limfosit 30 dan leukosit 10.000, limfosit mutlak adalah 30 dari 10.000 atau 3.000 Yayasan Spirita, 2013.
2.3.1 Granulosit 2.3.1.1 Neutrofil
Neutrofil merupakan leukosit darah perifer yang paling banyak. Sel ini memiliki masa hidup singkat, sekitar 10 jam dalam sirkulasi. Sekitar 50 neutrofil dalam
darah perifer menempel pada dinding pembuluh darah. Neutrofil memasuki jaringan dengan cara bermigrasi sebagai respon terhadap kemotaktik Hoffbrand,
2006. Neutrofil memiliki granula yang tidak bewarna, mempunyai inti sel yang terangkai, kadang seperti terpisah-pisah, protoplasmanya banyak berbintik-bintik
halus atau granula, serta banyaknya sekitar 60 -70 Handayani, 2008. Neutrofil berkembang dalam sumsum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi,
sel-sel ini merupakan 60 -70 dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula
spesifik 0;3-0,8um mendekati batas resolusi optik. Neotrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara arrob
maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu
membersihkan debris pada jaringan nekrotik Effendi, 2003.
2.3.1.2 Basofil
Basofil memiliki granula bewarna biru dengan pewarnaan basa, sel ini lebih kecil daripada eosinofil, tetapi mempunyai inti yang bentuknya teratur, di dalam
protoplasmanya terdapat granula-granula yang besar, banyaknya kira-kira 0,5 di sumsum merah Handayani, 2008. Basofil jumlahnya 0- dari leukosit darah,
ukuran garis tengah 12um, inti satu, besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul yang lebih besar, dan seringkali
granul menutupi inti, granul bentuknyaireguler berwarna metakromatik, dengan campuran jenis Romanvaki tampak lembayung. Granula basofil metakromatik dan
mensekresi histamin dan heparin, dan keadaan tertentu, basofil merupakan sel
Universitas Sumatera Utara
utama pada tempat peradangan ini dinamakan hypersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan basofil mempunyai hubungan kekebalan Effendi, 2003.
Jumlah basofil di dalam sirkulasi darah relatif sedikit. Di dalam sel basofil terkandung zat heparin antikoagulan. Heparin ini dilepaskan di daerah
peradangan guna mencegah timbulnya pembekuan serta statis darah dan limfe, sehingga sel basofil diduga merupakan prekursor bagi mast cell. Basofilia
meupakan peningkatan jumlah basofil dalam sirkulasi. basofilia pada hewan domestik dapat terjadi karena hipotirodismus ataupun suntikan estrogen.
Penurunan jumlah sel basofil dalam sirkulasi darah atau basopenia dapat terjadi karena suntikan corticosteroid pada stadium kebuntingan Frandson, 1992.
2.3.1.3 Eosinofil
Jumlah eosinofil hanya 1-4 leukosit darah, mempunyai garis tengah 9 um sedikit lebih kecil dari neutrofil. Inti biasanya berlobus dua, reticulum
endoplasma mitokondria dan aparatus golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid yang dengan eosin asidofilik, granula adalah lisosom yang
mengandung asam fosfat, ketepsin, ribonuklease, tetapi tidak mengandung lisosim. Eosinofil memiliki pergerakan amuboid, dan mampu melakukan
fagositosis, lebih lambat tetapi lebih selektif disbanding neutrofil. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah dari
pembekuan khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-proses patologi. Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah eosinofil darah dengan cepat
Effendi, 2003 Sel eosinofil ini sangat penting dalam respon terhadap penyakit parasitik
dan alergi. Pelepasan isi granulnya ke patogen yang lebih besar membantu dekstruksinya dan fagositosis berikutnya Hoffbrand, 2006. Fungsi utama
eosinofil adalah detoksifikasi baik terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru ataupun saluran cerna maupun racun yang dihasilkan
oleh bakteri dan parasit. Eosinofilia pada hewan domestic merupakan peningkatan jumlah eosinofil dalam darah. Eosinofilia dapat terjadi karena infeksi parasit,
reaksi alergi dan kompleks antigen-antibodi setelah proses imun Frandson, 1992.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Agranulosit 2.3.2.1 Limfosit