antara air, metanol, etanol, dan propanol yang mampu melarutkan zat warna yang paling banyak adalah metanol. Hasil analisis ini ditunjukkan dengan absorbansi
tertinggi dari larutan hasil ekstraksi zat warna kulit yang diekstrak.
2. Pengaruh Toksik Ekstrak Kulit Biji Saga terhadap Mortalitas Rayap
Nilai mortalitas merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui efektivitas anti rayap dari suatu bahan. Pengaruh mortalitas rayap
terlihat pada berbagai tingkat konsentrasi ekstrak kulit biji saga dengan pelarut metanol yang dibandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan. Hasil efektivitas
nilai mortalitas dapat dilihat pada Gambar 4 dan data selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran 3.
Gambar 4 . Mortalitas rayap selama 12 hari pengamatan Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa mortalitas paling tinggi adalah
perlakuan konsentrasi 6 selanjutnya diikuti oleh konsentrasi 2 dan 4. Pemberian ekstrak kulit biji saga pada konsentrasi 2 dan 4 mortalitasnya
100 pada hari ke-VI dan konsentrasi 6 mortalitasnya 100 pada hari ke-V, sedangkan kontrol dapat bertahan hingga pengamatan hari ke-XII.
Universitas Sumatera Utara
Pada Gambar 4 juga dapat dilihat mortalitas rayap dengan LC
50
. 50 rayap mati pada kontrol di hari ke-VII, hari ke-IV pada konsentrasi 2 dan 4,
dan hari ke-III pada konsentrasi 6. Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak kulit
biji mengakibatkan kematian rayap tanah yang cukup tinggi. Sebaliknya pada perlakuan kontrol tingkat mortalitas yang terjadi cukup lama dan rendah kuantitas
yang berarti pada tingkat ini daya tahan rayap tanah cukup tinggi. Dengan demikian konsentrasi 6 memiliki efektivitas antirayap tertinggi LC
50
= 51.34 yang tercapai pada pengamatan hari ke-3.
Supriana 2002, menjelaskan tentang perilaku makan rayap yang berbeda di alam dan di laboratorium. Di alam rayap memilih sendiri lingkungan, dimana
rayap dihadapkan kepada berbagai pilihan makanan. Sebaliknya di laboratorium, lingkungan tersebut sudah dibuat oleh manusia, dalam hal ini rayap dihadapkan
kepada keadaan terpaksa sehingga rayap akan memakan bahan makanan yang diberikan.
Rayap pada botol uji memakan kertas yang diberi ekstrak kulit biji saga dengan tingkat konsentrasi yang berbeda yakni 2, 4, 6 dan dibandingkan
dengan kontrol. Ketika rayap memakan kertas uji terlihat bahwa mortalitas rayap pada hari kedua paling tinggi terdapat pada konsentrasi 6. Dengan demikian
semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas uji, maka mortalitas rayap semakin meningkat pula. Pola ini memberikan indikasi umum bahwa
ekstrak yang ditambahkan tersebut mempunyai daya racun terhadap kehidupan rayap.
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 5 ditunjukkan bahwa perlakuan dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap mortalitas
Universitas Sumatera Utara
rayap. Sehingga perlakuan konsentrasi disimpulkan mempengaruhi mortalitas rayap.
Pada uji lanjutan Tukey dapat dilihat bahwa kulit biji saga dengan konsentrasi 6 tidak berbeda nyata dengan 2, 4 dan kontrol, tetapi dalam
penelitian ini konsentrasi 6 merupakan konsentrasi yang lebih baik dalam mempengaruhi mortalitas rayap. Hal ini disebabkan semakin banyak ekstrak yang
digunakan maka semakin banyak senyawa bioaktif yang tertinggal pada kertas uji yang
diawetkan. Dari grafik dapat dilihat juga bahwa kenaikan nilai mortalitas rayap Coptotermes curvignathus sebanding dengan kenaikan konsentrasi ekstrak.
Pada tahap awal rayap akan melakukan penyesuaian dengan lingkungan hidup yang diberikan yakni di dalam botol kaca yang berisikan kertas uji. Pada
hari pertama dan kedua aktifitas makan rayap rendah. Rayap yang mampu bertahan dan menyesuaikan diri akan melakukan orientasi makanan, sedangkan
yang tidak mampu menyesuaikan diri akan mati. Tahap berikutnya rayap mencoba mencicipi makanan yang diberikan orientasi makanan dengan jalan menggigit
bagian permukaan kertas uji. Saat rayap mencicipi kertas uji tersebut, bagian kutikel pada tubuh rayap
yang terdapat pori dan lubang keluar kelenjar epidermis dan sensila berperan penting dalam melewatkan racun ke dalam tubuh rayap. Pada kondisi ini, rayap
akan mengalami gejala keracunan dan pergerakannya menjadi lamban, bahkan tidak bergerak dan akhirnya mati. Sedangkan pada contoh uji kontrol yang tidak
mendapatkan perlakuan pengawetan, rayap akan meneruskan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan sumber makanannya yang baru.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penelitian Adharini 2008, kematian rayap dapat disebabkan oleh dua hal, pertama bahwa ekstrak kulit biji saga tersebut menyebabkan
kematian protozoa di dalam perut rayap ketika memakan kertas selulosa dan kedua bahwa ekstrak tersebut telah menyebabkan rusaknya sistem saraf pada
rayap. Protozoa atau enzim yang terdapat di dalam perut rayap yang bertugas mencerna selulosa tidak dapat memakan kertas tersebut, sehingga dengan
kematian protozoa di dalam perut rayap, rayappun menjadi mati karena umpan yang dimakan rayap yang terutama terdiri dari selulosa tidak dapat diserap oleh
tubuh rayap. Pada pengujian ini disimpulkan bahwa ekstrak kulit biji saga perlakuan perendaman menghasilkan senyawa racun terhadap rayap.
Hal ini sesuai dengan pernyataan
Lie, dkk, 1980 dan Oey, dkk, 1981 yang mengemukakan bahwa senyawa beracun dalam biji saga yakni senyawa-senyawa
antinutrisi yang telah diketahui seperti antitripsin, saponin atau hemaglutinin.
Universitas Sumatera Utara
3. Persentase Penurunan Berat