PENDETEKSIAN SERANGAN GULMA Pendahuluan

94

6. PENDETEKSIAN SERANGAN GULMA Pendahuluan

Praktek pengendalian gulma yang biasa dilakukan pada pertanian tanaman pangan adalah pengendalian praolah dan pascatumbuh. Aplikasi kegiatan Praolah dilakukan dengan maksud untuk mempermudah kerja alat pengolah tanah, sedangkan aplikasi Pascatumbuh dilakukan dengan maksud untuk menjamin tanaman pokok dapat bertahan pada periode kritis dimana persaingan tanaman pokok dan gulma cenderung sangat ketat. Pada kegiatan pengendalian gulma Praolah kondisi lahan masih terbuka, biasanya hanya berupa lahan kosong yang ditumbuhi beberapa jenis gulma yang tersebar di seluruh lahan. Penelitian pengendalian serangan gulma pada lahan terbuka bertujuan untuk mendeteksi keberadaan gulma di lahan terutama dari segi kepadatan serangan. Hasil dari penelitian ini selanjutnya akan menjadi pemandu bagi VRT Variable Rate Technology dalam bentuk aplikator cairan yang dirancang untuk mampu bekerja tepat lokasi dan tepat dosis. Saputra 2011 melakukan penelitian dengan judul Pengembangan Sensor Warna Daun Untuk Pemetaan Kepadatan Serangan Gulma Pada Lahan Terbuka. Pada penelitian tersebut digunakan dua jenis kamera, yaitu kamera web webcam dan kamera CCD change coupled device. Klasifikasi tingkat serangan gulma dilakukan dengan menganalisa nilai rataan warna hijau dari citra lahan. Semakin besar nilai rataan warna hijau maka tingkat serangan gulmanya semakin tinggi. Metode Metode pendeteksian serangan gulma di lahan meliputi beberapa tahapan kerja, antara lain : - Penangkapan citra - Pengolahan citra - Klasifikasi tingkat kepadatan gulma 95 1. Penangkapan Citra Pendeteksian kepadatan serangan gulma di lahan dilakukan dengan cara menangkap citra kondisi lahan. Metode pemotretan dilakukan dengan menggunakan peralatan yang didesain untuk bekerja pada panjang citra 102 cm dan lebar 136 cm. Format citra pada layar komputer yang digunakan adalah 640 x 480 piksel. Lebar dan panjang tangkapan citra yang diinginkan diperoleh dengan mengatur ketinggian kamera pada nilai tertentu. Hubungan jarak pemotretan dengan lebar dan panjang tangkapan citra mengikuti persamaan berikut : P = 0.75 x T – 6 11 L = T – 8 12 Keterangan : P = Panjang citra cm, L = Lebar citra cm, T = Tinggi kamera cm Persamaan tersebut di atas diperoleh dari uji coba pengukuran hubungan jarak pemotretan dengan lebar dan panjang tangkapan citra, jarak minimal pemotretan yang digunakan adalah 30 cm. Gambar 46 berikut ini menunjukkan hubungan antara jarak pemotretan dengan lebar dan panjang tangkapan citra. Gambar 46. Hubungan antara jarak pemotretan dengan lebar dan panjang tangkapan citra. 0.0 50.0 100.0 150.0 200.0 250.0 50 100 150 200 250 P anj ang a ta u Le ba r C it ra cm Tinggi Kamera cm Panjang Lebar 96 Berdasarkan hasil ujicoba di laboratorium dan di lapangan diketahui bahwa walaupun citra hasil tangkapan webcam lebih tajam daripada citra hasil tangkapan CCD pada lokasi pemotretan dengan naungan, akan tetapi webcam tidak mampu menangkap citra di ruang terbuka dengan baik karena terlalu sensitif terhadap perubahan intensitas cahaya. Sehingga penelitian mempergunakan kamera CCD sebagai sensor penangkap citra. a webcam b kamera CCD Gambar 47. Jenis kamera penangkap citra lahan. 2. Pengolahan Citra Citra yang ditangkap selanjutnya difilterisasi dengan parameter Hue untuk memisahkan citra tanaman dan latar belakang. Citra hasil pemotretan dengan ukuran 640 x 480 piksel dibagi menjadi 4 buah citra terpisah dengan ukuran masing-masing 320 x 240 piksel Gambar 48. Dari keempat gambar tersebut akan ditentukan nilai rataan dari nilai hijau yang ada pada setiap piksel penyusunnya. Gambar 48. Pengolahan gambar serangan gulma 3. Klasifikasi Tingkat Kepadatan Gulma Metode Bertingkat. Kepadatan gulma sebagai hasil dari analisa filterisasi citra terbagi dalam empat kelompok dengan metode bertingkat. Pembagian kelompok 2B 2A 1A 1B Citra hasil Pemotretan 97 secara bertingkat akan mengelompokkan nilai rataan hijau yang lebih besar dari setengah nilai maksimum rataan hijau ke dalam kelompok serangan “Padat” atau “Kelas 4”. Sedangkan kelas-kelas selanjutnya adalah dengan nilai pembatas setengah dari nilai batas bawah kelas di atasnya. Penentuan kelas kepadatan dengan cara bertingkat sebagaimana terlihat pada Tabel 13 akan menuntun metode pengkelasan ke tingkat kepadatan yang lebih tinggi, karena semakin tinggi kelas kepadatan gulma akan memiliki rentang batas nilai rataan hijau yang lebih lebar. Rataan nilai hijau dari suatu gambar yang diolah dibagi menjadi empat bagian dengan cara sebagaimana terlihat pada Tabel 13 berikut. Tabel 13. Penentuan kelas kepadatan pada metode pengkelasan bertingkat. Batas Nilai Rataan Hijau Piksel Ḡ Kelas Ḡ = 0 dan Ḡ Nilai Terkecil Kelas 1 Ḡ = Nilai Terkecil dan Ḡ 2 Nilai Terkecil Kelas 2 Ḡ = 2 Nilai Terkecil dan Ḡ ½ Nilai Terbesar Kelas 3 Ḡ = ½ Nilai Terbesar dan Ḡ 255 Kelas 4 Catatan : Nilai Terkecil = 38.22, Nilai Terbesar = 229.34 Nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Nilai 1 sampai 4 diberikan pada bagian citra sebagai hasil dari klasifikasi kepadatan gulma berdasarkan nilai rataan hijau dari warna citra. Nilai 1 untuk kondisi lahan bersih dari gulma, nilai 2 untuk serangan gulma jarang, nilai 3 untuk serangan gulma sedang, dan nilai 4 untuk serangan gulma padat dimana nilai 255 adalah nilai tertinggi dari komponen warna hijau. Tabel 14. Nilai klasifikasi tingkat kepadatan gulma secara bertingkat. Kelas Rataan Nilai Hijau Keterangan Batas Bawah Batas Atas 1 0.00 38.22 Tidak ada 2 38.22 76.45 Jarang 3 76.45 114.67 Sedang 4 114.67 255.00 Padat 98 Hasil dan Pembahasan Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saputra 2011 pemisahan antara tanaman pokok dan latar belakang menggunakan beberapa tahap pemisahan warna. Setiap tahap pengolahan citra terdapat batas nilai RGB. Berdasarkan hasil uji validasi, sistem yang dibangun memiliki akurasi pada kategori jarang 4.40, sedang 79.80 dan padat sebesar 24.10. Tabel 15. Batas nilai RGB pada proses Thresholding Saputra, 2011. Gambar 49. Citra hasil tangkapan kamera CCD dan filterisasi bertahap Saputra , 2011 Gambar 50. Citra hasil tangkapan kamera digital dan filterisasi dengan pembatas nilai Hue 46.5 o . Thresholding tingkat 1 Thresholding tingkat 2 Thresholding tingkat 3 R G B R G B R G B - 240 - 165 140 110 130 140 - dan dan 180 210 180 240 210 205 99 Penelitian pendeteksian serangan gulma pada lahan terbuka menggunakan citra gulma hasil tangkapan dengan perangkat kamera digital dengan ukuran memori 0.3 Mb dan ukuran piksel 640 x 480 piksel. Gambar 49 menunjukkan citra hasil tangkapan kamera CCD dan filterisasi bertahap Saputra, 2011, dan Gambar 50 menunjukkan hasil tangkapan kamera digital dan filterisasi dengan pembatas nilai Hue 46.5 o . a Kelas 1 b Kelas 2 c Kelas 3 d Kelas 4 Gambar 51. Identifikasi kelas serangan gulma berdasarkan rataan nilai hijau. Gambar 51 menampilkan hasil identifikasi tingkat serangan gulma berdasarkan rataan nilai hijau dengan metode bertingkat. Pada gambar tersebut dapat dilihat kelas serangan gulma berupa nomor integer di bagian kiri-atas tiap bagian citra, dan nilai rataan warna hijau di bagian kiri-bawah tiap bagian citra. 100 3 2 4 3 2 1 4 2 2 1 3 2 4 3 1 4 4 3 1 2 3 2 4 3 1 2 3 2 1 2 4 2 4 4 3 2 4 4 1 2 2 1 3 1 1 2 2 1 1 1 2 1 3 2 1 1 2 2 2 1 3 2 3 2 2 2 4 3 2 3 2 1 1 2 1 1 1 2 1 2 3 2 4 3 2 1 3 3 2 1 3 3 2 3 2 3 2 3 3 3 2 2 3 2 3 1 2 1 2 1 2 4 3 1 4 4 3 1 3 4 3 2 2 4 2 2 1 4 1 2 Gambar 52. Peta tingkat sebaran gulma dengan metode bertingkat ukuran pengamatan 640 x 480 piksel dan 320 x 240 piksel. 101 Gambar 52 menunjukkan perbandingan hasil klasifikasi dengan metode bertingkat pada ukuran citra 640x480 piksel dan klasifikasi dengan ukuran citra 320x240 piksel. Pada gambar tersebut terlihat secara jelas perbedaan antara klasifikasi dengan ukuran citra 640x480 piksel dan citra dengan ukuran 320x240 piksel. Klasifikasi dengan ukuran citra lebih kecil memberikan gambaran lebih detil sesuai dengan kebutuhan rancangan fungsional aplikator cairan yang akan dibangun. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pembagian citra menjadi 4 bagian ukuran 320x240 piksel dapat memberikan hasil yang berbeda dibandingkan dengan klasifikasi citra tunggal ukuran 640x480 piksel. Hanya satu citra yang memiliki nilai sama antara ukuran citra tunggal dan citra yang dibagi empat, selebihnya menunjukkan perbedaan antara hasil klasifikasi citra tunggal dengan citra yang dibagi empat. Bahkan pada nilai rata-rata klasifikasi yang sama bentuk pola klasifikasi pada citra yang dibagi empat memiliki pola yang belum tentu sama Gambar 53. Pada contoh kasus dimana rata-rata tingkat serangan gulma pada suatu citra memiliki nilai yang sama antara perhitungan citra tunggal Gambar 53 a dan citra terbagi 4 Gambar 53 b dapat dilihat bahwa pola pada peta aplikasi yang terbentuk benar-benar berbeda. a Citra tunggal b Citra 4 potongan Gambar 53. Perbedaan pola klasifikasi pada nilai rata-rata yang sama. 102 Pada tahap aplikasi penyemprotan meskipun rata-rata penggunaan herbisida akan sama besar metode pembagian citra akan memberikan peta aplikasi yang akan memandu peralatan mendistribusikan herbisida lebih tepat-dosis dan tepat-lokasi. Klasifikasi Non-parametrik Bayes Klasifikasi tingkat serangan gulma dengan metode Nonparametrik Bayes dilakukan menggunakan data yang sama dengan yang digunakan pada metode bertingkat. Perbedaannya terdapat pada jumlah variabel yang digunakan sebagai penentu klasifikasi. Pada metode klasifikasi bertingkat hanya digunakan nilai rata-rata warna hijau, sedangkan pada klasifikasi dengan metode Bayes digunakan 3 variabel 3 dimensi yaitu : a rata-rata warna hijau, b rata-rata warna merah, dan c rata-rata warna biru. Penaksir inti dari sampel random X 1 , X 2 ,. . . , X n dengan inti K dan lebar jendela h menurut Johnston 1997 disefinisikan sebagai berikut : ̂ ∑ 13 Penaksiran nilai inti pada tiap titik sampel dilakukan dengan cara menjumlahkan n jumlah bukit hill yng memiliki luas 1n, sehingga persamaan penaksir inti menjadi : 1 4 Inti kernel yang digunakan merupakan fungsi kepadatan probabilitas dengan rataan 0 dan simpangan baku yang tidak bernilai 0. Inti yang digunakan pada sebaran normal adalah inti Gaussian yang nilainya ditentukan berdasarkan formula berikut : √ , untuk - ∞ t ∞ 15 Inti yang optimal diperoleh dari lebar jendela optimal yang nilainya ditentukan berdasarkan persamaan berikut : 16 dimana σ adalah simpangan baku dan iqr adalah jangkauan antar kuartil inter quartile range de Gunts, 1994. Lebar jendela yang kecil menyebabkan bukit kurva menjadi terjal, sedangkan nilai lebar jendela yang besar akan menyebabkan 103 bukit kurva menjadi landai. Pemilihan nilai K dan lebar jendela h yang optimum akan meminimalkan nilai MISE Mean Integrated Square Error. ∫ ̂ 17 dengan ft sebagai fungsi kepadatan populasi. Penaksiran nilai inti suatu kelas dari sampel X dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut : 18 Keterangan : = dugaan tinggi fungsi peluang pada kelas c untuk fitur x, untuk c = 1,2,3,4 xij = observasi ke i komponen ke j j :1,2,3,4 hj = parameter lebar jendela untuk komponen ke j Kt = adalah normal baku rataan 0 dan simpangan baku 1 d = dimensi vektor R,G,B n = jumlah observasi s = standar deviasi komponen ke j. Berdasarkan hasil perhitungan nilai pada masing-masing kelas, maka klasifikasi tingkat kepadatan gulma ditentukan dengan memilih nilai kelas berdasarkan nilai ˆ x f c . Pilih kelas c, sehingga ˆ x f c ˆ x f d , c≠d dan c,d = 1,2,3,4 Proses perhitungan dengan metode nonparametrik Bayes menggunakan data yang sama dengan data yang dipakai untuk identifikasi dengan metode bertingkat, dimana nilai peluang untuk masing-masing kelas dianggap memiliki nilai yang sama. Metode Bayes diawali dengan melakukan training dengan menggunakan data hasil klasifikasi bertingkat yang diambil secara acak. Data training terdiri dari 12 data pada kelas serangan “Tidak ada”, 12 data pada kelas serangan “Jarang”, 12 data pada kelas serangan “Sedang”, dan 12 data pada kelas serangan “Padat”. Sebagian data yang lain digunakan sebagai data untuk validasi.                       n i d j j ij j d c h x x K h h nh x f 1 1 2 1 ... 1 ˆ ˆ x f c ˆ x f c 104 4 3 2 1 4 3 3 1 4 2 2 1 4 2 2 1 4 3 1 4 4 3 1 3 4 3 1 2 4 3 1 2 4 3 1 2 4 3 1 2 3 2 1 2 3 2 1 2 4 4 3 2 4 4 3 2 4 4 1 2 4 4 1 2 3 1 1 2 3 1 1 2 2 1 1 1 2 1 1 1 3 2 1 1 3 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 1 3 2 2 2 3 2 2 2 4 3 2 3 4 3 2 3 1 2 1 1 1 2 1 1 1 2 1 2 1 2 1 2 4 3 2 1 4 3 2 1 3 3 2 1 3 3 2 1 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 2 3 1 3 2 3 1 2 1 2 1 2 1 2 1 3 1 4 4 3 1 4 4 3 1 3 4 3 1 4 4 2 4 2 2 2 4 2 2 2 4 1 2 1 4 1 2 a Metode bertingkat b metode Bayes Gambar 54. Peta sebaran gulma metode bertingkat dan metode Bayes. 105 Hasil training dengan metode nonparametrik Bayes menghasilkan akurasi 100, dan hasil perhitungan nilai validasi dengan data citra yang lain menunjukkan akurasi sebesar 94 Lampiran 10. Kesalahan pendugaan kelas kepadatan disebabkan karena perbedaan nilai batasan selang pada suatu kelas antara rataan G dan rataan R, B. Dimana sebuah citra memiliki nilai rataan G pada selang kelas X akan tetapi nilai raatan R dan B masuk ke selang kelas Y. Gambar 54 menunjukkan perbandingan perbedaan klasifikasi bertingkat dan klasifikasi metode nonparametrik Bayes. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya tujuan pengendalian gulma pascatumbuh dilakukan dengan maksud untuk menjamin tanaman pokok dapat bertahan pada periode kritis dimana persaingan tanaman pokok dan gulma cenderung sangat ketat. Pada tahapan pascatumbuh serangan gulma dapat dilihat secara visual pada baris kosong diantara tanaman pokok Gambar 55. Metode pendeteksian serangan gulma pada tahap ini perlu dibangun mengingat citra hasil tangkapan kamera tidak hanya berisi gulma, akan tetapi di dalam citra tersebut juga terdapat tanaman pokok. Gambar 55. Ilustrasi serangan gulma pada tahap pascatanam. Tanaman utama Gulma baris ke-1 tanaman baris ke-2 tanaman 106 Metode pendeteksian serangan gulma pada tahap pascatumbuh adalah dengan cara menggabungkan metode pendeteksian jenis tanaman dan metode pendeteksian serangan gulma pada lahan terbuka dengan tujuan untuk mendapatkan kondisi serangan gulma sebaik mungkin dengan menghilangkan tanaman pokok yang ada pada citra. Langkah pendeteksian serangan gulma pada periode pascatumbuh adalah sebagai berikut : 1 Filterisasi untuk memisahkan tanaman dengan latar belakang. 2 Mendeteksi keberadaan tanaman utama pada baris ke-1 dengan cara menangkap satu persatu obyek yang ada mulai dari sisi kiri-atas citra, obyek yang tertangkap selanjutnya dianalisa jenisnya. Apabila pendeteksian dilakukan pada kondisi dimana ukuran gulma dan tanaman pokok jelas berbeda maka pendeteksian tanaman pokok ditentukan dengan membandingkan ukuran tiap-tiap obyek tanaman. Apabila pendeteksian dilakukan pada kondisi dimana ukuran gulma dan tanaman pokok hampir sama maka pendeteksian tanaman pokok dilakukan dengan analisa dimensi fraktal. 3 Mendeteksi keberadaan tanaman utama pada baris ke-2 cara yang sama dengan langkah ke-2. 4 Menentukan batas kiri dan batas kanan masing-masing baris tanaman pada citra tanaman. 5 Menghapus barisan tanaman utama pada citra dengan parameter batas kiri dan batas kanan masing-masing barisan. 6 Membagi citra yang telah dihilangkan tanaman pokoknya menjadi 4 bagian. 7 Klasifikasi kepadatan serangan gulma dilakukan dengan metode yang sama dengan metode klasifikasi pada lahan terbuka. 107 Gambar 56. Pendeteksian serangan gulma pada tahap pascatumbuh. Desain proses penyemprotan satu set sistem serial adalah dengan menggunakan dua nozzle sejajar, dimana masing-masing nozzle akan melakukan penyemprotan sesuai dengan kelas kepadatan serangan gulma pada masing- masing bagian potongan citra. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan suatu variabel yang berisi sebuah karakter tertentu yang dapat menggambarkan nilai kombinasi dari dua potongan citra yang sejajar. Berdasarkan jumlah kelas kepadatannya, maka akan terdapat 16 kombinasi yang mungkin terjadi dari citra hasil pemotretan lahan. Tabel 16 . Nilai kombinasi hasil pengolahan gambar. Nilai A Nilai B Nilai Kombinasi Nilai A Nilai B Nilai Kombinasi 1 1 a 3 1 i 1 2 b 3 2 j 1 3 c 3 3 k 1 4 d 3 4 l 2 1 e 4 1 m 2 2 f 4 2 n 2 3 g 4 3 o 2 4 h 4 4 p 108 Pada penyemprotan yang memerlukan kapasitas kerja besar satu unit sistem penyemprot mampu bekerja dengan beberapa unit kamera digital dengan jumlah unit nozzle yang lebih banyak Gambar 57. Untuk mengetahui berapa jumlah kamera dan nozzle maksimum yang mampu ditangani oleh satu unit komputer diperlukan analisa kecepatan pemrosesan citra sampai pengiriman data dosis ke aktuator. Berdasarkan analisa tersebut selanjutnya dilakukan analisa komputasi paralel untuk mengetahui sejauh mana sistem mampu ditingkatkan kecepatan kerjanya sehingga sistem mampu melakukan komputasi beberapa citra dalam waktu tertentu. Gambar 57. Konfigurasi sistem penyemprot dengan 3 kamera dan 6 nozzle. Simpulan 1. Hasil training penentuan tingkat kepadatan serangan gulma dengan metode non-parametrik Bayes menghasilkan akurasi 100, dan ketelitian yang diperoleh dari validasi dengan data citra yang berbeda menunjukkan akurasi sebesar 94. 2. Penerapan metode pemecahan citra akan meningkatkan ketelitian aplikasi dari segi dosis dan ketepatan lokasi. 109 3. Perhitungan matematis kebutuhan herbisida berdasarkan hasil analisa kepadatan gulma pada lahan di Laboratorium Lapangan Prof. Siswadi Soepardjo IPB menunjukkan penghematan konsumsi herbisida sebanyak 14. 4. Metode pendeteksian serangan gulma pada tahap pascatumbuh dilakukan dengan cara menggabungkan metode pendeteksian jenis tanaman dan metode pendeteksian serangan gulma pada lahan terbuka. 110

7. RANCANG BANGUN APLIKATOR CAIRAN Pendahuluan