Dari hasil penelitian menunjukkan perbedaan jenis kelamin antara laki- laki dan perempuan dalam hal frekuensi berbeda dimana paling mendominasi
yang mengalami kelainan refraksi adalah perempuan 58,9, n = 43, namun setelah dianalisa dengan uji Pearson Chi Square didapat perbedaan tersebut
tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian bahwa nilai P = 0,115 , yang berarti p 0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan karakteristik jenis kelamin yang bermakna terhadap prevalensi kelainan refraksi pada siswa-siswi SD dan
SMP RK Budi Mulia Pematangsiantar Ho gagal ditolak.
2. PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, peneliti membahas masalah penelitian mengenai bagaimana Perbedaan Karakteristik Jenis Kelamin terhadap Kelainan
Refraksi pada siswa SD dan SMP RK Budi Mulia Pematangsiantar.
Dari hasil penelitian, didapatkan jumlah anak paling mendominasi memiliki visus normal 2020 dan 2025 adalah jenis kelamin laki-laki baik
dextra maupun sinistra berjumlah 81 orang 33.2 . Kemudian jumlah anak yang paling mendominasi yang mengalami penurunan visus 2030 – 20200
adalah jenis kelamin perempuan baik dextra maupun sinistra berjumlah 56 orang 23 . Sama halnya dengan penelitian oleh Mahapatro 2006
mengemukakan bahwa jumlah pada jenis kelamin laki-laki yang mendominasi yang memiliki visus normal 48.6, n = 474. Berbeda halnya
dengan penelitian oleh Launardo 2010 di kecamatan Tallo kota Makasar
Universitas Sumatera Utara
pada November 2010 yakni pada anak usia 3-6 tahun, prevalensi anak yang mempunyai visus normal paling banyak adalah pada jenis kelamin perempuan
96.8, n = 92. Penelitian tentang kelainan refraksi sudah banyak dilakukan di beberapa
negara bahkan sudah ada beberapa daerah di Indonesia, karena hal ini sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi masyarakat khususnya anak sekolah untuk
mencegah komplikasi yang lebih berbahaya dan menurunkan kualitas hidupnya.
Pada penelitian ini, didapatkan 95 siswa mengalami penurunan visus yang terdiri dari 73 siswa diakibatkan oleh kelainan refraksi dan 22 siswa
yang tidak diakibatkan oleh kelainan refraksi. Dari 73 siswa yang mengalami kelainan refraksi tersebut terdapat jenis kelamin perempuan yang lebih
mendominasi yakni 43 siswa 58,9. Hal ini sama dengan penelitian seperti di kecamatan Tallo kota Makasar pada November 2010 yakni pada anak usia
3-6 tahun, prevalensi kelainan refraksi anak perempuan lebih tinggi yakni 3 anak dari 5 responden Launardo, 2010, begitu juga halnya sama dengan di
Ethiopia jumlah perempuan dalam rentang umur 5-15 tahun lebih banyak mengalami kelainan refraksi yakni 46 anak dari 86 responden yang
mengalami kelainan refraksi p 0.6 Kassa, 2000. Hasil penelitian tersebut juga didukung dalam penelitian lain dalam studi
kasus di Malaysia, pada anak usia sekolah didapatkan prevalensi miopia pada jenis kelamin lebih banyak pada perempuan, kemudian lebih tinggi pada
anak usia lebih tua, anak dengan tingkat pendidikan orangtua lebih tinggi, dan
Universitas Sumatera Utara
ras Tionghoa, sedangkan hipermetropia lebih banyak ditemukan pada anak usia lebih muda dan pada etnik lainnya Goh, 2003. Dalam sebuah penelitian
dikatakan juga adanya perbedaan prevalensi antara anak laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, hal ini
disebabkan oleh kecenderungan orangtua yang lebih memperhatikan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sehingga kelainan refraksi pada anak
laki-laki lebih cepat terdeteksi Lee, 2000 dalam Launardo, 2010. Berbeda halnya penelitian di daerah Pakistan, dalam periode Januari
2006-Desember 2007 yang mengatakan prevalensi kelainan refraksi pada anak yang berumur 3-15 tahun adalah 500 orang 10 dimana pada anak
laki-laki yang paling tinggi dan kebanyakan yang menderita hipermetropia yakni 58 Sethi dkk, 2009.
Jika berdasarkan hasil analisa pada penelitian ini dengan uji Pearson Chi Square didapat perbedaan tersebut tidak mempunyai perbedaan yang
signifikan. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian bahwa nilai P = 0,115 , yang berarti p 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho gagal ditolak, dimana
artinya bahwa tidak terdapat perbedaan karakteristik jenis kelamin yang bermakna terhadap prevalensi kelainan refraksi pada siswa-siswi SD dan
SMP RK Budi Mulia Pematangsiantar. Hasil ini didukung dalam penelitian di kecamatan Tallo kota Makasar pada November 2010 tidak menunjukkan
perbedaan yang berarti antara jenis kelamin dengan kejadian kelainan refraksi p = 0.526 Launardo, 2010, begitu juga halnya sama dengan di Ethiopia p
0.6 Kassa, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda halnya dengan hasil hipotesis pada penelitian di daerah Qazvin, Iran pada Oktober 2002-September 2008 antara anak yang berumur 7-15
tahun karena memiliki perbedaan pada jenis kelamin yang bermakna p0.001 Khalaj dkk, 2009, begitu juga di China, perbedaan distribusi
penurunan ketajaman penglihatan antara laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan yang signifikan Kolmogorov-Smirnov test,
p0,001, dengan jumlah perempuan yang lebih banyak pada umur 15 tahun 55,0 dibandingkan jumlah laki-laki 36,7 Zhao J, dkk, 2000.
Jika dilihat dari tinjauan teori, dikatakan bahwa dalam anatomi dari sistem penglihatan yakni bola mata pada jenis kelamin laki-laki mempunyai
ukuran agak lebih besar daripada jenis kelamin perempuan Leeson, 1996. Hal ini akan mempengaruhi organ yang lain yang berada di dalam bola mata
khususnya yang dapat menyebabkan kelainan refraksi seperti kornea, lensa dan organ yang lain pada setiap jenis kelamin, karena pertumbuhan bola mata
yang terlalu besarpanjang beresiko untuk menderita kelainan refraksi khususnya miopia. Jika dilihat dari faktor pertumbuhan dan perkembangan,
gender jenis kelamin merupakan faktor yang berpengaruh. Perubahan ini disertai dengan perubahan yang berkaitan dengan struktur dan fungsi organ
internal yang mencerminkan diperolehnya kompetensi fisiologis secara bertahap Wong, 2008.
Maka ditarik kesimpulan bahwa dalam penelitian ini ditemukan dari 95 siswa yang mengalami penurunan visus, 73 siswa diakibatkan oleh kelainan
refraksi dan 22 siswa yang tidak diakibatkan oleh kelainan refraksi. Dari 73
Universitas Sumatera Utara
siswa yang mengalami kelainan refraksi tersebut terdapat jenis kelamin perempuan yang lebih mendominasi yakni 43 siswa 58,9. Hal ini
menunjukkan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam hal frekuensi berbeda, namun setelah dianalisa dengan uji Pearson Chi
Square didapat perbedaan tersebut tidak mempunyai perbedaan yang signifikan.
Hal perbedaan yang tidak signifikan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bisa diakibatkan proses dari pertumbuhan dan
perkembangan bola mata setiap responden baik pada laki-laki dan perempuan yang mempengaruhi refraksi penglihatan belum diketahui lebih dalam, begitu
juga jumlah responden antara laki-laki dan perempuan dalam penelitian ini tidak seimbang, riwayat genetik dari kedua orangtua yang kemungkinan
berpengaruh belum diketahui secara pasti, serta kebiasaanperilaku responden baik laki-laki maupun perempuan dalam kegiatan membaca; menonton;
bermain. Oleh sebab itu, dalam penelitian berikutnya diharapkan waktu penelitian
lebih lama sehingga penelitian dapat dilakukan lebih teliti dan secara mendalam dalam mengetahui faktor-faktor penyebab atau pendukung
terjadinya kelainan refraksi pada responden seperti mengenai riwayat kedua orangtua yang memakai kacamata, dan kebiasaan anak sehari-hari yang
menggunakan penglihatan, serta mengusahakan jumlah populasi dan sampel
memiliki proporsi yang seimbang.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Hasil penelitian yang diperoleh setelah pemeriksaan ketajaman penglihatan dan pemeriksaan refraksi yang maksimal dilakukan pada
sejumlah siswa-siswi tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama dengan kartu Snellen dan pinhole disc menunjukkan bahwa jumlah anak
paling mendominasi memiliki visus normal 2020 dan 2025 adalah jenis kelamin laki-laki baik dextra maupun sinistra berjumlah 81 orang 33.2 .
Kemudian jumlah anak yang paling mendominasi yang mengalami penurunan visus 2030 – 20200 adalah jenis kelamin perempuan baik pada dextra
maupun sinistra berjumlah 56 orang 23 . Pada penelitian ini juga didapatkan, dari 95 siswa yang mengalami
penurunan visus, 73 siswa 76.8 diakibatkan oleh kelainan refraksi dan 22 22.2 siswa yang tidak diakibatkan oleh kelainan refraksi. Dari 73 siswa
yang mengalami kelainan refraksi tersebut terdapat jenis kelamin perempuan yang lebih mendominasi yakni 43 siswa 58,9, sedangkan jenis kelamin
laki-laki 30 siswa 31.5. Dalam penelitian menunjukkan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki
dan perempuan dalam hal frekuensi berbeda, namun setelah dianalisa dengan uji Pearson Chi Square didapat perbedaan tersebut tidak mempunyai
perbedaan yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian bahwa nilai P = 0,115 , yang berarti p 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
Universitas Sumatera Utara