menumbuhkannya dalam kondisi aseptic bebas hama dan penyakit. Selanjutnya bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan menjadi tanaman lengkap
Nugroho dan Sugito 2002. Teknik budidaya secara kultur jaringan sering disebut dengan teknik budidaya in vitro.
Kultur jaringan menggunakan dasar teori seperti yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann, sel memiliki kemampuan otonom atau mampu tumbuh
mandiri, bahkan memiliki kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan setiap sel, dimana pada bagian manapun sel tersebut diambil, apabila diletakkan
dalam lingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna Nugroho dan Sugito 2002.
2.2.2 Manfaat Kultur Jaringan
Hendaryono dan Wijayani 1994 diacu dalam Wirawan 2003, kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah
yang banyak, dalam waktu yang relatif singkat, serta mempunyai sifat fisiologis dan morfologis yang sama seperti induknya. Teknik kultur jaringan ini pula
diharapkan diperoleh tanaman baru yang bersifat unggul. Wattimena
et al. 1992 menyatakan bahwa pelestarian plasma nutfah secara in vitro mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan cara in
situ. Keuntungan tersebut antara lain : hemat dalam pemakaian ruang, dapat menyimpan tanaman langka yang hampir punah, dapat digunakan untuk tanaman
yang tidak menghasilkan biji, bebas dari segala gangguan hama dan penyakit, serta dapat disimpan dalam keadaan bebas penyakit.
2.2.3 Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Kultur Jaringan
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap teknik kultur jaringan. Faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Media Kultur Mata rantai pertama dalam pelaksanaan kultur in vitro adalah persiapan
media tanam. Dalam media diberikan berbagai garam mineral, air, gula, asam amino, zat pengatur tumbuh, pemadat media untuk pertumbuhan dan
perkembangan, serta kadang-kadang arang aktif untuk mengurangi efek penghambatan dari persenyawaan polifenol warna coklat-hitam yang keluar
akibat pelukaan jaringan pada jenis-jenis tanaman tertentu. Gula, asam amino, dan vitamin ditambahkan karena eksplan yang ditanam tidak lagi sepenuhnya hidup
secara autotrof hidup dari bahan-bahan anorganik dari alam. Dalam kultur in vitro, segmen tanaman hidup secara heterotrof mendapat suplai bahan organik
Gunawan 1995. Hartmann dan Kester 1968, menyatakan bahwa komposisi nutrisi
medium kultur dapat dikatagorikan dalam : garam-garam mineral, karbohidrat, vitamin dan bahan organik lain zat tumbuh dan senyawa-senyawa organik
kompleks seperti air kelapa, sari tomat, ekstrak yeast dan lain-lain. Hartmann dan Kester 1968 juga menyatakan bahwa media kultur yang
memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrien makro dan mikro dalam kadar dan perbandingan tertentu, serta sumber tenaga umumnya digunakan
sukrosa. Garam-garam anorganik atau garam-garam mineral terdiri atas : unsur- unsur makro nitrogen, phospor, potasium, kalsium, magnesium dan sulfur sangat
penting untuk seluruh jaringan tanaman dan pertumbuhan bagian tanaman secara in vitro. Dan unsur-unsur mikro yaitu B, Co, Fe, Mn, Zn, Cu, Mo, penting di
tambahkan tetapi pada beberapa media dapat dihilangkan. Unsur-unsur esensial dalam suatu media berfungsi untuk mengatur proses-
proses fisiologis, serta mengaktifkan enzim dan mengatur kecepatan proses enzim Epstein 1972. Disamping itu juga untuk mengatur proses-proses metabolisme.
Kekurangan unsur-unsur esensial akan menimbulkan gangguan fisiologis.
b. Bahan Tanaman eksplan Menurut Conger 1981, eksplan adalah potongan dari jaringan organ
suatu tanaman untuk tujuan perbanyakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan perbanyakan dengan eksplan yaitu genotipe eksplan, ukuran eksplan,
jaringan asal eksplan, dan umur fisiologi eksplan. Jaringan muda memiliki kemampuan morfogenesis yang lebih tinggi dibandingkan jaringan tua.
Pernyataan tersebut didukung oleh Collin dan Edwards 1998 yang menyatakan bahwa untuk keberhasilan perbanyakan secara invitro sebaiknya tanaman yang
dihasilkan sebagai sumber eksplan merupakan tanaman yang sehat dan tumbuh kuat serta menggunakan jaringan yang muda dan ukuran eksplan yang cukup
besar. Menurut Conger 1981, eksplan yang digunakan dapat berasal dari daun,
umbi, dan anther. Gunawan 1995 menambahkan bahwa eksplan yang akan digunakan dalam perbanyakan secara kultur jaringan harus dalam keadaan
aseptik. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan eksplan yaitu ukuran eksplan, sumber eksplan, dan sebaiknya tidak terinfeksi oleh penyakit. Jenis
eksplan akan mempengaruhi morfogenesis suatu kultur in-vitro Wattimena et al. 1992.
c. Faktor Lingkungan Beberapa kondisi lingkungan seperti cahaya, suhu dan fase-fase gas
mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam kultur in vitro, karena faktor-faktor tersebut diduga mempunyai pengaruh yang penting pada bagian tanaman dalam
mikropropagasi Mantell dan Smith. 1985. Intensitas cahaya yang rendah dapat mempertinggi embriogenesis dan
organogenesis. Temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang optimum umumnya berkisar 20
° - 30°C Hendaryono dan Wijayani 1994, diacu dalam Wirawan 2003.
d. Zat Pengatur Tumbuh ZPT Dalam perbanyakan secara kultur jaringan, peranan ZPT sangatlah besar.
ZPT yang dihasilkan oleh tanaman disebut fitohormon sedangkan yang sintetik disebut ZPT tanaman sintetik Wattimena 1988. Zat tumbuh plant growth
regulation atau pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi tanaman yang pada konsentrasi rendah aktif merangsang, menghambat atau merusak
pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara kuantitatif maupun kualitatif Moore 1979.
Zat pengatur tumbuh plant regulator pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat
dan dapat mengubah proses fisiologis tumbuhan Abidin 1985. Wattimena 1988, membedakan 6 kelompok zat pengatur tumbuh, yaitu auksin, giberelin,
asam abisik ABA, etilen, dan retardan. Namun ada dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam kultur jaringan, yaitu sitokinin dan auksin.
Sitokinin dan auksin ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar dan pucuk Gunawan 1995.
Menurut Abidin 1985, zat pengatur tumbuh di dalam tanaman terdiri atas 5 kelompok yaitu : auksin, giberelin, sitokinin, etilen, dan inhibitor dengan ciri
khas dan pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis. Tanaman memiliki kemampuan untuk merubah zat pengatur tumbuh itu menjadi lebih aktif atau
kurang aktif. Kemampuan metabolisme tanaman itu sangat tergantung kepada genetik tanaman. Menurut Hartmann dan Kester 1968, dua macam zat pengatur
tumbuh yang sangat penting dalam kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin, yang mengontrol mengatur pembentukan pucuk akar dan kalus. Zat pengatur
tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan zat pengatur
tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh yang akan digunakan, konsentrasi, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu Gunawan
1995.
2.3 Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin BAP Benzylaminopurin