SISTEMATIKA PENULISAN PENELITIAN SEMIOTIKA

BAB V SISTEMATIKA PENULISAN PENELITIAN SEMIOTIKA

Struktur tidak baku

Entah ini bisa dibilang suatu kelemahan atau kekurangan, atau justru suatu kelebihan; memang tidak ada struktur yang baku dalam teknik penulisan skripsi atau tesis yang menggunakan analisis semiotika.

Sama seperti penelitian kualitatif pada umumnya, tak ada struktur baku pada tahap- tahap penulisannya. Tetapi, sebagai pedoman, sistematika penulisan skripsi/tesis di bawah ini mudah-mudahan bisa membantu.

Di sejumlah Universitas, tidak ada keseragaman dalam sistematika penulisan skripsi dan tesis yang menggunakan metode kualitatif khususnya penelitian menggunakan analisis semiotika. Ini bisa dimaklumi bahwa di banyak tempat bahkan di universitas terkenal pun, penggunaan semiotika dalam penelitian mahasiswa dan dosen masih jarang –bila tidak mau dikatakan tidak pernah--.

Ini terkait dengan begitu kuatnya paradigma atau pendekatan positivistik yang amat menekankan unsur objektivitas dan menggunakan teknik-teknik statistik yang canggih. Meski pendekatan kuantitatif tidak sinonim dengan paradigma positivistik, tetapi secara umum bisa dikatakan bahwa metodelogi kuantitatif didasarkan pada filsafat positivistik yang terlihat jelas dari struktur, proses dan latar belakang teoritisnya.

Pendekatan kuantitatif positivistik telah sangat lama mendominasi penelitian-penelitian ilmu sosial dan banyak pihak sampai saat ini ( masih) menganggap bahwa pendekatan

kuantitatif sebagai satu-satunya acuan ilmiah. 43

Paradigma positivistik menyatakan bahwa ilmu didasarkan pada hukum-hukum dan prosedur baku. Secara mendasar ilmu dianggap berbeda dari spekulasi dan dari ‘common sense’. Menurut paradigma ini, ilmu bersifat deduktif, berjalaan dari hal umum dan abstrak menuju yang kongkrit dan spesifik. Ilmu juga bersifat nomotetik, artinya ilmu didasarkan pada hukum-hukum kausal yang universal, yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa sosial serta hubungan variabel-variabel di dalamnya. Di sisi lain, dikatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dari indra; sumber pengetahuan lain dianggap tidak reliabel. Ilmuwan positivistik meyakini ilmu sebagai suatu hal yang bebas nilai karena itu ilmu dapat

(dan perlu) memisahkan fakta dari nilai. 44

Bila paradigma positivistik mengambil kutub pandang di atas, maka paradigma interpretif –yang mendasari penelitian kualitatif termasuk penelitian semiotika—berada di kutub berlawanan. Para peneliti interpretif menyatakan bahwa:

43 Baca “Pendekatan Kualitatif

44 Sarantakos, 1993

1. dasar untuk menjelaskan kehidupan, peristiwa sosial dan manusia, bukan ilmu dalam kerangka positivistik tetapi justru dalam arti ‘common sense’. Menurut mereka, pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan individu terhadap pengalaman dan kehidupannya sehari-hari, dan hal tersebutlah yang menjadi langkah awal penelitian ilmu-ilmu sosial;

2. Pendekatan yang digunakan adalah induktif, berjalan dari yang spesifik menuju yang umum , dari yang konkrit menuju yang abstrak;

3. Ilmu bersifat idiografis, bukan nomotetis, karena ilmu mengungkap bahwa realitas tertampilkan dalam simbol-simbol melalui bentuk-bentuk deskriptif;

4. Pengetahuan tidak hanya dapat diperoleh melalui indera, karena pemahaman mengenai makna dan interpretasi adalah jauh lebih penting, dan ;

5. Ilmu tidak bebas nilai. Kondisi bebas nilai tidak menjadi sesuatu yang dianggap

penting, dan tidak pula mungkin dicapai. 45

Selain dua paradigma di atas, ada juga satu paradigma lain yang berkembang belakangan yaitu paradigma kritikal. Meskipun belum mendapat tempat yang relatif sama pentingnya di dunia ilmu, perspektif atau paradigma kritikal mengembangkan pandangan- pandangan baru yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan.

“Critical social science is an ‘engage’ science, meaning that it assumes involvement and activism on the part of the researcher and theoretician. Researcher don’t only study reality; they

act on it. 46

Perspektif kritikal melihat bahwa ilmu berada dalam posisi di antara positivisme dan interpretif ; di antara determinisme dan humanisme. Yang diyakini paradigma kritikal adalah bahwa manusia dihadapkan pada berbagai kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi kehidupan mereka dan menempatkan individu yang satu dan yang lain dalam posisi berbeda-beda.

Seperti peneliti interpretif , peneliti dengan perspektif kritikal melihat ilmu sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

PARADIGMA DAN METODE PENELITIAN

Pendekatan kualitatif dekat dengan cara berpikir kelompok interpretif/fenomenologis. Meski begitu, metode penelitian kualitatif tidak berarti sinonim dengan interpretatif. Dengan beberapa pengecualian, secara umum bisa dikatakan bahwa pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan pandangan-pandangan dasar interpretif dan fenomenologis yang antara lain melihat :

1. realitas sosial adalah sesuatu yang subjektif dan diinterpretasikan, bukan sesuatu yang di luar individu-individu;

2. Manusia tidak secara sederhana disimpulkan mengikuti hukum-hukum alam di luar diri, melainkan menciptakan rangkaian makna saat menjalani hidupnya;

3. Ilmu didasarkan pada pengetahuan sehari-hari, bersifat induktif, idiografis dan tidak bebas nilai , serta

4. penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami kehidupan sosial. 47

45 Sarantakos, 1993

46 Ibid.

47 ibid.

Pandangan ini amat bertolak belakang dengan prinsip-prinsip teoritis penelitian kuantitatif yang melihat realitas sebagai suatu hal yang objektif, sederhana dan positif dan terdiri dari impresi-impresi indra karenanya yang diyakini adalah satu realitas dan satu kebenaran.

Prinsip lainnya adalah bahwa, fakta harus dipisahkan dari nilai dan ilmuwan sosial tidak diperkenankan membuat pernyataan nilai karena yang ditekankan adalah tesis netralitas nilai. Sementara itu mereka melihat bahwa metafisik, penalaran filosofis dan spekulasi hanyalah ilusi yang tidak mampu memberikan data yang reliabeel dan dapat dibuktikan. Penalaran filosofis yang spekulatif tidak punya relevansi dengan kondisi empiris dan tidak memberikan prosedur jelas yang memungkinkan replikasi dan pengujian kembali. Lebih jauh mereka menyatakan:

Ekplanasi dibatasi pada gejala positif (yang memang ada atau tampil), dan diambil secara eksklusif dari pengalaman. Dalamm upaya mengkonstruksi pengetahuan, ilmuwan sosial menyatakan komitmen pada prosedur eksplisit, eksak dan formal dalam mendefinisikan konsep, meletakkan proposisi dan operasionalisasi, serta mengukur konsep-konsep dan variabel. Dengan begitu validitas pernyataan-pernyataan yang dikembangkan dapat ditinjau oleh peneliti-peneliti lain, dan hasilnya dapat diterima, ditolak atau dimodifikasi. Sedangkan

bentuk logis teorinya deduktif. 48

Tabel. Perbedaan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif

Pendekatan Kualitatif

Pendekatan Kuantitatif

1. mendasarkan diri pada kekuatan

1. mendasarkan diri pada angka

narasi

2. mengambil jarak dari situasi

2. studi dalam situasi alamiah

alamiah

3. kontak langsung di lapangan

3. menekankan keajegan, ‘statis’

4. cara berpikir induktif

‘mekanistis’

5. perspektif holistik

4. orientasi universalitas, generalisasi

6. perspektif perkembangan,

jumlah

5. menjaga ‘objektivitas’ dengan

dinamis

menerapkan jarak dan aturan ketat

7. orientasi kasus unik

6. desain tegas ditentukan dari awal

8. cara memperoleh data netral-

7. linier

empatis

8. peneliti salah satu aspek dari

9. ada fleksibilitas desain

banyak aspek lain

10. sirkuler

9. cara berpikir deduktif

11. peneliti sebagai instrumen kunc

10. reduktif

11. menjaga jarak dari yang diteliti

Teori dalam Penelitian Kualitatif?

48 ibid. hal.16

Meski ada sejumlah perbedaan pandangan apakah perlu ada teori atau tidak dalam penelitian kualitatif, sebenarnya teori sangat diperlukan untuk mendukung kekuatan penelitian.

Dalam bukunya, Glaser dan Starus (1967) memberikan porsi cukup besar untuk membahas pentingnya peran perpustakaan dalam menemukan dan membangun teori. Mereka bahkan mengusulkan bahwa dalam situasi-situasi tertentu, studi pustaka dapat menjadi bagian sama penting dalam menemukan data seperti juga kegiatan lapangan.

When someone stands in the library stacks, he is, metaphorically, surrounded by voices begging to be heard. Every book, every magazine article, represents at least one person who is equivalent to the anthropologist’s informant or the sociologist’s interviewee. In those publications, people converse, announce positions , argue with a range of eloquence, and describe events or scenes in ways entirely comparable to what is ween and heard during field work. The researcher needs only to discover the voices in the library to release them for his

analytic use. 49

Tanpa membaca atau mendasarkan diri pada teori-teori yang relevan, seorang peneliti kualitatif mungkin terlihat sangat naif dan tak mengerti, mungkin dia malah mengembangkan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang basi, kadaluarsa dan serba ketinggalan konteks. Tanpa membaca, bisa dipastikan pemahaman kita tak akan sempurna.

49 Glaser & strauss (1967), hal.163