1 Tahap penderitaan
a. Perasaan hampa
Bastaman 1996 menyatakan tahap derita sebagai tahap dimana seseorang mengalami pengalaman tragis dan penghayatan hidup tanpa
makna. Ia mengatakan bahwa suatu peristiwa tragis dalam hidup seseorang dapat menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna yang ditandai dengan
perasaan hampa, gersang, apatis, dan merasa tidak lagi memiliki tujuan
hidup serba bosan dan apatis.
Penderitaan yang timbul akibat penyakit kanker leher rahim yang diderita oleh Eti menimbulkan suatu perasaan tidak berdaya dan hampa.
Hal ini terlihat dari keenggananya untuk membayangkan masa depan karena adanya ancaman kematian yang akan menghampirinya sewaktu-
waktu. “jujur.. dulu yah aku pgn gini aku pgn gitu tapi kalo sekarang ini
ya hampa rasanya.. saya berbicara kadang sama temen saya jalani aja hidup ini.. gak mau saya berpikiran terlalu jauh, ntah-ntah umur
kita gak sampe 50 tahun.. buat apa kita susah payah..harta nanti pun bikin susah karena sedikit malah jadi malapetaka kan…”
Disini juga terlihat bahwa Eti mulai melepaskan keinginan dan cita- citanya untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan, karena merasa
bahwa apa pun yang diusahakannya, tetap tidak memberikan manfaat pada dirinya.
70
Universitas Sumatera Utara
2 Tahap penerimaan diri
Bastaman 1996 mengungkapkan tahap penerimaan diri terjadi ketika individu mulai menerima apa yang terjadi pada hidupnya,
pemahaman diri, dan terjadinya perubahan sikap. Biasanya, munculnya kesadaran ini di dorong oleh aneka ragam sebab. Misalnya, karena
perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pandangan dari seseorang, hasil do’a dan ibadah, belajar dari orang lain, dan lain-lain.
Pada Eti tahap penerimaan diri ini terjadi karena beberapa dorongan diantaranya:
a. Keluarga
Penerimaan diri Eti mengenai penyakit dan kondisi hidupnya awalnya disebabkan oleh keluarganya. Dorongan yang timbul pada diri
Eti untuk menerima penyakitnya terutama sekali berasal dari anak- anaknya. Eti mengkhawatirkan bagaimana nasib anak-anaknya apabila
dirinya sakit. Ia merasa bahwa anak-anaknya masih membutuhkan banyak bimbingan dan kasih sayang darinya. Atas dorongan tersebut ia
perlahan-lahan mulai menerima penyakitnya dan melakukan berbagai usaha untuk sembuh. Eti mulai mengubah sikapnya yang dulu sangat
memaksakan diri untuk bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan keluarganya walaupun dirinya sakit dan hal itu memperparah
kondisinya. Eti menyadari bahwa hal tersebut tidak akan memberikan dampak positif baik bagi dirinya maupun keluarganya karena
memaksakan diri hanya akan membuat dia semakin sakit dan
71
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan keluarganya terbengkalai sehingga akan semakin membuat semua kacau. Oleh karena itu ia memutuskan untuk tidak
memaksakan diri dan menerima kondisi diri dan keluarganya. “Anak itu kan perlu bimbingan kita, seandainya saya sakit gimana
mereka, jadi saya gak pernah mengeluh…ga pernah, jadi untuk ke depannya saya optimis, kalo saya berharap saya gak mau mati
cepat, soalnya ada anak saya yang masih kecil, apalagi saya pernah tinggal dua bulan, ngeliat anak saya gak terurus gitu gimana
yah..kasian saya ngeliatnya…” Penerimaan diri Eti akan penyakitnya juga disebabkan oleh
berbagai masalah yang timbul dalam keluarganya. Masalah utama yang mengubah sikap Eti adalah masalah yang diakibatkan oleh
keluarga suaminya. Pada saat awal penyakit dan kepindahannya ke Medan, Eti selalu berusaha untuk berlaku baik terhadap keluarga
suaminya . Ia selalu melakukan apapun yang disuruh oleh pihak keluarga suaminya walaupun kadang-kadang ia merasa dirugikan.
Dengan usaha yang demikian keras Eti ternyata tetap saja dinilai buruk oleh keluarga suaminya. Ia tetap saja dinilai negatif oleh keluarga
suaminya, puncak dari perlakuan keluarga suaminya adalah ketika salah seorang adik iparnya melakukan kekerasan fisik padanya. Disaat
itu ia menyadari bahwa sekeras apapun dia berusaha, keluarga suaminya tetap tidak menyukai dirinya. Perlakuan dari keluarga
suaminya, membuat Eti merasa tertekan dan stress karena ia harus menanggung semua perlakuan tersebut sendiri dan tidak dapat berbagi
dengan siapapun. Hal tersebut juga menyadarkan Eti bahwa salah satu
72
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan penyebab kanker yang ia derita adalah rasa stress dan tertekan yang selalu ia pendam. Perasaan tersebut menurutnya semakin
memperparah kondisinya. Menyadari akan semua hal itu timbul perubahan sikap dalam diri Eti. Pada saat ini ia merasa bahwa ia tidak
lagi harus berusaha mati-matian untuk dinilai baik di depan keluarga suaminya, ia memutuskan untuk berlaku sewajarnya saja dan tidak
akan melakukan hal-hal yang merugikan lagi. Eti juga tidak mau ambil pusing dengan semua tindakan keluarga suaminya terhadap dirinya
karena hal tersebut hanya akan berdampak buruk pada kondisi fisiknya.
“Waktu saya disini dek, gak taulah gimana ngebilangnya masalah trus aja menumpuk trus-trusan…keluarga suami saya yang gak
suka sama saya… saya udah berusaha mati-matian agar bisa bagus dimata keluarga suami saya tapi apa yang saya dapat gak ada
perlakuan baik pun gak ada… dijambak malah saya… jadi sejak saat itu saya gak mau lagi berusaha mati-matian, saya capek, saya
udah pasrah aja, tapi pasrah disini bukan berarti harga diri saya mau diinjak-injak, tapi pokoknya saya menghindari masalah lah,
saya gak mau berusaha mati-matian lagi karena sedih hati saya yang ada makin tambah parah penyakitnya.. jadi sekarang saya
coba menerima aja semuanya…”
b. Kepasrahan