Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(1)

DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku:

Ali, Zainuddin. 2009. MetodePenelitianHukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Arief, Barda Nanawi. 2006. Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Alumni.

2011. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Darwin, Philips. 2012. Money Laundering – Cara Memahami Dengan Tepat Dan Benar Soal Pencucian Uang. Sinar Ilmu.

Didik M.Arief Mansur, Elisatris Gultom. 2009. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung: PT Refika Aditama.

Hamzah, Andi. 2014. Perundang-Undangan Pidana tersendiri (Nonkodifikasi),. Jakarta: PT Sofmedia.

2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,ed. 2, cet.3,. Jakarta: Sinar Grafika.

Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju.

Mertokusumo, Sudikno. 1999. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Nasution, Bismar. 2005. Rezim Pencucian Anti Money Laundering Di Indonesia.

Bandung: Book Terrace An Library, Pusat Informasi Hukum Indonesia. Panggabean, H.P. 2014. Hukum Pembuktian Teori- Praktik dan Yurisprudensi

Indonesia. Bandung: PT. Alumni.


(2)

Purnomo, Bambang. Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Indonesia. Jogjakarta: Liberti.

Ramli, H. Ahmad. 2004. Cyber Law Dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.

S, Tb. Irman. 2006. Hukum Pembuktian Pencucian Uang. Jakarta: MQS Publishing.

Siahaan, N.H.T. 2008. Money Laundering dan Kejahatan Perbankan. Jala Permata Aksara.

Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: PT Tatanusa.

Soekanto, Soerjono. 1981. PengantarPenelitianHukum. Jakarta: UI Press.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2004. Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sutedi, Adrian. 2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Tim Penyusun Kamus Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Waluyo, Bambang. 1992. SistemPembuktian dalamPeradilanIndonesia, Cet.1, . Jakarta: Sinar Grafika.

Jurnal/ skripsi/ tesis:

Apreza Darul Putra, “Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Dalam Kerangka Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia,”(Tesis, Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2013)

Edmon Makarim, 12 April 2007, “Tindak Pidana terkait dengan Komputer dan Internet: Suatu Kajian Pidana Materiil dan Formil”, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, FH UI, Jakarta.

Erwin Adiabakti, Eksistensi Sistem Pembuktian Terbalik Bagi Terdakwa Pada Tindak Pidana Pencucian Uang Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, (Universitas Brawijaya, 2014).


(3)

Melda Octaria Damanik, Penerapan Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Tindak Pidana Penipuan Melalui Transaksi Elektronik (Studi Kasus di PN Medan), (Medan: USU, 2009)

Petrus Reinhard Golose, 12 April 2007,” Penegakan Hukum Cyber Crime dalam sistem Hukum Indonesia”, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia,(FH UI, Jakarta)

Sam Ardi, Suplemen Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, (Jurnal: Universitas Brawijaya Malang) Sara Yosephine Bangun, Kedudukan Bukti Surat Elektronik (Email) Dari

Prespektif Hukum Acara Pidana Indonesia, (Skripsi, Medan: USU)

Sekar Dianing Pertiwi Soetanto. Perkembangan Alat Bukti Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pada KUHAP dan Undang-Undang Khusus Di Indonesia. (Skripsi: Universitas Sebelas Maret, Surakarta)

Sutanto, Peran Polri Untuk Peningkatan Efektifitas Penerapan UU TPPU. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Keynote address pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, Medan, tanggal 15 September 2005 Sumber Undang-Undang

UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang

UU No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


(4)

Sumber Internet:

2014 pukul 23.30 WIB


(5)

BAB III

ASPEK HUKUM PEMBUKTIAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DIKAITKAN DENGAN UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI

DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

A. Aspek Hukum Pembuktian dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010

1. Rumusan Delik Tindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang pada dasarnya merupakan upaya memproses uang hasil kejahatan dengan bisnis yang sah sehingga uang tersebut bersih atau tampak sebagai uang halal. Dengan demikian asal usul uang itu pun tertutupi. Pengertian Pencucian Uang dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dicantumkan dalam Pasal 1 butir (1), yaitu:

“segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.”

Jadi tidak memberikan defenisi, tiap pasal memberikan defenisi sendiri, yaitu Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5. Ketiga pasal ini memuat rumusan asli yang dimaksud dengan Pencucian Uang. Kemudian ada rumusan delik yang secara materil bukan delik pencucian uang tetapi berkaitan dengan pencucian uang, yang tercantum


(6)

dalam Pasal 11,12,13,14,15 dan 16. Khusus Pasal 6 dan Pasal 7 menentukan bahwa korporasi adalah subyek delik korporasi.87

Secara umum, dalam bukunya, Tb. Irman mengklasifikasikan unsur-unsur tindak pidana pencucian uang menjadi 3, yaitu:88

1. Transaksi 2. Harta kekayaan 3. Melanggar hukum

1. Transaksi

Transaksi adalah salah satu unsur pokok money laundering, sedangkan unsur pokok lainnya adalah harta kekayaan dan perbuatan melanggar hukum. Transaksi menurut Pasal 1 butir (3) UU No. 8 tahun 2010, adalah

“seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/ atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih”.

Transaksi keuangan mencurigakan atau suspicious transaction, merupakan suatu indikasi cara-cara dasar adanya kegiatan pencucian uang, satu situasi transaksi mencurigakan mungkin tidak mencukupi untuk menunjukkan bahwa pencucian uang telah terjadi, tetapi suatu kombinasi dari situasi-situasi transaksi mencurigakan tersebut dapat menjadi indikasi adanya transaksi mencurigakan yang merupakan pencucian uang.89

87

Andi Hamzah, Perundang-Undangan Pidana tersendiri (Nonkodifikasi), (Jakarta: PT Sofmedia, 2014), hal.468

Transaksi keuangan mencurigakan menurut UU No. 8 tahun 2010, Pasal 1 butir (5) adalah:

88

Tb. Irman ., Op.Cit., hal. 57-81.

89


(7)

a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;

b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;

c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau

d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Bank Indonesia membuat 6 kategori terhadap transaksi yang bersifat mencurigakan (suspicious transaction) sebagaimana bisa digunakan dalam praktik

money laundering, kategori itu adalah90

1) Transaksi dengan menggunakan pola tunai berupa antara lain penyetoran dalam jumlah besar yang tidak lazim, penyetoran tanpa penjelasan yang memadai, penyetoran dengan beberapa slip serta penyetoran dalam jumlah besar melalui rekening titipan setelah jam kerja kas;

:

2) Transaksi dengan menggunakan rekening bank. Termasuk dalam kategori ini antara lain pemeliharaan beberapa rekening bank atas nama pihak lain; 3) Transaksi yang berkaitan dengan insvestasi. Transaksi dengan jenis ini

biasanya terkait dengan pembelian surat berharga untuk disimpan di bank sebagai kustodian;

4) Transaksi melalui aktivitas bank luar negeri yang diantaranya melalui penghimpunan saldo dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan

90

N.H.T Siahaan, Money Laundering dan Kejahatan Perbankan, (Jala Permata Aksara, 2008), hal. 88.


(8)

karateristik perputaran usaha, serta transfer elektronis tanpa penjelasan yang memadai;

5) Transaksi yang melibatkan karyawan bank atau agen dengan melihat terjadinya peningkatan karyawan-karyawan dalam bank. Kecuali itu, hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai;

6) Transaksi pinjam-meminjam yaitu terjadinya pelunasan pinjaman secara tidak terduga, serta permintaan pembiyaan yang porsi dana nasabahnya tidak jelas asal-usulnya;

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 memberikan kewajiban bagi pihak Penyedia Jasa Keuangan untuk menyampaikan laporan kepada PPATK, sebagaimana disebutkan Pasal 23 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010:

“Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi: a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;

b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau

c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.”

Laporan transaksi keuangan yang mencurigakan dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan. Sementara laporan transaksi keuangan secara tunai dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak transaksi dilakukan.


(9)

2. Harta Kekayaan

UU No. 8 tahun 2010 memberikan pengertian tentang harta kekayaan dalam Pasal 1 butir 13, yaitu:

“semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung”.

KUHPerdata menjelaskan hal ini lebih detail91

1) dalam Pasal 499 KUHPerdata dinyatakan bahwa yang dinamakan kebendaan adalah tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.

, yaitu:

2) dalam Pasal 500 KUHPerdata dinyatakan bahwa segala apa yang karena hukum termasuk dalam suatu kebendaan, seperti pun segala hasil dari kebendaan itu, baik hasil karena alam maupun hasil karena pekerjaan orang, selama yang akhir-akhir ini melekat pada kebendaan itu, laksana dahan dan akar terpaut pada tanahnya, kesemuanya itu adalah bagian dari kebendaan tadi.

3) dalam Pasal 503 sampai dengan 505 KUHPerdata dinyatakan bahwa: a. tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tak bertubuh

b. tiap-tiap kebendaan bergerak atau tidak bergerak

c. tiap-tiap kebendaan bergerak adalah dapat dihabiskan atau tak dapat dihabiskan, kebendaan dikatakan dapat dihabiskan bilamana karena dipakai menjadi habis.

91


(10)

3. Perbuatan Melanggar Hukum

Perbuatan melanggar hukum, secara umum yaitu bertentangan dengan atau dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan keabsahan atau prosedur yang diterima, ketidakteraturan dan bermoral atau bertentangan dengan kebiasaan (Komariah Emong Saparjaya 2001, 186). Sedangkan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum atau perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (Munir Fuady, 2002, 11). Dari uraian tersebut apabila diteliti ternyata melanggar hukum adalah sama dengan melawan hukum.92

Dalam pembuktian terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang. Tetapi dalam pembuktian harus dibuktikan bahwa harta kekayaan tersebut benar-benar merupakan “hasil tindak pidana” karena unsur “hasil tindak pidana” adalah merupakan salah satu unsur dalam tindak pidana pencucian uang. Untuk membuktikan apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana tentunya harus terbukti bahwa ada atau tidak tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut, pembuktian disini bukan untuk

92


(11)

membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicatecrime) yang menghasilkan harta kekayaan.93

Dengan demikian pencucian uang (money laundering) selalu terjadi setelah adanya perbuatan melanggar hukum, maka pencucian uang tidak akan ada bila tidak ada perbuatan melanggar hukum yang menghasilkan harta kekayaan. Tetapi tidak cukup bahwa perbuatan melanggar hukum tersebut hanya menghasilkan kekayaan, barulah lengkap apabila harta kekayaan hasil kejahatan tersebut (hasil perbuatan melanggar hukum) ditransaksikan dengan disamarkan asal usulnya.94

Money laundering (Tindak Pidana Pencucian Uang) berasal dari adanya suatu perbuatan pidana (een feit) yang di dalamnya mengandung antara lain unsur kesalahan atau kelalaian, unsur kesengajaan, unsur perbuatan melanggar hukum, unsur objek tindak pidana, unsur akibat perbuatan, unsur keadaan yang menyertai atau membantu atau yang menyuruh melakukan. Suatu perbuatan tersebut tidak harus semuanya lengkap untuk dapat dipidana tetapi harus melihat rumusan formal yang tertera dalam aturan yang telah ditetapkan. Perbuatan pidana atau tindak pidana di atas adalah yang merupakan awal tindak pidana yang terjadi. Dalam suatu tindak pidana selalu ada pelaku dan korban, apabila ada pelaku dan korban saja belum merupakan tindak pidana, harus dihubungkan dengan suatu perbuatan, yaitu perbuatan yang melawan hukum, sehingga terjadi suatu tindak pidana. Karena adanya suatu tindak pidana yang ditujukan terhadap korban oleh pelaku tindak pidana, maka timbul akibat. Dengan demikian pelaku yang

93

Ibid., hal. 80.

94


(12)

melakukan perbuatan melawan hukum yang ditujukan kepada korban adalah merupakan sebab, sehingga dikarenakan adanya sebab tersebut timbul akibat. Akibat dari tindak pidana terhadap manusia dapat berupa rasa sakit, rasa terhina, rasa kehilangan sesuatu benda, sampai hilangnya nyawa manusia, dan akibat dari tindak pidana terhadap benda dapat berupa rusaknya benda, tidak dapat dipakainya suatu benda, berubahnya suatu benda, atau timbulnya suatu benda. Dari semua akibat yang timbul dan bila akibat tersebut berupa benda yang berupa uang atau menghasilkan uang, dan uang tersebut disimpan di dalam tempat menyimpan uang yang ditentukan oleh peraturan yaitu bank, atau Penyedia Jasa Keuangan maka barulah timbul awal pencucian uang. Secara langsung, pencucian uang tidak merugikan orang tertentu atau perusahaan tertentu. Artinya, kejahatan ini tidak menimbulkan korban sehingga berbeda dari kejahatan perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang menimbulkan kerugian bagi korbannya.

Pada dasarnya suatu ketentuan pidana menurut undang-undang terdiri dari tiga bagian95

a. Terdiri dari pasal yang mempunyai rumusan yang kompleks :

b. Terdapat rangkuman singkat dari rumusan dan pemberian nama pada rumusan, yaitu suatu kualifikasi.

c. Ketentuan itu berisi ancaman pidana atau hukuman (Sahetapy, 1995,24) Adami Chazawi dalam bukunya96

95

Ibid., hal. 227.

, membagi unsur-unsur tindak pidana menjadi dua yaitu unsur-unsur tindak pidana menurut para ahli dan unsur rumusan tindak

96

Adami Chazawi., Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 79-82.


(13)

pidana dalam UU. Unsur- unsur tindak pidana menurut salah satu ahli, Moeljatno, yaitu:

a. Perbuatan dilarang

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)

Sedangkan rumusan tindak pidana dalam UU, secara khusus dalam Buku II KUHP yang memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dapat diketahui 11 unsur tindak pidana, yaitu:

a. Unsur tingkah laku b. Unsur melawan hukum c. Unsur kesalahan

d. Unsur akibat konstitutif

e. Unsur keadaan yang menyertai

f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana i. Unsur obyek hukum tindak pidana

j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana

k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Dari 11 unsur itu, diantaranya dua unsur yakni unsur kesalahan dan unsur melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan unsur selebihnya berupa unsur objektif. Dalam setiap rumusan, ada unsur yang selalu disebutkan dalam rumusan, yaitu mengenai tingkah laku/ perbuatan walaupun ada


(14)

pengecualian seperti Pasal 351 tentang penganiayaan. Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan seringkali juga tidak dicantumkan; sama sekali tidak dicantumkan mengenai unsur kemampuan bertanggung jawab.

Rumusan delik dalam hukum pidana adalah merupakan penerapan dari azas legalitas, secara konkret dalam azas legalitas adalah sanksi pidana hanya mungkin diterapkan terhadap perbuatan yang terlebih dahulu ditentukan sebagai dapat dipidana didalam undang-undang sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 (1) KUHP yaitu:

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali didasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

Selain itu, rumusan delik dalam hukum pidana adalah menunjukkan apa yang harus dibuktikan menurut hukum, dalam aturan hukum pidana semua yang tercantum dalam rumusan delik harus dibuktikan menurut aturan pidana.97

Menurut cara merumuskannya, tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 yaitu, tindak pidana/ delik formal dan tindak pidana/ delik materil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian (Pasal 362 KUHP) untuk selesainya pencurian digantungkan pada selesainya perbuatan mengambil. Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana

97


(15)

materil, inti larangan adalah menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. 98

Di dalam tindak pidana pencucian uang pasal-pasal pokok yang merupakan tindak pidana pencucian uang pada rumusan deliknya mengandung perbuatan pidana dan perbuatan perdata, seperti dalam bagan berikut:99

98

Adami Chazawi., Pelajaran Hukum Pidana, Op.Cit., hal. 126.

99


(16)

25 predicate crime (1)

Dan tindak pidana di ancam perbuatan

4 tahun atau lebih (2) pidana

menempatkan, mentransfer, (3)

mengalihkan, membayarkan, perbuatan menghibahkan, menitipkan, (4) perdata membawa ke LN, menukarkan,

dan perbuatan lainnya. (5) (5)

(6) perbuatan

melawan (7) hukum

(8) pemberian

Nama

(9) ancaman pidana

Tabel Rumusan delik Pencucian uang

Sumber: TB. Irman S., Hukum Pembuktian Pencucian Uang, Bandung: MQS Publising, hal.229.

Tindak pidana

Menghasilkan harta kekayaan (hasil tindak pidana)

Transaksi

Pada PJK

Diketahuinya atau patut menduganya

Sengaja

Nama sendiri atau nama orang lain

Dipidana tindak pidana pencucian

uang

Ancaman hukuman


(17)

Dari gambar tersebut dapat ditarik kesimpulan tindak pidana pencucian uang sendiri rumusannya ada pada No.2 (Hasil tindak pidana) sampai dengan No.9 (ancaman hukuman), maka bisa dilihat bahwa No.1 (Tindak Pidana atau

Predicate Crime) dan No.2 (Hasil Tindak Pidana) adalah merupakan perbuatan pidana. Pada No.3 (Transaksi) dan No. 4 (PJK) adalah merupakan perbuatan perdata. Adapun rumusan delik dalam UU No.8 tahun 2010, yaitu100

Pasal 3

:

a. Subyek (normadressaat) : setiap orang b. Bagian inti delik (delictsbestanddelen) :

1. Menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan

2. Yang diketahuinya atau patut diduganya

3. Merupakan hasil tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau

100

Andi Hamzah, Perundang-Undangan Pidana tersendiri (Nonkodifikasi). , Op.Cit., hal. 477-482.


(18)

lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

4. Dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.

c. Ancaman pidana

Pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

Pasal 4

a. Subyek (normadressaat) : setiap orang b. Bagian inti delik (delictsbestanddelen) :

1. menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan

2. yang diketahuinya atau patut diduganya

3. Merupakan hasil tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, tindak


(19)

pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

c. Ancaman Pidana

Pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 5

a. Subyek hukum (normadressaat) : setiap orang b. Bagian inti delik (delictsbestanddelen) :

1. menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan.

2. Yang diketahuinya atau patut diduganya.

3. Merupakan hasil tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau


(20)

lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

c. Ancaman pidana

Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 6 dan 7

a. Subyek hukum (normadressaat) : korporasi

b. Bagian inti delik (delictsbestanddelen) : melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

1. Menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain, menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya, menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan

2. Yang diketahuinya atau patut diduganya

3. Merupakan hasil tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian,


(21)

kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

4. Dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.

c. Ancaman pidana:

Pidana pokok yaitu pidana denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pidana tambahan:

a. Pengumuman putusan hakim;

b. Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi; c. Pencabutan izin usaha;

d. Pembubaran dan/ atau pelarangan Korporasi; e. Perampasan aset Korporasi untuk negara dan/ atau f. Pengambilalihan Korporasi oleh negara

Delik yang berkaitan dengan Pencucian Uang Pasal 11


(22)

b. Bagian inti delik:

1. Dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Melanggar kewajiban merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.

Kata-kata: “kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-undang ini”, merupakan dasar pembenar khusus, artinya peniadaan pidana jika orang membuka rahasia dokumen atau keterangan untuk memenuhi kewajiban menurut undang-undang pencucian uang.

c. Ancaman Pidana:

Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Pasal 12

a. Subyek (normadressaat) : direksi, komisaris, pengurus atau pegawai pihak pelapor.

Ayat (1) jo. Ayat (2)

b. Bagian inti delik (delictsbestanddelen) :

1. Memberitahukan kepada pengguna jasa atau pihak lain,

2. Baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.


(23)

Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

a. Subyek (normadressaat) : pejabat atau pegawai PPATK atau lembaga pengawas dan pengatur.

Ayat (3) jo. Ayat (4)

b. Bagian inti delik (delictsbestanddelen) :

1. Memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK

2. Secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun kepada Pengguna Jasa atau pihak lain.

c. Ancaman Pidana:

Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 14

a. Subyek (normadressaat) : setiap orang b. Bagian inti delik (delictsbestanddelen) :

Melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK

c. Ancaman Pidana:

Pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Pasal 15


(24)

b. Bagian inti delik (delictsbestanddelen) :

Yang tidak menolak dan/ atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya.

c. Ancaman pidana

Pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 16

a. Subyek (normadressaat) : pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa.

b. Bagian inti delik (delictsbestanddelen) :

Tidak merahasiakan Pihak Pelapor dan pelapor dan/atau menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.

c. Ancaman pidana

Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

2. Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang

Penyelidikan merupakan proses awal untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh undang-undang. Setelah ditemukan apakah suatu peristiwa merupakan tindak pidana, akan


(25)

dilakukan tindakan penyidikan, guna mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Terjadinya suatu delik dapat diketahui dari 4 kemungkinan yaitu:101

a. Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP)

b. Karena laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP) c. Karena pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP)

d. Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik seperti membacanya di surat kabar, mendengar dari radio atau orang bercerita, dan selanjutnya.

Setelah mengetahui terjadinya tindak pidana pencucian uang, baik melalui laporan yang disampaikan oleh PPATK, dari hasil penyidikan tindak pidana ataupun laporan dari masyarakat, maka akan dilakukan serangkaian tindakan penyidikan oleh penyidik. Berdasarkan Pasal 74 UU TPPU, Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal. Dalam penjelasan Pasal 74 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

101


(26)

Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai dengan kewenangannya. Secara garis besar penyidikan terhadap kasus Tindak Pidana Pencucian Uang dilakukan berdasarkan dua sumber yaitu102

1. Dari laporan hasil analisis PPATK, berdasarkan laporan tersebut Polri c.q penyidik melakukan penelitian mendalam lebih lanjut, karena laporan tersebut bersifat informasi yang harus dilakukan penelitian atau penyelidikan akan kebenarannya.

:

2. Setelah dilakukan penelitian dan dirasa dapat ditingkatkan ke dalam penyidikan maka laporan tersebut dituangkan dalam laporan Polisi model A, yaitu laporan polisi yang dibuat oleh anggota polisi, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan bukti.

Langkah selanjutnya dilakukan Penyidik adalah mengumpulkan alat bukti yang terkait dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU No. 8 Tahun 2010. Untuk mendapatkan alat bukti Penyidik meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan terhadap harta kekayaan yang terindikasi pencucian uang yang telah dilaporkan olrh PPATK, atau berstatus Tersangka atau Terdakwa sebagaimana diatur di dalam Pasal 72 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2010, di dalam meminta keterangan tersebut Penyidik harus memperhatikannya berlakukanya ketentuan yang mengatur tentang rahasia bank dan rahasia transaksi lainnya.

102

Sutanto, Peran Polri Untuk Peningkatan Efektifitas Penerapan UU TPPU. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Keynote address pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, Medan, tanggal 15 September 2005, hal 7.


(27)

Berdasarkan alat bukti yang berhasil dikumpulkan maka Penyidik akan mendapatkan :

a. Pelaku aktif yaitu pelaku tindak pidana asal (predicate crime), sekaligus pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010). Terhadap hal yang demikian maka Penyidik merumuskan sangkaannya secara kumulatif (pelanggaran terhadap predicate crime dan Tindak Pidana Pencucian Uang). Apabila terhadap tindak pidana asalnya belum diproses. Namun apabila tindak pidananya telah diproses maka sangkaan secara tunggal.

b. Pelaku pasif (orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan dan seterusnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010). Hal ini dimungkinkan pelaku aktifnya berada di luar negeri. Terhadap hal yang demikian maka Penyidik merumuskan sangkaan tunggal yaitu pelanggaran terhadap UU TPPU.

Merupakan bagian dari pengungkapan tindak pidana yang terjadi adalah pelacakan terhadap hasil kejahatan yang berupa harta kekayaan, baik berupa uang tunai maupun barang-barang berharga lainnya. Sudah barang tentu para pelaku menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil kejahatannya, hal ini untuk menghindari kemungkinan adanya penggeledahan oleh petugas bilamana kasusnya terungkap.Dalam pelacakan apabila Penyidik telah mendapatkan bahwa pelaku telah menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatannya maka berarti Penyidik telah mendapatkan terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang, karena menyembunyikan atau menyamarkan dari hasil kejahatannya tersebut adalah


(28)

unsur yang penting dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan syarat lain adalah Tindak Pidana yang dilakukan oleh Tersangka termasuk dalam rumusan Pasal 2 UU TPPU.

Apabila Penyidik telah mendapatkan indikasi terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang dari hasil pengungkapan tindak pidana yang dilakukan, maka penyidikan dilanjutkan dengan pengungkapan Tindak Pidana Pencucian Uang. Disamping itu Penyidik dapat menginformasikan kepada PPATK apabila hasil tindak pidana tersebut dimasukkan ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, hal ini untuk memudahkan pelacakannya, dengan demikian maka proses penyidikan dapat dilakukan dengan cepat, kususnya dalam menelusuri mengalirnya hasil kejahatan tersebut di dalam Penyedia Jasa Keuangan. Proses penyidikan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang yang diperoleh dari informasi PPATK harus dimulai dari adanya transaksi mencurigakan yang telah diidentifikasikan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Apabila diperlukan Penyedia Jasa Keuangan dapat melakukan klarifikasi atau meminta dokumen pendukung transaksi yang dilakukan oleh nasabah, dalam menetapkan transaksi keuangan yang mencurigakan. Dalam laporan transaksi keuangan yang mencurigakan, yang menjadi objek kecurigaan lebih dominan pada transaksi itu sendiri, bukan orang atau nasabah yang melakukan transaksi. Adapun beberapa transaksi mencurigakan dengan menggunakan Lembaga Penyedia Jasa Keuangan dapat diidentifikasikan sebagai berikut103 :

103

Bismar Nasution, Rezim Pencucian Anti Money Laundering Di Indonesia. (Book Terrace An Library, Pusat Informasi Hukum Indonesia (Information Centre For Indonenation Law). Bandung, 2005), hal 1.


(29)

1. Pola transaksi tunai yakni dengan :

a. Penyetoran dalam jumlah besar yang tidak lazim oleh perorangan atau perusahaan yang memiliki kegiatan usaha tertentu dan penyetoran tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan cek atau instrument non tunai lainnya;

b. Peningkatan penyetoran tunai yang sangat material pada rekening perorangan atau perusahaan tanpa disertai penjelasan yang memadai, khususnya atau apabila setoran tunai tersebut langsung ditransfer ke tujuan yang tidak mempunyai hubungan atau keterkaitan dengan perorangan atau perusahaan tersebut;

c. Penyetoran tunai dengan menggunakan beberapa slip setoran dalam jumlah kecil sehingga total penyetoran tunai tersebut mempunyai jumlah yang sangat besar;

d. Penggunaan rekening perusahaan yang lazimnya dilakukan dengan menggunakan cek atau instrumen non tunai lainnya namun dilakukan secara tunai;

e. Pembayaran atau penyetoran dalam bentuk tunai untuk penyelesaian tagihan wesel, transfer atau intrumen pasar uang lainnya;

f. Penukaran uang tunai berdenominasi kecil dalam jumlah besar dengan uang tunai berdenominasi besar;

g. Penukaran uang tunai ke dalam mata uang asing dalam frekuensi yang tinggi;


(30)

h. Peningkatan kegiatan transaksi tunai dalam jumlah yang sangat besar untuk ukuran suatu kantor Bank;

i. Penyetoran tunai yang di dalamnya selalu terdapat uang palsu;

j. Transfer dalam jumlah besar dari suatu negara lain dengan instruksi untuk dilakukan pembayaran tunai;

k. Penyetoran tunai dalam jumlah besar melalui rekening titipan setelah jam kerja kas untuk menghindari hubungan langsung dengan petugas bank;

2. Transaksi mencurigakan dengan menggunakan rekening Bank :

a. Pemeliharaan beberapa rekening atas nama pihak lain yang tidak sesuai dengan jenis kegiatan usaha nasabah;

b. Penyetoran tunai dalam jumlah kecil ke dalam beberapa rekening yang dimilki nasabah pada bank sehingga total penyetoran tersebut mempunyai jumlah sangat besar;

c. Penyetoran dan atau penarikan dalam jumlah besar dari rekening perorangan atau perusahaan yang tidak sesuai atau tidak terkait dengan usaha nasabah;

d. Pemberian informasi yang sulit dibuktikan atau memerlukan biaya yang sangat besar bagi bank untuk melakukan pembuktian;

e. Pembayaran dari rekening nasabah yang dilakukan setelah adanya penyetoran tunai kepada rekening dimaksud pada hari yang sama atau hari sebelumnya;


(31)

f. Penarikan dalam jumlah besar dari rekening nasabah yang semula tidak aktif atau dari rekening nasabah yang menerima setoran dalam jumlah besar dari rekening nasabah yang semula tidak aktif atau dari rekening nasabah yang menerima setoran dalam jumlah besar dari luar negeri;

g. Penggunaan petugas teller yang berbeda oleh nasabah yang secara bersamaan untuk melakukan transaksi keuangan mata uang asing; h. Pihak yang mewakili perusahaan selalu menghindar untuk

berhubungan dengan petugas Bank;

i. Peningkatan yang besar atas penyetoran tunai atau negotiable instruments oleh suatu perusahaan dengan menggunakan rekening klien perusahaan, khususnya apabila penyetoran tersebut langsung ditransfer diantara rekening klien lainnya;

j. Penolakan oleh nasabah untuk menyediakan tambahan dokumen atau informasi yang apabila diberikan memungkinkan nasabah menjadi layak untuk memperoleh fasilitas pemberian kedit atau jasa perbankan lainnya;

k. Penolakan nasabah terhadap fasilitas perbankan yang diberikan, seperti penolakan untuk diberikan tingkat bunga yang lebih tinngi terhadap jumlah saldo tertentu;

l. Penyetoran untuk rekening yang sama oleh banyak pihak tanpa penjelasan memadai;


(32)

3. Transaksi mencurigakan melalui transaksi yang berkaitan dengan investasi:

a. Pembelian surat berharga untuk dismpan di Bank sebagai custodian

yang seharusnya tidak layak apabila memperhatikan reputasi atau kemampuan finasial nasabah;

b. Transaksi pinjaman dengan jaminan dana diblokir (back-to-back deposit / loan transactions) antara Bank dengan anak perusahaan, perusahaan afilasi, atau institusi perbankan di negara lain yang dikenal dengan negara tempat lalu lintas perdagangan narkotika; Permintaan nasabah untuk jasa pengelolaan investasi dengan sumber dana investasi yang tidak jelas sumbernya atau tidak konsisten dengan reputasi atau kemampuan finansial nasabah;

c. Transaksi dengan pihak lawan (counterparty) yang tidak dikenal atau, jumlah dan frekuensi transaksi yang tidak lazim;

d. Investor yang diperkenalkan oleh Bank di negara lain, perusahaan afiliasi, atau investor lain dari negara yang diketahui umum sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika;

4. Transaksi mencurigakan yang melalui aktivitas Bank di luar negeri : a. Pengenalan nasabah oleh kantor cabang di luar negeri, perusahaan

afiliasi atau bank lain yang berada di negara yang diketahui sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika;

b. Penggunaan Letter of Credits (L/C) dan instrumen perdagangan internasional lain untuk memindahkan dana antara negara dimana


(33)

transaksi perdagangan tersebut tidak sejalan dengan kegiatan usaha nasabah;

c. Penerimaan atau pengiriman transfer oleh nasabah dalam jumlah besar ke atau proses, dan atau pemasaran obat terlarang atau kegiatan terorisme;

d. Penghinpunan saldo dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan karakteristik perputaran usaha nasabah yang kemudian di transfer ke negara lain;

e. Transfer secara elektronik oleh nasabah tanpa disertai penjelasan yang memadai atau tidak menggunakan rekening;

f. Permintaan Travellers Cheques, wesel dalam mata uang asing, atau

negotiable instrument lainnya dengan frekuensi tinggi;

g. Pembayaran dengan menggunakan Travellers Cheques atau wesel dalam mata uang asing khususnya yang diterbitkan oleh negara lain dengan frekuensi tertinggi;

5. Transaksi mencurigakan yang melibatkan karyawan bank dan atau agen : a. Peningkatan kekayaan karyawan dan agen Bank dalam jumlah besar

tanpa disertai penjelasan yang memadai;

b. Hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai mengenai penerimaan akhir (ultimate beneficiary);

6. Transaksi mencurigakan melalui transaksi pinjam-meminjam : a. Pelunasan pinjaman bermasalah secara tidak terduga;


(34)

b. Permintaan fasilitas pinjaman dengan agunan yang asal-usulnya dari aset yang digunakan tidak jelas atau tidak sesuai dengan reputasi dan kemampuan finansial nasabah;

c. Permintaan nasabah kepada Bank untuk memberikan fasilitas pembiayaan dimana porsi dana sendiri nasabah dan fasilitas dimaksud tidak jelas asal usulnya, khususnya apabila terkait dengan properti; 3. Pembuktian Terbalik

Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian, yakni104

a. Beban pembuktian pada penuntut umum :

Konsekuensi teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat- alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Teori beban pembuktian ini terdapat dalam Pasal 66 KUHAP yang dengan tegas menyebutkan bahwa “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.

b. Beban pembuktian pada terdakwa

Dalam konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan pengadilan yang akan menyiapkakan segala beban pembuktian dan bila ia tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.

104

H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Teori- Praktik dan Yurisprudensi Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2014), hal 10.


(35)

c. Beban pembuktian berimbang

Konkretisasi asas ini baik Penuntut umum maupun terdakwa dan/ atau Penasihat Hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya, Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa beserta Penasehat Hukumnya akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan.

Ketentuan mengenai pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 77 dan Pasal 78 UU No.8 tahun 2010. Pasal 77 menyatakan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana, dan Pasal 78 menjelaskan lebih lanjut, yakni:

1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.

Dari ketentuan pasal diatas, upaya untuk membuktikan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan pelaku menjadi lebih mudah. Kemudahan itu disebabkan karena beban pembuktian dalam persidangan ada pada terdakwa. Hal


(36)

inilah yang menjadi alasan bahwa dengan pembuktian terbalik akan memberikan efektivitas dalam membuktikan bahwa terdakwa bersalah atau tidak. Sebagaimana perlu diketahui kembali bahwa berdasarkan ketentuan dalam hukum acara pidana Indonesia yakni dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya dalam pasal 66 KUHAP, menyatakan Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”, serta ketentuan dari pasal 66 KUHAP tersebut lebih dijelaskan di bab penjelasan yang menyatakan

Ketentuan ini adalah penjelmaan dari “asas praduga tidak bersalah.

Sementara itu perlu untuk diketahui lebih lanjut, meskipun pembuktian merupakan titik strategis di dalam proses peradilan pidana, namun pembuktian itu sendiri adalah sebuah proses yang rawan terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kalau hukum acara pidana secara keseluruhan disebut sebagai “filter” yang akan menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dengan perlindungan hak-hak individu, maka sistem pembuktian merupakan “core filter” (tempat penyaringan), sebab melalui proses pembuktian itulah akan ditentukan apakah ketentuan pembuktian (bewijsracht) dari setiap alat bukti akan menjadikan seorang terdakwa dibebaskan (vrijspraak), dilepaskan dari segala tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging), ataukah dipidana. Selain itu pula berkaitan dengan ketentuan pembuktian terbalik pada tindak pidana pencucian uang ini juga


(37)

membawa konsekuensi pada perbedaan dalam menjamin dan melindungi hak asasi manusia khususnya pada terdakwa.105

Alasan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana pencucian uang ini dapat dipahami sebagai bagian dari upaya untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, mengingat dua hal penting yakni pertama dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana pencucian uang telah merugikan masyarakat dan tingkat kompleksitas dan kedua adalah kompleksitas dari modus operandi tindak pidana pencucian uang. Sementara itu dapat dipahami kembali bahwa pengaturan pembuktian terbalik pada UU 8/2010 khususnya pada pasal 77 yang menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana” ini tetap mewajibkan penuntut umum untuk membuktikan unsur- unsur selain unsur harta kekayaan. Dapat dikatakan pula sistem pembuktian terbalik pada UU No. 8 tahun 2010 ini bukanlah bersifat absolut atau mutlak, melainkan bersifat “terbatas dan berimbang”. Maksud dari pembuktian terbalik bersifat terbatas dan berimbang adalah pertama terbatas ialah bahwa terdakwa hanya diwajibkan membuktikan tetapi terbatas atas unsur harta kekayaannya, dan yang kedua maksud dari berimbang adalah konsekuensi kewajiban pembuktian yang dilakukan terdakwa hanya terbatas pada unsur harta kekayaan, sehingga terkait atas unsur-unsur tindak pidana pencucian uang yang selain unsur harta kekayaan adalah kewajiban pembuktian dari penuntut umum, sehingga dapat

105

Erwin Adiabakti, Eksistensi Sistem Pembuktian Terbalik Bagi Terdakwa Pada Tindak Pidana Pencucian Uang Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, (Skripsi: Universitas Brawijaya, 2014).


(38)

dipahami bahwa kewajiban untuk melakukan pembuktian antara terdakwa dan penuntut umum berimbang.

B. Keabsahan dan Aspek Hukum Pembuktian Elektronik Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Hukum pembuktian pada UU ITE bersifat lex specialis, dikarenakan UU ITE mengatur segala sesuatu yang lebih spesifik dalam hukum pembuktian yang terdapat di dalam KUHAP.106 Dengan diberlakukannya UU ITE maka terdapat suatu pengaturan yang baru mengenai alat-alat bukti yang diakui di dalam hukum acara Indonesia, secara khusus hukum acara pidana, yaitu alat bukti dokumen elektronik. Dalam pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE diatur mengenai pembuktian elektronik, yang menerangkan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE.107 UU ITE Pasal 5 ayat (1), dengan tegas menyatakan bahwa informasi dan/atau informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.108

106

Sam Ardi, Suplemen Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, (Jurnal: Universitas Brawijaya Malang), hal.1.

Selain 5 alat bukti yang diatur oleh KUHAP, UU No. 11

107

H.P. Panggabean. Op.Cit., hal. 163.

108


(39)

tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam Pasal 44 juga mengatur bahwa:

“alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut:

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan; dan

b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).”

UU Tindak Pidana Pencucian Uang juga mengatur mengenai alat bukti elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 73:

“ alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang ialah: a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum acara pidana; dan/atau b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,

atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa optik dan dokumen.”

Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, di baca, dan/ atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan atau sarana, baik yang tertuang di kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

1. Tulisan, suara, atau gambar;

2. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya

3. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membacanya atau memahaminya.

UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “perluasan alat bukti yang sah”. Akan tetapi, Pasal 5 ayat (2) UU ITE memberikan petunjuk penting mengenai perluasan ini, yaitu bahwa perluasan tersebut harus “sesuai


(40)

dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”. Mengacu kepada pembahasan bahwa esensi dari informasi elektronik (Pasal 1 butir UU ITE) dan dokumen elektronik (Pasal 1 butir 4 UU ITE) sama dengan defenisi dokumen dan alat bukti lain sebagaimana diatur dalam Pasal 38 TPPU, perluasan tersebut mengandung makna109

1. Memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP;

:

Alat bukti dalam KUHAP yang diperluas ialah alat bukti surat. Esensi dari surat ialah kumpulan dari tanda baca dalam bahasa tertentu yang memiliki makna. Esensi ini sama dengan hasil cetak dari Informasi atau dokumen elektronik. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik dikategorikan sebagai surat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf d KUHAP dan hanya dapat dijadikan alat bukti apabila hasil cetak tersebut memiliki hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang lain. 2. Mengatur sebagai alat bukti lain, yaitu menambah jumlah alat bukti yang

diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

Hal alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain yang dipertegas dalam Pasal 44 UU ITE yang mengatur bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik adalah alat bukti lain. Penegasan bahwa informasi atau dokumen elektronik dalam bentuk originalnya merupakan alat bukti selain yang telah diatur dalam KUHAP ialah pengaturan yang sangat penting mengingat informasi atau dokumen elektronik dalam bentuk originalnya dapat mengandung

109


(41)

informasi yang tidak dapat diperoleh apabila informasi atau dokumen elektronik tersebut dicetak.

Pasal 188 ayat (2) KUHAP menentukan secara limitatif sumber petunjuk, yaitu: keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Akan tetapi, alat bukti elektronik juga dapat dijadikan sumber petunjuk, yaitu hasil cetak informasi atau dokumen elektronik dapat dikategorikan sebagai surat. Surat yang dimaksud ialah “surat lain” sepanjang surat itu memiliki hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf d.

UU ITE telah mengatur bahwa upaya paksa yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum untuk memperoleh alat bukti elektronik ialah melalui penggeledahan dan penyitaan sistem elektronik atau melalui intersepsi atau penyadapan. Aparat penegak hukum menggunakan cara penggeledahan dan penyitaan apabila penyidik sudah mengetahui secara jelas sumber alat bukti elektronik tersebut (lokasi komputer, laptop, USB, server milik tersangka, korban, atau saksi). Sedangkan berdasarkan batasan-batasan yang diatur dalam perundang-undangan, intersepsi atau penyadapan dapat digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai cara mengumpulkan informasi dan keterangan terkait dengan suatu tindak pidana (tersangka, tindak pidana yang dipersangkakan, saksi, lokasi tindak pidana); informasi tersebut dapat dijadikan alat bukti.110

Dalam sistem pembuktian di Indonesia, kesalahan terdakwa ditentukan oleh minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Keabsahan alat bukti didasarkan pada pemenuhan syarat dan ketentuan baik secara formil maupun

110


(42)

materil. Prinsip ini juga berlaku terhadap pengumpulan dan penyajian alat bukti elektronik baik yang dalam bentuk original maupun hasil cetaknya, yang diperoleh baik melalui penyitaan maupun intersepsi. KUHAP telah memberikan pengaturan yang jelas mengenai upaya paksa penggeledahan dan penyitaan secara umum, tetapi belum terhadap Sistem Elektronik111

Yang dimaksud dengan persyaratan materil ialah ketentuan dan persyaratan yang dimaksud untuk menjamin keutuhan data (integrity), ketersediaan (availability), keamanan (security), keotentikan (authenticity), dan keteraksesan (accessibility) informasi atau dokumen elektronik dalam proses pengumpulan dan penyimpanan dalam proses penyidikan dan penuntutan, serta penyampaiannya di sidang pengadilan. Persyaratan materil alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU ITE, yaitu informasi atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 16 UU ITE dan dari kedua pasal ini dapat diperoleh persyaratan yang lebih rinci, yaitu bahwa sistem elektronik:

.

1. Andal, aman dan bertanggung jawab;

2. Dapat menampilkan kembali informasi atau dokumen elektronik secara utuh;

3. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keautentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik;

4. Dilengkapi dengan proseddur atau petunjuk dan dapat beroperasi sesuai prosedur atau petunjuk yang telah ditetapkan tersebut.

111


(43)

Selain itu, Pasal 6 UU ITE juga memberikan persyaratan materil mengenai keabsahan alat bukti elektronik, yaitu bahwa informasi atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Sedangkan persyaratan formil alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 43 UU ITE, yaitu:

1. Informasi atau dokumen elektronik tersebut bukanlah:

a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat

dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

2. Penggeledahan atau penyitaan terhadap sistem elektronik harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.

3. Penggeledahan atau penyitaan tetap menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.

Dalam hal Sistem Elektronik yang ddigunakan telah memenuhi persyaratan tersebut, maka kualitas alat bukti elektronik dalam bentuk originalnya (Informasi atau Dokumen Elektronik) dan hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik adalah sama. Dengan kata lain, polisi, jaksa, dan hakim dapat menggunakan keduanya atau salah satunya.112

112


(44)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengaturan alat bukti elektronik harus didasarkan pada sistem dan prinsip pembuktian hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. KUHAP belum mengatur mengenai alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, namun beberapa peraturan perundang-undangan seperti UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta UU No. 11 tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, telah mengatur bahwa data elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Dengan adanya UU ITE telah memberikan perluasan alat bukti di ranah internet dari apa yang diatur dalam KUHAP. Hukum pembuktian pada UU ITE sendiri bersifat lex specialis, dikarenakan UU ITE mengatur segala sesuatu yang lebih spesifik dalam hukum pembuktian yang terdapat di dalam KUHAP. Surat Mahkamah Agung kepada Menteri Kehakiman Nomor 39/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988 menyatakan bahwa “microfilm


(45)

perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat, dengan catatan microfilm tersebut sebelumya dijamin keotentikasiannya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara. Dalam Putusan MA tersebut diakui bahwa fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti bila disertai keterangan atau dengan jalan apapun secara sah dapat ditunjukkan bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya. Oleh karena itu, berdasarkan analogi maka hasil print out mesin faximili, microfilm

atau microfiche juga dapat diterima sebagai alat bukti.

2. Aspek hukum pembuktian elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 73 yang menyatakan bahwa alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa optik dan dokumen juga merupakan alat bukti yang sah. Dengan diberlakukannya UU ITE semakin dipertegas bahwa alat bukti dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah dan diakui dalam hukum acara Indonesia, secara khusus hukum acara pidana. Dalam pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE diatur mengenai pembuktian elektronik, yang menerangkan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE. Keabsahan alat bukti didasarkan pada pemenuhan syarat dan ketentuan baik secara formil maupun materil. Bukti elektronik harus


(46)

memenuhi syarat materil dan formil agar dapat menjadi alat bukti yang sah.

B. Saran

1. Perlu adanya suatu pelatihan khusus bagi setiap aparat penegak hukum dalam bidang digital forensik, sehingga dapat meminimalisasi kemungkinan pelaku tindak pidana dibebaskan karena kurangnya alat bukti.

2. Perlu diatur dalam suatu peraturan yang jelas mengenai tata cara penggeledahan dan penyitaan alat bukti elektronik, sehingga menjaga keabsahan dari alat bukti elektronik dan agar tidak melanggar hak-hak orang yang terkait.


(47)

BAB II

PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Teori Pembuktian atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Dilihat dari hukum pembuktian yang dianut oleh Indonesia sekarang, sistem pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling mengait dan berhubungan satu dengan lain yang tidak terpisahkan dan menjadi suatu kesatuan yang utuh. Adapun isinya sistem pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti ini boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standar/ kriteria yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan. 46

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana. Oleh karena itu, hukum acara pidana mencari kebenaran materil. Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian dapat diuraikan sebagai berikut47

1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden);

:

46

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hal.24.

47

Bambang Purnomo, Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, (Jogjakarta: Liberti), hal. 39., seperti dikutip oleh Lamgok Herianto Silalahi, Loc.Cit.,hal. 58.


(48)

2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau (bewijsmiddelen);

3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering);

4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht);

5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast);

6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum).

Pada hakekatnya pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum. Menurut Adami Chazawi, pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara pidana, sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan.48

Ilmu pengetahuan mengenal empat sistem pembuktian, yaitu:

1. Sistem Pembuktian Keyakinan Hakim Belaka (Conviction In Time)

Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan berdasarkan keyakinannya saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam

48


(49)

membentuk keyakinannya tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah logis ataukah tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-benar bergantung kepada hati nurani hakim.49 Sehingga pembuktian ini sangatlah subyektif, seseorang bisa dinyatakan bersalah tanpa bukti apa-apa yang mendukungnya, sebaliknya pembuktian sistem ini bisa membebaskan seseorang dari perbuatan yang dilakukannya.50

Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini terbuka peluang praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin. Walaupun mengandung kelemahan yang besar, sistem ini pernah berlaku di Indonesia pada zaman Hindia Belanda dahulu, yaitu pada Pengadilan District dan Pengadilan Kabupaten51

2. Sistem Pembuktian Melulu Undang-Undang (Positief Wettelijk Bewijstheorie)

.

Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah

49

Ibid. Hal 25.

50

Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, (Jakarta: MQS Publishing, 2006), hal. 136.

51

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1985), hal. 110 seperti dikutip oleh Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 25.


(50)

terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formelebewijstheorie).52

Sistem pembuktian ini hanya sesuai dengan hukum acara pidana khususnya dalam hal pemeriksaan yang bersifat inkuisitoir (inquisitoir) seperti yang pernah dianut dahulu di benua Eropa.53 Menurut D. Simons, sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan- peraturan pembuktian yang keras.54 Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi.55 Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang.56

3. Sistem Pembuktian Keyakinan dengan Alasan Logis (Laconviction in Raisonne)

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu

52

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 251.

53

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1985), hal. 110., seperti dikutip oleh Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 27.

54

D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordring, hal. 1., seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 251.

55

A. Minkenhof, De Nederlandse Strafvordering, hal. 1., seperti dikutip oleh ibid.

56


(51)

motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).57

Dibandingkan dengan Sistem pembuktian keyakinan hakim belaka

(conviction in time), sistem ini lebih maju sedikit, walaupun kedua sistem ini dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Lebih maju, karena dalam sistem ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Walaupun alasan-alasan itu menggunakan alat-alat bukti baik yang ada disebutkan dalam UU maupun di luar UU.58

4. Sistem Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (Negatief Wettelijk)

Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.59

57

Ibid., hal. 253.

Jadi, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijstheorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag, D. Simons)

yaitu pada peraturan perundang-undangan dan pada keyakinan, dan menurut

58

Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 26.

59


(52)

undang, dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan undang-undangan.60

Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia sejak berlakunya

het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dahulu dan kini KUHAP adalah menganut sistem ini secara konsekuen. Pasal 294 ayat (1) HIR merumuskan bahwa:

“tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu”.

Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan penyempurnaan ke dalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya ialah:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.61

Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan sistem undang-undang secara negatif – sebagai intinya, yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapatlah disimpulkan pokok-pokoknya, ialah62

a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana.

:

Sesungguhnya, pembuktian itu ditujukan untuk memutus suatu perkara, dalam hal ini perkara pidana, dan bukan semata-mata menjatuhkan pidana. Sebab, untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan

60

D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordring, hal. 1., seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 256.

61

Ibid., hal. 29.

62


(53)

terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian dijalankan, dan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah majelis hakim mendapatkan keyakinan: (1) terbukti terjadinya tindak pidana; (2) terdakwa melakukannya; dan (3) keyakinan terdakwa bersalah (tanpa terbukti adanya peniadaan pidana selama persidangan), maka terdakwa dijatuhi pidana (veroordeling). Sebaliknya, jika menurut keyakinan hakim tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti, maka akan dijatuhi pembebasan (vrijspraak). Apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa, tetapi dalam persidangan terbukti adanya dasar/ alasan yang meniadakan pidana baik di dalam UU maupun di luar UU, maka tidak dibebaskan dan juga tidak dipidana melainkan dijatuhkan amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum (ontslagvanallerechtsvervolging).

b. Standar/ syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.

Sesungguhnya ada 2 (dua) syarat untuk mencapai suatu hasil pembuktian agar dapat menjatuhkan pidana yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan, tetapi dapat dibedakan, ialah:

1) Harus menggunakan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Maksud alat bukti yang sah adalah alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

2) Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim memperoleh keyakinan. Ada tiga macam/ tingkat keyakinan yang harus didapatkan hakim dari pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat bukti yang sah tersebut. Hakim yakin tindak pidana benar telah terwujud,


(54)

yakin terdakwa melakukannya, dan dalam hal itu hakim yakin terdakwa bersalah.

Mengenai syarat yang pertama, hal sekurang- kurangnya 2 (dua) alat bukti, bukanlah berarti jenisnya yang harus dua, seperti 1 orang saksi (keterangan saksi) dan lainnya keterangan terdakwa atau surat, tetapi yang dimaksud sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah, adalah bisa saja terdiri dari 2 alat bukti yang sama jenisnya, misalnya saksi A dan saksi B yang menerangkan hal yang sama. Mengenai syarat kedua: keyakinan hakim. Keyakinan hakim haruslah dibentuk atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah. Keyakinan hakim yang harus dibentuk atas dasar mempergunakan minimal dua alat bukti yang sah tadi.63

B. Ruang Lingkup Alat Bukti dalam Hukum Pidana Indonesia

Mengenai macam alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan untuk membuktikan yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah: a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa;

Jika dibandingkan dengan alat-alat bukti dalam Pasal 295 HIR, maka alat-alat bukti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ada perbedaan. Perbedaan itu ialah:

63


(55)

1. Alat bukti pengakuan menurut HIR, yang dalam KUHAP diperluas menjadi keterangan terdakwa. Pengertian keterangan terdakwa lebih luas dari sekedar pengakuan.

2. Dalam KUHAP ditambahkan, alat bukti baru yang dulu dalam HIR bukan merupakan alat bukti, yakni keterangan ahli.

a. Alat Bukti Keterangan Saksi

KUHAP telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 26). Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya (Pasal 1 angka 27).64

Dari batasan UU tentang saksi dan keterangan saksi tersebut, dapatlah ditarik 3 kesimpulan, yakni:

1. Bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangannya dalam 2 tingkat yakni ditingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan di sidang pengadilan.

64


(56)

2. Bahwa isi apa yang diterangkan, adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala sesuatu yang sumbernya di luar 3 sumber tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan pembuktian. Ketentuan ini menjadi suatu prinsip pembuktian dengan menggunakan alat bukti keterangan saksi.

3. Bahwa keterangan saksi haruslah disertai alasan dari sebab apa ia mengetahui tentang sesuatu yang ia terangkan. Artinya, isinya keterangan baru berharga dan bernilai pembuktian apabila setelah memberikan keterangan ia kemudian menerangkan tentang sebab-sebab dari pengetahuannya tersebut. Hal ini pun merupakan prinsip umum alat bukti keterangan saksi dalam hal pembuktian.65

Di dalam batasan pengertian saksi dan keterangan saksi (Pasal 1 angka 26 dan 27), terdapat mengenai syarat, yakni: apa yang diterangkan adalah mengenai hal yang dilihat, didengar dan dialami saksi sendiri. Apabila syarat itu tidak dipenuhi maka keterangan saksi tersebut tidak bernilai pembuktian, karena bukan sebagai alat bukti yang sah. Oleh karena itu, tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti perkara pidana. Tentu saja tidak dapat digunakan untuk membentuk keyakinan hakim.66

Syarat keterangan saksi agar keterangannya itu menjadi sah dan berharga, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya, dapat terletak pada beberapa hal, ialah:

65

Ibid., hal. 38.

66


(57)

i. Hal kualitas pribadi saksi

Kualitas pribadi yang dimaksud adalah kualitas saksi dalam hubungan dengan terdakwa. Prinsip umum mengenai kualitas pribadi saksi dalam hukum pembuktian adalah tidak ada hubungan keluarga. Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP berikut:

1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Ratio dari pembatasan ini adalah untuk mencapai objektivitas isi keterangan saksi. Namun, bila ada hubungan keluarga, maka ada batas-batas hubungan tertentu yang tidak boleh menjadi saksi. Sedangkan hubungan keluarga diluar batas-batas yang ditetapkan, tidak berhalangan untuk memberikan keterangan saksi, tetapi masih juga ada perkecualian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 170. Menurut ayat (1) pasal ini dikecualikan untuk menjadi saksi adalah mereka yang karena jabatan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta dibebaskan dari kewajiban untuk


(58)

memberikan keterangan sebagai saksi, yakni tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

Ada perkecualian dari orang yang tidak boleh didengar keterangannya dalam sidang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 168 tersebut, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 169. Menurut Pasal 169, orang –orang yang berkualitas dalam hubungan kekeluargaan sebagaimana disebutkan Pasal 168 dapat memberikan keterangannya apabila:

1) Mereka yang berkedudukan dalam hubungan keluarga itu menghendaki untuk memberikan keterangan;

2) Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa secara tegas menyetujuinya.

Biasanya, dalam praktik saksi yang demikian diajukan oleh penasihat hukum. Kemudian hakim akan menanyakan relevansinya dengan pokok perkara yang sedang diperiksa. Apabila menurut pertimbangan hakim cukup alasannya untuk dapat didengar keterangannya, maka hakim meminta kepastian kepada jaksa penuntut umum dan terdakwa apakah mereka menyetujuinya. Keterangan saksi keluarga ini harus tidak diatas sumpah. Karena tidak diatas disumpah, maka keterangan demikian nilai pembuktiannya sepenuhnya bergantung kepada pertimbangan hakim. Artinya, hakim boleh menggunakannya dan boleh juga tidak. Jika digunakan, maka tidak dapat disamakan nilainya dengan nilai keterangan saksi yang disumpah, melainkan sekedar dipergunakan sebagai tambahan atas keterangan saksi yang disumpah (Pasal 185 ayat 7), atau sekedar memperkuat alat bukti yang sudah ada saja. Dapat menambah nilai pembuktian dari alat bukti yang sudah ada dengan syarat isi keterangan saksi yang tidak


(59)

disumpah tadi harus bersesuaian dengan keterangan saksi yang disumpah; dan keterangan saksi yang disumpah ini telah memenuhi syarat minimal pembuktian. Artinya, isinya bersesuaian dengan isi dari alat bukti yang lain.67

ii. Hal apa yang diterangkan saksi

Ada 2 syarat yang menyangkut keterangan saksi di muka sidang pengadilan yang tidak bisa dipisahkan, agar keterangan itu bernilai dan berharga pembuktian, yang dapat dipertimbangkan untuk membentuk keyakinan hakim, yaitu:

1. Sumber pengetahuan saksi

Artinya, bahwa apa yang diterangkan oleh saksi haruslah bersumber dari pribadinya sendiri, bukan keterangan yang didapat dari orang lain. Keterangan yang didapat dari cerita orang lain, tidaklah mempunyai nilai pembuktian.

2. Substansi isi keterangan

Isi keterangan saksi haruslah keterangan mengenai fakta, yaitu apa yang dia lihat, dia dengar dan dia alami sendiri. Oleh karena itu, pendapat bukanlah termasuk fakta sehingga tidak termasuk keterangan saksi yang dimaksud Pasal 1 angka 27. Mengenai hal itu ditegaskan oleh Pasal 185 ayat (5), yang menyatakan bahwa:

“baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi”.68

67

Ibid., hal. 42.

68


(60)

iii. Alasan apa saksi mengetahui tentang apa yang diterangkan

Apa yang dimaksud dengan alasan adalah segala sesuatu yang menjadi sebab mengapa seorang saksi melihat, dan mendengar atau mengalami tentang peristiwa yang diterangkan saksi. Keterangan saksi di muka sidang pengadilan, tetapi dari rangkaian keterangannya tidak didapat keterangan mengenai sebab pengetahuan mengenai apa yang saksi terangkan, maka keterangan tanpa sebab pengetahuannya itu tidak bernilai pembuktian.69

iv. Syarat mengucap sumpah atau janji

Pasal 160 ayat (3) KUHAP mewajibkan pada saksi sebelum memberikan keterangan untuk terlebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya, yang isinya sumpah atau janji bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Cara penyumpahan ini disebut dengan promissoris, artinya sanggup berkata yang benar.

Kepercayaan atas kebenaran isi keterangan yang diletakkan diatas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah, didasarkan pada dua alasan yang bersifat menekan secara psikologis orang, yaitu: Pertama, pada kepercayaan terhadap sanski dosa dan kutukan dari Tuhan kepada orang yang dengan sengaja melanggar sumpah, sesuai dengan agama yang dianut. Dengan alasan ini maka sumpah yang diucapkan saksi haruslah berdasarkan dan menurut cara agama masing-masing. Kedua, pada sanksi hukum pidana. Hukum pidana telah menentukan sanksi pidana maksimum 7 tahun sampai 9 tahun penjara bagi orang yang memberikan keterangan palsu diatas sumpah (Pasal 242 KUHP).

69


(1)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBUKTIAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM KASUS TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG DIKAITKAN DENGAN UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh:

NIM: 110200213 ERMA PANGARIBUAN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 195703261986011001 Dr. M.Hamdan, S.H., M.H

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr.Syafruddin Kalo,S.H.,M.Hum

NIP. 195102061980021001 NIP. 197404012002121001


(2)

KATA PENGANTAR

Segala pujian dan sembah hanya kepada Tuhan Yesus, yang menganugerahkan keselamatan dan memimpin Penulis dalam mengerjakan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.

Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi dan memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/mahasiswi yang akan menyelesaikan perkuliahannya. Dalam pengerjaan skripsi ini penulis tidak sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr.O.K. Saidin, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH, selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

6. Ibu Liza Erwina, SH.,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah membimbing, mengarahkan dalam penulisan skripsi ini.

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah membimbing dan mengarahkan dan mendukung penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

9. Untuk orang tua penulis, Nelson Pangaribuan dan Rosmawati Panjaitan, terima kasih untuk doa dan pengertiannya selama ini kepada penulis. Terima kasih untuk kesabarannya. Semoga kasih dari Kristus Yesus menyertai dan memberikan keselamatan kepada kalian.

10. Untuk kakakku terkasih Ana Pangaribuan, terima kasih untuk dukungan moril dan materilnya selama ini, semoga diberkati Tuhan untuk keluarga kakak bersama bang Eliber dan Rykel (keponakan tersayang). Untuk abangku Coki Pangaribuan, terima kasih untuk semua yang abang berikan, semoga Tuhan Yesus memberikan yang terbaik untuk abang. Untuk Bg Anda, Bg Kardo dan Adek ku Susy, terima kasih untuk segalanya.

11. Untuk PKK ku, Bg Suspim terima kasih untuk setiap kesabaran dan doa-doanya, terima kasih mengajariku mengenal Yesus Sang Juruselamat, untuk KK Zuriel dan Makarios (Frimanda, Bobby, Tulus, Romeo), terima kasih untuk semuanya saudaraku, melalui kalian aku boleh semakin bertumbuh.


(4)

12. Untuk adekku KK SHE, Melva, Tika, Anita, Minar dan Agus, bersyukur boleh menggembalakan kalian, keluarga rohani ku, terima kasih untuk doa dan air mata kalian untukku. Tetaplah melayani Tuhan. Untuk adekku KK DUNASTES, Tri Oktober, Samswardi, Gary dan Mazmur, terima kasih telah mengajarkan ku arti perjuangan yang sesungguhnya. Aku mengasihi kalian dan rindu melihat kalian menjadi orang yang takut akan Tuhan. 13. Untuk sahabat-sahabatku, David, Susi, Rendi dan Novly, terima kasih

untuk semua suka duka yang kita lalui bersama, untuk dukungannya kepada penulis. Semangat untuk kita semua.

14. Untuk pelayanan ku KMK UP FH, dan orang-orang yang ada di dalamnya, terpujilah Tuhan yang memilih kita untuk menjadi pelayanNya. Terima kasih untuk Ka Monica, Ka Novika, Ka Juliani, Bg Marupa dan setiap orang yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pembuktian ... 12

2. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ... 14

3. Pengertian Informasi dan Transaksi Eletronik ... 17

F. Metode Penulisan ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Teori Pembuktian atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia ... 24


(6)

C. Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Sah dalam Hukum Pidana Indonesia ... 44 BAB III ASPEK HUKUM PEMBUKTIAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT

BUKTI YANG SAH DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DIKAITKAN DENGAN UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Aspek Hukum Pembuktian Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang

Berdasarkan UU No.8 Tahun 2010 ... 53 B. Keabsahan dan Aspek Hukum Pembuktian Elektronik Dalam Kasus

Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik ... 86 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 92 B. Saran ... 94 DAFTAR PUSTAKA


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

5 152 106

Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

1 77 106

IMPLEMENTASI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK MENGENAI PEMBERLAKUAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH

0 12 114

IMPLEMENTASI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK MENGENAI PEMBERLAKUAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH

0 6 18

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 6 20

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 8 66

KEDUDUKAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME

4 63 229

BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 1 22

BAB II PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIKSEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA - Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 200

0 1 29

BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 0 22