Latar Belakang Efektivitas Kalimat Pada Terjemahan Hadis-Hadis Deputar Feminim Gender Dalam Buku Terjemahan Mukhtashar Shahih Al-Bukhari

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai salah satu linguistik terapan, penerjemahan berarti mengaplikasikan berbagai teori, metode, dan temuan linguistik untuk menerangjelaskan atau memecahkan berbagai masalah yang berkaitan dengan bahasa. 1 Dari pengertian di atas dipahami bahwa penerjemahan tidak lepas dari linguistik teoritis berupa bentuk, makna, fungsi, struktur dan variasi bahasa itu sendiri. J.C. Catford juga menjelaskan hal senada, “translation is an operation performed on languages: A proses of substituting a text in one language for a text in another. Clearly, then any theory of translation must draw upon a theory of language - a general linguistic theory. 2 penerjemahan adalah sebuah kegiatan bahasa: proses pemindahan teks dalam suatu bahasa ke teks dalam bahasa lain. Jelas bahwa teori penerjemahan harus mengacu pada teori bahasa linguistik – teori umum linguistik. Menerjemahkan berarti mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya dari bahasa sumber. Kemudian menganalisis teks tersebut untuk menemukan makna yang sama dan mengungkapkannya dengan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran 1 Allan F. Lauder dan Multamia RMT Lauder, “Berbagai Kajian Linguistik, “dalam Kushartanti dkk, ed., Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, Jakarta: Gramedia, 2009, h. 220. 2 J.C. Catford, A Linguistic Theory of Translation, New York Toronto: Oxford University Press, 1965, h. 1. dan konteks tersebut. 3 Mengingat eratnya hubungan penerjemahan dengan teori linguistik, seyogyanya penerjemah mampu mengoperasikan berbagai lingkup teori linguistik agar mampu menghasilkan penerjemahan yang baik dan benar. Di antara linguistik teoritis adalah teori kalimat efektif. Teori ini merupakan salah satu teori linguistik yang tidak boleh lepas dari perhatian penerjemah karena alasan berikut: Pertama, dalam praktiknya penerjemah akan menghadapi struktur bahasa yang berbeda antara BSU bahasa sumber dan BSA bahasa sasaran, inilah yang kemudian sering menjebak penerjemah. Meski secara makna penerjemah telah dapat memahami bahasa sumber namun ketika penerjemah belum memiliki kapasitas yang memadai dalam mengoperasikan struktur bahasa sasaran maka yang terjadi adalah ambiguitas, kerancuan. Sebaliknya meski penerjemah kurang tepat atau salah ketika mereproduksi makna tapi apabila penerjemah mampu menyusunnya dalam struktur bahasa sasaran dengan baik maka terjemahan akan tampak tak bermasalah. Inilah urgensitas penguasaan kalimat efektif dalam penerjemahan. Kedua, teori kalimat efektif bersifat praktis sehingga dapat secara langsung digunakan untuk menilai hasil penerjemahan. Ketiga, teori kalimat efektif melibatkan teori semantik, gramatika dan juga penalaran. Oleh karena itu analisis kalimat efektif mampu memberikan gambaran ketaatan penerjemah dalam mengoperasikan teori-teori linguistik. 3 Milred L. Larson, Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman Untuk Pemadanan Antar Bahasa, Jakarta: Arca, 1991 cet. Ke 2. h. 262. Melihat pentingnya peranan kalimat efektif dalam penerjemahan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini kalimat efektif akan dijadikan sebagai teori dalam penilaian hasil terjemahan. Adapun objek dalam penelitian ini, peneliti tertarik mengkaji teks-teks keagamaan baca: Islam melalui penerjemahan teks hadis yang berkaitan dengan konsep feminim gender. Hubungan wacana gender dengan penerjemahan setidaknya terdapat dalam dua hal berikut: Pertama, wacana kesetaraan gender sangat berkaitan dengan teks keagamaan termasuk teks hadis. Sebagaimana diketahui semua konstruk sosial dalam Islam selalu mengacu pada teks baik Al-Quran maupun Al-Hadis dan juga turunannya. Oleh karena itu penerjemahan terhadap terhadap teks tersebut haruslah baik dan benar. Dalam hal ini Farisi menutur kan, “Teks-teks keagamaan, semisal Al-Quran, hadis dan semacamnya, termasuk teks yang sangat sensitif. Sensitif, sebab berhubungan dengan aspek nilai yang dianut oleh umat Islam. Kekeliruan dalam penerjemahan bisa berakibat fatal, tidak hanya “sesat”, tapi juga “menyesatkan”. 4 Kedua, wacana kesetaraan gender akhir-akhir ini telah berkembang menjadi program sosial yang didesain secara akademik dan disosialisasikan secara politis. 5 Perhatian khusus terhadap isu gender terlihat dari lahirnya Pusat Studi Wanita di berbagai perguruan tinggi. Lembaga-lembaga tersebut menjadikan wacana gender sebagai objek sentral dalam kajian maupun 4 M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011, h. 52. 5 Hamid Fahmy Zarkasyi, ”Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam,” Islamia III, No. 5, 2010, h. 3. penelitian. Di alam politik, wacana ini juga benar-benar mengemuka ketika berbagai negara ramai meratifikasi konvensi PBB yang tertuang dalam CEDAW Convention of All Form of Discrimination Againts Woman. Di antaranya adalah Indonesia. Konvensi tersebut juga acuan DPR RI dalam membahas RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender KKG pada kisaran April 2012. Dengan kata lain, gender telah menjadi wacana global baik di Timur maupun Barat. Oleh karena itu penerjemah seyogyanya memperkaya diri akan wacana tersebut. Terutama sekali bagi penerjemah yang concern pada penerjemahan teks keagamaan bertema gender atau penerjemah yang berhadapan dengan teks bertema gender secara khusus. Setidaknya penguasaan terhadap wacana tersebut akan membantu penerjemah dalam dua hal: Pertama, penerjemah akan terhindar dari kesalahan interpretasi yang akan berakibat fatal dalam penerjemahan. Kedua, penerjemah akan mampu mereproduksi berbagai istilah khusus dalam kajian gender dengan baik sehingga mampu menghadirkan terjemahan yang dapat memberikan pemahaman yang utuh bagi pembaca.

B. Batasan dan Rumusan Masalah