Latar Belakang Sosial Cheng Ho
B. Latar Belakang Sosial Cheng Ho
Cheng Ho lahir pada tahun Hong Wu ke- 4, atau 1371 di daerah Kun- yang, provinsi Yunnan, RRC bagian selatan, dekat perbatasan Laos dan Myamar. Cheng Ho berasal dari suku Hui, yaitu salah satu etnis minoritas di Tiongkok yang identik dengan muslim. Cheng Ho adalah anak ketiga dari pasangan Ma Hazhi (Haji Muhammad) dan Wen. Ayah Cheng Ho bernama Ma Haji ( 1344-1382 M). Ma Haji adalah seorang pelaut, mempunyai enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan, sedangkan Cheng Ho adalah anak ketiga. Ibunya bernama Oen.
Sifat fisik dari Cheng Ho antara lain bertubuh tinggi dan tegap perawakannya, lingkaran pinggangnya lebih dari 10 jengkal telunjuk, dahinya menonjol, telinganya besar tapi berhidung kecil, giginya putih dan rapi bagai rangkaian mutiara, sedangkan langkahnya mantap bagai macan, dan suaranya Sifat fisik dari Cheng Ho antara lain bertubuh tinggi dan tegap perawakannya, lingkaran pinggangnya lebih dari 10 jengkal telunjuk, dahinya menonjol, telinganya besar tapi berhidung kecil, giginya putih dan rapi bagai rangkaian mutiara, sedangkan langkahnya mantap bagai macan, dan suaranya
1. Cheng Ho Keturunan Nabi Muhammad Saw Berdasarkan Effendy dan Lie Shihou dalam Kong Yuanzhi (2000: 20) menyatakan bahwa Cheng Ho adalah keturunan ke-37 Nabi Muhammad Saw, hal ini terdapat dalam literatur Lie Shihou yang menemukan bukti bahwa moyang yang ke-11 dari Cheng Ho adalah utusan (duta besar) negeri Bokhari (Arab Saudi) yang bernama Sayidina Syafii dan Syafii ini adalah keturunan Rasulullah. Dengan demikian Sayidina Syafii adalah cucu ke-26 dari Nabi Muhammad Saw.
Bukti bahwa Cheng Ho adalah keturunan dari Nabi Muhammad Saw selain keterangan di atas, dalam literatur Lie Shihou juga dapat diketahui berdasarkan dari mukadimah sisilah marga Cheng tercatat antara lain :
a) Suo-Fei-Er/Sayidina Syafii adalah kaisar kerajaan Bokhari. Pada tahun Xi Ning ke-3 Dinasti Song (1070 M) Sayidina Syafii menyerahkan diri kepada kaisar Song Tiongkok akibat negerinya diserang oleh Negara tetangganya. Dan Sayidina Syafii beserta keturunannya dianugerahi kaisar Tiongkok jabatan tinggi berkat jasa-jasanya. Ternyata Cheng Ho adalah keturunan dari Sayidina Syafii.
b) Keturunan Sayidina Syafii: Sa-Yan/Sai-Yan → Su-Zu-Sha/Su-Sha-Lu-Gu- Cong-Yue → Kan-Ma-Ding→ Ma-Ha-Mu→ Sayid Ajall/Sayidina Samsuddin (yang dianugerahi sebagai raja Han Yang) → Na- Su-La- Ding → Bai-Yan-Mi-Li-Jin/Ma Haji→ Ma San→ Bao/Ma He/Cheng Ho.
2. Pengalaman Hidup Cheng Ho
Cheng Ho berasal dari bangsa Hui, salah satu bangsa minoritas Tionghoa. Kakek Cheng Ho mula-mula tinggal di Xi Yu, kemudian mereka berpindah ke Tiongkok Barat Daya dan menetap di Provinsi Yunnan. Kakek dan ayah Cheng Ho telah melaksanakan rukun Islam kelima, yaitu menunaikan ibadah haji. Maklumah pada masa itu untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekah bukan Cheng Ho berasal dari bangsa Hui, salah satu bangsa minoritas Tionghoa. Kakek Cheng Ho mula-mula tinggal di Xi Yu, kemudian mereka berpindah ke Tiongkok Barat Daya dan menetap di Provinsi Yunnan. Kakek dan ayah Cheng Ho telah melaksanakan rukun Islam kelima, yaitu menunaikan ibadah haji. Maklumah pada masa itu untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekah bukan
Sejak kecil Cheng Ho sering mendengar cerita ayahnya tentang perjalanan naik haji dengan kapal layar selama berminggu-minggu. Selama dalam perjalanan naik haji ayahnya banyak menemui rintangan seperti hujan badai, iklim yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya, adat istiadat yang beraneka ragam dari suku bangsa-suku bangsa yang pernah dilewati. Selanjutnya pengalaman sang ayah menjadi cambuk dan acuan moril yang besar artinya bagi Cheng Ho dalam menempuh karier dan cita-cita.
Pada tahun Hong Wu ke-4 (1371 M) Cheng Ho lahir. Ketika itu Dinasti Yuan sudah terguling, tapi provinsi Yunnan masih diduduki oleh raja Liang, sisa- sisa kekuatan Dinasti Yuan. Waktu Cheng Ho berumur 12 tahun, provinsi Yuan sudah direbut oleh tentara Dinasti Ming yang mengganti Dinasti Yuan (1206- 1368). Pada saat itu Cheng Ho dan sejumlah anak muda lainnya ditawan dan dikebiri oleh tentara Ming. Cheng Ho dibawa ke Nanjing sebagai kasim atau sida- sida intern di istana. Tidak lama kemudian dia dianugerahkan oleh Zhu Yuanzhang, kaisar pertama Dinasti Ming kepada Zhu Di, putranya yang keempat sebagai pesuruh. Sejak berbakti kepada Zhu Di, Cheng Ho memanfaatkan segala fasilitas yang ada untuk banyak membaca dan ikut bertempur.
Pada tahun Hong Wu ke-31 (1398 M), Kaisar Zhu Yuanzhang mangkat. Karena putra mahkotanya Zhu Biao mati muda, maka Zhu Yunwen, cucu Zhu Yuanzhang naik tahta. Berhubung kaisar baru itu masih muda, maka ia dibantu oleh menteri-menteri utama seperti Qi Tai, Huang Zhincheng, dan lain-lain. Waktu itu raj-raja di daerah masing-masing mempunyai angkatan bersenjata yang cukup kuat, antara lain Zhu Di sebagai sebagai Raja Yan di Beiping ( yang kemudian diubah menjadi Beijing setelah Zhu Di naik tahta menjadi kaisar). Demi memperkokoh kekuasaannya, kaisar Zhu Yunwen dengan dibantu menteri- menteri utamanya mengumumkan titah untuk mengurangi kekuatan raja-raja di daerah. Tindakan ini menimbulkan ketidakpuasan raja-raja terutama Zhu Di yang merupakan raja terkuat. Maka dengan dalih untuk membunuh menteri-menteri jahat yang mendampingi Kaisar Zhu Yunwen, Zhu Di mengadakan serangan Pada tahun Hong Wu ke-31 (1398 M), Kaisar Zhu Yuanzhang mangkat. Karena putra mahkotanya Zhu Biao mati muda, maka Zhu Yunwen, cucu Zhu Yuanzhang naik tahta. Berhubung kaisar baru itu masih muda, maka ia dibantu oleh menteri-menteri utama seperti Qi Tai, Huang Zhincheng, dan lain-lain. Waktu itu raj-raja di daerah masing-masing mempunyai angkatan bersenjata yang cukup kuat, antara lain Zhu Di sebagai sebagai Raja Yan di Beiping ( yang kemudian diubah menjadi Beijing setelah Zhu Di naik tahta menjadi kaisar). Demi memperkokoh kekuasaannya, kaisar Zhu Yunwen dengan dibantu menteri- menteri utamanya mengumumkan titah untuk mengurangi kekuatan raja-raja di daerah. Tindakan ini menimbulkan ketidakpuasan raja-raja terutama Zhu Di yang merupakan raja terkuat. Maka dengan dalih untuk membunuh menteri-menteri jahat yang mendampingi Kaisar Zhu Yunwen, Zhu Di mengadakan serangan
Dalam usahanya menggulingkan kekuasaan Kaisar Zhu Yunwen sejak tahun Jian Wen pertama (1399 M), Cheng Ho senantiasa mendampingi Zhu Di dalam berbagai pertempuran dan telah membuat jasa yang luar biasa. Keberanian dan kecerdasan Cheng Ho amat dihargai oleh Zhu Di. Maka pada tanggal 1 Januari Imlek tahun Yong Le ke-2 (1404 M) oleh Kaisar Zhu Di dianugerahi nama marga Cheng kepada Ma He. Sejak itu nama Ma he diganti menjadi Cheng Ho. Di dalam sejarah Tiongkok, banyak menteri dan hulubalang raja dianugerahi nama marga oleh sang kaisar. Tetapi amat jarang seorang kasim seperti Cheng Ho yang dianugerahi nama marga oleh kaisar kecuali kasim itu memang berjasa besar dan menjadi kasim kesayangan kaisar.
Cheng Ho yang berjasa besar dan menjadi kasim kesayangan bagi Kaisar Zhu Di, kemudian diangkat sebagai kepala kasim intern yang bertugas membangun istana, menyediakan alat-alat istana, gudang es, dan lain-lain. Pada awal abad ke-15 Kaisar Zhu Di memerintahkan supaya dilakukan pelayaran- pelayaran ke Samudera Hindia (Barat) demi memajukan perahabatan dan memelihara perdamaian antara Tiongkok dengan negara-negara asing. Karena prestasi Cheng Ho sangat baik, ia dipilih sebagai laksamana untuk memimpin pelayaran ke Samudera Barat.
Selama kurun waktu 28 tahun Cheng Ho melakukan tujuh kali pelayaran antar benua. Begitu lama kegiatan pelayarannya sehingga tidak tertandingi oleh bahariwan-bahariwan Eropa pada masanya. Cheng Ho mengunjungi sekitar 30 negara, diantaranya adalah Malaka, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Malaysia, Sri Lanka, Campa (Kamboja), Kepulauan Maladewa, India, Teluk Parsi, Arab, Mesir, hingga Selat Mozambique (Afrika).Dalam pelayaran-pelayaran Cheng Ho setiap kali rata-rata tersedia 60 kapal besar dan jumlah total kapalnya lebih dari 200 buah bila ditambah kapal sedang dan kapal kecil. Kapal besar dijuluki sebagai “kapal pusaka”.
Tujuan Kaisar Zhu Di mengutus Cheng Ho untuk berlayar ke Samudera Hindia adalah karena politik luar negeri Kaisar Zhu Di pada masa itu. Kaisar Zhu Di telah menyusun pedoman politik luar negerinya sebagai “pemufakatan dengan Negara-negara asing” agar pengaruh politik kerajaan Ming tersebut meluas. Politik diplomatiknya yang konkret dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, dengan melakukan politik kerukunan dan persahabatan dengan Negara-negara asing. Menurut Kasiar Zhu Di, rakyat di segala penjuru dunia adalah sekeluarga. Sebagai bukti pada tahun Yong Le pertama (1403 M) oleh Kaisar Ming dikirim utusan persahabatan ke Korea, Campa, Siam, Kamboja, Jawa, dan Sumatera dengan membawa sutra dewangga yang berbenang emas dan lain-lain sebagai cendera mata (Kong Yuanzhi, 2005: 9).
Kedua, mendorong perniagaan antara Tiongkok dengan Negara-negara asing. Ketika Kaisar Zhu Di naik tahta segera dikirim utusan-utusan dari Tiongkok ke berbagai negeri asing dan diumumkan pula bahwa semua rombongan asing termasuk rombongan pedagang yang datang ke Tiongkok akan disambut dengan hangat dan halus.
Ketiga, penduduk sepanjang pantai Tiongkok dilarang merantau ke luar negeri tanpa izin. Maksudnya antara lain agar bajak laut dari Jepang yang sering mengganggu keamanan pantai Tiongkok menjadi terpencil.
Berdasarkan politik luar negeri tersebut, Kaisar Zhu Di mengutus Cheng Ho untuk memimpin pelayaran ke Samudera Hindia. Tujuannya tak lain ialah untuk mempropagandakan kejayaan Dinasti Ming, menyebarluaskan pengaruh politiknya di Asia-Afrika, dan sekaligus mendorong maju perniagaan antara Tiongkok dengan Negara-negara itu.
Indikasi tersebut menerangkan bahwa pelayaran Cheng Ho bukan bermaksud untuk ekspansi atau agresi. Armada Cheng Ho tak pernah menduduki sejengkal tanah pun dari negeri asing. Pelayaran-pelayaran Cheng Ho ke Samudera Hindia merupakan kegiatan pemerintah dan istana (Tiongkok) untuk mengadakan perniagaan langsung dengan Negara-negara seberang. Maka dapat dikatakan bahwa Cheng Ho adalah utusan politik Kerajaan Tiongkok Dinasti Ming, yang sekaligus merangkap utusan perdagangan. Sebagai seorang diplomat Indikasi tersebut menerangkan bahwa pelayaran Cheng Ho bukan bermaksud untuk ekspansi atau agresi. Armada Cheng Ho tak pernah menduduki sejengkal tanah pun dari negeri asing. Pelayaran-pelayaran Cheng Ho ke Samudera Hindia merupakan kegiatan pemerintah dan istana (Tiongkok) untuk mengadakan perniagaan langsung dengan Negara-negara seberang. Maka dapat dikatakan bahwa Cheng Ho adalah utusan politik Kerajaan Tiongkok Dinasti Ming, yang sekaligus merangkap utusan perdagangan. Sebagai seorang diplomat
Sebagai seorang pemimpin pelayaran, Cheng Ho telah menerapkan strategi manajemen Nabi Muhammad SAW, manajemen Tao Zhugong, manajemen Confusius, dan manajemen Lautze yang luar biasa. Dengan kombinasi manajemen tersebut, Cheng Ho dapat mengatur secara apik sistem kerja awak kapalnya sehingga misi pelayaran selama tujuh kali selalu berhasil dengan baik, tanpa ada penjajahan dan permusuhan kepada bangsa lain.
3. Cheng Ho Muslim yang Taat
Cheng Ho berasal dari keluarga haji dan mendapat pendidikan Islam sejak masa kanak-kanak. Ayah dan kakeknya pun muslim yang taat. Cheng Ho dibesarkan dalam suasana keagamaan Islam dan berasal dari suku bangsa Hui yang kebanyakan menganut agama Islam. Berkat pendidikan dan pengaruh agama Islam, Cheng Ho tahu benar tentang ajaran agama Islam, termasuk tentang bulan puasa, dan lain-lain (Kong Yuanzhi, 2000: 38).
Beberapa sarjana di Asia Tenggara menyataka bahwa Cheng Ho juga telah menunaikan ibadah haji, meskipun hingga kini belum ditemukan catatan mengenai hal ini dalam buku-buku sejarah Tiongkok. Bukan mustahil bahwa para penulis buku sejarah pada masa itu sengaja tidak dicatat sama sekali tentang jasa Cheng Ho dalam penyebaran agama Islam di luar Tiongkok. Hal ini mungkin dikarenakan kaisar Dinasti Ming bukan beragama Islam, dan Cheng Ho memang ditugaskan ke berbagai Negara dan kawasan bukan untuk menyebarkan agama Islam. Yang pasti ialah sebagai seorang muslim yang taat pada ajaran agamanya, Cheng Ho sangat berhasrat menunaikan rukun Islam kelima selama hayat masih dikandung badan (Kong Yuanzhi, 2000: 39).
Dalam catatan sejarah yang ada diketahui bahwa selama Cheng Ho menjalankan misi pelayarannya ke berbagai negara beliau tetap menjalankan ibadah yang diperintahkan Allah, misalnya shalat lima waktu atau shalat Jumat. Hal ini diindikasikan dengan kebiasaan Cheng Ho membawa semacam tarub dan Dalam catatan sejarah yang ada diketahui bahwa selama Cheng Ho menjalankan misi pelayarannya ke berbagai negara beliau tetap menjalankan ibadah yang diperintahkan Allah, misalnya shalat lima waktu atau shalat Jumat. Hal ini diindikasikan dengan kebiasaan Cheng Ho membawa semacam tarub dan
Sewaktu Cheng Ho singgah di Bangka, menurut cerita masyarakat, Cheng Ho tidak makan dan minum pada siang hari, namun ia makan dan minum pada malam hari, terjadinya hal tersebut karena kala itu bertepatan dengan bulan Ramadhan dan beliau pun tetap konsisten menjalankan ibadah puasa. Sebagai seorang Muslim, Laksamana Cheng juga tak melupakan kemakmuran masjid. Tahun 1413 misalnya, dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar.
Dalam misi pelayarannya selama kurang lebih 28 tahun, Cheng Ho membawa anak buah yang cukup banyak dengan agama dan kepercayaan yang beragam, namun kerukunan selalu dapat dijaga dan dibina dengan baik. Semua itu karena Cheng Ho selalu bersikap toleran kepada sesama dengan memberikan suri teladan serta berakhlak mulia kepada siapa saja, termasuk anak buahnya. Beliau tidak pernah melarang anak buahnya menjalankan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing.
Sebagai seorang muslim yang taat, Cheng Ho juga menghormati kegiatan-kegiatan agama Budha dan Tao. Penghormatan Cheng Ho terhadap agama Budha dan agama Tao menunjukan sikap toleransinya kepada agama- agama lain. Selama pelayaran-pelayaran tersebut tidak pernah terjadi perselisihan antara awak kapalnya yang menganut agama yang berbeda-beda itu. Toleransinya pun sangat menguntungkan terjalinnya hubungan persahabatan antara Tiongkok dengn Negara-negara yang dikunjunginya (Kong Yuanzhi, 2000: 43).
Kegiatan Cheng Ho yang berhubungan dengan agama Budha dan agama Tao itu tidak pernah menggoyahkan ketaatan Cheng Ho kepada agama Islam. Baik dilihat dari pendidikan Islam yang diperoleh Cheng Ho maupun ditilik dari mendirikan salat di masjid, mengajak kaum muslimin dalam pelayarannya, melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan, dan sebagainya, semua itu cukup Kegiatan Cheng Ho yang berhubungan dengan agama Budha dan agama Tao itu tidak pernah menggoyahkan ketaatan Cheng Ho kepada agama Islam. Baik dilihat dari pendidikan Islam yang diperoleh Cheng Ho maupun ditilik dari mendirikan salat di masjid, mengajak kaum muslimin dalam pelayarannya, melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan, dan sebagainya, semua itu cukup
Cheng Ho sebagai muslim yang saleh telah banyak mengadakan kegiatan untuk agama Islam, baik di negerinya sendiri maupun di negeri lain selama dalam perjalanan mengemban misi perdamaian dan persahabatan. Sebagai laksamana yang menganut agama Islam, Cheng Ho sudah pasti mengambil inisiatif untuk menyebarkan agama Islam di Negara-negara yang dikunjunginya. Dalam hal ini, peran Cheng Ho sangat besar dalam bagi perkembangan dan penyebaran agama Islam , tidak terkecuali di Indonesia yang daerah-daerahnya banyak dikunjungi selama 7 kali pelayarannya.
4. Asal Usul Nama Sam Po
Dalam dialek fujian Cheng Ho mempunyai nama alias Sam Po atau San Bao dalam bahasa nasional Tiongkok (Mandarin). “San” bermakna “tiga”, sedangkan “Bao” mempunyai dua bentuk huruf Mandarin (homofon) yang masing-masing bermakna “pelindung” dan “pusaka”. Mengenai asal usul nama San Bao, terdapat pendapat yang berbeda-beda dikalangan sejarawan, antara lain:
a) Sejak kecil, Cheng Ho (sebenarnya Ma He) bernama alias San Bao, karena dia adalah anak ketiga dari ma Haji. Cheng Ho mempunyai seorang kakak laki-laki dan seorang kakak perempuan disamping ada tiga adik perempuannya. San Bao ditujukan kepada anak nomor tiga.
b) San Bao berarti tiga sida-sida, yaitu Cheng Ho, Wang Jinghong (Ong King Hong atau Ong Hing Tek) dan Hou Xian.
c) San Bao bermakna tiga pusak atau tri ratna, yaitu Budha dharmasangha. Ini berhubungan dengan agama Budha. Tiga pusaka itu adalah Budha, biksu, dan kitab suci Budha.
d) Setelah dibawa ke istana, Cheng Ho diberi nama alias San Bao. Sebab kasim intern seperti Cheng Ho umumnya dipanggil sebagai San Bao. Kasim intern Wang Jinghong pun mendapat nama alias Wang San Bao. Dalam Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) pun terdapat Yang San Bao sebagai kasim.
Adapun San Bao Tai Jian yang dalam arti “Kasim San Bao” (disebut pula sebagai Sam Po Tay Djin, San Po Thay Kam atau San Po Tai Kien, dan lain- lain dalam dialek Fujian), gelar ini dianugerahkan Kaisar Xuan De kepada Cheng Ho pada tahun Xuan De ke-6 (1413 M).
Menurut Kong Yuanzhi (2007: 33) pandangan pertama dan kedua kurang meyakinkan. Bila Cheng Ho diberi nama alias sebagai San Bao karena dia anak nomor tiga dengan sendirinya kedua kakaknya akan diberi nama alias Da Bao (Bao pertama) dan Er Bao(Bao kedua). Akan tetapi sampai sekarang belum ditemukan nama-nama alias untuk kedua kakak Cheng Ho dalam literatur Tiongkok. Mengenai pandangan kedua yang menyatakan bahwa San Bao ditujukan kepada Cheng Ho, Wang Jinghong, dan Hou Xian agaknya sesuai dengan catatan dalam banyak literatur sejarah, dimana San Bao hanya ditujukan hanya kepada Cheng Ho saja. Selain itu, dalam tujuh kali pelayaran Cheng Ho, Wang Jinghong hanya ikut lima kali. Hou Xian pun tidak setiap kali mendampingi Cheng Ho dalam tujuh kali pelayarannya, sementara orang sering menyinggung nama San Bao dalam dalam setiap pelayaran Cheng Ho. Sulit diterima “San Bao” itu ditujukan kepada tiga tokoh tersebut bila dua tokoh di antaranya tidak ikut dalam pelayaran yang bersangkutan. Kong Yuanzhi sendiri cenderung pada pandangan ketiga dan keempat Namun demikian apakah pandangan ketiga dan keempat lebih sesuai dengan fakta sejarah agaknya perlu diteliti lebih lanjut. Adapun San Po Tao Lang (kata-kata ini berasal dari dialek Fujian)dan San Bao Da Ren dalam bahasa nasional Tiongkok bermakna “Tuan Besar San Bao”. Itu merupakan sebutan hormat kepada Cheng Ho (Kong Yuanzhi, 2000: 34).
Pao Tsen Peng dalam Hidayatullah (2005: 54) mengemukakan Sam Pao alias Cheng Ho ataupun Zheng He, ditulis dalam dua bentuk. Yang pertama bisa berarti Perlindungan Rangkap Tiga, sedangkan yang satunya mempunyai makna Tiga Orang Sida-sida Yang Baik Sekali. Sida-sida adalah orang yang dikebiri (dipotong alat kelaminnya).