendali dan dimanfatkan untuk berbagai kebutuhan sedangkan sisanya sebagian besar terbuang kelaut. Rata-rata curah hujan tahunan DAS Citarum mencapai sekitar 2.400 mm. Rata-rata terendah terjadi di daerah pantai Utara dengan curah hujan sekitar 1.500 mm per tahun sedangkan rata-rata tertinggi terjadi di daerah hulu sungai Ciherang, Cilamaya, dan hulu sungai Cipunagara dengan curah hujan mencapai 4.000 mm per tahun. Suhu rata-rata di dataran rendah sekitar 27ºC, sedangkan di bagian hulu sungai di daerah dataran tinggi atau pegunungan suhu udara minimum rata-rata 15,3ºC yang tercatat di daerah Ciwidey, Pangalengan, dan Lembang. Kelembaban udara relatif rata-rata tahunan antara 80% - 92%, dengan tingkat penguapan rata-rata tahunan sekitar 1.640 mm

Distribusi spasial curah hujan di DAS Citarum bagian hulu tidak merata. Terjadi kejadian hujan dengan intensitas tinggi di suatu tempat, sedangkan di bagian lainnya sama sekali tidak terjadi hujan. Curah hujan tahunan bervariasi antara 1.966-2.600 mm. Variasi curah hujan ini terjadi karena pengaruh topografi. Periode bulan basah mulai dari Bulan November hingga Bulan April dengan bulan terbasah mencapai 300mm dan selebihnya masuk masa bulan kering atau periode transisi. Dari seri data hujan, musim hujan terjadi pada Bulan November hingga Desember, setelah sebelumnya terjadi musim kering pada Bulan Mei hingga Oktober dimana curah hujan masih relatif rendah (Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu 2010).

Secara umum iklim DAS Citarum bagian hulu dapat digolongkan sebagai iklim tipe C menurut sistem klasifikasi Schmit dan Fergusson atau tipe AM menurut sistem klasifikasi Koppen. Sedangkan menurut klasifikasi iklim Oldeman yang didasarkan pada jumlah curah hujan bulan basah (>200mm) dan bulan kering (<100mm), DAS Citarum bagian hulu diklasifikasikan ke dalam zona agroklimat B2 dengan 3 – 2 bulan basah dan 2-5 bulan kering. Iklim setiap Sub DAS di Citarum bagian hulu menurut klasifikasi iklim Schmidt & Fergusson disajikan dalam Tabel 9.


(30)

Tabel 9. Klasifikasi iklim Schmidt & Fergusson di DAS Citarum bagian hulu Sub DAS Curah hujan (mm/th) Jumlah hari hujan Curah hujan (mm/hari) Tipe iklim (Schimdt&Fergus on) Citarik-Cikeruh

1,911 108 17,1 B Cirasea 2,716 123 19,0 A Cisangkuy 2,138 122 15,1 A Ciminyak 1,562 115 13,6 C Cihaur 1,817 132 13,6 A

Cikapundung-Cipamokolan

1,920 125 13,3 B Ciwidey 2,233 127 17,6 A

Sumber : Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu (2010)

4.6 Sumber Daya Air

DAS Citarum bagian hulu terdapat Waduk Saguling, Situ Cileunca dan Situ Cipanunjang. Wilayah DAS Citarum bagian hulu merupakan DTA Waduk Saguling. Waduk Saguling berada di antara Sub DAS Ciminyak dan Cihaur. Volume Waduk Saguling menurun selama musim kemarau, rata-rata volumenya sekitar 242 juta m3. Pada musim hujan volumenya semakin meningkat rata-rata sekitar 273 juta m3. Volume waduk Saguling paling rendah terjadi pada awal musim hujan dan akhir musim kemarau, sekitar 70-71 juta m3 dan Bulan April-Mei volume Waduk Saguling dalam kondisi maksimum sekitar 425-440 juta m3.

Situ Cileunca dan Cipanunjang terdapat di Sub DAS Cisangkuy. Rata-rata volume air yang tertampung Situ Cileunca berkisar 3-16 juta m3, rata-rata pada musim kemarau sekitar 8.77 juta m3 sedangkan pada musim hujan ± 9.41 juta m3 . Selama musim kemarau volume air di Situ Cileunca semakin menurun dan paling rendah terjadi pada akhir musim kemarau. Ketika memasuki musim hujan volume air Situ Cileunca relatif lebih kecil dibandingkan laju penurunan volume air Situ Cileunca relatif lebih kecil dibandingkan laju penurunan volume air pada musim kemarau. Di Situ Cipanunjang, rata-rata volume air yang tertampung ± 12.78 m3 dan pada musim kemarau ± 12.48 juta m3. Laju penambahan volume air selama musim hujan sebanding dengan laju penuruanan volume air selama kemarau.

Banyak pihak yang memanfaatkan sumber daya air ini. Dari pihak pemerintah seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Raharja untuk pengadaaan dan distribusi air bersih. Dari pihak swasta seperti Indopower yang memanfaatkan air untuk pembangkit listrik. Indopower memanfaatkan 4 PLTA


(31)

yang sudah ada sejak jaman Belanda yaitu PLTA Plengan, PLTA Lamajan dan Cikaling di Sub DAS Cisangkuy dan PLTA Saguling. PLTA ini berada di bawah Unit Bisnis Pembangkit (UBP) Saguling. PLTA di Sub DAS Cisangkuy air yang digunakannya berasal dari Waduk Saguling. Produksi Listrik yang dibangkitkan akan didistribusikan untuk wilayah Jawa dan Bali oleh PLN. Di setiap PLTA mengalami pola produksi listrik yang hampir sama. Mengalami penurunan produksi pada musim kemarau dan kenaikan produksi pada musim hujan. Produksi maksimum dicapai pada bulan-bulan akhir musim hujan.

Das Citarum bagian hulu banyak juga tersebar mata air. Hasil survey BPDAS Citarum-Ciliwung telah menemukan 48 mata air. Diantaranya sangat prioritas untuk segera dilakukan rehabilitasi lahan di sekitar mata air tersebut. Mata air tersebut di Kec. Pangalengan yaitu mata air Cisarua, Cisoolok, Labakduloh dan Citiis atau Seseupan, Cicalengka, Ibun, Kertasari, dan Pacet. Data dari GTL sekitar 87 mata air dengan debit berkisar 1-115 l/dtk. Dari Dinas Kehutanan Kab. Bandung telah menginventarisasi data mata air di Bagian Hulu DAS Citarum sebanyak 361 mata air (Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu 2010).

4.7 Demografi

Gambaran kondisi demografi 4 tahun terakhir di Bagian Hulu DAS Citarum terutama Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Kota Cimahi ditunjukkan Gambar 3. Jumlah penduduk setiap tahun terus bertambah dengan laju pertumbuhan yang bervariasi. Rata-rata pertumbuhan penduduk di Kab. Bandung selama 4 tahun terakhir sekitar 4,24%, termasuk Kab. Bandung Barat pada tahun 2007. Pada tahun 2007, jumlah penduduk telah mencapai 4,53 juta jiwa. Kota Cimahi, tahun 2007 jumlah penduduknya sekitar 2,44%. Sedangkan Kota Bandung rata-rata laju pertumbuhannya sekitar 1.1% dengan jumlah penduduk pada tahun 2007 sekitar 2.36 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan menyebabkan daya dukung lahan akan berkurang dan dalam jangka panjang akan menurunkan fungsi DAS secara menyeluruh.


(32)

Gambar 3 Dinamika jumlah penduduk Kab. Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi tahun 2004-2007 (Laporan Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu 2010).

Penduduk Kabupaten Bandung menurut kelompok usia produktif pada tahun 2007, kelompok umur 0-14 tahun mencapai 30,36%, kelompok umur 15-64 tahun 65,44% dan kelompok umur >65 tahun sebesar 4,20%. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Bandung termasuk kategori usia produktif berdasarkan pada data presentase kelompok umur usia produktif sebesar 1:1,89. Di sisi lain angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Bandung sebesar 56.98%. Faktor migrasi yang memberikan pengaruh besar pada laju pertumbuhan penduduk akan menyebabkan tingkat densitas yang tinggi dan pada akhirnya menjadi beban bagi beberapa wilayah Kecamatan yang memiliki fungsi sebagai pusat pengembangan wilayah atau dekat dengan fasilitas sosial dan umum seperti Kecamatan Cileunyi, Rancaekek, Cisalengka, Majalaya, Dayeuhkolot, Baleendah, Margahayu, Katapang dan Soreang.

4 4,26

4,4 4,53

2,29 2,32 2,34 2,36

0,48 0,49 0,51 0,52

2004 2005 2006 2007

Kab. Bandung Kota Bandung Kota Cimahi

Ju

m

la

h

P

e

n

d

u

d

u

k

(

ju

ta

jiw


(33)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing)

Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan atau distorsi. Perbaikan citra dilakukan untuk memperoleh informasi yang diperlukan dari citra tersebut.

Data citra LANDSAT ETM+ daerah DAS Citarum Hulu untuk tahun 2001 dan 2011 masih memiliki beberapa kesalahan, sehingga untuk mendapatkan informasi yang diinginkan perlu dilakukan beberapa perbaikan terlebih dahulu. Data citra asli LANDSAT ETM+ untuk tahun 2001 membutuhkan 2 scene citra yang kemudian digabungkan dengan cara mosaik citra sehingga menghasilkan satu citra yang baru yang mencakup wilayah DAS Citarum Hulu. Sedangkan untuk data citra asli LANDSAT ETM+ untuk tahun 2011 diperlukan gapfill terlebih dahulu.

Gapfill merupakan kegiatan mengoreksi atau mengisi suatu citra yang mengalami error dalam bentuk stripping dengan menggunakan citra lain pada tahun perekaman yang sama. Pada penelitian ini, gapfill dilakukan dengan menggabungkan dua citra pada scene yang sama sehingga menghasilkan satu scene yang telah terkoreksi. Kemudian dua scene citra tersebut digabungkan dengan melakukan mosaik citra yang menghasilkan suatu citra baru.

Koreksi geometrik merupakan proses memproyeksikan data pada suatu bidang, sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan peta. Berdasarkan data acuan yang digunakan, koreksi geometrik dapat dibedakan atas koreksi geometrik citra ke peta (image to map rectification) dan koreksi geometrik citra ke citra (image to image rectification) (Jaya 2002). Koreksi geometrik dilakukan dari citra ke citra (image to image rectification). Citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 terkoreksi (master image) digunakan untuk mengoreksi citra LANDSAT ETM+ tahun 2001. Citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 yang telah terkoreksi kemudian digunakan juga untuk mengoreksi citra LANDSAT ETM+ tahun 2011. Sistem


(34)

koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik adalah proyeksi UTM (Universal Tranverse Mercator) zona 48 Selatan dengan datum WGS 84.

Setelah seluruh citra terkoreksi secara geometrik, kemudian dilakukan koreksi radiometrik. Koreksi radiometrik bertujuan untuk menghilangkan gangguan atmosfer terhadap citra digital hasil rekaman satelit. Gangguan tersebut berupa serapan (absorption) dan hamburan (scattering) oleh partikel-partikel atmosfer. Akibat dari hal ini, data nilai digital piksel citra tidak mewakili nilai objek yang sebenarnya. Kemudian juga dilakukan Histogram Equlization. Histogram Equilization dilakukan untuk mengatur secara otomatis transform line sedemikian rupa sehingga nilai-nilai piksel band citranya ditempatkan pada tingkatan-tingkatan display berdasarkan frekuensinya. Dengan menggunakan fungsi ini, maka akan diperoleh citra dengan kontras yang sangat kuat sehingga semakin banyak informasi yang dapat interpreter peroleh dari citra tersebut. Hal ini dilakukan untuk penyamaan rona pada seluruh citra yang diperoleh dari dua scene yang berbeda dan waktu pengambilan citra yang berbeda walaupun pada tahun yang sama. Sehingga dilakukan perlakuan tersebut untuk memperoleh informasi yang lebih baik dari citra dan mempermudah user dalam menginterpreatasi citra.

Penyekatan atau pembatasan area penelitian kemudian dilakukan dalam proses pengolahan awal citra (Pra Image Processing). Penyekatan citra dilakukan dengan menumpangtindihkan (overlay) antara data vektor batas DAS Citarum Hulu dengan data raster citra yang telah terkoreksi. Dengan menggunakan perangkat ArcGIS 9.3 melalui fungsi Spatial Management Tools maka dihasilkan citra yang disajikan pada Gambar 4, Gambar 5, dan Gambar 6.


(35)

Gambar 4 Citra DAS Citarum Hulu tahun 2001 kombinasi 5-4-3.

Gambar 5 Citra DAS Citarum Hulu tahun 2006 kombinasi 5-4-3.


(36)

5.2 Pengamatan di Lapangan

Pengamatan di lapangan merupakan proses identifikasi objek di lapangan secara langsung di lokasi penelitian terhadap hasil interpretasi objek yang sebelumnya dilakukan dengan citra satelit LANDSAT ETM+. Kondisi-kondisi di lapangan diamati secara seksama dan melaksanakan wawancara dengan responden yang memahami dengan baik tentang kondisi daerah pengamatan.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, jumlah penutupan lahan yang diperoleh adalah sebanyak 12 jenis tutupan lahan. Deskripsi masing-masing tipe penutupan lahan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Deskripsi tipe-tipe penutupan lahan No Kode Tipe penutupan

lahan Deskripsi

1 HP Hutan primer Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan, dan pegunungan yang belum terlihat adanya bekas penebangan

2 HS Hutan sekunder Kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan, dan pegunungan yang telah menampakan bekas tebangan (kenampakan alur dan bercak bekas tebangan)

3 HT Hutan tanaman Kelas penutupan lahan hutan yang merupakan hasil budidaya manusia, meliputi HTR (Hutan Tanaman Rakyat) maupun HR hasil reboisasi atau penghijauan.

4 SMK Semak belukar Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali (mengalami suksesi), atau kawasan dengan pohon jarang (alami), atau kawasan dengan dominasi vegetasi kayu bercampur dengan vegetasi rendah (alami) lainnya, serta tidak nampak adanya bekas tebangan lagi

5 KBN Perkebunan Merupakan seluruh kenampakan kebun, baik yang sudah jadi tanaman tua maupun yang masih merupakan tanaman muda. Apabila lahan tersebut masih clearing dan masih berupa tanah kosong, maka dikategorikan dalam tanah terbuka

6 PMK Permukiman Kenampakan kawasan permukiman, baik perkotaan atau pedesaan yang masih mungkin untuk dipisahkan. Termasuk didalamnya kawasan golf dan kawasan industri.


(37)

Tabel 10 (lanjutan)

No Kode Tipe penutupan

lahan Deskripsi

7 TNH Tanah terbuka Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi.

8 AIR Badan air Seluruh kenampakan perairan termasuk sungai, danau, situ, dan waduk.

9 PLK Pertanian lahan kering

Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang. Pada kebun campur apabila tanaman pertanian lebih mendominasi maka dimasukkan dalam kelas pertanian lahan kering

10 PLK2 Pertanian lahan kering campur

Semua jenis pertanian di lahan kering yang berselang seling atau bercampur dengan semak, belukar, dan bekas tebangan.

11 SWH Sawah Semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang. Kelas ini termasuk juga sawah musiman, sawah tadah hujan, dan sawah irigasi

12 BND Bandara Kenampakan bandara yang berukuran cukup untuk dapat diidentifikasi dan memungkinkan untuk dibedakan dan dideliniasi sebagai lapangan udara atau bandara.

5.3 Analisis Visual Citra LANDSAT ETM+

Pada analisis visual band yang digunakan ialah band sinar tampak, band inframerah dekat dan band inframerah sedang, sedangkan band thermal tidak digunakan. Menurut Jaya (1997) pada daerah sinar tampak, inframerah dekat dan sedang energi yang direflektansikan dan direkam sensor sangat bergantung kepada sifat-sifat objek yang bersangkutan seperti pigmentasi, kadar air, dan struktur sel daun atau percabangan dari vegetasi, kandungan mineral dan kadar air tanah dan tingkat sedimentasi pada air. Sehingga kombinasi band minimal terdiri dari satu band sinar tampak, satu dari inframerah dekat, dan satu dari inframerah sedang dianggap kombinasi yang cukup ideal yang dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai penutupan lahan.

Menurut Lilesand dan Kieffer (1990) secara umum kegunaan masing-masing band pada Citra LANDSAT ETM+ disajikan pada Tabel 11.


(38)

Tabel 11 Karakteristik kegunaan utama band-band Citra LANDSAT ETM+ Band

Panjang gelombang

(µm)

Spektral Kegunaan

1 0.40-0.50 Biru

Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah dan vegetasi, pembedaan tanah dan vegetasi.

2 0.50-0.60 Hijau

Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak pada dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk tanaman sehat dan tanaman yang tidak sehat

3 0.63-0.70 Merah

Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil dan memudahkan pembedaan antara lahan terbuka terhadap lahan bervegetasi

4 0.75-0.90 Inframerah dekat

Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman, memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air.

5 1.55-1.75 Inframerah sedang

Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, kondisi kelembaban tanah 6 10.4-12.5 Inframerah

thermal

Untuk membedakan informasi batuan dan untuk pemetaan hydrothermal 7 2.09-2.35 Inframerah

sedang

Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pembedaan kelembaban tanah

8 0.52-0.9 Pankromatik Studi kota, penajaman batas linier, analisis tata ruang

Sumber : Lilesand dan Kieffer (1990)

Perubahan kelas tutupan dan penggunaan lahan yang akan digunakan pada tahap analisis perubahan lahan adalah berdasarkan penampakan visual pada citra. Untuk mempermudah dalam penafsiran dan interpretasi citra maka user menggunakan kombinasi band 5-4-3. Dengan menggunakan kombinasi band ini user menggunakan panduan dari buku yang dikeluarkan Badan Planologi Kehutanan tahun 2008 dengan judul Pemantauan Sumberdaya Hutan dalam melakukan digitasi secara manual terhadap citra digital.


(39)

Berdasarkan hasil data tersebut ditentukan tipe-tipe kelas tutupan dan penggunaan lahan untuk tiga citra yang berbeda. Dari kegiatan interpretasi visual citra ini dapat diidentifikasi 12 kelas tutupan dan penggunaan lahan yang bisa dibedakan secara visual satu dengan yang lainnya. Jenis kelas tutupan lahan tersebut adalah awan dan bayangan awan yang tidak termasuk ke dalam salah satu kelas tutupan dan penggunaan lahan yang menutupi lapisan atas permukaan bumi tetapi ikut diklasifikasikan sebagai salah satu kelas tutupan dan penggunaan lahan karena dapat mempengaruhi hasil klasifikasi.

5.4 Pengolahan Citra Digital Satelit (Image Procesing) 5.4.1 Area Contoh (Training area)

Dalam menentukan lokasi training area, interpreter terlebih dahulu mengenali setiap pola spektral tutupan lahan yang terdapat dalam citra. Proses penentuan training area merupakan suatu proses yang penting karena akan menentukan keberhasilan klasifikasi.

Penentuan area contoh pada citra LANDSAT ETM+ didasarkan pada penampakan visual dan pedoman pemantauan tutupan lahan Departemen Kehutanan. Area contoh yang dibuat mewakili semua kelas tutupan dan penggunaan lahan pada daerah yang telah ditentukan sebelumnya dan digunakan untuk pengklasifikasian pada citra. Pada penentuan area contoh ini setiap kelas tutupan dan penggunaan lahan diwakili oleh piksel-piksel yang secara spektral berbeda, tetapi piksel-piksel tersebut relatif homogen untuk mewakili satu kelas tutupan dan penggunaan lahan tertentu, hal ini dilakukan untuk menghindari kelas yang tumpang tindih secara spektral, sehingga dapat mengurangi keakuratan hasil klasifikasi.

Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah kelas tutupan dan penggunaan lahan yang akan diklasifikasikan pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 berbeda dengan jumlah kelas tutupan dan penggunaan lahan pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 dan citra LANDSAT ETM+ tahun 2011. Perbedaan jumlah kelas ini disebabkan kualitas data citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 dan citra LANDSAT ETM+ tahun 2011 berbeda yaitu terdapatnya awan dan bayangan awan. Hasil perhitungan Digital Number (DN) yang dilakukan pada training area meliputi


(40)

jumlah piksel, rata-rata, standar deviasi, nilai minimum, nilai maksimum, dan nilai matriks ragam peragam, dapat dilihat pada Lampiran 1, 2, dan 3.

Jumlah area contoh yang digunakan pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2001, citra LANDAT ETM+ tahun 2006, dan citra LANDSAT ETM+ tahun 2011 bisa dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah piksel area contoh

No Kelas tutupan dan penggunaan lahan LANDSAT ETM+ tahun 2001

LANDSAT ETM+ tahun 2006 LANDSAT ETM+ tahun 2011 Jumlah piksel Jumlah piksel (%) Jumlah piksel Jumlah piksel (%) Jumlah piksel Jumlah piksel (%)

1 Hutan primer 22 5,53 12 1,21 25 4,15

2 Hutan

sekunder 34 8,54 40 4,04 41 6,80

3 Hutan

tanaman 22 5,53 38 3,83 43 7,13

4 Semak 21 5,28 42 4,24 30 4,98

5 Kebun 21 5,28 141 14,23 20 3,32

6 Pemukiman 36 9,05 241 24,32 23 3,81

7 Tanah

terbuka 27 6,78 18 1,82 30 4,98

8 Air 32 8,04 97 9,79 39 6,47

9 Pertanian

lahan kering 27 6,78 48 4,84 30 4,98

10 Pertanian lahan kering campur

29 7,29 57 5,75 21 3,48

11 Sawah 32 8,04 182 18,37 85 14,10

12 Bandara 22 5,53 75 7,57 21 3,48

13 Awan 52 13,07 - - 175 29,02

14 Bayangan

Awan 21 5,28 - - 20 3,32

Total 398 100,00 991 100,00 603 100,00

Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa total jumlah piksel dalam setiap tahun berbeda, untuk tahun 2001 menggunakan 398 piksel, tahun 2006 menggunakan 991 piksel, dan tahun 2011 menggunakan 603 piksel. Perbedaan jumlah piksel pada setiap tahun dikarenakan jumlah piksel disesuaikan dengan kebutuhan pengambilan Area of Interst (AOI) yang berbeda setiap tahunnya. Sedikit banyaknya AOI yang digunakan tergantung dari tingkat keterpisahan yang dicapai. Apabila belum terpisah, maka AOI akan ditambah atau dikurangi.


(41)

Karakteristik reflektansi masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan tiap band untuk ketiga citra LANDSAT ETM+ bisa dilihat pada Gambar 7.

(1)

(2)

(3)

Gambar 7 Nilai rata-rata DN area contoh untuk masing-masing kelas tutupan dan penggunaan lahan tiap band Citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 (1); Citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 (2); dan Citra LANDSAT ETM+ tahun 2011 (3).


(42)

Gambar 7 menunjukan karakteristik nilai rata-rata piksel (Digital Number) kelas tutupan dan penggunaan lahan vegetasi hijau seperti semak atau belukar, kebun atau perkebunan, hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, dan sawah mempunyai grafik yang menaik pada band 4 (inframerah dekat), hal ini disebabkan karena adanya kandungan klorofil dalam daun yang berinteraksi dengan panjang gelombang inframerah dekat. Nilai reflektansi minimum terdapat pada kelas tutupan lahan yang bervegetasi pada saluran merah.

Menurut Rambe (1989) semakin banyak atau lebat penutupan lahan oleh vegetasi, maka akan menurunkan rata-rata DN, karena sebagian sinar matahari diserap oleh klorofil dan vegetasi. Grafik menurun menunjukkan bahwa kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut rata-rata tidak memantulkan panjang gelombang inframerah dekat sekuat vegetasi hijau berklorofil daun. Kelas tutupan dan penggunaan lahan tanah terbuka mempunyai nilai reflektansi tertinggi terhadap panjang gelombang inframerah dekat, diikuti kelas tutupan dan penggunaan lahan kebun atau perkebunan.

Karakteristik DN rata-rata kelas tutupan dan penggunaan lahan tubuh air mengikuti bayangan awan. Pada umumnya, awan mempunyai nilai reflektansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas tutupan dan penggunaan lahan lainnya pada semua panjang gelombang. Sedangkan bayangan awan mempunyai nilai reflektansi yang relatif kecil dibandingkan dengan kelas tutupan dan penggunaan lahan lain pada semua panjang gelombang.

5.4.2 Analisis Separabilitas

Berdasarkan analisis separabilitas citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 dengan menggunakan kombinasi band 5-4-3 memiliki nilai rata-rata TD terbesar dibandingkan nilai rata-rata TD tahun lainnya sebesar 1.996,42. Pada kombinasi band ini menunjukkan bahwa semua kelas tutupan dan penggunaan lahan memiliki kriteria tingkat keterpisahan yang sempurna, baik dan sedang. Nilai TD terendah adalah 1.862,27 yaitu kelas tanah terbuka – semak belukar, yang menandakan adanya karakteristik nilai dijital yang dekat dibandingkan dengan pasangan kelas tutupan dan penggunaan lahan lainnya. Sedangkan kelas tutupan


(43)

dan penggunaan lahan hutan tanaman – pertanian lahan kering campur mempunyai nilai TD terendah kedua sebesar 1.868,76. Matriks separabilitas citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 menggunakan kombinasi band 5-4-3disajikan pada Lampiran 1.

Nilai analisis separabilitas citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 dengan menggunakan kombinasi band 5-4-3 memberikan nilai rata-rata TD sebesar 1.980,64. Pada kombinasi band ini menunjukkan bahwa semua kelas tutupan dan penggunaan lahan memiliki kriteria tingkat keterpisahan yang sempurna, baik, cukup, dan buruk. Pasangan kelas tutupan dan penggunaanlahan hutan tanaman - semak memiliki nilai TD terendah, yaitu 1.737,33 yang menunjukkan kedekatan karakteristik nilai pikselnya namun masih dapat dikategorikan terpisah dengan cukup. Pasangankelas tutupan dan penggunaan lahan terdekat selanjutnya adalah hutan primer – pertanian lahan kering campur dengan nilai TD 1.746,54 hal ini akan memungkinkan terjadinya piksel-piksel yang teridentifikasi ke dalam kelas yang salah. Matriks separabilitas citra LANDSAT ETM+ tahun 2006 menggunakan kombinasi band 5-4-3 disajikan padaLampiran 2.

Hasil analisis separabilitas citra LANDSAT ETM+ tahun 2011 dengan menggunakankombinasi band 5-4-3 memiliki nilai rata-rata TD sebesar 1.993,47. Pada kombinasi band ini dari setiap kelas yang dianalisis, sebagian besar terpisah secara sempurna (TD = 2000) dan terpisah dengan baik (1.900<TD<2.000), namun terdapat kelas-kelas yang secara statistik tidak terpisahkan (<1600) tetapi tidak terdapat kelas kurang baik atau sedang keterpisahannya(1.601< TD<1.699) yang dapat mengurangi nilai akurasi dalam proses klasifikasi. Nilai TD terendah adalah 1.579,76 yaitu kelas hutan primer dengan hutan sekunder, yang menandakan adanya karakteristik nilai digital yang dekat dibandingkan dengan pasangan kelas tutupan dan penggunaan lahan lainnya, hal ini dapat disebabkan kurangnya jumlah piksel yang digunakan dalam training area dalam mengklasifikasi kelas tutupan lahan tersebut. Matriks separabilitas citra LANDSAT ETM+ tahun 2011 menggunakan kombinasi band 5-4-3 disajikan pada Lampiran 3.


(44)

5.4.3 Evaluasi Akurasi

Evaluasi akurasi pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 dengan menggunakan kombinasi band 5-4-3 menghasilkan Overall accuracy sebesar 97,82% dan Kappa accuracy sebesar 97,63%, hal ini menunjukkan bahwa dari seluruh piksel yang digunakan, sebesar 97,63% dari piksel-piksel tersebut dapat terkelaskan dengan benar. Nilai user’s accuracy dan producer’s accuracy pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 User’s accuracy dan producer accuracy pada citra LANDSAT ETM+ tahun 2001 dengan kombinasi band 5-4-3

No Kelas tutupan dan penggunaan lahan

User’s

accuracy (%) Producer’s accuracy (%)

1 Hutan primer 100,00 100,00

2 Hutan sekunder 100,00 100,00

3 Hutan tanaman 70,00 100,00

4 Semak 100,00 89,47

5 Kebun 100,00 100,00

6 Pemukiman 100,00 100,00

7 Tanah terbuka 91,67 100,00

8 Air 100,00 100,00

9 Pertanian lahan kering 100,00 100,00

10 Pertanian lahan kering

campur 100,00 80,00

11 Sawah 100,00 100,00

12 Bandara 100,00 100,00

13 Awan 100,00 100,00

14 Bayangan awan 100,00 100,00

Kelas tutupan dan penggunaan lahan hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, perkebunan, permukiman, tanah terbuka, badan air, pertanian lahan kering, sawah, bandara, awan, dan bayangan awan mempunyai nilai akurasi sebesar 100%. Angka 100% menunjukkan bahwa pada kelas kelas tutupan dan penggunaan lahan tersebut tidak terjadi kesalahan klasifikasi dengan tidak mengambil piksel dari kelas lain.

Kelas tutupan dan penggunaan lahan pertanian lahan kering campur merupakan kelas yang memiliki nilai producer’s accuracy yang paling kecil bila dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya yaitu sebesar 80% karena pada kelas tersebut terdapat piksel dari kelas lain yang masuk ke dalam kelas ini, yaitu piksel dari kelas hutan tanaman sebanyak 6 piksel. Kelas tutupan dan penggunaan lahan semak atau belukar mempunyai nilai producer’s accuracy sebesar 89,47 %. Hal


(1)

90 Perkebunan


(2)

91 Lampiran 10. Warna piksel kelas tutupan lahan DAS Citarum Hulu tahun 2001

Class Signature Name Color Red Green Blue Value Order Count Probabiliy

1 Hutan primer 0,289 0,464 0,025 5 5 22 1,000

2 Hutan tanaman 0,800 1,000 0,293 7 15 22 1,000

3 Semak 0,743 0,347 0,751 8 20 21 1,000

4 Pemukiman 0,832 0,254 0,820 10 30 36 1,000

5 Tanah terbuka 0,864 0,556 0,753 11 35 27 1,000

6 Air 0,000 0,009 0,464 12 40 32 1,000

7 Pertanian lahan kering 0,562 1,000 0,141 13 45 27 1,000

8 Pertanian lahan kering campur 0,771 1,000 0,333 14 50 29 1,000

9 Sawah 0,582 0,816 0,353 3 56 32 1,000

10 Bandara 0,868 1,000 0,575 16 61 22 1,000

11 Awan 0,918 1,000 0,866 17 66 52 1,000

12 Bayangan awan 0,097 0,187 0,000 18 71 21 1,000

13 Hutan sekunder 0,186 0,230 0,000 15 81 34 1,000


(3)

92 Lampiran 11. Warna piksel kelas tutupan lahan DAS Citarum Hulu tahun 2006

Class Signature Name Color Red Green Blue Value Order Count Probability

1 Air 0,000 0,003 0,323 5 5 97 1,000

2 Sawah 0,153 0,220 0,749 6 10 182 1,000

3 Bandara 0,815 0,559 0,656 7 15 75 1,000

4 Pemukiman 0,834 0,243 0,760 8 20 241 1,000

5 Hutan tanaman 0,223 0,318 0,000 11 35 38 1,000

6 Semak 0,187 0,358 0,000 12 40 42 1,000

7 Perkebunan 0,595 0,997 0,149 13 45 141 1,000

8 Pertanian lahan kering 0,519 0,785 0,308 15 56 48 1,000

9 Tanah terbuka 0,619 0,642 0,552 1 62 18 1,000

10 Hutan primer 0,2236 0,576 0,000 2 63 12 1,000

11 Hutan sekunder 0,142 0,232 0,000 18 78 40 1,000


(4)

93 Lampiran 12. Warna piksel kelas tutupan lahan DAS Citarum Hulu tahun 2011

Class Signature Name Color Red Green Blue Value Order Count Probability

1 Hutan primer 0,220 0,363 0,000 5 5 25 1,000

2 Hutan sekunder 0,157 0,271 0,000 6 10 41 1,000

3 Hutan tanaman 0,399 0,656 0,300 7 15 43 1,000

4 Pemukiman 0,600 0,457 0,572 10 30 37 1,000

5 Tanah terbuka 0,232 0,305 0,463 11 35 23 1,000

6 Air 0,000 0,066 0,283 12 40 39 1,000

7 Pertanian lahan kering 0,503 0,984 0,000 13 45 30 1,000

8 Pertanian lahan kering campur 0,623 0,987 0,134 14 50 21 1,000

9 Bandara 0,716 0,935 0,630 16 60 21 1,000

10 Awan 0,961 1,000 0,925 17 65 175 1,000

11 Bayangan awan 0,027 0,137 0,225 18 70 20 1,000

12 Perkebunan 0,417 0,782 0,126 19 75 20 1,000

13 Sawah 0,339 0,851 0,292 9 80 85 1,000


(5)

RINGKASAN

HIKMAT MEGANDANA. Perubahan Penutupan Lahan di DAS Citarum Hulu - Jawa Barat dengan Menggunakan Citra Satelit LANDSAT ETM+. Dibimbing oleh NINING PUSPANINGSIH.

DAS Citarum Hulu mempunyai fungsi penting bagi masyarakat, yaitu pembangkit listrik tenaga air, irigasi pertanian, industri, dan pariwisata bagi masyarakat Jawa Barat. Pertumbuhan penduduk dan pembangunan industri mengakibatkan kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Pemanfaatan sumberdaya lahan untuk kegiatan pembangunan mempengaruhi perubahan penutupan lahan pada hutan dan daerah tangkapan air. Luas hutan yang terus berkurang telah mengakibatkan terjadinya banjir, berkurangnya debit air tanah, dan bertambahnya lahan kritis.

Satelit LANDSAT merupakan salah satu satelit yang dapat digunakan untuk memantau perubahan penutupan lahan dan penggunaan lahan dengan menggunakan sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) sehingga dapat diketahui perubahan lahan yang terjadi di DAS Citarum Hulu.

Penelitian ini bertujuan menganalisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan khususnya hutan yang terjadi di DAS Citarum Hulu, Jawa Barat pada tahun 2001, 2006, dan 2011 dengan menggunakan data citra satelit LANDSAT ETM+ resolusi spasial 30 m.

Metode yang digunakan adalah pengolahan awal citra, interpretasi visual citra, observasi di lapangan, penentuan area contoh, analisis separabilitas dengan metode transformed divergence, klasifikasi terbimbing menggunakan metode kemungkinan maksimum, analisis uji akurasi, reklasifikasi, dan analisis perubahan penutupan lahan.

Penutupan dan penggunaan lahan di DAS Citarum Hulu dapat diklasifikasikan ke dalam 12 kelas tutupan dan penggunaan lahan, yaitu hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, semak belukar, perkebunan, permukiman, tanah terbuka, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, persawahan dan bandara.Pada tahun 2001, luas hutan primer di DAS Citarum hulu mencapai 1.682,22 ha dan turun menjadi 1.036,61 ha atau sekitar0,28 % pada tahun 2006. Pada saat yang sama, kelas yang mengalami peningkatan adalah kelas permukiman dari 38.807 ha pada tahun 2001 menjadi 41.367,40 ha pada tahun 2006. Areal hutan dikonversi menjadi persawahan, pertanian lahan kering, hutan tanaman, perkebunan, dan pertanian lahan kering campur. Kelas tanah terbuka mengalami penurunan pada kurun waktu 2001-2011, yaitu sebesar 1.241,10 ha atau 0,534 %. Penurunan jumlah luasan kelas tanah terbuka menunjukan lahan di DAS Citarum Hulu yang semakin dimanfaatkan oleh masyarakat.


(6)

SUMMARY

HIKMAT MEGANDANA. Land Cover Change in Citarum Hulu Watershed West Java Using Satellite LANDSAT ETM+ Image. Supervised by NINING PUSPANINGSIH.

Citarum Hulu watershed has an important function for the people such as, the hydroelectric power, agricultural irrigation, industry, and tourism for the people of West Java. Population growth and industrial development resulted in increasing the need for land. Utilization of land resources for development activities are affecting changes on forests and water catchment areas. The decreasing of forest has resulted in flood, reduced groundwater discharge, and increased critical areas.

LANDSAT satellite is one of the satellites that can be used to monitor land cover and land use changes using instrument ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) so we will know the land changes that occur in the Citarum Hulu watershed.

This study aims to analyze the land cover and land use changes on forest cover particulary in Citarum Hulu watershed, West Java in years of 2001, 2006, and 2011 by using data satellite LANDSAT ETM+ image spatial resolution 30 m.

The method used is the initial processing of the image, visual image interpretation, field observations, the determination of sample area, analysis contingency with transformed divergence method, supervised classification using the maximum likelihood method, analysis of accuracy test, reclassification, and analysis of land cover change.

Land cover and land use of Citarum Hulu watershed can be classified into 12 classes of land cover and use, namely primary forest, secondary forest, plantations forest, scrub, farm, settlement, open land, dry land agriculture, mixed dry land agriculture, paddy fields and airport. In 2001, primary forest of Citarum Hulu watershed reaches down to 1.682,22 ha and 1.036,61 ha or about 0.28% in 2006. At the same time, the class of settlement increased from 38.807 ha in 2001 to 41.367,40 ha in 2006. Forest converted to rice fields, dry land agriculture, plantations forest, farm, and mixed dry land agriculture. Class open land has decreased in the period 2001-2011, amounting to 1241.10 ha or 0.534%. Decrease the amount of open land class area of land shown on Citarum Hulu watershed increasingly used by the public.