Sejarah Hukum Keluarga Islam di Mesir

proses perceraian berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan dengan pertunagnan, pasca perceraian dan adopsi. Proses amandemen dilakukan oleh legislatif tersebut berakhir tahun 1992. Materi amandemen tahun 1990 yang berkaitan dengan perceraian antara lain: a. Salah satu pihak mengajukan cerai atas dasar ketidakcocokan tabiat yang berakibat pada rumah tangga yang tidak bahagia. b. Pihak yang tidak bersalah dan menderita berhak mengajukan cerai dan meminta ganti rugi yang layak dari pihak lain. c. Pihak yang tidak bersalah dan menjadi miskin berhak mengajukan cerai dan meminta nafkah dari pihak lain selama setahun. 14

C. Sejarah Hukum Keluarga Islam di Mesir

Al-Ahwâl ash-Syakhshiyyah biasa disalin ke bahasa Ingg ris dengan “personal statue” status personelshukum privat privaatrecht. 15 Ahwâl, kata jamak dari hâl, berar ti “keadaan” atau “hal-hal” dan syakhshiyyah berarti “pribadi”; jadi al-Ahwâl ash-Syakhshiyyah adalah hal-hal yang berhubungan dengan pribadi. Hal hal pribadi yang dimaksud adalah “masalah-masalah di mana pribadi menjadi topiknya” atau “undang-undang yang mengendalikan masalah-masalah pribadi”. 14 Mehmet Savas, h. 82. 15 Privaatrecht” adalah “hukum perdata; hukum perdata meliputi hukum perdata dalam arti sempit, dan hukum dagang.” Martias gelar Imam Radjo Mulano, Pembahasan Hukum Medan: Perusahaan Daerah Sumatera Utara, 1969., h. 217. Kedua jenis hukum pribadi dan publik dulunya merupakan satu bagian yang tak terpisah dengan nama Syariat Islam. Kemudian setelah kedatangan penjajah Barat, 16 berangsur-angsur yang tertinggal dari Syariat Islam adalah hukum privat yang dikenal dengan nama al-Ahwâl ash-Syakhshiyyah. setelah UUD Mesir Tahun 1971, kedua jenis hukum ini diusahakan kembali berada di bawah syariat Islam dalam versi baru mengikuti perkembangan hukum modern. Mengacu kepada kebijakan di atas, maka perundang-undangan yang berlaku di Mesir, khususnya setelah UUD 1971, pada umumnya berasal dari Syariat Islam yang bersumber dari al- Qur‟ân dan al-Hadits serta fiqh para fuqaha‟. Sementara itu permasalahan baru yang tidak disinggung oleh undang-undang diambilkan dari pendapat yang terkuat dalam mazhab Imam Abu Hanifah. 17 Hukum Keluarga Mesir terdiri dari: 18 1. Wilâyah „ala an-Nafs kekuasaan atas jiwa 2. Wilâyah „ala al-Mâl kekuasaan atas harta 3. Qânun al-Washâya Undang-Undang Wasiat 4. Qânun al-Mawârits Undang-Undang Waris 5. Qânun al-Waqf Undang-Undang Wakaf 16 Shûfi Abû Thâlib, Tathbi asy-Sya ri’ah al-Islâmiyyah fi al-Bilâd al-„Arabiyyah Cairo: Dâr an-Nahdhah al- „Arabiyyah, 14212001, ath-thab‟ah ar-râbi‟ah., h 3. 17 Rifyal Ka‟bah, Peradilan Islam Kontemporer, Jakarta: Universitas Yarsi, 2009, h. 53. 18 Rifyal Ka‟bah, Peradilan Islam Kontemporer , h. 54. Setiap bagian memilki hukum materiil dan hukum acara tersendiri. Hukum materil wilâyah „ala an-Nafs diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 dan 25 tahun 1929. Sedangkan hukum acaranya diatur oleh undang-undang Nomor 1 Tahun 2000. Hukum materiil wilâyah „ala al-Mâl diatur berdasaran Undang-Undang Nomor 119 Tahun 1952, dan hukum acaranya berdasaran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000. 1. Wilâyah „ala an-Nafs Wilâyah „ala al-Nafs perwalian atas diri dapat dibagi menjadi: a. Pertunangan al-Khithbah; b. Perkawinan al-Zawâj ; c. Talak ath-Thalâq; d. Nafkah an-Nafaqah; e. Pengasuhanpemeliharaan al-Hadhânah. f. Perwalian al- Wilâyah dan lain-lain. 19 Perbedaan antara wilâayah „ala al-nafs dan wilayah „ala al-mâl dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama: Wilâyah „ala al-nafs diterapan hukum agama. Dengan kata lain, untuk muslim berlaku hukum Islam dan untuk non-muslim berlaku hukum agamanya masing- masing. Sedangan wilayah „ala al-mâl diterapkan untuk seluruh warga negara Mesir tanpa memandang agamanya. Kedua: Wilâyah „ala al-nafs berakhir apabila anak telah mencapai usia 16 tahun untuk anak laki-laki, dan 18 tahun untuk anak perempuan. Sedangkan wilâyah „ala al-mâl apabila seseorang telah mencapai usia 21 tahun. 2. Pertunangan al-hithbah 19 Rifyal Ka‟bah, Peradilan Islam Kontemporer ., h. 56. Khitbah merupakan pembuka perkawinan guna memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untu saling kenal mengenal agar perkawinan tersebut menjadi kekal. Permasalahan mendasar dalam khitbah adalah mundurnya salah satu pihak. 20 Undang-undang Mesir tida mengatur hal tersebut arena pertunangan tidak mengikat para pihak, kecuali jika perempuan tersebut merasa dirugikan, baik moril maupun materil misalnya seorang perempuan menghentikan pekerjaannya atas permintaan tunangannya, kemudian pertunangannya diputuskan secara sepihak. Dalam hal ini perempuan tersebut dapat mengajuan tuntutan kompensasi. Tata cara pembuktian kerugian moril maupun materiil dilakukan dengan hukum acara biasa. 3. Perkawinan al-Zawâj Suatu perkawinan menghasilkan keturunan yang disebut dengan nasab. Nasab ditetapkan dengan dalil-dalil al- Qur‟an, yakni melalui suatu perkawinan yang sah firâsyi telah satu tempat tidur. Selama ada hubungan suami isteri, nasab diitsbatkan dibuktikan kepada suami-isteri, akan tetapi nasab tidak dapat diitsbatkan karena perzinahan. Cara lain untuk menentukan nasab adalah berdasarkan pengakuan iqrâr. Pengakuan tersebut dapat secara terang-terangan maupun melalui isyarat, misalnya mengucapan selamat atas kelahiran atau memberi peralatan kepada bayi yang baru lahir. Nasab bayyinah ditetapkan dengan dua orang saksi laki-laki atau satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan atau melalui pemeriksaan secara medis melalui sperma atau golongan darah. 20 Rifyal Ka‟bah, Peradilan Islam Kontemporer , h. 57. Masalah yang sering timbul adalah perkawinan di bawah umur dengan segala implikasinya, antara lain, sosial, nafkah, pendidikan dan lain-lain. Untuk itu perundang-undangan Mesir melarang pencatat perkawinan melangsungkan perkawinan perempuan di bawah umur 16 tahu dan laki-laki di bawah umur 18 tahun. Patokan umur dapat dilihat dari kartu tanda penduduk, akta kelahiran dan keterangan dokter yang resmi. Apabila perkawinan seperti ini tetap dilangsungkan, maka ia tetap sah sepanjang memenuhi Syariat Islam, akan tetapi perundang- undangan Mesir tidak memberikan perlindungan hukum, dan terhadap perkawinan tersebut hilang haknya untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Masalah lain yang juga sering timbul adalah perkawinan wanita Mesir dengan laki-laki non Mesir orang asing. Perkawinan semacam ini sering menimbulkan dampak sosial, seperti laki-laki tersebut telah mempunyai isteri dan anak di negara asalnya, atau ia tida mempunyai penghasilan yang tetap. Dalam menghadapi masalah ini perundang-undangan Mesir menetapkan syarat-syarat. Di antara syarat-syaratnya, calon suami harus mendapat izin dari negara asalnya, berdasarkan bukti dari kedutaan negara yang bersangkutan. Disyaratkan juga bahwa perbedaan umur tidak boleh melebihi 25 tahun. Yang bersangkutan memiliki surat keterangan tentang status sosial dan daftar kekayaan minimal L.E.25.000 dua puluh lima ribu pound Mesir. Perkawinan tersebut harus dicatat dengan akta notaris. Bila persyaratan tidak terpenuhi, maka substansi perkawinannya sama dengan perkawinan di bawah umur, meskipun perkawinannya sah, akan tetapi haknya untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan menjadi gugur. 21 4. Pengangkatan anak AdopsiTabanni Perundang-undangan mesir tidak mengenal masalah adopsi, sebab mengadopsi anak diharamkan dalam hukum Islam. Hal ini berdasarkan kisah Zayd bin Haritsah yang diangkat anak oleh Rasulullah s.a.w kemudian turunlah ayat yang melarang pengangkatan anak. Meskipun perundang-undangan Mesir melarang pengangkatan anak, akan tetapi non-muslim dibolehkan untuk mengadopsi anak, namun jika adopsi itu diajukan ke pengadilan, maka pengadilan akan membatalkannya. 5. Perceraian ath-Thalâk Ada dua istilah yang harus dibedakan, yaitu at-thalâk dan at-taklik. At-thalâk ialah talak yang dijatuhkan oleh suami secara sepihak, sedangkan at-takik terjadi atas putusan hakim berdasarkan permintaan isteri. Alasan-alasan untuk mengajukan at-taklik: Pertama: Buruknya perlakuan atau tindakan suami terhadap isteri dharâr yang menimbulkan mudharat. Menurut Imam Malik dharâr itu harus dibuktikan dengan dua orang saksi yang melihat langsung peristiwa itu. Karena kesaksian dua orang untuk sengketa rumah tangga sulit untuk diadakan, maka perundang-undangan Mesir membolehkan kesaksian seorang saksi, dengan catatan saksi tersebut dapat memberi keyakinan kepada hakim tentang adanya 21 Rifyal Ka‟bah, Peradilan Islam Kontemporer ., h. 60. dharâr tersebut. Kedua: Suami ghaib tidak berada di tempat karena alasan-alasan yang tidak sah. Apabila suami ghaib karena alasan-alasan yang sah seperti berdagang, maka isteri tidak bisa mengajukan taklik dengan alasan tersebut, meskipun ia tidak ridha. Talak dapat diajukan oleh pihak suami maupun isteri karena sebab atau alasan-alasan tertentu akan tetapi apabila perceraian diajukan oleh suami tanpa alasan atau sebab tertentu, maka bekas suami diwajibkan membayar nafkah selama 2 dua tahun sebagai mut ‟ah kepada isterinya. Undang-undang membolehkan perceraian dengan alasan-alasan ath-thalâk li adh-dharâr , yaitu adanya penganiayaan, pemukulan dan sejenisnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1920, isteri dapat mengajukan gugatan talak karena suami melakukan dharar sehingga rumah tangga tidak dapat dipertahankan keutuhannya. Ukuran dharar sangat relatif oleh karenanya hakimlah yang menentukan bahwa telah terjadi perbuatan dharar, dengan melihat latar belakang kehidupan suami isteri, intelektualitas dan budaya masyarakat sekitarnya. Contoh kasus perceraian antara puteri almarhum Presiden Anwar Sadat yang terjadi sekitar tahun 1970. Alasan mengajukan gugatan perceraian, karena puteri Anwar Sadat tersebut dicaci maki oleh suaminya di depan umum. Pengadilan mengabulkan perceraian tersebut, dengan pertimbangan bahwa suami isteri tersebut orang terpandang dan berpendidikan tinggi sehingga peristiwa tersebut sudah dianggap menyakiti dharar terhadap isteri. Terdapat beberapa jenis talak. At- thalâk li „adami al-infâq, yaitu isteri tidak diberi haknya, misalnya nafkah dan ditinggal dalam jangka waktu yang lama. At- thalak li al-ghuyub yaitu karena suami pergi atau meninggalkan isteri tanpa diketahui alamat dan tidak ada kabar berita tentang ghaibnya itu selama 1 satu tahun. At- thalâk li al-habs , yaitu karena salah satu pihak dipenjara, At-thalâk li al-uyub, karena penyakit. Penyakit yang dimaksud adalah penyakit menular yang dapat membahayakan pasangan hidupnya. Perceraian karena suami melakukan poligami at- ta’addud, dengan syarat. Pertama, perkawinan kedua tersebut dapat merugikan isteri pertama. Artinya, apabila perkawinan tersebut tidak menimbulkan kerugian, maka alasan isteri mengajukan cerai tidak dapat diterima. Kedua, poligami tersebut diketahui selama 1 satu tahun. Apabila lewat dari satu tahun, maka isteri tidak dapat mengajukan cerai karena alasan poligami. At-thalâk li az-zhihar . Pada dasarnya zhihar adalah perilaku jahiliyah, seperti perkataan “Anti ka zhahri ummi”. Akan tetapi kasus ini hampir tidak pernah diajukan ke pengadilan. At-thalâk bi al- li’an. Cerai dengan alasan zina ini juga jarang diajukan ke Pengadilan karena menemukan kesulitan dalam pembuktian. At-thalâk li ar-riddah wa li ad-diyânah . Apabila suami murtad, maka dapat diajukan langsung pemisahan. Akan tetapi apabila pihak isteri yang murtad, maka perkawinan tersebut dapat terus berlangsung, karena perempuan yang shâbi‟ah masih dibenarkan melangsungkan perkawinan dengan pria muslim. At-thalak li al-khulu ‟, yaitu talak yang diajukan oleh isteri, dan ia harus mengembalikan mahar. Alasan-alasan tersebut di atas dapat dijadian alasan perceraian, akan tetapi hakim baru dapat memeriksa dan mengadili perkara tersebut setelah terlebih dahulu mengupayakan perdamaian. Menurut ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1929, talak yang diucapan atau dengan isyarat dengan maksud menjatuhkan talak tiga sekaligus hanya dihitung talak satu, tetapi jika talak itu dijatuhkan tiga kali dalam ruang atau tempat yang berbeda, maka dianggap jatuh talak tiga. 6. Nafkah an-Nafaqah Nafkah adalah sesuatu yang harus dibayar oleh seseorang kepada orang lain, baik berupa makanan, pakaian, perumahan maupun segala sesuatu untuk kelangsungan kehidupan. Timbulnya nafkah disebabkan oleh dua faktor, yaitu karena a. Perkawinan dan b. Karena hubungan kerabat. Nafkah isteri zawjiyyah dibebankan kepada suami sebagai imbalan atas hak suami menahan isteri di rumah berdasarkan akad nikah yang sah. Dasar kewajiban itu antara lain berdasarkan firman Allah s.w.t, surat at-Thâlak ayat 6 dan 8 dan surat al- Baqarah ayat 233.

D. Hukum Keluarga di Arab Saudi