Bunda juga selalu mengingatkan kepada anak agar sifat suka menolong ini dibawa sampai dilingkungan rumah jadi tidak hanya saat anak berada disekolah saja. Kepada siapa pun yang
membutuhkan pertolongan, anak memiliki kepekaan untuk menolong.
IV.2.4 Teori Interaksionisme Simbolis
Interaksionisme simbolis merupakan sebuah cara berpikir mengenai pikiran, diri sendiri dan masyarakat yang telah memberi kontribusi yang besar terhadap tradisi
sosiokultural dalam teori komunikasi. Interaksionisme simbolis mengajarkan bahwa manusia berinteraksi satu sama lain sepanjang waktu, mereka berbagi pengertian untuk istilah-istilah
dan tindakan-tindakan tertentu dan memahami kejadian-kejadian dalam cara tertentu pula Littlejohn, 2009: 121.
George Herbert Mead dalam buku Stephen W. Littlejohn, 2009: 121 dianggap sebagai penggagas teori interaksionisme simbolis. Teori interaksi simbolik menekankan pada
hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu Soeprapto, 2007. Teori interaksionisme simbolis menekankan dua hal. Pertama,
manusia dalam masyarakat tidak pernah lepas dari interaksi sosial. Interaksi sosial adalah proses dimana individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan
kelompok berhubungan satu dengan yang lain Narwoko Suyanto, 2010: 16. Kedua, interaksi dalam masyarakat mewujud dalam simbol-simbol tertentu yang sifatnya cenderung
dinamis Rohim, 2009: 76. Komunikasi sangat penting dari awal karena anak-anak bersosialisasi melalui
interaksi dengan orang lain dalam lingkungan di sekitar mereka. Proses bernegoisasi dengan dunia sekitar juga hadir melalui komunikasi. Seseorang memahami dan berhadapan dengan
objek di lingkungannya melalui interaksi sosial Littlejohn, 2009: 121.
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik ide ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antar manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat individu dengan individu. Interaksi yang terjadi
antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan manusia
lainnya. Terkadang manusia dalam interaksi sosialnya disadari maupun tidak sering menampakkan fenomena-fenomena yang berupa simbol-simbol dan mempunyai banyak
pemaknaan yang beragam antar individu. Fenomena berupa simbol-simbol yang bisa ditangkap dan dimaknai di masyarakat merupakan refleksi dari fenomena interaksionisme
simbolis. Pemaknaan tersebut didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang disebut self-indication. Proses self-indication adalah proses komunikasi
pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut.
Dalam tataran konsep komunikasi, maka secara sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi hakikatnya adalah suatu proses interaksi simbolik antara pelaku komunikasi.
Terjadi pertukaran pesan yang pada dasarnya terdiri dari simbolisasi-simbolisasi tertentu kepada pihak lain yang diajak berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya
dilihat dalam rangka transmisi pesan, tapi juga dilihat pertukaran cara pikir, dan lebih dari itu demi tercapainya suatu proses pemaknaan. Komunikasi adalah proses interaksi simbolik
dalam bahasa tertentu dengan cara berpikir tertentu untuk pencapaian pemaknaan tertentu pula, di mana kesemuanya terkonstruksikan secara sosial. Simbol misalnya bahasa, tulisan
dan simbol lainnya yang dipakai-bersifat dinamis dan unik. Singkatnya, manusia selalu mengadakan interaksi. Setiap interaksi mutlak
membutuhkan sarana tertentu. Sarana menjadi medium simbolisasi dari apa yang di maksudkan dalam sebuah interaksi. Oleh sebab itu tidaklah jauh dari benar manakala para
filsuf merumuskan diri manusia dalam konsep animal simbolicum makhluk simbolis selain
Universitas Sumatera Utara
animal sociosus makhluk berteman, berelasi dan konsep tentang manusia lainnya. Untuk berinteraksi inilah manusia membutuhkan keterampilan sosial. Dengan adanya keterampilan
sosial, seseorang dapat berperan sebagai pribadi yang menyenangkan dan memiliki kemampuan berinteraksi yang baik. Pembentukan keterampilan sosial itu sendiri harus
dilakukan sejak anak berada pada rentangan usia dini. Agar ketika anak sudah memasuki masa dewasa, anak tidak mengalami kesulitan lagi dalam berinteraksi di lingkungannya.
Keunikan dan dinamika simbol dalam proses interaksi sosial menuntut manusia harus lebih kritis, peka, aktif dan kreatif dalam menginterpretasikan simbol-simbol yang muncul
dalam interaksi sosial. Penafsiran yang tepat atas simbol tersebut turut menentukan arah perkembangan manusia dan lingkungan. Sebaliknya, penafsiran yang keliru atas simbol dapat
menjadi petaka bagi hidup manusia dan lingkungannya. Inti dari teori ini dalam aplikasi kehidupan sehari-hari, mencoba mengajarkan individu untuk selalu bersifat empati
memahami perasaan dan pikiran orang lain, mengerti, memahami, memposisikan diri kita sesuai dengan apa yang sedang orang lain rasakan karena dengan seperti itu hubungan sosial
akan terjalin dengan baik. Konsep dalam teori interaksionisme simbolis, sesuai dengan tujuan pembentukan
keterampilan sosial pada anak. Dalam pembentukan keterampilan sosial meliputi pembentukan keterampilan simpati, empati, berbagi dan menolong yang menjadikan anak
dapat berperan sebagai pribadi yang menyenangkan, menjadi pribadi yang mempunyai kepedulian sosial yang tinggi terhadap sesamanya. Manusia tidak pernah lepas dari interaksi
dengan sesamanya selama hidupnya. Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain.
Universitas Sumatera Utara
IV.2.5 Teori Belajar Sosial