obat. Penelusuran informasi baik melalui media cetak, literatur, maupun penelusuran data via internet, hanya ditemukan beberapa penelitian yang pernah
dilakukan untuk spesies kemaitan, salah satunya adalah aspek ekologi kemaitan Adhiyanto 2001. Dari hasil penelusuran tersebut tidak diperoleh informasi
budidaya baik secara konvensional maupun non-konvensional khususnya kultur jaringan untuk spesies kemaitan.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, penelitian budidaya kemaitan melalui kultur jaringan menjadi penting sebagai langkah awal untuk melestarikan
pemanfaatan spesies tumbuhan obat kemaitan. Pemanfaatan bioteknologi pada tumbuhan obat di Indonesia sampai saat
ini masih terbatas pada teknik kultur jaringan. Teknik ini diaplikasikan dalam perbaikan mutu genetik dan perbanyakan tanaman serta penyimpan plasma nutfah
secara in vitro. Perbanyakan melalui kultur jaringan memiliki kelebihan antara lain tanaman baru mempunyai sifat sama dengan induknya, bibit dapat diproduksi
dalam jumlah besar dan bebas dari hama dan penyakit. Beberapa spesies tumbuhan obat yang telah berhasil dibudidayakan
melalui kultur jaringan antara lain: purwoceng Pimpinella pruatjan, pulosari Alyxia stellata, pule pandak Rauwolfia serpentina, dan temu puteri Curcuma
petiola Peni 1995. Melihat kenyataan ini, tidak menutup kemungkinan dilakukannya pengembangan atau perbanyakan tumbuhan obat kemaitan melalui
kultur jaringan.
1.2 Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkulturkan kemaitan guna keperluan perbanyakan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk
melihat kondisi pertumbuhan kemaitan dalam kultur jaringan serta menganalisa pengaruh media MS Murashige Skoog dengan penambahan zat pengatur tumbuh
BAP Benzylaminopurin terhadap pertumbuhan kemaitan.
1.3 Hipotesis
Penambahan zat pengatur tumbuh BAP dengan taraf konsentrasi yang berbeda, memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan kultur
pucuk kemaitan.
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh beberapa konsentrasi zat pengatur tumbuh BAP
terhadap pertumbuhan kemaitan melalui teknik kultur jaringan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keterangan Jenis Kemaitan Lunasia amara Blanco
2.1.1 Taksonomi
Secara taksonomi,
kemaitan mempunyai klasifikasi sebagai berikut
Heyne, 1987 : Kingdom
: Plantae Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Klas :
Dicotyledonae Sub
Klas :
Rosidae Ordo
: Sapindales
Famili :
Rutaceae Genus
: Lunasia Spesies :
Lunasia amara Blanco. Sinonim : L. costulata Miq.;
Mytilococcus quercifolius Zoll. Gambar 1 Kemaitan Lunasia amara Blanco..
2.1.2 Nama Daerah
Lunasia amara mempunyai beberapa nama daerah, yaitu kemaitan, maitan Jawa, mamaitan Madura, makelum halahuna, aifafa, pintan Minahasa,
bungkus susu Maluku, dan Sanrego Bone Rusdianto 1999.
2.1.3 Ciri Morfologi
Menurut Heyne 1987, kemaitan mempunyai ciri morfologi berbentuk pohon rendah perdu dengan tinggi mampu mencapai 12 m. Kemaitan merupakan
perdu dengan kulit batang yang pahit dan beracun, berbulu, berdaun tersusun spiral, dengan bunga berwarna kuning pucat berukuran kecil EISAI 1995, diacu
dalam Adhiyanto 2001.
Sedangkan dalam Rusdianto 1999, diterangkan bahwa kemaitan merupakan pohon tegak tak bercabang monopodial yang mampu mencapai
tinggi 12 m, keras dan licin. Berdaun lebat dimana daun mudanya ditutupi bulu- bulu putih dan coklat. Bagian kelopak bunganya ditutupi bulu coklat berukuran
1,5 mm dan mengeluarkan bau yang harum. Kemaitan adalah tumbuhan berupa perdu tegak, kebanyakan mempunyai
tinggi 3 meter. Rantingnya licin dan daunnya tersusun secara sasak alternate, berbentuk oblong-obovate, dengan ukuran panjang 20-40 cm dan lebar 7-12 cm.
Buahnya terdiri dari 3 kapsul kekuningan, licin dan ditandai dengan seperti urat, membuka sepanjang uratnya dengan bagian atasnya seperti jahitan luka
Quisumbing 1951, diacu dalam Adhiyanto 2001. Sastrapradja et al. 1980, menerangkan kemaitan berupa perdu atau pohon
kecil yang tingginya mencapai 2 sampai 6 meter yang berbatang pahit. Pada daun yang masih muda terdapat bulu-bulu putih atau kecoklatan. Bunganya kecil, putih
atau coklat, berbau harum, tersusun dalam dua macam karangan yang tumbuh pada ketiak-ketiak daun. Buahnya berupa buah buni yang berbentuk bundar telur
terbalik, merekah menjadi 3 keping bila sudah masak. Bijinya berbentuk lonjong.
2.1.4 Penyebaran dan Habitat Kemaitan
Sastrapradja et al. 1980, kemaitan tumbuh dengan baik di dataran rendah
yang beriklim kering. Banyak dijumpai tumbuh di Jawa Timur, Madura dan Nusa tenggara dari daerah pantai sampai bukit-bukit berbatu pada ketinggian 400 m di
atas permukaan laut dpl. Beberapa pustaka mengungkapkan potensi terbesar kemaitan berada di
Sulawesi dan daerah Irian Jaya Heyne 1987; Rusdianto 1999. Sedangkan EISAI 1995 diacu dalam Adhiyanto 2001, menyebutkan bahwa penyebaran kemaitan
di nusantara mencakup beberapa wilayah yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Barung, Madura, Sulawesi, dan Indonesia bagian Timur.
Berdasarkan data yang dihimpun dari penelusuran koleksi herbarium kemaitan di Herbarium Bogoriense, ditemukan bahwa penyebaran kemaitan yang
diketahui hingga saat ini mencakup wilayah Jawa, Madura, Bali, Flores, Tanimbar, Sumbawa, Kalimantan, Sulawesi, Irian papua dan Filipina. Dan dari
situ pula diketahui habitat kemaitan berbeda-beda di tiap-tiap lokasi. Adapun tempat habitat yang diketahui merupakan daerah penyebaran kemaitan meliputi
hutan pegunungan, hutan primer, hutan sekunder, bukit dengan tanah kapur, dataran rendah, dan daerah dekat lembah sungai serta hutan hujan tropis.
Heyne 1987 mengemukakan bahwa kemaitan tumbuh pada ketinggian di bawah 400 m dpl, tumbuh di perbukitan yang gundul dan berbatu serta terkadang
pada karang batu yang gundul di dekat pantai. Kemaitan merupakan salah satu jenis tumbuhan obat yang mempunyai spesifikasi ekologi yang khas, pada
umumnya tersebar secara mengelompok, memiliki kondisi habitat yang bisa dikatakan cukup ekstrim bagi eksistensi suatu jenis vegetasi di ekosistem hutan
alam. Di habitatnya, kemaitan menempati ruang dengan ciri ekologi solum yang tipis, dan terkadang didominasi dengan bebatuan dan kelerengan yang terjal
Adhiyanto 2001.
2.1.5 Pemanfaatan Kemaitan
Sastrapradja et al. 1980, menyatakan yang bermanfaat sebagai obat
adalah daun dan batangnya. Seduhan daun atau batangnya berguna sebagai obat gosok untuk mengobati bengkak atau bisul. Hingga saat ini daun dan kulit batang
kemaitan sering digerus lalu dijual dalam perdagangan obat. Rebusan dari bahan kemaitan yang dibubuhi sedikit tawas dapat digunakan sebagai obat gosok bagian
badan yang bengkak, kemaitan ini juga dapat digunakan sebagai obat yang cocok untuk mengatasi cascado sejenis penyakit kulit, di daerah Kalimantan dengan
cara daunnya digerus lalu dipanaskan, dibungkus dalam daun yang utuh lalu diikatkan kepada tempat yang terkena penyakit Heyne 1987.
Kulit batang kemaitan bermanfaat sebagai obat nyeri perut, penawar racun ular dan serangga, sedangkan daunnya bermanfaat sebagai obat bengkak dan
penyubur rambut EISAI 1995, diacu dalam Adhiyanto 2001. Rusdianto 1999, mengungkapkan bahwa kemaitan bermanfaat sebagai pelancar saluran urine,
memacu gairah seksual, kosmetik, penghambat pertumbuhan bakteri Eschericia coli, obat diare, penawar racun makanan, dan bisa ular.
Adhiyanto 2001 menyatakan bahwa kemaitan sangat berpotensi sebagai komoditi simplisia di dunia kesehatan, baik modern maupun tradisional. Jika
dilihat dari sekian banyak faktor lingkungan yang ada, faktor eksploitasi manusialah yang sangat mengancam eksistensi kemaitan di habitat aslinya.
Diperparah lagi karena karakteristiknya yang termasuk ke dalam kategori slow growing species dan kondisi lingkungannya yang cukup ekstrim.
2.1.6 Kandungan Kimia Kemaitan
Sastrapradja et al. 1980, menyatakan bahwa daun maupun kulit batang
tumbuhan ini mengandung senyawa-senyawa alkaloid yang menyebabkan rasa pahit. Beberapa dari alkaloid tersebut yang sudah diidentifikasi adalah lunasin dan
limarin. Alkaloid-alkaloid ini diketahui mempunyai daya racun yang keras yang dapat melumpuhkan jantung.
Kulit batang kemaitan yang sangat pahit, ternyata mengandung zat alkoloida yang beracun, yang dapat melumpuhkan jantung. Selain itu alkoloida
juga terdapat didalam daunnya tetapi dalam kadar yang jauh lebih sedikit Heyne 1987. Kulit batang, akar, dan daun kemaitan mengandung beberapa zat kimia
yang penting, yaitu alkoloid, sitosterol, dan glikosida Rusdianto 1999.
2.2 Perbanyakan Tanaman secara Kultur Jaringan
2.2.1 Pengertian Kultur Jaringan
Menurut Bonga
et al. 1982 kultur jaringan adalah suatu teknik dimana potongan-potongan jaringan yang kecil atau organ yang diambil dari tanaman
donor dan dikultur secara aseptik pada suatu medium yang mengandung unsur- unsur hara. Dengan cara memanipulasi komposisi kimia medium dan faktor-faktor
lingkungan lain pertumbuhan dan perkembangan jaringan pada kultur dapat diarahkan sesuai tujuan yang diinginkan.
Dalam bahasa Inggris, kultur jaringan disebut dengan tissue culture. Tissue atau jaringan adalah kelompok sel yang memiliki bentuk dan fungsi yang sama,
sedangkan culture atau kultur adalah budidaya. Dengan demikian kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang
memiliki sifat yang sama seperti induknya. Dalam pelaksanaannya, teknik kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi atau mengambil bagian
tanaman seperti protoplasma, sel, kelompok sel, jaringan dan organ, kemudian
menumbuhkannya dalam kondisi aseptic bebas hama dan penyakit. Selanjutnya bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan menjadi tanaman lengkap
Nugroho dan Sugito 2002. Teknik budidaya secara kultur jaringan sering disebut dengan teknik budidaya in vitro.
Kultur jaringan menggunakan dasar teori seperti yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann, sel memiliki kemampuan otonom atau mampu tumbuh
mandiri, bahkan memiliki kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan setiap sel, dimana pada bagian manapun sel tersebut diambil, apabila diletakkan
dalam lingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna Nugroho dan Sugito 2002.
2.2.2 Manfaat Kultur Jaringan
Hendaryono dan Wijayani 1994 diacu dalam Wirawan 2003, kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah
yang banyak, dalam waktu yang relatif singkat, serta mempunyai sifat fisiologis dan morfologis yang sama seperti induknya. Teknik kultur jaringan ini pula
diharapkan diperoleh tanaman baru yang bersifat unggul. Wattimena
et al. 1992 menyatakan bahwa pelestarian plasma nutfah secara in vitro mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan cara in
situ. Keuntungan tersebut antara lain : hemat dalam pemakaian ruang, dapat menyimpan tanaman langka yang hampir punah, dapat digunakan untuk tanaman
yang tidak menghasilkan biji, bebas dari segala gangguan hama dan penyakit, serta dapat disimpan dalam keadaan bebas penyakit.
2.2.3 Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Kultur Jaringan
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap teknik kultur jaringan. Faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Media Kultur Mata rantai pertama dalam pelaksanaan kultur in vitro adalah persiapan
media tanam. Dalam media diberikan berbagai garam mineral, air, gula, asam amino, zat pengatur tumbuh, pemadat media untuk pertumbuhan dan
perkembangan, serta kadang-kadang arang aktif untuk mengurangi efek penghambatan dari persenyawaan polifenol warna coklat-hitam yang keluar
akibat pelukaan jaringan pada jenis-jenis tanaman tertentu. Gula, asam amino, dan vitamin ditambahkan karena eksplan yang ditanam tidak lagi sepenuhnya hidup
secara autotrof hidup dari bahan-bahan anorganik dari alam. Dalam kultur in vitro, segmen tanaman hidup secara heterotrof mendapat suplai bahan organik
Gunawan 1995. Hartmann dan Kester 1968, menyatakan bahwa komposisi nutrisi
medium kultur dapat dikatagorikan dalam : garam-garam mineral, karbohidrat, vitamin dan bahan organik lain zat tumbuh dan senyawa-senyawa organik
kompleks seperti air kelapa, sari tomat, ekstrak yeast dan lain-lain. Hartmann dan Kester 1968 juga menyatakan bahwa media kultur yang
memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrien makro dan mikro dalam kadar dan perbandingan tertentu, serta sumber tenaga umumnya digunakan
sukrosa. Garam-garam anorganik atau garam-garam mineral terdiri atas : unsur- unsur makro nitrogen, phospor, potasium, kalsium, magnesium dan sulfur sangat
penting untuk seluruh jaringan tanaman dan pertumbuhan bagian tanaman secara in vitro. Dan unsur-unsur mikro yaitu B, Co, Fe, Mn, Zn, Cu, Mo, penting di
tambahkan tetapi pada beberapa media dapat dihilangkan. Unsur-unsur esensial dalam suatu media berfungsi untuk mengatur proses-
proses fisiologis, serta mengaktifkan enzim dan mengatur kecepatan proses enzim Epstein 1972. Disamping itu juga untuk mengatur proses-proses metabolisme.
Kekurangan unsur-unsur esensial akan menimbulkan gangguan fisiologis.
b. Bahan Tanaman eksplan Menurut Conger 1981, eksplan adalah potongan dari jaringan organ
suatu tanaman untuk tujuan perbanyakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan perbanyakan dengan eksplan yaitu genotipe eksplan, ukuran eksplan,
jaringan asal eksplan, dan umur fisiologi eksplan. Jaringan muda memiliki kemampuan morfogenesis yang lebih tinggi dibandingkan jaringan tua.
Pernyataan tersebut didukung oleh Collin dan Edwards 1998 yang menyatakan bahwa untuk keberhasilan perbanyakan secara invitro sebaiknya tanaman yang
dihasilkan sebagai sumber eksplan merupakan tanaman yang sehat dan tumbuh kuat serta menggunakan jaringan yang muda dan ukuran eksplan yang cukup
besar. Menurut Conger 1981, eksplan yang digunakan dapat berasal dari daun,
umbi, dan anther. Gunawan 1995 menambahkan bahwa eksplan yang akan digunakan dalam perbanyakan secara kultur jaringan harus dalam keadaan
aseptik. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan eksplan yaitu ukuran eksplan, sumber eksplan, dan sebaiknya tidak terinfeksi oleh penyakit. Jenis
eksplan akan mempengaruhi morfogenesis suatu kultur in-vitro Wattimena et al. 1992.
c. Faktor Lingkungan Beberapa kondisi lingkungan seperti cahaya, suhu dan fase-fase gas
mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam kultur in vitro, karena faktor-faktor tersebut diduga mempunyai pengaruh yang penting pada bagian tanaman dalam
mikropropagasi Mantell dan Smith. 1985. Intensitas cahaya yang rendah dapat mempertinggi embriogenesis dan
organogenesis. Temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang optimum umumnya berkisar 20
° - 30°C Hendaryono dan Wijayani 1994, diacu dalam Wirawan 2003.
d. Zat Pengatur Tumbuh ZPT Dalam perbanyakan secara kultur jaringan, peranan ZPT sangatlah besar.
ZPT yang dihasilkan oleh tanaman disebut fitohormon sedangkan yang sintetik disebut ZPT tanaman sintetik Wattimena 1988. Zat tumbuh plant growth
regulation atau pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi tanaman yang pada konsentrasi rendah aktif merangsang, menghambat atau merusak
pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara kuantitatif maupun kualitatif Moore 1979.
Zat pengatur tumbuh plant regulator pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat
dan dapat mengubah proses fisiologis tumbuhan Abidin 1985. Wattimena 1988, membedakan 6 kelompok zat pengatur tumbuh, yaitu auksin, giberelin,
asam abisik ABA, etilen, dan retardan. Namun ada dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam kultur jaringan, yaitu sitokinin dan auksin.
Sitokinin dan auksin ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar dan pucuk Gunawan 1995.
Menurut Abidin 1985, zat pengatur tumbuh di dalam tanaman terdiri atas 5 kelompok yaitu : auksin, giberelin, sitokinin, etilen, dan inhibitor dengan ciri
khas dan pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis. Tanaman memiliki kemampuan untuk merubah zat pengatur tumbuh itu menjadi lebih aktif atau
kurang aktif. Kemampuan metabolisme tanaman itu sangat tergantung kepada genetik tanaman. Menurut Hartmann dan Kester 1968, dua macam zat pengatur
tumbuh yang sangat penting dalam kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin, yang mengontrol mengatur pembentukan pucuk akar dan kalus. Zat pengatur
tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan zat pengatur
tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh yang akan digunakan, konsentrasi, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu Gunawan
1995.
2.3 Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin BAP Benzylaminopurin
Menurut Abidin 1985, sitokinin merupakan senyawa yang mempunyai bentuk dasar adenin 6-amino purin yang mendukung terjadinya pembelahan sel.
Sedangkan Prawiranata et al. 1985 diacu dalam Nawangsasih 1989, sitokinin berpengaruh sangat luas pada proses-proses fisiologis dalam tumbuhan, aktifitas
utama adalah mendorong pembelahan sel. Sitokinin juga membantu perkembangan dari embrio pada perkembangan biji, dan pada keadaan tertentu
sitokinin mendorong pembesaran sel dari lempeng daun dan kotiledon. Nawangsasih 1989 sendiri menyatakan BAP strukturnya berhubungan
dengan kinetin tetapi lebih efektif dibandingkan dengan kinetin. BAP lebih stabil, murah, mudah didapat dan yang lebih penting adalah sangat efektif. BAP
Benzylaminopurin adalah zat pengatur tumbuh ZPT yang tergolong ke dalam
sitokinin sintetik, yang dalam penggunaannya dipengaruhi oleh ZPT lainnya. Sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologi di dalam tanaman. Aktivitas
yang utama dari sitokinin adalah sitokenesis atau pembelahan sel. Aktivitas ini yang menjadi kriteria utama untuk menggolongkan suatu zat pengatur tumbuh ke
dalam sitokinin Wattimena 1988.
2.4 Penelitian Kemaitan yang Telah Dilakukan