Pemenuhan Hak Ekonomi Istri Pasca Perceraian (Studi Komparatif Peraturan Perundangan-Undangan Di Indonesia, Turki, Mesir, Dan Arab Saudi)
SKRIPSI
Diajukan untuk Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Hukum (SH).
Oleh:
OGNA ALIF UTAMA NIM: 1112044100073
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(2)
PEMENUHAN HAK EKONOMI ISTRI PASCA PERCERAIAN
(Studi Komparatif Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi)
SKRIPSI
Diajukan untuk Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Hukum (SH).
Oleh:
Ogna Alif Utama NIM. 1112044100073 Di Bawah Bimbingan:
Prof. Dr. H. M. Atho Muzhar, MSPD NIP. 19710701 199803 2 002
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(3)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Oktober 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum (SH) Pada program studi Hukum Keluarga konsentrasi Peradilan Agama.
Jakarta, 13 Oktober 2016 Dekan,
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, NIP.196916 199603 1 001 PANITIA UJIAN MUNAQASYAH Ketua : Dr. Abdul Halim, MA
NIP. 19670608 199403 1 005 (………..) Sekretaris : Ari Purkon, S.HI, MA.
NIP. 19790427 200313 1 002 (………..) Pembimbing : Prof. Dr. H. Atho Muzhar, MSPD
NIP. 19710701 199803 2 002 (………..) Penguji I : H. A. Bisyri Abd Shomad, Lc, MA.
NIP. 19680320 200003 1 001 (………..) Penguji II : Dra. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag.
(4)
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang saya ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Semua sumber yang digunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Oktober 2016
(5)
iii
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/2016 M.
Perceraian bukanlah sesuatu yang diharapkan setiap pasangan, bahkan Allah SWT sekalipun membenci perceraian walaupun dibolehkan. Ketika suami menjatuhkan talak kepada istrinya, maka perbuatan tersebut memiliki konsekuensi hukum, salah satunya adalah timbulnya kewajiban suami untuk memenuhi hak ekonomi istri seperti nafkah iddah, mut‟ah, kiswah, maskan. Sebagaimana lumrahnya hubungan hak dan kewajiban, maka apabila kewajiban tidak dilaksanakan akan merugikan pihak yang seharusnya mendapatkan hak tersebut. Penulis dalam skripsi ini akan membandingkan regulasi pemenuhan hak ekonomi istri pasca perceraian tersebut antara negara Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan komparatif dengan spesifikasi penelitian yaitu deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan data sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.
Dari hasil penelitian penulis maka menemukan pahwa regulasi di Indonesia belum menjamin terpenuhinya hak ekonomi istri. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya kehadiran negara untuk memaksa suami melakukan kewajibannya dengan memberikan hukuman apabila terjadi pelanggaran.. Berbeda dengan Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi telah mammpu hadir untuk menjamin pemenuhan hak ekonomi istri yang diceraikan suaminya.
Kata kunci : Nafkah Iddah, mut‟ah, maskan, kiswah, kompensasi. Pembimbing : Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, MSPD
(6)
iv
KATA PENGANTAR
ميحرلا نمحرلا ها مسب
Puji syukur kepada Allah Tuhan Seru Sekalian Alam. Tidak ada kata yang pantas kecuali pujian yang terus dilafalkan oleh lisan dan tidak ada perbuatan baik dan perbuatan ketaatan kecuali tertuju hanya kepada-Nya. Hanya Dia lah yang pantas dipuji dan hanya Dia lah yang pantas disembah, kepada-Nya pula hamba memohon pertolongan, sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Sholawat serta salam kepada “legislator” yang tidak ada tandingannya, membuat hukum dengan kemaslahatan yang mengelilinginya, menegakkan hukum dengan penuh kebersihan akal dan jiwa sehingga setiap keputusan sesuai tidak ada yang menentangnya. Semoga sholawat dan salam menolong hamba pada saat penghakiman di akhirat kelak, serta memberikan atsar semangat dan keteguhan dalam perjuangan penulis dalam menegakkan hukum di kehidupan sehari-hari hamba. Penulisan skripsi ini bukanlah akhir dari studi dari penulis lakukan mudah-mudahan penulis akan terus melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi lagi. Itu semua penulis persembahkan kepada Ibu Tatat Rosliani.
Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat:
1. Dr. H. Asep Saefuddin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Abdul Halim, M.A., Ketua Program Studi Hukum Keluarga, Arip Purkon, S.HI., M.A., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga;
3. Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, MSPD sebagai pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penulisan Skripsi sampai penulisan skripsi ini selesai.
4. Dr. Hj. Azizah, MA sebagai dosen pembimbing akademik yang tidak bosan memberikan dukungan sejak penulis memulai pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(7)
v Hukum Double Degree 2014.
7. Kawan seperjuangan Hakimah Farhah, S.Ssy., Muhammad Faisal Amin, Afrizal Fahmi Ali S.Th.I., Muhammad Ghilman Hadiyan, Fatwa Dienulhaq, Ahmad Ferizqo, Ahmad Fadhil, Muhammad Ihsan Muttaqien, Luthfi Hasanal Bolqiah, Hilal Fathurrahman, Awaludin Ramdhan.
8. Segenap Aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
9. Ustadz Ayi Mukhtar Lc yang telah membantu dalam pengumpulan data untuk skripsi ini.
10.Rizki Apriyansah yang telah menerjemahkan Hukum Perdata Turki yang berbahasa Turki ke dalam bahasa Indonesia.
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis tuliskan, semoga doa dan harapan kita semua dikabulkan-Nya, Amiin.
Jakarta, 06 Oktober 2016 Penulis,
(8)
vi
vi
DAFTAR ISI
BAB I
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 9
C. Pembatasan Masalah ... 10
D. Rumusan Masalah ... 10
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
F. Metode Penelitian ... 12
G. Review Studi Terdahulu... 15
H. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II PEMENUHAN HAK EKONOMI ISTRI PASCA PERCERAIAN DITINJAU DARI SUDUT PANDANG TEORI KEADILAN A. Tujuan Hukum Menurut Teori Keadilan ... 17
B. Nafkah Iddah Menurut Fiqh ... 28
BAB III SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA INDONESIA, TURKI, MESIR, DAN ARAB SAUDI. A. Hukum Keluarga Islam di Indonesia ... 37
(9)
vii
D. Hukum Keluarga Islam di Arab Saudi ... 54
BAB IV PERBANDINGAN PERATURAN PEMENUHAN HAK EKONOMI ISTRI PASCA PERCERAIAN DI INDONESIA, TURKI, MESIR, DAN ARAB SAUDI. A. Regulasi yang belum Menjamin Pemenuhan Hak Ekonomi Istri 60 1. Indonesia ... 60
B. Regulasi yang Menjamin Pemenuhan Hak Ekonomi Istri .... 64
1. Turki ... 71
2. Mesir ... 68
3. Arab Saudi... 70
C. Perbandingan Vertikal Regulasi tentang Pemenuhan Hak Ekonomi Istri ... 74
1. Indonesia ... 74
2. Turki ... 77
3. Mesir ... 80
4. Aarab Saudi ... 81
D. Persamaan dan Perbedaan Regulasi tentang Pemenuhan Hak Ekonomi Istri ... 82
(10)
viii
viii
PENUTUP ... 87
A. Kesimpulan ... 87
B. Saran... 89
DAFTAR PUSTAKA ... 90
(11)
1
Perkawinan merupakan sebuah langkah yang ditempuh manusia dalam menjajaki hubungan ke arah yang serius antara seorang pria dan wanita. Perkawinan juga sebuah perikatan hasil dari sebuah perjanjian keperdataan seorang pria dan wanita untuk mengikatkan diri kepada perjanjian itu. Definisi perkawinan sendiri adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan merupakan sunnah Rasulullah Saw., dan media yang paling cocok antara panduan agama Islam dengan naluriah atau kebutuhan biologis manusia, dan mengandung makna dan nilai ibadah. Sangat tepat kiranya jika Kompilasi Hukum Islam menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat, perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.2
1
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: Akademi Presindo, 1996), h. 64.
2
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,2013), h. 53.
(12)
2
Rasulullah pun bahkan berseru untuk melakukan perkawinan dengan segera kepada yang telah mampu untuk melakukannya. Hikmah yang dapat diambil dari seruan untuk menyegerakan perkawinan ini dapat mengurangi maksiat, menjauhkan dari perbuatan-perbuatan yang dapat menjerumuskan kepada perzinahan, sebagaimana Sabda Rasulullah:
ع
د ع
ه
ب
د عس
اق
اق
ا
سر
ه
ا ص
ه
هي ع
ا س
اي
رشع
ا اش ا
عاطتسا
ءا ا
ج زت ف
ه اف
ضغا
رص
صحا
جرف
عطتسي
هي عف
اص اب
ف
ه ا
ه
ءاج
(
فات
هي ع
)
“Wahai kaum muda, barangsiapa diantara kalian mampu menyiapkan
bekal, nikahlah, karena sesungguhnya nikah dapat menjaga penglihatan dan memelihara farji. Barangsiapa tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa karena puasa dapat menjadi benteng.” (Mutafaq „Alaih)3
Pada prinsipnya tujuan perkawinan selain menghindarkan dari perbuatan maksiat adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Agar kebahagiaan keluarga yang dimaksud dapat terwujud, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Karena itu undang-undang ini juga menganut asas atau
3
Al-Shan‟aniy, Subul al-Salam, (Kairo: Dar Ihya‟ al-Turats al-Araby, 1379 H/1980 M), h. 109.
(13)
prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian hanya bisa dilakukan, jika ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang pengadilan.4
Dalam Islam pada prinsipnya perceraian dilarang. Ini dapat dilihat pada isyarat Rasulullah Saw. bahwa talak atau cerai adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah.
ع
فارع
ب
صا
،
ع
راح
ب
راثد
،
ع
ي ا ا
ا ص
ه
هي ع
ا س
اق
:
ضغبا
ا
اح
ي ا
ه
اط ا
(
ا ر
با
ي اد
با
ا
ج
اح ا
ك
)
“Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
talak (perceraian).” (Riwayat Abu Dawud, Ibn Majah, dan al-Hakim, dari Ibn „Umar)5
Berdasarkan hadits yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa cerai adalah perbuatan yang paling dibenci meskipun tidak haram. Memang benar bahwa putus hubungan dalam perkawinan merupakan suatu perbuatan yang tidak disukai. Oleh karena itu sedapat mungkin dapat dicegah baik dari pihak suami juga pihak istri baik itu suami dan istri itu sendiri atau keluarga kedua pasangan.6
4
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 213. 5
Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Jami‟ al-Shagir, (Bandung: al-Ma‟arif, 1985), h. 5. 6
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahan Perbandingan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h.. 243.
(14)
4
Perlu dipahami meskipun perceraian dibenci namun apabila sebuah hubungan perkawinan sudah tidak dapat lagi dijaga dan salah satu atau keduanya sudah bertekad bulat untuk bercerai maka perceraian itu dapat dilakukan sebagai sesuatu yang dipandang lebih baik dibandingkan apabila hubungan perkawinan itu tetap diteruskan.
Ketika hubungan perkawinan itu dinyatakan putus, tentulah ada akibat hukumnya. Selain putusnya perkawinan, selain perceraian ada dua hal lain yang dapat menyebabkan hilangnya hubungan perkawinan. Dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan beberapa hal yang dapat menyebabkan putusnya hubungan perkawinan, yaitu:
1. Kematian; 2. Perceraian;
3. Putusan pengadilan.7
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 41 UU Perkawinan mengenai putusnya perkawinan adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bila ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya;
7
Undang-Undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV Umbara 2012), h. 13.
(15)
b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya.8
Untuk rincian dan gambaran yang lebih jelas mengenai akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian terdapat dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
Bila mana perkawinan putus karena talak, maka suami wajib:
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul (sebelum bercampur);
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian, pen.) kepada bekas istri selama dalam masa „iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz (durhaka) dan dalam keadaan tidak hamil;
8
Undang-Undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam., h. 14.
(16)
6
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul (sebelum bercampur);
d. Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan, termasuk di dalamnya biaya pendidikan, pen.) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.9
Ketentuan tersebut berlandaskan pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:236:
اا
حا ج
ي ع
إ
ت ا ن
ا
ءاس
ا
ا ه س ت
أ
ا ضرفت
ا
ضيرف
ۚۚ
ا ه عت
ع
ا
عس
ردق
ع
رت ا
ردق
ا عات
ف رع اب
ۖۚ
ا ح
ع
ي سح ا
Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut‟ah
(pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya (pula) yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Al-Baqarah [2]:236)
Demikian arif dan bijaksananya ajaran agama Islam dalam mengatur stiap detil dari akibat hukum sebuah perceraian. Wanita yang ditalak oleh suaminya tidak semata-mata menjadi bekas istri tanpa adanya kewajiban sebagai resiko bagi suami yang telah menjatuhkan talak, memutuskan hubungan perkawinan. Mut‟ah sebagai sesuatu yang diberikan oleh seorang pria kepada mantan istrinya juga kewajiban untuk tetap membiayai, mendidik anak adalah bentuk
9
Undang-Undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h. 367.
(17)
pencegahan dari penelantaran. Dengan demikian walaupun sudah putus hubungan perkawinan, tapi tidak ada pihak yang menjadi korban.
Namun ternyata fakta di lapangan, banyak putusan pengadilan yang amarnya kondemnatoir menghukum salah satu pihak berperkara untuk membayar sejumlah uang (executie verkoop), tanpa adanya amar penyitaan atas barang-barang bergerak/tidak bergerak milik Tergugat (terhukum), baik terungkap dalam persidangan, tetapi tidak dituntut dalam petitum gugatan, maupun dalam fakta persidangan tidak terungkap adanya barang-barang bergerak-barang tidak bergerak milik Tergugat (terhukum), sehingga dalam pelaksanaan eksekusi (executie verkoop), khususnya dalam hal pembebanan mut‟ah berupa uang, nafkah iddah, nafkah lampau, ataupun biaya pemeliharaan anak umumnya tidak dapat dilakukan oleh panitera pengadilan atas perintah ketua pengadilan.
Pimpinan pengadilan (termasuk pengadilan agama), setelah melakukan aanmaning (teguran), ternyata masih ditemukan hal dilematis sehingga pelaksanaan putusan tidak dapat dilakukan. Setidaknya terdapat beberapa alasan utama yang ditemukan dalam praktik di lapangan, yaitu satu, alasan Tergugat tidak memiliki harta/uang untuk membayar sejumlah uang pembebanan tersebut, kecuali dari harta bersama (padahal gugatan harta bersama belum diajukan. Kedua, alasan keengganan tergugat dari awal untuk membayar sejumlah uang pembebanan dalam amar putusan. Ketiga, setelah
(18)
8
ikrar talak diucapkan, tergugat mangkir/menghindar dari pembebanan. Konsekuensi dari tiga alasan tersebut diatas lembaga pengadilan dicemooh oleh pihak penggugat/pihak yang menang dan dianggap “tidak bergigi” dalam melaksanakan putusannya.10
Dalam pedoman sebagai petunjuk dalam melakukan eksekusi terdapat dua cara, yaitu:
1. Eksekusi riil dapat berupa pengosongan, penyerahan, pembagian, pembongkaran, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dan memerintahkan atau menghentikan sesuatu perbuatan (Pasal 200 Ayat (11) HIR/Pasal 218 Ayat (2) RBg/Pasal 1033 Rv).
2. Eksekusi pembayaran sejumlah uang (executie verkoop) dilakukan melalui mekanisme lelang (Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBg).11
Mencermati isi Buku II HIR/RBg di atas, mekanisme lelang dapat dilakukan jika terungkap dalam fakta persidangan adanya barang-barang milik tergugat/terhukum. Namun belum dijelaskan secara implisit bagaimana mekanisme mengenai pelaksanaan putusan kepada tergugat/terhukum yang telah terbukti mampu namun enggan membayar pembebanan.
10
Muhammad Arasy Latif, Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, (Jakarta: PPHIMM, 2012), h. 81.
11
Lihat Ditjen Badilag Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II, Edisi Revisi tahun 2012, hlm. 123.
(19)
Lalu kemudian bagaimanakah negara-negara lain khususnya yang memiliki masyarakat yang mayoritas Islam dalam menyelesaikan hak ekonomi istri pasca perceraian. Disini penulis tertarik membahas dan melakukan komparasi dengan negara Mesir, Saudi Arabia dan Turki. Mengapa harus ketiga negara itu? Karena penulis melihat ketiga negara itu memiliki kekhasan masing-masing. Saudi Arabia adalah negara yang konservatif dalam menerapkan ajaran islam dengan langsung mengacu kepada Al-Quran dan Sunnah. Turki adalah negara yang sekuler yang membedakan antara urusan agama dan negara. Pun berdampak ke dalam pelaksanaan hukumnya demikian juga dengan hukum keluarga. Mesir adalah negara islam yang sempat diduduki oleh Turki namun tidak mengikuti Turki tersebut menjadi negara sekuler.
Maka studi ini menjadi penting dan menarik dibahas karena memiliki signifikansisi yang cukup tinggi baik dari segi akademik maupun kegunaan praktis. Oleh karena itu studi ini akan dibahas lebih lanjut dalam skripsi yang berjudul Pemenuhan Hak Ekonomi Istri (Studi Komparatif Peraturan Perundang-Undangan Indonesia dengan Turki, Arab Saudi dan Mesir). B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan hak ekonomi istri pasca perceraian di Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi?
2. Apa yang mempengaruhi hukum keluarga di Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi?
(20)
10
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas maka penulis ingin menelusuri lebih jauh analisis perbandingan terhadap peraturan perundang-undangan hukum keluarga di Indonesia, Arab Saudi, Turki, dan Mesir, yakni sebagai berikut:
1. Perkara perkawinan yang akan dibahas dibatasi pada perkara cerai talak (yang dilakukan suami).
2. Dalam pembahasan mengenai Peraturan Perundang-Undangan dibatasi hanya yang mengatur permasalahan ketentuan hukuman bagi pelanggar. D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah terurai sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah tentang Studi Komparasi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi Mengenai Pelaksanaan Putusan (Excecutie Verkoop) Dalam Perkara Perceraian, Sebagai berikut:
1. Bagaimana regulasi berupa peraturan perundang-undangan mengenai eksekusi pemenuhan hak ekonomi istri pasca perceraian di Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi?
(21)
2. Bagaimana perbandingan vertikal ketentuan yang mengatur mengenai pemenuhan hak ekonomi istri pasca perceraian di Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi dengan pendapat madzhab-madzhab fiqih?
3. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara regulasi mengenai ketentuan pemenuhan hak ekonomi istri pasca perceraian di Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Untuk mengetahui ketentuan dalam perkara pemenuhan hak ekonomi istri di Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi;
b) Untuk mengetahui perbandingan vertikal ketentuan yang mengatur mengenai pemenuhan hak ekonomi istri pasca perceraian di Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi dengan pendapat madzhab-madzhab fiqih;
c) Untuk mengetahui perbandingan horizontal dan mengetahui regulasi mana yang belum dan sudah menjamin pemenuhan hak ekonomi istri di Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi;
(22)
12
d) Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara regulasi mengenai pemenuhan hak istri psca perceraian yang berlaku di Indonesia, Turki, Mesir, dan Arab Saudi;
2. Manfaat Penelitian
a) Sebagai wujud kontribusi positif penulis terhadap perkembangan hukum khususnya mengenai pelaksanaan putusan dalam perkara perceraian;
b) Memberikan satu karya ilmiah yang bermanfaat bagi civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yakni proses penelitian yang difokuskan untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dijadikan sumber informasi dan perilaku yang dapat diamati12, untuk penganalisaan data secara non- statistik. Selain itu jenis penelitian sleanjutnya adalah jenis
12
Nurul Zuhriah, Metedologi penelitian Sosial dan Pendidikan :Teori- Aplikasi, ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007) Hal. 92.
(23)
penelitian komparatif yakni proses penelitian dengan melakukan perbandingan antara obyek yang diteliti.
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yakni dengan kajian studi pustaka, perundang-undangan dan putusan- putusan. Dengan pendekatan ini dilakukan pengkajian mengenai persinggungan pendapat ulama‟ kontemporer dengan peraturann perundang- undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian ini. Namun untuk kepentingan perolehan dan analisa data, maka pada penelitian ini juga digunakan pendekatan sosiologis.
3. Sumber Data
Data yang digunakan terdiri dari data primer, sekunder, dan tersier. Data Primer terdiri dari beberapa peraturan perundang- undangan sebagai berikut :
a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
b) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(24)
14
d) The Turkish Civil Code 1926 (Undang-Undang Hukum Perdata Turki)
e) The Turkish Penal Code (Undang-Undang Hukum Pidana Turki)
f) Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan.
g) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
h) HIR/RBg.
i) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Islam Mesir (KUHPid)
Data sekunder terdiri atas semua buku-buku teks yang ditulis oleh para ulama‟ dan ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, dan kasus-kasus hukum. Adapun data tersier yang digunakan pada penelitian ini berupa kamus hukum.
4. Alat Pengumpul Data
Untuk memperoleh semua data yang dibutuhkan, digunakan alat pengumpul data yaitu studi dokumen, baik bahan primer maupun berupa peraturan perundang-undangan terkait, maupun bahan sekunder berupa buku, literatur, jurnal, dan tulisan lainnya yang mengkaji seputar permaslahan dalam hukum kewarisan berupa eksekusi putusan dalam perkara perkawinan.
(25)
Dalam pengolahan data digunakan metode content analitis. Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel, diurai dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab masalah yang telah dirumuskan. Selanjutnya semua bahan dan data analisa secara deduktif, yakni suatu bentuk penalaran yang berpangkal dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini (self- evident) dan berakhir suatu pengetahuan baru yang bersifat khusus. Dalam penelitian ini proposisi umum tersebut berupa kaedah-kaedah hukum Islam yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam maupun yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
G. Review Studi Terdahulu
1. Skripsi yang ditulis oleh Rohmad Heri Tricahyo, Upaya Pengadilan Agama Cikarang berupa penundaan pelaksanaan ikrar talaq oleh suami selama
tuntutan pihak istri berupa nafkah iddah dan mut‟ah tidak dilakukan.
Pembayaran sendiri harus dilakukan di depan majelis hakim dan pihak istri memberikan izin ikrar talaq setelah mendapatkan haknya, prodi SAS 2013. Skripsi ini memaparkan tentang bagaimana ijtihad yang dilakukan Pengadilan Agama Cikarang agar suami memenuhi kewajibannya memenuhi hak ekonomi istri pasca cerai talak. Sedangkan penelitian penulis adalah mengenai perbandingan regulasi pemenuhan hak ekonomi istri antara negara Indonesia, Arab Saudi, Turki, dan Mesir.
(26)
16
2. Skripsi yang ditulis oleh Abrokhul Isnaini, Jaminan Pelaksanaan Kewajiban Nafkah Iddah di Pengadilan Agama Jakarta Timur, Prodi Administrasi Keperdataan Islam 2012. Skripsi ini memiliki pokok penelitian yang sama dengan skripsi Rohmad Heri Tricahyo mengenai upaya pemenuhan hak ekonomi istri pasca cerai talak, hanya saja memiliki obyek penelitian yang berbeda yakni upaya yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur. 3. Jurnal yang ditulis oleh Prof. Dr. Nasarudin Umar, MA, Hukum Keluarga
Kontemporer di Negara-Negara Muslim. Jurnal ini membahas mengenai perkembangan terkini dari beberapa negara yang ditinggali masyarakat muslim. Dalam jurnal ini juga membahas secara umum mengenai hukum keluarga di negara yang juga menjadi obyek penelitin di skripsi ini seperti Turki. Lalu yang membedakannya adalah bahwa jurnal tersebut membahas secara garis besar mengenai hukum keluarga kontemporer sedangkan tulisan skripsi ini mencoba menjelaskan lebih rinci terlebih mengenai pemenuhan hak ekonomi istri pasca perceraian.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terbagi atas lima bab yaitu: BAB I Pendahuluan
Berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
(27)
BAB II Berisi tentang teori keadilan dan nafkah „iddah menurut fiqh empat madzhab.
BAB III Berisi tentang gambaran umum hukum keluarga di Indonesia, Arab Saudi, Turki, dan Mesir.
BAB IV Berisi tentang analisis perbandingan mengenai pemenuhan hak ekonomi istri pasca perceraian di Indonesia, Arab Saudi, Turki, dan Mesir.
(28)
17
BAB II
PEMENUHAN HAK EKONOMI ISTRI PASCA PERCERAIAN DITINJAU DARI SUDUT PANDANG TEORI KEADILAN A. Tujuan Hukum Menurut Teori Keadilan
Tujuan hukum dapat ditinjau dari beberapa teori. menurut teori etis (etische theorie) tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan namun teori ini memiliki kelemahan karena peraturan tidak mungkin dibuat hanya untuk mengatur setiap orang dan setiap kasus akan tetapi dibuat secara umum dan bersifat abstrak serta hukum tidak selalu mewujudkan keadilan.1
Tujuan hukum menurut teori utiliti (utilities theorie) untuk mewujudkan faedah saja dengan menjamin adanya kebahagiaan yang sebanyak-sebanyaknya kepada orang sebanyak-sebanyaknya. Kelemahan teori ini adalah hanya memperhatikan hal-hal umum dan terlalu individualistis sehingga tidak memberikan kepuasan bagi perasaan hukum.2
Tujuan hukum menurut teori campuran dikemukakan oleh Bellefreid yang mengatakan bahwa isi hukum harus ditentukan oleh dua asas keadilan dan asas faedah. Sedangkan menurut Utrecht, hukum dalam pergaulan manusia bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechtzekerheid) dan keadilan dan dalam kedua tugas tersebut tersimpul tugas lain yaitu tugas sebagai polisi
1
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Pustaka Kartim: Jakarta, 1991), h. 23-26
2
(29)
(politionele taak van het recht) sehingga tidak terjadi tindakan main hakim sendiri dalam pergaulan masyarakat. Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan ketertiban dalam masyarakat.3
Tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Kedamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan manusia tertentu yaitu: kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap yang merugikan kepentingan individu dan golongan manusia yang selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan pertengakarn satu sama lain kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi di mana setiap orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya.4
Menurut Achmad Ali, tujuan hukum secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam tiga aliran sebagai berikut:5
1) Aliran etis yang menganggap pada asasnya tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan;
3
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, h. 26. 4
Van Apeldron. Pengantar Ilmu Hukum, Incleding Tot de Studie Van Het Nederlandse Recht. Terjemahan: Otarid Sadino, (Noordhof Kalff: Jakarta, 1958), h. 13.
5
(30)
19
2) Aliran utilitis yang menganggap pada asasnya tujuan hukum adalah untuk menciptakan kemanfaatan;
3) Aliran yuridis formal yang menganggap pada asasnya tujuan hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum.
Idealnya tujuan hukum secara simultan diarahkan kepada keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, namun dalam kenyataannya antara keadilan dan kepastian hukum bisa terjadi ketegangan, demikian pula antara keadilan dengan kemanfaatan bisa terjadi ketegangan.6
Secara etimologis, dalam Kamus Al-Munawwir, al 'adl berarti yang tengah-tengah.7 Dengan demiklan, adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain (al-musåwah). Istilah lain dari al-adl adalah al-qist, al-misl (sama bagian atau semisal). Secara terminologis, adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran.8 Menurut Ahmad Azhar keadilan adalah meletakkan sesuatu pada
6
Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, (Kencana: Jakarta, 2014), h. 71. 7
Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Pustaka Progresif: Yogyakarta, 1997), h. 906.
8
Abdul Aziz Dahlan, et all, (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2, (PT Ichtiar Baru van Hoeve: Jakarta, 1997), h. 25.
(31)
tempat yang sebenarnya atau menempatkan sesuatu pada proporstnya yang tepat dan memberikan kepada seseorang sesuatu yang menjadi haknya.9
Al-Quran memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan seperti dalam firman-Nya,
إ
ا
اه
ر أي
دع اب
اسحْا
…
Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…" (QS Al-Nahl [16]: 90).
Ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama darıpada kedermawanan
atau İhsan. Ihsan adalah memperlakukan pıhak lain lebih baİk darİ perlakuannya,
atau memperlakukan yang bersalah dengan perlakuan yang baik. Ihsan dan kedermawanan merupakan hal-hal yang baik pada tingkat antar individu, tetapi
dapat berbahaya jika dilakukan pada tıngkat masyarakat-
İmam Ali ra- bersabda, "Adil adalah menempatkan sesuatu pada
tempatnya, sedangkan İhsan )kedermawanan( menempatkannya bukan pada
tempatnya" Jika hal ini menjadi sendi kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat tidak akan mengadi seimbang Itulah sebabnya, mengapa Nabi Saw
9
Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, (UII Press: Yogyakarta, 2000), h. 30.
(32)
21
menolak memberikan maaf kepada seorang pencuri setelah diajukan ke pengadllan, walau pemilik harta telah memaafkannya.10
Potensi dan kemampuan manusia bahkan potensi dan kemampuan para
rasul pun demıkıan )QS AI-Baqarah [2]: 253(. Perbedaan adalah şifat
masyarakat, namun hal İtü tidak boleh mengakibatkan pertentangam Sebaliknya, perbedaan İtü hams mengantarkan kepada kerja sama yang menguntungkan
semua pihak. Demikian kandungan makna firmanNya pada surat Al-Hujurat (49): 13. Dalam surat Az-Zukhruf (43): 32 tujuan perbedaan itü dinyatakan:
ضعب ا عفر ۚ اي د ا ايح ا يف تشيعا يب ا سق ح ۚ كبر حر
س ي هأ
ف
ع جي اا ريخ كبر حر ۗ ا ير س ا ضعب ضعب اتي اجرد ضعب
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamı telahmenentukan antara mercka penghıdupan mereka dalam kehidupan di dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat saling mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dan apa yang mereka kumpulkan (Az-Zukhruf43: 32).
Setiap anggota masyarakat dituntut untuk fastabiqul khairåt (berlomba-lombalah di dalam kebajikan) (QS Al-Baqarah [21: 148). Settap perlombaan menJanjikan "hadiahi' Di sini hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta lomba dibedakan atau tidak
10Quraısh Shihab,
(33)
diberi kesempatan yang sama, Tetapi, tidak adil juga bila setelah berlomba dengan prestasi yang berbeda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama menolak hal ini.
اا
ي تسي
دعا ا
ي
ا
ريغ
ي أ
رراض ا
دهاج ا
يف
ي س
اه
ا أب
سف أ
ۚۚ
اضف
اه
يدهاج ا
ا أب
سف أ
ع
يدعا ا
جرد
اك
دع
اه
سح ا
Artinya: Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak berjuang) kecuali yang uzur dengan orang yang beguang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah meleblhkan Orangorang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas Orang-orang yang duduk (tidak ikut berjuang karena uzur) satu deraJat. Dan kepada masing-masing mereka Allah menJanJikan imbalan baik...(QS Al-Nisa [41: 95).Keadilan seperti terlihat di atas, bukan mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi. Sehubungan dengan itu, Murtadha Muthahhari menggunakan kata adil dalam empat hal, pertama, yang dlmaksud dengan adil adalah keadaan yang setmbang; kedua, persamaan dan penafian (pemadaan) terhadap apa pun; ketiga, memelihara hak-hak individu dan keempat, memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.11
11
Murtadha Muthahhari. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam. Terj. Agus Efendi, (Mizan anggota IKAPI: Bandung, 1981). h. 53-56.
(34)
23
Keadilan dalam pelaksanaannya tergantung dari struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, struktur-struktur mana terdapat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi. Maka membangun keadilan berartl menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan.12 Masalah keadilan ialah bagaimanakah mengubah struktur-struktur kekuasaan yang seakan-akan sudah memastlkan ketidakadilan, artlnya yang memastlkan bahwa pada saat yang sama di mana masih ada golongangolongan miskin dalam masyarakat, terdapat juga kelompok-kelompok yang dapat hidup dengan seenaknya karena mereka menguasat sebagtan besar dari hasil kerja dan hak-hak golongan yang miskin itu.
Menurut Juhaya S.Praja, dalam Islam perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang tanpa pandang bulu. Perkataan yang benar harus disampaikan apa adanya walaupun perkataan itu akan merugikan kerabat sendiri. Keharusan berlaku adil pun harus dtegakkan dalam keluarga dan masyarakat muslim itu sendiri, bahkan kepada orang kafir pun umat islam diperintahkan berlaku adil. Untuk keadilan sosial harus ditegakkan tanpa membedakan karena kaya rmskin, pejabat atau rakyat wnita atau pria, mereka harus diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama.13 Senada dengan itu, Sayyid Qutb
12
Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (PT Gramedia: Jakarta, 1988), h. 45. 13
Juhaya S.Praja. Filsafat Hukum Islam, (Pusat Penerbitan Universitas LPPM UNISBA: Bandung, 1995), h. 73.
(35)
menegaskan bahwa Islam tidak mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang digantungkan kepada tingkatan dan kedudukan.14
Salah satu sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia adalah prinsip keadilan sosial dan pelaksanaannya dalam setiap aspek kehidupan manusia. Islam suatu aturan yang dapat dilaksanakan oleh semua orang yang benman. Setiap anggota masyarakat didorong untuk memperbalkl kehidupan material masyarakat tanpa membedakan bentuk, keturunan dan jenis orangnya. Setiap orang dipandang sama untuk diberi kesempatan dalam mengembangkan seluruh potensi hidupnya.15
Berdasarkan uraian di atas, maka penulls menyimpulkan bahwa Islam bertujuan membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan itu, seuap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tak diikat batas geografis. Islam menganggap umat manusia sebagai suatu keluarga
Karenanya semua anggota keluarga itu mempunyai derajat yang sama dihapan Allah. Islam tidak membedakan pria ataupun putih atau hitam. Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketakwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya pada kemanuslaam
14
Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam, (CV Rajawali: Jakarta, 1984), h. 224. 15
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid I, Terj. Soeroyo, (PT Dana Bhakti Wakaf: Yogyakarta, 1995), h. 74.
(36)
25
Istilah keadilan telah dituangkan dalam berbagai definisi oleh badan-badan pengadilan sebagaimana terbaca dalam The Encyclopedia Americana, berbagai definis keadilan diartikan sebagai berikut:16
1) The constant and perpetual disposition to render every man his due (keputusan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang haknya);
2) The aim of civil society (tujuan dari masyarakat manusia);
3) The right to obtain a hearing and decision by a court which is free of prjudice and improper influence (hak memperoleh suatu pemeriksaan dan keputusdan oleh badan pengadilan yang bebas dari prasangka dan pengaruh yang tak selayaknya);
4) All recognized equitable rights as well as technical legal rights (semua hak wajar yang diakui maupun hak-hak menurut yang tehnis);
5) The dictate of right to the consent of mankind generally (suara kebenaran menurut persetujuan dari umat manusia pada umumnya);
6) Conformity with the principles of integrity, rectitude, and just dealing (persesuaian dengan asas-asas keutuhan watak, kejujuran, dan perlakuan adil).
Perkembangan tentang teori keadilan dapat ditelusuri dari teori keadilan klasik, teori keadilan abad menengah dan teori keadilan zaman modern serta teori keadilan post modern (dewasa ini). Teori keadilan dipelopori oleh Plato.
16
(37)
Menurut Plato keadilan adalah the supreme virtue of good state (kebijakajn tertinggi dari negara yang baik). Orang yang adil adalah the self disciplined man whose passions are controlled by reason (orang yang mengendalikan diri yang perasaan hatinya dikendalikan oleh akal).17
Plato membedakan antara keadilan moral dan keadilan hukum/keadilan prosedural karena menurut Plato keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya.18 Pendapat Plato tersebut merupakan suatu prinsip tentang keadilan moral (moral justive) yang dasarnya adalah keselarasan (harmony). Keadilan timbul karena pengaturan atau penyesuaian yang memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan dapat terwujud dalam masyarakat bilamana setiap anggota melakukan secara terbaik menurut kemampuannya fungsi yang selaras baginya.19
Di samping keadilan moral, Plato memperbincangkan pula keadilan prosedural. Menurut Plato kedua macam keadilan itu hendaknya tidak dicampur-adukkan. Keadilan hukum atau keadilan prosedural merupakan sarana untuk melaksanakan keadilan moral yang berkedudukan lebih tinggi daripada hukum positif dan adat kebiasaan.
17
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan (Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila), (Super Sukses: Yogyakarta, 1982), h. 21-22.
18
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan (Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila)., h. 22.
19
(38)
27
Aristoteles, filosuf Yunani kuno berpendapat keadilan adalah kealayakan dalam tindakan manusia (fairness in human action).20 Kelayakan merupakan titik tengah di antara kedua ujung ekstrim yang terlalu banyak dan yang terlalu sedikit. Kalau tidak sama, maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, tetapi distribusi tersebut berwujud dari suatu pertimbangan (proportion) agar merupakan keadilan, yakni yang disebut keadilan distributif.
Jadi teori keadilan dari Aristoteles berdasar pada prinsip persamaan (equality). Dalam versi yang modern, teori itu dirumuskan oleh filsuf Isaiah
Berlin dengan pernyataan yang berbunyi “justice is done when equals are treated equally and unequals unewually.” )Keadilan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tak sama secara tak sama).
Aristoteles juga menyatakan bahwa the analysis of justice as a specific virtue (keadilan sebagai keutamaan yang khusus atau khas). Menurutnya keadilan tersebut terdiri atas justice in distribution and justice in fectification (perbaikan,pemurnian dan peningkatan).21
Perbedaan pokok antara kedua teori keadilan itu ialah bahwa Plato menekankan harmoni atau keselarasan, sedang Aristoteles menitikberatkan pada proporsi atau perimbangan.
20
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan (Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila), h. 23.
21
Alan Ryan, Justice – Oxford Readings In Politic Government, (Oxford: Oxford University Press, 1993), h. 9.
(39)
Para filosof yang telah membahas keadilan pada abad pertengahan antara lain: Stoa, Agustinus dan Thomas Aquinas. Para ahli ilmu hukum Romawi mengikuti madzhab Stoa dari Yunani dengan membedakan dengan tegas hukum alamiah (jus naturale) dengan hukum manusiawi seperti misalnya hukum yang berlaku untuk semua orang (jus gentium) dan hukum sipil (jus civile). Keadilan alamiah (natural justice) dan dianggap lebih tinggi daripada hukum manusiawi. Hukum alamiah ditentukan oleh akal manusia yang dapat merenungkan sifat dasarna sebagai makhluk berakal dan bagaimana seharusnya kelakuannya yang patut di antara sesama manusia.22
Teori keadilan di abad pertengahan yang bercorak teologis pertama dikemukakan oleh Pendeta Agustinus (354-430) yang karya tulisnya berjudul Civitas Dei (Kerajaan Tuhan). Menurut Agustinus keadilan adalah asas ketertiban yang muncul dalam perdamaian, sedang perdamaian adalah ikatan yang semua orang menginginkan dalam kesukaan bergaul mereka.23
Thomas Aquinas membedakan antara keadilan Ilahi dan keadilan manusiawi. Thomas Aquinas dalam karya tulisannya yang berjudul Summa Theologica mendefinisikan hukum manusiawi (lex humana) sebagai suatu peraturan dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh seseorang yang memberikan perlindungan masyarakat, dan diundangkan.
22
Alan Ryan, Justice – Oxford Readings In Politic Government., h. 26. 23
(40)
29
Menurut Thomas Aquinas terdapat 4 unsur pokok yang sama pentingnya dari hukum, yakni rasionalitas, pertalian dengan kebaikan umumn pembuatan oleh pihak yang mewakili masyarakat, dan pengundangan.24 Sebuah peraturan yang lalim (tak sesuai dengan suara akal) menurut prinsip Thomas Aquinas bukanlah hukum.25 Hukum merupakan penerapan dari hukum alamiah (lex naturalis) , dan hukum alamiah itu dipersamakan dengan hukum ilahi (lex divina) karena merupakan suatu pengungkapan dari kehendak rasional Tuhan yang membimbing seluruh alam semesta.
Para filosof yang mengutarakan teori-teori keadilan di zaman modern antara lain adalah: Thomas Hobbes (1588-1679), Samuel Pufendorf (1632-1694), Jeremy Bentham (1748-1832), Immanuel Kant (1724-1804).
Prinsip keadilan Thomas Hobbes berdasarkan teori perjanjian sosial dimuat dalam karya tulisnya yang berjudul Leviathan. Menurut Thomas Hobbes ketidakadilan adalah tidak lain daripada ketiadaan pelaksanaan dari perjanjian dan untuk tercapainya perdamaian dan ketertiban dalam masyarakat, oang-orang harus menyerahkan kebanyakan hak-hak alamiahnya kepada suatu kekuatan yang berdaulat dalam negara.26
24
Alan Ryan, Justice – Oxford Readings In Politic Government, h. 28. 25
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan (Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila), h. 24.
26
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan (Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila), h. 28-29.
(41)
Teori keadilan liberalisme adalah teori yang menghendaki adanya pemerintahan yang demokratis yang diperlukan untuk menjamin kebebasan yang merupakan tujuan yang sewajarnya dari individu-individu dan kebebasan tersebut adalah hak setiap orang untuk hidup sebagaimana yang tampak baik baginya dengan menghormati hak yang sama yang ada pada orang lain. Hubungan keadilan dengan kebebasan bukanlah sebagai sarana dengan tujuan akan tetapi keadilan tersebut adalah ketertiban dari kebebasan dan merupakan realisasi dari kebebasan itu sendiri.
Menurut Samuel Pufendorf dalam karya tulisnya yang berjudul: De jure naturae et gentium cita keadilan bermaksud mengatur tindakan manusia dan masyarakat untuk menyusun dan memelihara suatu ketertiban rasional yang di dalamnya terwujud sifat dasar manusia dan tercapainya tujuan berupa keamanan, ketenangan dan kebebasan.27
Teori keadilan utilitarianisme adalah suatu aliran pemikiran berdasar kepada asas kemanfaatan yang berkembang di negara Inggris dengan tokoh-tokohnya Jeremy Bentham, James Mill, John Stuart Mill, dan Henry Sidgwick. Aliran ini mengemukakan teori moral yang berpegang kepada 2 ide pokok yaitu: 1) Apa yang benar adalah apa yang baik, dan hal yang baik adalah kesenangan
(pleasure), sedang kesakitan (pain) adalah hal yang buruk. Di antara berbagai tindakan yang mungkin dilakukan orang wajib memilih kemungkinan yang
27
The Liang Gie. Teori-teori Keadilan (Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila), h. 30-31.
(42)
31
akan memberikan kesenangan terbesar bagi orang yang jumlahnya terbanyak. Ungkapannya yang sangat terkenal ialah :the greatest good of the greatest
number” (kebaikan yang terbesar dari jumlah yang terbanyak).28
2) Para pengikut paham utilitarianisme tidak mempergunakan ide-ide seperti hukum alamiah dan suara akal dalam teori keadilan mereka. Prinsip keadilan dari aliran ini didasarkan pada kemanfaatan dan kepentingan manusia. Keadilan mempunyai ciri sebagai suatu kebijakan yang sepenuhnya ditentukan oleh kefaedahannya, yaitu kemampuannya menghasilkan kesenangan yang terbesar bagi jumlah yang terbanyak.
Teori keadilan yang timbul di era berikutnya adalah teori keadilan yang dikemukakan oleh H. L. A. Hart yang mengemukakan pemberian yang sama kepada semua orang akan perlindungan hukum terhadap diri dan milik, kini pada umumnya dianggap sebagai suatu persyaratan moralitas yang pokok dari perlindungan lembaga-lembaga politik.29 Pengingkaran dari perlindungan itu terhadap orang-orang yang tak bersalah dianggap sebagai suatu ketakadilan yang menyolok dan keadilan lazimnya dipikirkan sebagai pemeliharaan atau pemulihan suatu keseimbangan atau perimbangan, dan ajaran H. L., A Hart
28
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan (Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila), h. 32.
29
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan (Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila), h. 35.
(43)
sering dirumuskan dengan kalimat perlakukanlah peristiwa-peristiwa yang sama secara sama dan perlakukanlah peristiwa-peristiwa yang berbeda secara berbeda.
Teori keadilan yang digagas oleh John Rawls, bermaksud mengembangkan suatu tatacara yang akan menghasilkan asas-sasas keadilan.30 Persoalan keadilan timbul bilamana suatu masyarakat menilai lembaga-lembaga dan praktik-praktiknya dengan tujuan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan sah yang saling bersaingan dan tuntutan-tuntutan bertentangan yang diajukan oleh para anggota dari masyarakat itu. Untuk menyelesaikan pertentangan itu perlulah ditetapkan serangkaian tatacara yang adil (just procedurs) sehingga hasilnya juga adil. Hasil itu berupa asas-asas untuk pranata dan praktik-praktik yang adil.
Berdasarkan tata cara yang demikian itu John Rawls menyimpulkan bahwa 2 (dua) asas atas keadilan akan disetujui secara bulat oleh anggota-anggota masyarakat:31
1) Setiap orang hendaklah memiliki suatu hak yang sama atas sistem menyeluruh yang telruas mengenai kebebasan dasar (basic liberties).
2) Perbedaan sosial dan ekonomik hendaknya diatur sedemikian hingga:
30
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan (Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila), h. 38.
31
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan (Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila), h. 39.
(44)
33
a. Memberikan manfaat yang terbesar bagi mereka yang berkedudukan paling tidak menguntungkan.
b. Bertalian dengan jabatan dan kedudukan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak.
Kebebasan-kebebasan dasar menurut teori John Rawls meliputi: - Political liberty (Hak berpolitik)
- Freedom of speech and assembly (Hak untuk bebas berbicara dan berkumpul)
- Liberty of conscience (Hak untuk menganut agama) - Freedom of Thought (Kebebasan untuk berfikir)
- The Right to Hold (personal) property (hak memiliki harta benda pribadi) - Freedom from arbitrary arrest and seizure (kebebasan dari penahanan dan
penangkapan yang sewenang-wenang) B. Nafkah Iddah Menurut Fiqh
Secara etimologi kata “Nafkah” berasal dari bahasa Arab ف ا artinya yaitu biaya, belanja, pengeluaran uang.32 Bila seseorang dikatakan memberikan Nafaqah membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit berkurang karena telah dilenyapkan untuk kepentingan orang lain. Namun apabila kata Nafaqah ini dihubungkan dengan Perkawinan mengandung arti: “Sesuatu yang
32
Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 1449.
(45)
dikeluarkannya dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga menyebabkan
hartanya menjadi berkurang”.33
Yang dimaksud dengan nafkah istri yakni termasuk kewajiban suami terhadap istrinya memberi nafkah, maksudnya ialah menyediakan segala keperluan istri seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, mencarikan pembantu dan obat-obatan, apabila suaminya kaya.34 Dengan demikian nafkah istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam masa perkawinannya.35
Secara material nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, minuman, pakaian, rumah dan lain-lain.36 Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi, karena kata nafaqa itu sendiri berkonotasi materi. Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual istri tidak termasuk dalam artian nafakah, meskipun dilakukan suami terhadap istrinya.37
33
Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawwir Arab-Indonesia, h. 1500. 34
H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah, Terj. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 144.
35
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h. 165. 36
Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2001), h. 383. 37
Amir syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, h. 165.
(46)
35
Menurut Sayyid Sabiq tidak hanya hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan istri yang bersifat primer akan tetapi juga sekunder sekalipun sang istri dari keluarga yang mampu dan berkecukupan.38 Secara terminologi, Sayyid Sabiq menyebutkan nafkah merupakan hak istri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan, pakaian dan kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan, bahkan sekalipun seorang istri itu adalah wanita yang kaya.39
Menurut bahasa Arab kata “iddah” masdar dari kata kerja “ددع“ berarti
menghitung. Dalam hal ini, perempuan (istri) menghitung hari-hari masa bersihnya setelah terjadi perceraian.40 Dalam kamus almunawir iddah berasal dari kata al-„add yang bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung.41 Dalam Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, iddah berasal dari kata دع yang berarti menghitung.42 Dengan demikian jika ditinjau dari segi bahasa, maka
38
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, (Bandung: PT Al Maarif, 1980), h. 147. 39
Sayyid Sabiq, Fiqh as- Sunnah, (Beirut: Dar- al Fikr, 1983), h. 28. 40
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa Nur Hasanuddin, dkk, (Jakarta: Pena Pundi Akasara, 2006), h. 224.
41
Ahmad Warson, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, h. 904. 42
(47)
kata iddah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci pada wanita.43
Secara istilah iddah ialah satu tempo yang ditetapkan oleh syarak untuk menghilangkan kesan-kesan perkawinan yang lepas dengan sebab berlakunya perceraian semasa hidup atau perceraian mati.44 Terdapat beberapa ayat al-Quran dan banyak Hadith yang menjelaskan pensyariatan iddah. ulama sepakat mengatakan iddah adalah disyariatkan.45
Hukum menjalankan Iddah adalah wajib bagi Istri yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Penetapan kewajiban Iddah ini didasarkan atas ketentuan Al-Qur‟an sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
رأ يف ه خا ت ي أ ا حيا ء رق ثاث ا سف أب صابرتي ا ا ط ا
ا ك إ ا اح
رأ إ ك يف ا هدرب حأ ا ت عب رخأا ي ا هاب ا ي
ا ي ع ي ا ا ث ا
ا حاصإ ا دا
ي ح زيزع ه جرد ا ي ع اجر ف رع اب
(228)
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suaminya
43
Chuzaiman T. Yanggo dkk., Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 149.
44
Muhd Fauzi Muhammad, UU Keluarga Islam dalam Empat Mazhab ( Pembubaran Keluarga), h. 83.
45
Mustafa al-Khin. Kitab Fikah Mazhab Syafie UU Keluarga (Nikah, Talaq, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menetukan Keturunan, Anak Buangan), h. 909.
(48)
37
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan lebih daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. Al-Baqarah: 228).
Oleh karena itu, apabila terjadi Perceraian, seorang Istri tidak serta merta dapat langsung Menikah dengan orang lain, tetapi ia diwajibkan untuk menunggu sampai habisnya masa tersebut atau kalau wanita itu hamil masa tunggunya sampai ia melahirkan. Seorang wanita yang telah putus perkawinannya baik karena perceraian, Putusan Pengadilan, atau karena kematian suaminya, maka berlaku baginya masa Iddah, kecuali jika wanita tersebut belum pernah dicampuri Suaminya sampai putusnya Perkawinan, maka tidak wajib baginya Iddah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 49 yang berbunyi:
اااا ف ا ه اااس ت أ ااا ق ااا ا ه ااا ت ا ن ا اااث ااا
ذ تاااح ا إ َآ ااا اء ي اااا ذ اااا يأٓ ي
ااا
اي ج ا حارس ا ه حرس ا ه عت ف ا دتعت ادع ا ي ع
(49)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”.
(49)
Pemberian nafkah iddah dibedakan menurut macam-macam dari iddah yang diakibatkan perbedaan putusnya perkawinan tersebut. Hal tersebut akan diuraikan dalam uraian di bawah ini:
a) Talak Raj‟i
Wanita yang dithalak raj‟i berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal berdasarkan ijma' ulama. la masih sebagai istri. Dasar dari ijma‟ tersebut adalah QS Al-Baqarah ayat 228.
…
ك يف ا هدرب حأ ا ت عب
…
Artinya: " ...dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,.. (QS.A1-Baqarah, 228).
Dari potongan ayat Al-Qur'an di atas diketahui bahwa suami yang mentalak istrinya (talak raj'i) masih memiliki hak ruju' kepada istrinya selama dalam masa menanti (iddah), dan istrinya (yang dithalak) tersebut masih dianggap sebagai istrinya selama dalam iddah. Sehingga ketentuan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 233 masih berlaku bagi suami tersebut.
…
ع
د
ا
ه
ا ق ر
ا ت سك
ف رع اب
ۚۚ
ا
فا ت
سف
ااإ
ا عس
…
Artinya: …dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya... (Qs. Al-Baqarah [2]: 233)
(50)
39
Potongan ayat ini menyatakan bahwa suami berkewajiban untuk memberi nafkah kepada istri baik dari segi makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Ketentuan ayat Ini berlaku kepada suami yang menthalak istrinya (raj'i) karena istri tersebut masih dianggap sebagai istrinya meskipun sudah tidak penuh Iagi. b) Thalak untuk Wanita Hamil
Jika dia tengah berada dalam kondisi hamil, maka diwajibkan untuknya nafkah dengan berbagai jenisnya yang berbeda menurut kesepakatan para fuqaha.46 Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT, dalam QS. At-Thalaq [65] ayat 6:
ا ه سأ
ثيح
ت س
كدج
ا
ا ه راضت
ا يضت
ا ي ع
ۚۚ
إ
ا ك
ا أ
ح
ا ف أف
ا ي ع
اتح
عضي
ا ح
…
Artinya "Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,-.. (Qs. At-Thalaq[65]: 6)
Dari ayat di atas jelaslah bahwa Allah mengisyaratkan kepada suamisuami yang menceraikan istri mereka untuk memberikan tempat tinggal,
46
Wahbah Zuhayli, al-Fiqhu al-lslami Wa Adillatuhu juz 9, Damasyqi: Darul Fikri al—Ma;ashi2004), h. 7203.
(51)
nafkah untuk memudahkan kehidupan istrinya. terlebih ketika istri tersebut sedang hamil.
Asyhab mengutip dari Imam Malik: "suami harus keluar dari istri yang telah diceraikannya, jika dia memang sudah menceraikannya, dan dia pun harus meninggalkan istri yang diceraikannya itu dalam rumah. Hal ini berdasarkan Kalam Allah SWT, Tempatkanlah mereka. Jika sang suami masih berada bersama istri yang telah diceraikannya, maka Allah tidak akan berfirman Tempatkanlah mereka.47
Ayat ini juga menjadi dasar hokum bagi para ulama untuk menetapkan bahwa suami yang menceraikan istrinya ketika hamil maka wajib menafkahi hingga melahirkan.48
c) Thalaq Ba‟in untuk Wanita Tidak Hamil
Adapun wanita yang iddah talak bain dan tidak hamil, maka ulama berbeda pendapat menyangkut nafkahnya.49
Menurut pendapat dari Mazhab Hanafi dijelaskan bahwa, Jika dia tidak tengah hamil, maka diwajibkan untuknya nafkah juga dengan berbagai jenisnya
47
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami‟ al-Ahkam al-Quran, juz 18, jilid 9, (Beirut:1995), h. 155.
48
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami‟ al-Ahkam al-Quran, juz 18, jilid 9, h. 168.
49
Zubair Ahmad. Relasi Suami Istri dalam Islam. editor Sri Mulyani, (Jakarta: pusat studi Wanita UIN syarif Hidayatullah. 2004).73.
(52)
41
akibat tertahannya dia pada masa iddah demi hak suami.50 Nafkah ini dianggap sebagai hutang dan terhitung sejak talak dijatuhkan. Kewajiban untuk memberi nafkah istri tidak hilang hanya dengan keridhaan istrinya atau karena keputusan pengadilan.51 Hukum wanita ber- iddah akibat fasakh-nya akad, menurut Hanafi, sama dengan wanita yang di talak ba 'in.52
Menurut Mazhab Hanbali tidak diwajibkan nafkah untuknya. dan tidak juga tempat tinggal karena Fatimah binti qais ditalak oleh suaminya dengan talak tiga, maka Rasulullah SAW tidak menetapkan untuknya nafkah dan tempat tinggal.53
Selanjutnya pendapat dari Mazhab Maliki dan Syafi'l menurutnya hanya diwajibkan untuknya tempat tinggal saja, 19 berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. At-Thalaq [65] ayat 6:
ا ه سأ
ثيح
ت س
كدج
ا
ا ه راضت
ا يضت
ا ي ع
ۚۚ
إ
ا ك
ا أ
ح
ا ف أف
ا ي ع
اتح
عضي
ح
ا
…
Artinya: "Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq)
50
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-lslumi Wa Adillatuhu juz 9. h. 7203. 51
Sayyid Sabiq, FIKIH SUNNAH jilid 2, h. 287. 52
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah „Ala al-Madzahib al-Khamsah Ja‟fari-Hanafi-Maliki-Syafii-Hanbali, (Beirut: Darul Ilmu, 1964), h. 101.
53
(53)
itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,.
Dia diwajibkan untuk si istri tempat tinggal saja tanpa memedulikan apakah si istri dalam keadaan hamil ataupun tidak. Tidak diwajibkan untuknya nafkah makanan dan pakaian berdasarkan pemahaman firman Allah SWT, "jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah nq/kahnya kepada mereka hingga mereka bersalin". Pemahaman ayat ini menunjukkan bagi ketidakwajiban pernberian nafkah bagi istri yang tidak hamilnya.54
d) Istri yang Ber'iddah karena Kematian Suami
Mengenai hak nafkah iddah mantan istri dalam keadaan 'iddah akibat suaminya meninggal dunia menurut sebagian ulama tidak mempunyai hak nafkah maupun ternpat tinggal, mengingat bahwa harta peninggalan suaminya kini telah menjadi hak ahli waris, termasuk ia dan anak-anaknya.55
Akan tetapi, Mazhab Maliki mewajibkan tempat tinggal untuknya selama masa iddah, jika tempat tinggal tersebut dimiliki oleh si suami. Atau rumah sewaan, dan dia telah bayar sewanya sebelum datang kematian. Jika tidak seperti itu, maka si suami tidak diwajibkan untuk membayar sewanya.56
54
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-lslumi Wa Adillatuhu juz 9. h. 7203. 55
Muhammad baqir Al-Habsy, Fikih Praktis Menurut Al-Qur dan Hadits. (Bandung: Mizan, 2002), h. 221-222.
56
(54)
43
Selanjutnya Syafi'i mengatakan bahwa, apabila seorang wanita ditalak ba'in, sedang dia dalam keadaan harnil, kemudian suaminya meninggal dunia (ketika si istri masih dalam 'iddah), maka natkah atas istri tidak terputus.57 Hanafi mengatakan: Apabila wanita yang ber- 'iddah tersebut dalam keadaan talak raj'l dan suami yang meneeraikannya itu meninggal dunia ketika dia menjalani 'iddahnya, maka Siddah-nya beralih ke 'iddah wafat, dan kewajiban atas nafkah menjadi terputus, kecuali bila si wanita itu diminta untuk menjadikan natkahnya sebagai hutang (atas suaminya) yang betul-betul dilaksanakannya. Dalarn kondisi serupa ini natkahnya tidak gugur.58
e) Istri yang Ber'iddah Akibat Perkawinan yang Syubhat
Dalam hal jika dia tengah menjalani masa iddah akibat perkawinan yang rusak atau yang mengandung syubhat, maka tidak ada natkah untuknya menurut jumhur fuqaha. Karena tidak ada natkah untuknya dalam perkawinan yang rusak. oleh karena itu tidak ada nafkah untuknya di tengah masa iddah dari si suami.
Mazhab Maliki mewajibkan kepada orang yang menyetujui untuk memenuhi si istri jika dia tengah berada dalam kondisi hamil karena dia tertahan karena sebab si suami. Jika dia tidak dalam keadaan hamil, atau pernikahnnya di
57
Muhammad Jawad Mughniyah. al-Ahwal as-Syakhshiyyah 'Ala al-Mazahib alKhamsah Ja 'fari-Hanafi-Maliki-Sya'i 1-Hanbali. h. 100-101.
58
Muhammad Jawad Mughniyah. al-Ahwal as-Syakhshiyyah 'Ala al-Mazahib alKhamsah Ja 'fari-Hanafi-Maliki-Sya'i 1-Hanbali. h. 101.
(55)
fasakh dengan li'an, maka hanya diwajibkan untuknya tempat tinggal saja di tempat dia tinggal.59
59
(56)
43
BAB III
SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA INDONESIA, TURKI, ARAB SAUDI, DAN MESIR
A. Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam dibarengi dengan upaya pemerintah di negara tertentu untuk mengatur dan menertibkan aturan-aturan terkait dengan masalah keluarga. Tren pembaharuan ini diawali di Turki dengan dibuatnya qanun yang sesuai dengan spirit pembaharuan hukum di Turki. Upaya ini kemudian diikuti beberapa negara muslim lainnya seperti Tunisia, Maroko dan Mesir. Di Asia Tenggara upaya ini diawali pemerintah Malaysia dan kemudian Indonesia.1
Menurut Khairudin Nasution, dibandingkan dengan negara muslim lainnya, Indonesia termasuk negara yang terlambat dalam memberlakukan pembaharuan hukum keluarga. Hal ini terjadi karena Indonesia sendiri baru membuat aturan hukum keluarga secara rinci dan unifikasi pada tahun 1974, yakni ketika diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.2
Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974, maka ketentuan perkawinan yang diatur di Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum
1
Euis Nurlaelawati, 2010, Modernization,Ttradition, and Identity, Jakarta, the Netherlands Amsterdam University Press, h.13-14
2
Khoirudiin Nasuttion, Status Wanita di Asia Tenggara:studi terhadap perundang-undangan perkawinan mslim kontemporer di Indonesia dan Malaysia. ( jakarta: INIS,2002) h.88-1000
(57)
Perdata) tidak berlaku lagi. Hal ini berarti Undang-undanng Perkawinan akan menjadi sumber pokok bagi peraturan hukum perkawinan, perceraian, dan rujuk yang berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia.3
Untuk melaksanakan Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif, maka masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanya, antara lain yang menyangkut tantang masalah-masalah:
1. Pencatatan Perkawinan
2. Tata cara pelaksanaan perkawinan 3. Tata cara perceraian
4. Cara mengajukan gugatan perceraian
5. Tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan 6. Pembatalan perkawinan
7. Ketentuan dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.4
Sebagai tindak lanjutnya pada tanggal 1 april 1975 oleh pemerintah di tetapkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksana Undang-undang No. 1 tahun 1974. Dalam peraturan pemerintah ini, dimuat tentang masalah-masalah
3
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) H.242
4
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, H.251
(58)
45
yang dikemukakan di atas, yang diharapkan akan dapat memperlancar pelaksanaan Undang-undang No.1 tahun 1974.5
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 berlaku untuk semua warga negara di Indonesia, tak pelak menimbulkan persepsi yang berbeda terutama di kalangan hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan suatu perkara, karena setiap putusan hakim mengandung ijtihad. Jika ada yang tidak sependapat dengan hasil ijtihad tersebut, maka ijtihad hakim tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad lain. Akibatnya akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga lembaga peradilan agama dan semakin mempertajam perbedaan tentang masalah-masalah hukum islam.6
Karena belum ada kompilasi di Indonesia, dalam praktik sering dijumpai adanya keputusan pengadilan agama yang tidak seragam padahal kasusnya sama. Masalah fiqih yang semestinya membawa rahmat malah menjadi perepecahan. Hal itu disebabkan karena umat islam salah paham dalam mendudukan fikih, selain belum adanya Kompilasi Hukum Islam.
Akhirnya pada tanggal 10 juni 1991 dibuatlah Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan dalam bentuk instruksi Presiden. Instruksi ini ditujukan sebagai sumber hukum baru bagi hakim Pengadilan Agama dalama membuat putusan dan KHI ini berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia. Instruksi itu diperintahkan dan
5
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, H. 252
6
Rahmat Djatnika, Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Abdurahman Wahid, Iet. Al, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990) H.254
(59)
dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama nomor 154 tanggal 22 juli 1991. Yang bertujuan untuk meunifikasi Hukum Islam yang masih berserakan dalam berbagai kitab fiqih klasik, dan sebagai peraturan khusus yang menjelaskan secara rinci bagaimana hukum perkawinan, wakaf, warisan di Indonesia.7
Hak asuh anak merupakan bagian dari sebuah institusi perkawinan dan salah satu kompetensi absolut dari Pengadilan Agama berdasarkan undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama adalah hak asuh anak (hadhanah), regulasi mengenai hak asuh anak di Indonesia diatur dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 dan direvisi kembali pada undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
B. Hukum Keluarga di Turki
Penerapan hukum Islam dalam terma kenegaraan secara serius dan sistematis dimulai pada masa Umar bin Abdul Aziz. Negara pada saat itu merupakan lembaga eksekutif yang menerapkan hukum Islam sebagaimana dirumuskan oleh otoritas hukum setempat di masing-masing daerah. Kumpulan hukum (fiqh) yang mengatur hal-hal pokok dilaksanakan seragam. Namun berkaitan dengan hal-hal detail banyak terjadi perbdedaan karena praktek-praktek setempat dan variasi yang berbeda dari hasil ijtihad para ulama.8
7
Zarkowi Soedjati, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (cet, ke 1: Surabaya: Arkola, 1997), h. 16-17
8
Fazlur Rahman, (Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad), cet IV (Bandung: Pustaka, 2000), hal. 108.
(60)
47
Legislasi hukum-hukum baru untuk melengkapi hukum yang telah ada dalam skala besar telah dilakukan oleh penguasa-penguasa Turki Usmani pada abad ke-10 H/16M yang menghasilkan Qanun (Canon). Qanun adalah produk kesultanan dan bukan produk kekhalifahan.9 Pembaruan hukum Islam dalam format perundang-undnagan hukum keluarga dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya The Ottoman Law of Family Rights (Undang-Undang tentang Hak Keluarga) oleh pemerintah Turki.10
Pembaruan hukum keluarga di Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di negara-negara lain. Hukum keluarga mempunyai posisi yang penting dalam Islam.
Hukum tentang hak-hak keluarga (The Ottoman Law of Family/ Qanun al-Huquq al-Aila) yang disusun sejak 1915 kemudian diundangkan pada tahun 1917 dan itu adalah hukum keluarga yang pertama diundangkan dalm Islam. Hukum tentang hak-hak keluarga pada 1917 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Turki Utsmani mengatur tentang hukum perorangan dan hukum keluarga (tidak termasuk waris, wasiat dan hibah).
9
Fazlur Rahman, hal. 109. 10
J.N.D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa Machnun Husein (Surabaya: Amar Press, 1990), hal. 27 Lihat pula Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Moslem World, (Bombay: N.M. TRIPTAHU PVT. LTD, 1972), hal. 17.
(61)
Beberapa tahun setelah pencabutan Hukum tentang Hak-Hak Keluarga tahun 1917, situasi politik di Turki memebrikan sedikit peluang untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca Konferensi Perdamaian Laussane tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi hukum untuk mempersiapkan hukum perdata yang baru. Komisi tersebut berusaha menempatkan Hukum tentang Hak-Hak Keluarga Tahun 1917, Majallah al-Ahkam al-Adhiya tahun 1876 dan hukum adat yag tak tertulis untuk masuk ke dalam hukum yang baru yang bersifat menyeluruh. Namun perbedaan pendapat yang tajam di kalangan modernis dan tradisional seperti pengambilan materi dari madzhab yang berbeda dalam hukum Islam, yang bersumber dari hukum adat dan hukum luar menjadikan komisi tersebut kacau dan dibubarkan.
Guna mengisi kekosongan hukum pasca pemburbaran tersebut, Pemerintah Turki mengadopsi Hukum Perdata Swiss tahun 1912 (The Civil Code of Switzerland, 1912) dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam Hukum Perdata Turki tahun 1926 (The Turkish Civil Code of 1926). Dalam beberapa hal ketentuan di dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat berbeda bahkan menyimpang dalam hukum Islam tradisional. Seperti ketentuan waris dan wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss. 18 materi yang menonjol dalam hukum perdata Turki 1926 adalah ketentuan-ketentuan tentang pertunangan, batas usia minimal untuk menikah, larangan menikah, poligami, pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, dan lain-lain.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Code Civil) Turki merupakan hukum perdata Swiss yang diadopsi pada tahun 1926. Turki baru, yang sekuler
(1)
Latif, Muhammad Arasy. 2012, Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Jakarta: PPHIMM.
Mahkamah Agung RI, Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan, beserta konsiderannya.
Mahmood, Tahir. 1987. Personal Law In Islam. (New Delhi)
Mudzhar, M Atho dan Khoirudin Naustion. 2003. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. (Jakarta: Ciputat Press)
Mudzhar, M Atho. 2001. Membaca Gelombang Ijtihad. (Jakarta: Ciputat Press)
Nasution, Kroiruddin. 2002. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim di Indonesia dan Malaysia. (Jakarta: INIS)
Posite, John L. 2001. Ensiklopedia Oxford Dunia Islam. (Bandung: Mizan)
Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Rahman, Fatchur. 1981. Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif)
Rofiq, Ahmad. 2013. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Ryan, Alan. 1993. Justice – Oxford Readings In Politic Government. Oxford: Oxford University Press.
Qal’ah, Muhammad Rawas. 1989. Mausu’ah Fiqh Umar Ibn al-Khattab. (Beirut: Dar al-Nafais)
Sabiq, Sayid. 1966. Fiqh al-Sunnah. (Kairo: Maktabah al-Adab)
Sopyan, Yayan. 2010. Pengantar Metode Penelitian. (Jakarta)
Sunarto. 2014. Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata. Jakarta: Kencana.
Syahrani, Riduan. 1991. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Jakarta: Pustaka Kartim.
The Liang Gie. 1982. Teori-teori Keadilan (Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila). Yogyakarta: Super Sukses.
(2)
Yoganingrum, Ambar. 2009. Merajut Makna “Penelitian Kualitatif Bidang Perpustakaan dan Informasi”. (Jakarta: Penerbit Cita Karyakarsa Mandiri) Zuhriah, Nurul. 2010. Metedologi penelitian Sosial dan Pendidikan :Teori-
(3)
The Turkish Civil Code
V. Boşanmada tazminat ve nafaka 1. Maddî ve manevî tazminat Madde
174- Mevcut veya beklenen menfaatleri boŞanma yüzünden zedelenen kusursuz veya daha az kusurlu taraf, kusurlu taraftan uygun bir maddî tazminat isteyebilir. BoŞanmaya sebep olan olaylar yüzünden kiŞilik hakkı saldırıya uğrayan taraf, kusurlu olan diğer taraftan manevî tazminat olarak uygun miktarda bir para ödenmesini isteyebilir.
. Yoksulluk nafakası Madde
175- BoŞanma yüzünden yoksulluğa düŞecek taraf, kusuru daha ağır olmamak koŞuluyla geçimi için diğer taraftan malî gücü oranında süresiz olarak nafaka isteyebilir. Nafaka yükümlüsünün kusuru aranmaz.
. Tazminat ve nafakanın ödenme biçimi Madde
176-Maddî tazminat ve yoksulluk nafakasının toptan veya durumun gereklerine göre irat biçiminde ödenmesine karar verilebilir. Manevî tazminatın irat biçiminde ödenmesine karar verilemez. irat biçiminde ödenmesine karar verilen maddî tazminat veya nafaka, alacaklı tarafın yeniden evlenmesi ya da taraflardan birinin ölümü hâlinde kendiliğinden kalkar; alacaklı tarafın evlenme olmaksızın fiilen evliymiŞ gibi yaŞaması, yoksulluğunun ortadan kalkması ya da haysiyetsiz hayat sürmesi hâlinde mahkeme kararıyla kaldırılır. Tarafların malî durumlarının değiŞmesi veya hakkaniyetin gerektirdiği hâllerde iradın artırılması veya azaltılmasına karar verilebilir. Hâkim, istem hâlinde, irat biçiminde ödenmesine karar verilen maddî tazminat veya nafakanın gelecek yıllarda tarafların sosyal ve ekonomik durumlarına göre ne miktarda ödeneceğini karara bağlayabilir.
4. Yetki Madde
177- BoŞanmadan sonra açılacak nafaka davalarında, nafaka alacaklısının yerleŞim yeri mahkemesi yetkilidir.
(4)
178- Evliliğin boŞanma sebebiyle sona ermesinden doğan dava hakları, boŞanma hükmünün kesinleŞmesinin üzerinden bir yıl geçmekle zamanaŞımına uğrar. VI. Mal rejiminin tasfiyesi
. Boşanma hâlinde Madde
179- Mal rejiminin tasfiyesinde eŞlerin bağlı olduğu rejime iliŞkin hükümler uygulanır.
. Ayrılık hâlinde Madde
180- Ayrılığa karar verilirse mahkeme, ayrılığın süresine ve eŞlerin durumlarına göre aralarında sözleŞmeyle kabul edilmiŞ olan mal rejiminin kaldırılmasına karar verebilir.
(5)
Qanun Tandzim Ba’dh Auda’ Wa Ijra’aat al-Taqaadiy Fii Masaail Ahwal al-Syakhshiyyah
ا ف ا ي اعد يف رداص ا يءا ا ح ا يف ت ع هي ع ح ا ع ت ا ا ا"
ردصا يت ا ح ا ي ا ر اا عفري ا ه ح اج ا ح يف ا ر جاا
اي ا ي ع رداق هي ع ح ا ا ا يد ث .ا ترءادب يف ت ا يرجي يت ا ا ح ا
اب ر ا هب ح ا ءاداب
يثاث ي ع ديزت ا د هس حب
ح ث تب ءادا
.ا ي
هح اص رد اص ا ه ي ايفك رضحا ا هب ح ا هي ع ح ا يدا ا اف
رط اب يف ت ا يف ه ح ا حب اخا د ه ك ك ا . ه ي س ي ي اف . كاح ا
. يداع ا
دا ا ه ا يف طت يت ا ا حاا يف جي ا
اءارجاا يف ريس ا
ف تسا دق ه ح ا ي ا اب ع ا اق )( دا ا يف ا ي ع
ص ا
.ي اا ر ف ا يف ا ي ا رااش ا اءارجاا
ب سب هي ع
ح ث ؟ دا ا ه ح ا ف
ش ي ع ي د ا اركااب ف ا ا
)( دا ا تن ي ح ا هتب عب هتا عقا ا
اركاا د رتتسا . اب ع ا اق
(6)