Keadaan Sosial dan Politik di Jawa Abad Ke-15

A. Keadaan Sosial dan Politik di Jawa Abad Ke-15

Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang di datanginya mempunyai situasi politik dan sosial budaya yang berlainan ( Warwati Djoened Poesponegoro-Nugroho Notosusanto, 1993: 1). Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka sukubangsa, struktur ekonomi dan sosial budaya. Sukubangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman dilihat dari sudut antropologi budaya belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar seperti India. Persia, Arab dan Eropa. Struktur sosial ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir lebih-lebih di kota-kota pelabuhan, menunjukan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang yang disebabkan percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.

Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam, di Indonesia terdapat Negara-negara yang bercorak Indonesia – Hindu. Di Sumatera terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu, di Jawa terdapat Majapahit dan Sunda – Pajajaran, di Kalimantan terdapat kerajaan Negara-Daha dan Kutai dan di Bali kerajaan yang bercorak Hindu itu masih terus bertahan sampai abad ke-20. pada waktu itu di beberapa daerah lainnya masih terdapat banyak kerajaan yang sedikit atau sama sekali tidak mendapat pengaruh dari kerajaan-kerajaan Hindu. Kerajaan-kerajaan semacam itu di Sulawesi ialah Gowa, Wajo, Bone, dan lain-lainnya ( Warwati Djoened Poesponegoro-Nugroho Notosusanto, 1993: 173).

Kedatangan dan penyebaran Islam di pulau Jawa mempunyai aspek- aspek ekonomi, politik dan sosial-budaya. Situasi dan kondisi politik di Majapahit yang lemah karena perpecahan dan perang di kalangan keluarga raja-raja dalam perebutan kekuasaan, maka kedatangan dan penyebaran agama Islam makin dipercepat (Marwati Djoened Poesponegoro,1993: 21). Daerah-daerah pesisir Kedatangan dan penyebaran Islam di pulau Jawa mempunyai aspek- aspek ekonomi, politik dan sosial-budaya. Situasi dan kondisi politik di Majapahit yang lemah karena perpecahan dan perang di kalangan keluarga raja-raja dalam perebutan kekuasaan, maka kedatangan dan penyebaran agama Islam makin dipercepat (Marwati Djoened Poesponegoro,1993: 21). Daerah-daerah pesisir

Kerajaan yang ada di Jawa pada waktu kedatangan Islam di Indonesia pada abad ke 15 salah satunya adalah Majapahit. Sejarah Majapahit dimulai pada tahun 1293, yaitu hampir dua tahun sesudah runtuhnya kerajaan Singasari. Berdirinya kerajaan Majapahit adalah usaha dan perjuangan Raden Wijaya dibantu pengikutnya. Raden Wijaya mampu memanfaatkan kedatangan tentara Cina Mongol (Kubilai Khan) yang datang ke pulau Jawa untuk menghukum Kertanegara. Kedatangan pasukan Kubilai Khan dimanfaatkan untuk menyerang Jayakatwang di Kadiri, sehingga kekalahan Kertanegara dapat terbalaskan karena akhirnya Jayakatwang akhirnya meninggal di Ujung Galuh. Sedangkan pasukan Kubilai Khan melalui tipu muslihat Raden Wijaya dapat diusir dari pulau Jawa pada tahun 1293.

Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang kuat, maka Raden Wijaya melakukan berbagai tindakan yaitu seperti membangun Majapahit sebagai pusat pemerintahan, mengawini keempat putri Kertanegara dan membalas jasa dengan memberikan kekuasaan kepada para sahabat dan pengikutnya. Sebagai contoh Ranggalawa diangkat menjadi adipati di Tuban; Sora menjadi penguasa di Daka (Kediri) sedangkan Nambi menjabat sebagai Patih Hamangkubhumi (Perdana Menteri) di Istana. Walaupun demikian diantara pengikutnya ada yang tidak puas dan akhirnya menjadi benih pemberontakan di Majapahit.

Majapahit mencapai puncak kejayaan ketika berada di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang.

Sebagai kerajaan Hindu terbesar di Nusantara keamanan rakyat terjamin, di mana hukum serta keadilan ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Dalam kehidupan beragama raja membentuk dewan khusus yaitu Darmadhyaksa Kasaiwan yang mengurus agama Siwa-Budha dan Darmadhyaksa Kasogatan yang mengurus agama Budha. Keduanya dibantu oleh pejabat keagamaan yang disebut Darma Upapatti yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan. Banyaknya pejabat tersebut menunjukan kompleksnya permasalahan agama yang harus diatur. Dengan adanya pejabat keagamaan tersebut, kehidupan keagamaan Majapahit berjalan dengan baik bahkan tercipta toleransi.

Setelah Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389 Majapahit mulai mundur secara berangsur-angsur, sementara itu bagian-bagian kerajaannya satu demi satu melepaskan diri. Proses ini kurang lebih bersamaan masanya dengan masuknya agama Islam ke Indonesia (N. Daldjoeni, 1984: 103).

1. Kerajaan Majapahit

a. Runtuhnya Kerajaan Majapahit

Pada awal abad ke-15 Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran secara berangsur-angsur setelah raja Hayam Wuruk wafat. Hal ini menyebabkan wilayah-wilayah kerajaan Majapahit yang sangat luas melepaskan diri. Keadaan politik Majapahit diwarnai dengan berbagai pemberontakan dan perang saudara. Pada tahun 1389 Masehi (1311 Saka) mangkatlah Rajasanagara (Hayam Wuruk) raja terbesar Majapahit, ketika kerajaan itu berada di puncak kejayaannya. Tafsiran yang dapat diangkat dari berita kitab Pararaton adalah bahwa raja tersebut didharmakan di daerah Tanjung, nama candi pendharmaannya Paramasukhapura. Di kalangan para ahli arkeologi terdapat interpretasi bahwa Paramasukhapura tersebut terletak di lereng utara Gunung Wilis, mungkin dekat dengan situs Candi Ngetos sekarang di wilayah Kabupaten Nganjuk. Memang sungguh menarik untuk ditelisik lebih lanjut bahwa candi untuk raja terbesar Majapahit tersebut sekarang tiada ditemukan lagi secara pasti, sementara sejumlah candi untuk sanak kerabatnya masih bertahan hingga sekarang di beberapa daerah Jawa Timur bekas tlatah kerajaan itu dahulu.

Sepeninggal Rajasanagara tampil tokoh penguasa Majapahit yang baru, yaitu Wikramawarddhana yang menikah dengan Kusumawarddhani putri Hayam Wuruk. Wikramawarddhana hanya memerintah selama 12 tahun, sekitar tahun 1400 ia mengundurkan diri menjadi seorang pertapa (bhagawan), tahta Majapahit diserahkan kepada putrinya yang bernama Suhita. Sebenarnya yang layak memerintah adalah putra mahkota kakak Suhita yang bernama Bhra Hyang Wekasing Sukha, namun ia mangkat pada tahun 1399 sebelum ditahbiskan menjadi raja.

Naik tahtanya Suhita sebagai ratu Majapahit ternyata tidak disukai oleh salah seorang putra Hayam Wuruk yang berasal dari selir, ialah Bhattara i Wirabhumi (Bhre Wirabhumi) walaupun ia telah menjadi penguasa di daerah Balambangan. Demikianlah masalah ketidakpuasan terhadap penguasa, hak untuk berkuasa, yang berujung kepada perebutan kekuasaan dalam bentuk peperangan yang sangat berdarah adalah faktor-faktor mendasar yang menjadi titik awal keruntuhan Wilwatikta. Dalam pada itu serangan dari kerajaan Islam Bintara (Demak) hanyalah peristiwa pamungkas yang menyebabkan lenyapnya Majapahit dari Tanah Jawa, karena sebelumnya telah terdapat serangkaian pemicu ke arah runtuhnya Majapahit diawal abad ke-16M.

Paregreg meletus pada tahun 1401 M sebagai bentuk ketidakpuasan dan rasa berhaknya Bhre Wirabhumi atas tahta Majapahit. Mulai tahun itu hingga tahun-tahun selanjutnya Majapahit diriuhkan oleh peperangan antara Wikramawarddhana yang berkuasa di kadaton kulon melawan Bhre Wirabhumi yang memimpin penyerangan dari kadaton wetan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya Paregreg yang baru usai tahun 1406, rakyat Majapahitlah yang menderita, pastinya aktivitas pertanian menurun, hubungan niaga dengan wilayah luar Jawa terganggu, apalagi citra Majapahit di mata kerajaan-kerajaan mitra satata di rantauan Asia Tenggara menjadi tidak berwibawa lagi.

Perang Paregreg, ditinjau dari segi politik dan ekonomi, membawa kehancuran Majapahit. Kekuasaan Majapahit sudah terpecah, dan pecahan kekuasaan itu saling berhantaman, meremuk kewibawaan pemerintah Majapahit di daerah jajahan dan di pusat. Kelemahan pemerintahan pusat memberikan Perang Paregreg, ditinjau dari segi politik dan ekonomi, membawa kehancuran Majapahit. Kekuasaan Majapahit sudah terpecah, dan pecahan kekuasaan itu saling berhantaman, meremuk kewibawaan pemerintah Majapahit di daerah jajahan dan di pusat. Kelemahan pemerintahan pusat memberikan

Perang Paregreg bukanlah satu-satunya perang saudara sepeninggal Patih Gajah Mada. Bahkan boleh dikatakan bahwa perang Paregreg adalah permulaan rentetan perang saudara demi perebutan kekuasaan antaran para keturunan raja Kertarajasa Jayawardhana. Perekonomian Negara dan rakyat menjadi kocar-kacir akibat perang paregreg. Rakyat yang semestinya bekerja di ladang untuk kepentingan produksi pangan, dikerahkan ke medan perang. Perahu yang semestinya digunakan untuk berdagang, digunakan untuk mengangkut tentara. Ringkasnya, perang Paregreg membawa kehancuran ekonomi dan politik Majapahit (Slamet Mulyana, 2005; 179).

Di tengah-tengah Paregreg itu kejadian pula suatu kecelakaan. Dalam tahun 1405 di pulau Jawa melawat seorang utusan Cina bernama Cheng Ho. Dalam tahun 1406 perang Paregreg sedang berjalan, dan pada ketika itu dia sedang dalam kerajaan Mirabumi. Ketika itu datang bala tentara Wikramawardana menyerang, sehingga 170 orang pengikut Cheng Ho terbawa menjadi korban. Walaupun Wikramawardana lekas menerima maaf, tetapi oleh karena kecelakaan itu, maka dia dijatuhkan juga denda harus membayar emas seharga 60.000 tail; tetapi setelah dalam tahun 1408 dibayar sebanyak 10.000 tail, maka yang selebihnya dibebaskan saja. Semenjak itu maka perhubungan antara Jawa dan Cina menjadi baik kembali, sehingga kirim mengirim utusan berlaku seperti biasa lagi (Muhammad Yamin, 1977: 83).

dikalahkan oleh pihak Wikramawarddhana berkat bantuan Bhre Tumapel Bhra Hyang Parameswara, maka Suhita melanjutkan pemerintahannya di Majapahit hingga wafatnya pada tahun 1447 M dan didharmakan di Singhajaya. Karena Suhita tidak mempunyai anak, maka singgasana Majapahit kemudian diduduki oleh adiknya, yaitu Bhre Tumapel Kertawijaya (1447—1451 M). Pada masa pemerintahannya ia mengeluarkan prasasti Waringin Pitu yang bertarikh 1369 Saka (22 Nopember 1447 M). Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa Majapahit pada dewasa itu mempunyai 14 orang penguasa daerah sebagai berikut: (1) Batari Daha, (2) Batari

Setelah Bhre

Wirabhumi dapat

Jagaraga, (3) Batara Kahuripan, (4) Batari Tanjungpura, (5) Batari Pajang, (6) Batari Kembang Jenar, (7) Batari Wengker, (8) Batari Kabalan, (9) Batara Tumapel, (10) Batara Singapura, (11) Batara Matahun, (12) Batara Wirabumi, (13) Batara Keling, dan (14) Batara Kalinggapura. Berita dari prasasti Waringin Pitu tentang para penguasa daerah tersebut menunjukkan bahwa wilayah sebenarnya terbagi dalam beberapa kerajaan daerah yang mengakui kedudukan raja di kedaton Majapahit sebagai penguasa tunggal atas daerah-daerah tersebut.

Penguasa selanjutnya adalah Bhra Pamotan dengan epitet Sri Rajasawarddhana Dyah Wijayakumara yang berkuasa antara tahun 1451—1453 M. Asal-usul tokoh ini tidak begitu jelas, dugaan sementara bahwa dia sangat mungkin salah seorang putra Wikramawarddhana pula, mungkin dari seorang selirnya. Pararaton menyebutkan bahwa pada waktu Rajasawarddhana berkuasa ia berkedudukan di Keling-Kahuripan. Terdapat asumsi bahwa ia tidak berkedudukan di ibukota Majapahit, melainkan memindahkan pusat pemerintahannya di wilayah Keling-Kahuripan. Keadaan itu mungkin ada hubungannya dengan kekalutan politik berkenaan dengan tahta yang didudukinya. Setelah ia meninggal menurut Pararaton kemudian didharmakan di Sepang.

Pararaton mencatat bahwa dalam masa 3 tahun kemudian tidak ada raja di Majapahit (interregnum). Hal ini sungguh menarik karena selama 3 tahun itu tidak ada tokoh yang dapat mengampu kerajaan yang kejayaannya hampir pudar tersebut. Surya Majapahit yang biasa dijumpai di batu cungkup candi-candi zaman itu dan menjadi ciri kesenian Majapahit agaknya hampir tenggelam. Dalam keadaan terluka dan lemah akibat konflik internal, Majapahit masih mampu melanjutkan keberadaannya sepanjang abad ke-15 M sampai keruntuhannya.

Pada tahun 1456 tampillah Dyah Suryawikrama Girisawarddhana sebagai penguasa Majapahit yang memerintah selama 10 tahun. Raja tersebut ialah salah seorang anak dari Bhre Tumapel Kertawijaya, dalam Pararaton Dyah Suryawikrama dikenal dengan sebutan Bhra Hyang Purwwawisesa yang setelah meninggal dicandikan di Puri. Menilik masa pemerintahannya yang relatif lama dapat diduga bahwa kedudukannya sebagai raja Majapahit agaknya mendapat sokongan dan kepercayaan dari para penguasa daerah.

Raja selanjutnya yang memerintah di Majapahit adalah Bhre Pandan Salas, ia dikenal pula dengan gelar resminya Dyah Suraprabhawa Singhawikramawarddhana. Hal yang menarik dikemukakan oleh Pararaton bahwa raja Dyah Suraprabhawa hanya memerintah selama 2 tahun, kemudian menyingkir meninggalkan keratonnya. Menyingkirnya Dyah Surabrabhawa dari istana Majapahit sangat mungkin disebabkan oleh adanya serangan dari pihak lain yang juga menginginkan tahta. Dalam tahun 1473 M, ia masih mengeluarkan prasasti Pamintihan yang isinya antara lain bahwa Dyah Suraprabhawa atau Bhre Pandan Salas mengaku diri sebagai raja Majapahit, dan menyebut dirinya sebagai “Sri Maharajadhiraja yang menjadi pemimpin raja-raja keturunan tuan gunung” (Sri Giripatiprasutabhupatiketubhuta). Tokoh ini disebut sebagai “penguasa tunggal di Tanah Jawa” (yawabhumyekadhipa) oleh Mpu Tanakung dalam manggala kakawin Siwaratrikalpa gubahannya.

Apabila disesuaikan dengan berita Pararaton yang menyatakan bahwa Bhre Pandan Salas hanya memerintah selama 2 tahun. Mungkin dapat diartikan bahwa masa 2 tahun itu hanyalah ketika ia masih menduduki tahtanya di kota Majapahit. Kemudian karena adanya serangan ia terpaksa menyingkir ke pedalaman (wilayah Tumapel) untuk meneruskan pemerintahannya, mengeluarkan prasasti, serta menjadi pelindung pujangga yang menggubah kakawin keagamaan. Tokoh yang menyebabkan Bhre Pandan Salas harus meninggalkan Majapahit ialah Bhre Kertabhumi yang ingin pula berkuasa di Majapahit. Bhre Kertabhumi adalah anak bungsu dari raja terdahulu Majapahit, yaitu Rajasawarddhana (1451—1453 M) sebelum terjadinya masa interregnum

Bhre Pandan Salas atau Dyah Suraprabawa terus memerintah sebagian besar wilayah Majapahit dengan berkedudukan di Tumapel sampai tahun 1474 M. Sepeninggal Bhre Pandan Salas kedudukannya digantikan oleh anaknya yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Pada awalnya ia masih berkedudukan di Kling, namun ia kemudian berhasil merebut tahta Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi. Pararaton mencatat bahwa pada tahun Saka “sunya-nora-yuganing- wong” (1400 S/1478 M) Bhre Kertabhumi wafat di keraton, mungkin akibat serangan Dyah Ranawijaya yang berhasil merebut kembali kota Majapahit setelah Bhre Pandan Salas atau Dyah Suraprabawa terus memerintah sebagian besar wilayah Majapahit dengan berkedudukan di Tumapel sampai tahun 1474 M. Sepeninggal Bhre Pandan Salas kedudukannya digantikan oleh anaknya yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Pada awalnya ia masih berkedudukan di Kling, namun ia kemudian berhasil merebut tahta Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi. Pararaton mencatat bahwa pada tahun Saka “sunya-nora-yuganing- wong” (1400 S/1478 M) Bhre Kertabhumi wafat di keraton, mungkin akibat serangan Dyah Ranawijaya yang berhasil merebut kembali kota Majapahit setelah

Akibat perang saudara, semangat Majapahit lapuk dari dalam. Meskipun kelihatannya masih tegak berdiri, tetapi sebenarnya telah keropos dari dalam. Keadaan yang demikian ini sebenarnya telah dimulai pada masa pemerintahan prabu Wikramawardhana alias Hyang Wisesa. Barangkali akibat kemakmuran dan kesejahteraan yang sangat mewah, berkat usaha patih Amangku Bumi Gajah Mada pada masa pemerintahan Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan prabu Hayam Wuruk, semangat Majapahit itu menjadi melemah. Tidak ada lagi orang yang dapat dan membina kesejahteraan yang telah dicapai (Slamet Mulyana, 2005: 180).

Dalam abad ke 15 kekuasaan kerajaan Majapahit selalu turun dengan derasnya. Pada akhir abad ke 15 kekuasaannya hanya di pulau Jawa saja, yaitu terutama di bagian Tengah dan di sebelah Timur. Turunnya kekuasaan di laut dan di darat pertama-tama karena di pulau Sumatera Utara, di Semenanjung Melayu, dan di pantai pulau Jawa telah berkembang agama Islam. Selain itu agama Islam mengurangkan kekuasaan kebudayaan Indonesia kehinduan, tetapi juga ternyata bahwa berangsur-angsur daerah agama Islam di tanah pesisir bersusun menjadi kekuasaan Negara, yang berpusat seperti di Gresik, Sidayu, Tuban, Jepara, Demak, Cirebon dan Banten. Oleh susunan politik baru ini, maka kekuasaan Majapahit terkepung sebelah ke udik, dan tidak berhubungan lagi dengan pulau- pulau lain. Sementara itu agama dan kekuasaan Islam berkembang pula dari pesisir menuju ke darat, sehingga pusat Majapahit selalu terancam dengan hebatnya (Muhammad Yamin, 1977; 87).

b. Struktur Pemerintahan dan Birokrasi Kerajaan Majapahit Kerajaan Majapahit merupakan sebuah kerajaan kuna yang dapat kita ketahui dengan lengkap struktur pemerintahan dan birokrasinya. Pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk kerajaan Majapahit telah mencapai puncak keemasannya. Pada masa itu Majapahit telah memiliki susunan pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur. Berdasarkan bahan-bahan keterangan yang ada dapat disimpulkan bahwa struktur pemerintahan dan birokrasi kerajaan Majapahit selama perkembangan sejarahnya tidak banyak berubah. Sebagian besar sumber- sumber tentang masalah ini berasal dari jaman keemasan Majapahit, sehingga struktur pemerintahan dan birokrasi kerajaan Majapahit secara keseluruhan tidak jauh berbeda dengan keadaannya pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk.

Struktur pemerintahan kerajaan Majapahit mencerminkan adanya kekuasaan yang bersifat teritorial dan disentralisasikan dengan birokrasi yang terperinci. Struktur pemerintahan yang demikian ini terjadi karena adanya pengaruh kepercayaan yang bersifat kosmologi. Berdasarkan konsepsi ini maka seluruh kerajaan Majapahit dianggap sebagai replika dari jagat raya, dan raja Majapahit disamakan dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Mahameru. Wilayah kerajaan Majapahit terdiri atas Negara-negara daerah yang disamakan dengan tempat tinggal para dewa Lokapala yang terletak di keempat penjuru mata angin. Dalam prasasti Tuhanaru yang berangka tahun 1245 Saka ( 13 Desember 1323) kerajaan Majapahit dilambangkan sebagai sebuah prasada dengan raja Jayanagara sebagai Wisnwawatara dan Rake Mapatih sebagai pranala , sedangkan seluruh mandala Jawa dianggap sebagai sebagai punpunan- nya, pulau Madura dan Tanjungpura dianggap sebagai angsa-nya. Demikian pula di dalam prasasti Jayapatra yang berasal dari zaman Hayam Wuruk, raja Hayam Wuruk diumpamakan sebagai sebuah patung Siwa dan Patih Gajah Mada diumpamakan sebagai sebuah pranala.

Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi. Para Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi. Para

Pada zaman Majapahit terdapat pula kelompok yang disebut Bhattara Saptaprabhu , yang merupakan sebuah pahom narendra, yaitu suatu lembaga yang merupakan “Dewan Pertimbangan Kerajaan”. Dewan ini bertugas memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada raja. Anggota-anggotanya ialah para sanak saudara raja. Lembaga Bhattara Saptaprabhu ini pertama kali diketahui dari prasasti Singasari (D 111) yang berangka tahun 1273 Saka (27 April 1351), yang dikeluarkan oleh Rakryan Mahapatih Mpu Mada. Kemudian diketahui pula disebutkan di dalam Kidung Sundayana dengan sebutan Saptaprabhu, dan di dalam Kakawin Nagarakartagama dengan sebutan Pahom Narendra.

Di bawah raja Majapahit terdapat sejumlah raj-raja daerah (paduka bhattara ), yang masing-masing memerintah sebuah Negara daerah. Mereka ini biasanya merupakan saudara-saudara atau para kerabat dekat raja yang memerintah. Dalam pelaksanaan tugas-tugas kerajaan mereka ini dibebani tugas dan tanggung jawab untuk mengumpulkan penghasilan kerajaan dan penyerahan upeti kepada perbendaharaan kerajaan, dan juga meliputi fungsi pertahanan wilayahnya. Para penguasa daerah ini dalam menjalankan pemerintahan daerahnya dibantu oleh sejumlah pejabat daerah, dengan struktur yang hampir sama dengan yang ada di pusat kerajaan, tetapi dalam skala yang lebih kecil.

Dalam prasasti-prasasti biasanya para paduka bhattara disebutkan ikut mengiringi perintah raja. Perintah itu kemudian diturunkan kepada pejabat yang disebut Rakryan Mahamantri Katrini dan kemudian diteruskan kepada pejabat- pejabat yang ada di bawahnya, yaitu para Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, para Dharmmadhyaksa dan para Dharma-upapatti.

Rakryan Mahamantri Katrini biasanya dijabat oleh para putra raja. Mereka ini terdiri dari tiga orang, yaitu : Rakryan Mahamantri i Hino, Rakryan Mahamantri i Halu , Rakryan Mahamantri i Sirikan. Dari ketiga Rakryan Mahamantri itu agaknya Rakryan Mahamantri i Hino merupakan yang tertinggi Rakryan Mahamantri Katrini biasanya dijabat oleh para putra raja. Mereka ini terdiri dari tiga orang, yaitu : Rakryan Mahamantri i Hino, Rakryan Mahamantri i Halu , Rakryan Mahamantri i Sirikan. Dari ketiga Rakryan Mahamantri itu agaknya Rakryan Mahamantri i Hino merupakan yang tertinggi

Rakryan Mantri ri Pakirankiran ialah sekelompok pejabat tinggi yang merupakan sebuah “Dewan Menteri”, yang berfungsi sebagai “Badan Pelaksana Pemerintahan”. Badan ini biasanya terdiri dari lima orang pejabat, yaitu: Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga, dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat (para tanda rakryan) tersebut pada jaman Majapahit disebut Sang Panca ring Wilwatikta atau disebut juga Mantri Amancanagara. Dari kelima tanda rakryan itu, Rakryan Mapatih merupakan pejabat yang terpenting kedudukannya. Rakryan Mapatih menduduki tempat sebagai Perdana Menteri atau Menteri Utama (Mantri Muknya), yang bersama-sama raja dapat ikut menjalankan kebijaksanaan pemerintah.

Dharmmadhyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi juridiksi keagamaan. Ada dua Dharmmadhyaksa, Yaitu Dharmmadhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharmmadhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Budha. Masing-masing Dharmmadhyaksa ini dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan (dharmmaupapatti) yang diberi sebutan Sang Pamegat (Samgat). Pejabat ini jumlahnya cukup banyak, terdiri dari Sang Pamegat i Tirwan, Sang Pamegat i Kandamuhi, Sang Pamegat i Manghuri, Sang Pamegat i Jambi, Sang Pamegat i Pamwatan, Sang Pamegat i Kandangan Atuha, Sang Pamegat i Kandangan Rare, Sang Pamegat i Panjangjiwa, Sang Pamegat i Lekan, Sang Pamegat i Tanggar, Sang Pamegat i Pandeglan, dan Sang Pamegat i Tingangrat. Biasanya nama-nama pejabat tersebut di dalam prasasti-prasasti Majapahit hanya disebutkan paling banyak tujuh buah. Pada jaman raja Hayam Wuruk dikenal adanya tujuh upapatti yang disebut Sang Upapatti Sapta. Ketujuh upapatti ialah Sang Pamegat i Tirwan, Sang Pamegat i Kandamuhi, Sang Pamegat i Manghuri, Sang Pamegat i Pamwatan, Sang Pamegat i Jambi, Sang Pamegat i Kandangan Atuha, dan Sang Pamegat i Kandangan Rare.

Berdasarkan beberapa buah prasasti Majapahit yang menurut daftar dharma-upapatti dapat diketahui bahwa para pejabat tersebut masih dapat dikelompokan dalam dua golongan, yaitu golongan untuk urusan agama Budha dan golongan untuk urusan agama Siwa. Di antara para upapatti itu ada pula yang menjabat urusan sekte-sekte tertentu seperti Bhairawapaksa, Saurapaksa, dan Siddhantapaksa. Di samping kedudukannya sebagai pejabat keagamaan, para upapatti itu dikenal pula sebagai kelompok para cendekiawan, dan dikenal pula sebagai kelompok para bhujangga.

Selain para pejabat birokrasi yang telah disebutkan di atas, masih terdapat pula sejumlah pejabat sipil dan militer lainnya. Mereka itu ialah para kepala jawatan (tanda), para nayaka, pratyaya, dan para drawyahaji, yang merupakan pejabat-pejabat sipil, para pangalasan, senapati, dan surantani, sebagai pejabat-pejabat militer yang bertugas pula sebagai pegawai raja dan penjaga lingkungan keraton (bhayangkari) (Warwati Djoened Poesponegoro-Nugroho Notosusanto, 1993: 455).

c. Letak Ibu Kota Majapahit

Singasari runtuh pada tahun 1292, Raden Wijaya atas nasihat Adipati Wiraraja dari Sumenep agar membuka hutan Tarik untuk dijadikan pemukiman baru. Pemukiman baru itu kemudian disebut Majapahit. Toponim di Tarik terletak di tepi Sungai Porong di sebelah timur Majakerta. Namun di Tarik itu sendiri tidak ditemukan peninggalan-peninggalan arkeologi yang menunjukan bahwa disitulah letak ibukota Majapahit.

Sejarah Dinasti Yuan menyatakan bahwa dalam bulan April 1293 Raden Wijaya mengirim utusan kepada tentara Mongol yang berkampung di tepi Sungai Brantas untuk meminta perlindungan dan bantuan terhadap serangan tentara Jayakatwang dari Gelang-Gelang yang mengejarnya sampai Majapahit. Ike Mese dan Kau Hsing, panglimanya, segera datang di Majapahit. Sebagian dari tentaranya dikirim ke Canggu. Oleh karena itu dapat diketahui dengan pasti di mana tempat musuh itu bersembunyi, Kau Shing lalu kembali ke perkampungannya di tepi Sungai Brantas.

Berdasarkan uraian Sejarah Dinasti Yuan itu dapat diketahui bahwa ibukota Majapahit terletak di sekitar Canggu. Toponim Canggu sudah mulai dikenal pada tahun Saka 1193 bertepatan dengan tahun Masehi 1271 bertalian dengan pembangunan perbentengan di situ oleh Raja Wisnuwardhana. Tempat itu sampai sekarang masih ada, letaknya di sebelah selatan Majakerta.

Pada tahun 1416 seorang ulama Cina bernama Ma Huan ikut serta dalam rombongan Laksamana Cheng Ho yang berkunjung ke Majapahit. Dalam karyanya yang berjudul Ying-yai Sheng –lan, Ma Huan menyajikan uraian geografi tentang empat kota utama di Majapahit yakni Tuban, Gresik, Surabaya dan Majapahit. Dari uraian itu jelas bagaimana orang dapat mencapai ibukota Majapahit dari Surabaya. Demikianlah uraian itu dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan letak ibukota Majapahit. Uraiannya seperti berikut (Slamet Mulyana, 1983: 210):

Jawa dahulu disebut Japa; kota utamanya ada empat, semuanya tanpa pagar batu. Kapal-kapal dari negeri asing datang di pelabuhan Tuban, Tse- tsun (Gresik), Surabaya, akhirnya Majapahit, tempat bersemayam Sang Prabu. Dari Surabaya berlayar dengan perahu kecil ke arah selatan sejauh kira-kira 70 atau 80 li (40 km) kita sampai di pelabuhan Canggu. Di sini kita mendarat lalu berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari. Kita sampai di Majaphit tempat bersemayam Sang Prabhu. Di tempat ini ada kira-kira 2 atau 3 ratus kepala keluarga dan 7 atau 8 pembesar pembantu Sang Prabhu. Semuanya orang pribumi. Istana Sang Prabhu dikelilingi pagar bata setinggi tiga puluh kaki (10 m), panjangnya lebih dari seratus kaki (33 m). Pintu masuknya ada dua; dipelihara dengan baik, kelihatan selalu bersih. Rumah-rumah di dalam benteng berdiri di atas tanah, tingginya dari tiga puluh sampai empat puluh kaki. Lantainya dibuat dari papan, ditutup dengan tikar rotan atau tikar pandan berkembang- kembang, tempat duduk para penghuninya; atapnya dibuat dari potongan- potongan kayu sebagai ganti genting (sirap).

Dari uraian Ma Huan jelas bahwa ibukota kerajaan Majapahit terletak di sebelah selatan Canggu, dekat Majakerta. Di sebelah selatan Majakerta pada km

61 terletak desa Trawulan. Di desa ini terletak makam raja seperti dinyatakan dalam Negarakretagama pupuh LXXVII/3. Daerah kiri jalan dari kilometer 59 sampai kilometer 65 antara Majakerta dan Majaagung, sangat menarik untuk lokalisasi ibukota Majapahit, karena di daerah itu ditemukan berbagai macam peninggalan dan nama-nama tempat yang berkaitan dengan Majapahit.

Kraton Majapahit menghadap ke arah barat, dikelilingi benteng dari batu merah tebal lagi tinggi. Tinggi benteng itu sekitar tiga puluh kaki atau sepuluh meter. Lebarnya lebih daripada tiga puluh atau empat puluh meter. Di muka benteng ada lapangan sangat luas, dikelilingi parit berisi air. Antara parit dan benteng ada jalan mengelilingi kraton. Pintu disebelah barat bernama Pura Wakrtra, artinya pintu muka. Dari pintu muka itu ada jalan lurus ke timur sampai benteng di debelah timur, membelah alun-alun menjadi dua. Di sebelah utara ada lagi gapura dengan pintu besi penuh berukir untuk masuk ke kraton. Dari pintu utara terbentang jalan ke selatan sampai benteng sebelah selatan. Jalan dari pintu utara bertemu dengan jalan dari pintu barat tepat di tengah-tengah kompleks kraton. Pertemuan dua jalan itu disebut perempat (jalan prapatan). Masuk dari pintu utara mengikuti jalan ke arah selatan, di sebelah kanan jalan ialah alun-alun, di sebelah kiri jalan ialah bangunan-bangunan kenegaraan dalam kompleks kraton. Dari prapatan ke arah timur di kanan-kiri jalan ialah bangunan-bangunan tempat kediaman, ditanami pohon tanjung. Di tepi alun-alun sepanjang benteng berjejer pohon brahmastana. Alun-alun selatan digunakan sebagai lapangan watangan (Slamet Muljana. 1983; 213).

Masuk dari pintu utara ke arah selatan, di sebelah kiri jalan ialah panggung tinggi, lantainya dibuat dari marmer putih bersih mengkilat, menghadap ke arah alun-alun. Di sebelah selatan panggung ialah pecan dan perumahan yang memanjang ke arah timur. Tepat disebelah selatan jalan perempat ialah balai agung tempat pertemuan pada permulaan bulan Caitra setiap tahun. Kemudian menyusul balai manguntur, sama dengan tatag rambat atau pendapa agung tempat para pembantu utama menghadap Sang Prabhu. Balai manguntur juga dapat disebut balai paseban atau balairung. Di tengah-tengah balai manguntur ada rumah kecil dengan tahta tempat duduk Sang Prabhu. Rumah kecil dalam balai manguntur itu disebut balai witana (Slamet Mulyana, 1983; 214).

Pembagian balai manguntur seperti berikut, bagian utara ialah khas tempat duduk para pujangga dan para menteri, bagian timur khas tempat duduk para pendeta Siwa-Budha. Di sebelah timur balai manguntur ialah pomahan (perapian) yang berkelompok tiga-tiga mengelilingi sanggar pemujaan Dewa

Siwa. di sebelah selatan pamohan ialah bangunan bertingkat tempat tinggal para pendeta utama, menghadap kearah barat, menghadapkan panggung tempat meletakan sajian. Di sebelah pangung sajian ialah bangunan lampai bersusun tiga, puncaknya diukir, disitu tempat meletakan arca Budha. Bagian selatan manguntur digunakan sebagai paseban disekat dengan pintu-pintu yang dapat dibuka pada waktu diadakan paseban umum. Halaman manguntur ditanami pohon asoka.

2. Kerajaan Islam Demak

a. Berdirinya Kerajaan Demak

Babad Tanah Jawi menguraikan bahwa Prabu Brawijaya mempunyai selir seorang putri Cina di samping permaisuri putri dari Campa. Ketika selir itu mulai hamil muda, Putri Campa tidak senang kepadanya dan memohon kepada Sang Prabhu supaya selir Putri Cina itu diusir dari keraton, dan mengancam supaya dipulangkan ke Campa jika kehendaknya tidak dituruti. Atas desakan permaisuri lalu Putri Cina itu dititipkan kepada Arya Damar, Adipati Palembang ( http://serbasejarah.wordpress.com/2008/12/17/proklamasi-berdirinya-negara- islam-demak/ , diakses tanggal 21 November 2008).

Ketika di Palembang Putri Cina tersebut melahirkan seorang putra dan diberi nama Raden Patah. Dari perkawinannya dengan Arya Damar, Sang Putri melahirkan Raden Kusen. Ketika menginjak dewasa, Raden Patah dan Raden Kusen berangkat ke Jawa dengan maksud untuk mngabdi kepada Prabhu Brawijaya di Majapahit (Slamet Mulyana, 1983: 320).

Setelah tiba di Surabaya mereka berdua singgah di rumah kediaman Raden Rahmat, ulama di Ngampel yang kemudian bergelar Sunan Ngampel. Mereka berdua lalu belajar Islam pada Sunan Ngampel. Raden Patah kemudian dikawinkan dengan cucu Sunan Ngampel. Raden Kusen melanjutkan perjalanannya ke Majapahit tetapi Raden Patah memilih untuk tetap tinggal dengan alas an bahwa Raden Patah tidak mau mengabdi kepada raja kafir yang masih beragama Hindu. Ia lebih senang tinggal di Ngampel, menjadi santri Sunan Ngampel yang beragama Islam. Atas permintaannya sendiri Raden Patah ditempatkan di Gelagah Wangi sebelah timur Semarang. Sunan Ngampel Setelah tiba di Surabaya mereka berdua singgah di rumah kediaman Raden Rahmat, ulama di Ngampel yang kemudian bergelar Sunan Ngampel. Mereka berdua lalu belajar Islam pada Sunan Ngampel. Raden Patah kemudian dikawinkan dengan cucu Sunan Ngampel. Raden Kusen melanjutkan perjalanannya ke Majapahit tetapi Raden Patah memilih untuk tetap tinggal dengan alas an bahwa Raden Patah tidak mau mengabdi kepada raja kafir yang masih beragama Hindu. Ia lebih senang tinggal di Ngampel, menjadi santri Sunan Ngampel yang beragama Islam. Atas permintaannya sendiri Raden Patah ditempatkan di Gelagah Wangi sebelah timur Semarang. Sunan Ngampel

Raden Kusen yang berada di Majaphit diterima sebagai calon (magang) pegawai istana. Berkat tingkah lakunya yang menuju karsa Sang Prabu serta ketrampilannya dalam segala kerja, dia dijadikan abdi dalem dan naik pangkat berulangkali dan akhirnya di anugerahi pangkat adipati di Terung. Oleh karena itu ia lalu dikenal sebagai Adipati Terung.

Ketika mendengar berita tentang adanya seorang pertapa di Bintara, Prabu Brawijaya memanggil Adipati Terung atau Kin San untuk ditugaskan menemui Raden Patah dan membawanya ke Majapahit. Setelah tiba di Bintara dan bertemu dengan Raden Patah alias Jin Bun, Raden Kusen berhasil membujuknya untuk datang di Majapahit. Setelah Prabu Brawijaya bertemu dengan Raden patah, Sang Prabu baru menyadari bahwa Raden Patah adalah anaknya sendiri. Raden Patah kemudian dianugerahi tanah Bintara dan diangkat sebagai adipati. Sejak saat itu nama Bintara berganti menjadi Demak.

Sunan Ngampel atau Bong Swi Hoo meninggal pada tahun 1478. Sunan Ngampel yang selalu menasehati agar jangan sekali-kali Raden Patah menggunakan kekerasan terhadap raja Majapahit, karena raja Majapahit tidak pernah mengganggu persebaran agama Islam, telah mangkat. Bukannya melawat ke Ngampel, Raden Patah malah memimpin tentara Demak menyerbu Keraton Majapahit secara mendadak. Raja Majapahit sama sekali tidak menduga bahwa akan ada serangan dari Demak. Oleh karena itu, tidak ada persiapan apapun dari di pusat kerajaan Majapahit, dengan mudah Raden Patah berhasil menawan raja Kertabhumi dan mengangkutnya ke Demak. Majapahit menyerah tanpa perlawanan, tanpa pertumpahan darah. Segala harta pusaka dan ube rampe kebesaran Kerajaan Majapahit diangkut ke Demak sebanyak tujuh muatan kuda. Kota Majapahit tidak mengalami kerusakan apapun, dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Raja Kertabhumi diangkut ke Demak sebagai tawanan. Di Demak

Kertabhumi diperlakukan dengan hormat karena ia adalah ayah Raden Patah (Slamet Mulyana, 2005: 191).

Demak pada masa sebelumnya sebagai suatu daerah yang dikenal dengan nama Bintara atau Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit. Kadipaten Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) yaitu raja Majapahit. Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak dapat berkembang sebagai kota dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri dengan melakukan penyerangan terhadap Majapahit. Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan rajanya yaitu Raden Patah.

Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai Demak,yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. (sekarang Laut Muria sudah merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi). Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara, di mana Bergola adalah pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi kerajaan Demak.

b. Pembangunan Kota Semarang

Semarang dijadikan kota pelabuhan pintu masuk ke ibu kota Demak. Semarang merupakan kota yang penting bagi Negara Islam Demak, oleh karena itu segera mendapat perhatian Raden Patah. Kin San yang selama tiga tahun bertugas sebagai mata-mata di pusat kerajaan Majapahit ikut serta Jin bun meninggalkan kota Majapahit pada tahun 1478. Ia adalah orang yang dapat dipercaya oleh Jin Bun. Demikianlah Kin San alias Raden Kusen diserahi penguasaan atas kota Semarang. Raden Kusen adalah orang orang yang paling berkuasa di Semarang, namun ia mendapat tugas berat yakni membangun kota Semarang menjadi kota pelabuhan. Untuk melaksanakan tugas itu, Kin San memerlukan tenaga pembantu yang sanggup menggerakan tenaga kerja orang- Semarang dijadikan kota pelabuhan pintu masuk ke ibu kota Demak. Semarang merupakan kota yang penting bagi Negara Islam Demak, oleh karena itu segera mendapat perhatian Raden Patah. Kin San yang selama tiga tahun bertugas sebagai mata-mata di pusat kerajaan Majapahit ikut serta Jin bun meninggalkan kota Majapahit pada tahun 1478. Ia adalah orang yang dapat dipercaya oleh Jin Bun. Demikianlah Kin San alias Raden Kusen diserahi penguasaan atas kota Semarang. Raden Kusen adalah orang orang yang paling berkuasa di Semarang, namun ia mendapat tugas berat yakni membangun kota Semarang menjadi kota pelabuhan. Untuk melaksanakan tugas itu, Kin San memerlukan tenaga pembantu yang sanggup menggerakan tenaga kerja orang-

Penunjukan Gan Si Cang sebagai kapten Cina oleh Kin San itu bijaksana sekali, karena sebagian besar dari masyarakat Tionghoa di Semarang bukan orang Islam. Mereka merupakan tenaga kerja yang ahli dalam pertukangan. Tenaga pertukangan kayu sangat diperlukan untuk pembuatan kapal. Semarang sebagai kota pelabuhanmemerlukan banyak kapal kayu. Gan Si Cang adalah tokoh yang paling tepat untuk menggerakkan para tenaga kayu Tionghoa demi pembuatan kapal. Kin San dan Gan Si Cang akhirnya membuka kembali penggergajian kayu di Semarang dan menyempurnakan galangan kapal yang sudah terbengkalai.

Kota Semarang dipersiapkan untuk menjadi kota pelabuhan yang menguasai lalu lintas perdagangan di laut Jawa dan lautan Indonesia Timur. Pada masa pemerintahan Majapahit perdagangan rempah-rempah menjadi monooli pedagang-pedagang Jawa perlu dipindahkan ke tangan pedagang-pedagang Tionghoa di Semarang. Kapal-kapal dari Semarang harus berlayar sendiri ke kepulauan Maluku untuk mengambil rempah-rempah dan menjualnya sendiri ke Malaka. Keuntungan yang besar idari perdagangan itu dapat digunakan untuk membangun kota Semarang dan ibu kota Negara Demak.

Sejak kota Semarang dibuka sebagai kota pelabuhan Negara Islam Demak, kegiatan pelabuhan Tuban berpindah ke Semarang. Pembuatan kapal di galangan kapal Semarang dan perdagangan di laut Jawa sebagian besar dilakukan oleh orang-orang Tionghoa. Memang pada hakikatnya Demak adalah Negara Islam Tionghoa, seperti Daja/Pasai adalah Negara Islam Gujarat. Jin Bun adalah peranakan Jawa-Tionghoa yang diasuh dalam masyarakat Tionghoa Islam. Dengan timbulnya Negara Islam Demak, orang-orang Tionghoa mendapat kekuasaan sepenuhnya atas lalu lintas dagang di laut Jawa. Mereka menggantikan Sejak kota Semarang dibuka sebagai kota pelabuhan Negara Islam Demak, kegiatan pelabuhan Tuban berpindah ke Semarang. Pembuatan kapal di galangan kapal Semarang dan perdagangan di laut Jawa sebagian besar dilakukan oleh orang-orang Tionghoa. Memang pada hakikatnya Demak adalah Negara Islam Tionghoa, seperti Daja/Pasai adalah Negara Islam Gujarat. Jin Bun adalah peranakan Jawa-Tionghoa yang diasuh dalam masyarakat Tionghoa Islam. Dengan timbulnya Negara Islam Demak, orang-orang Tionghoa mendapat kekuasaan sepenuhnya atas lalu lintas dagang di laut Jawa. Mereka menggantikan

Negara Islam Demak menghadap ke laut, di belakangnya terbentang tanah pertanian yang sangat subur dengan hutan jati yang sangat lebat. Letak yang demikian sangat menguntungkan untuk menjadi Negara maritim. Sebagai negara maritim yang sepenuhnya menguasai lautan di wilayah Indonesia, dan menguasai dagang hasil bumi yang sangat laku di pasaran negara Islam, maka dalam waktu singkat dapat menjadi saingan Kesultanan Malaka. Meskipun Semarang letaknya tersisih dari lalu lintas pelayaran dari Tiongkok ke India, namun karena perdagangan rempah-rempah dari Maluku sepenunya dikuasai oleh pelabuhan Semarang, banyak juga kapal Tiongkok yang langsung berlayar ke Semarang untuk membeli rempah-rempah. Demikianlah kota pelabuhan Semarang bertambah ramai dikunjungi oleh kapal dagang dari berbagai Negara. Keuntungan yang diperoleh dari perdagangan dan penguasaan lautan berlimpah-limpah, digunakan untuk memperbesar armada Demak dan perbaikan kota pelabuhan. Kota pelabuhan Semarang tumbuh sebagai saingan kota pelabuhan Malaka (Slamet Mulyana, 2005: 194-197).