Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Ketinggian
Pengelolaan Belum Optimal
Kaw asan TNGGP
Invasi Spesies Asing Invasif Kirinyuh Akibat Ativitas Manusia dan Faktor Biofisik Lingkungan
Dampak Ekologi
Upaya Mitigasi Dengan Mengetahui Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Distribusi Kirinyuh
Analisis Spasial
Model Spasial Sebaran dan Kesesuaian Habitat Kirinyuh Strategi Pengelolaan
dan Pengendalian Spesies Asing
Invasif TNGGP
Slope NDVI
Jarak terdekat dari jalur
patrolitrek Jarak
terdekat dari pemukimana
ktivitas manusia
Aspect Suhu
NDMI
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Bioekologi Kirinyuh
2.1.2. Taksonomi
Berdasarkan taksonominya, klasifikasi kirinyuh menurut Global Invasive Species Database modifikasi terakhir 16 Agustus 2010 adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Super Divisi : Spermatophyta Divisi
: Magnoliophyta Kelas
: Magnoliopsida Sub Kelas
: Asteridae Ordo
: Asterales Famili
: Asteraceae Genus
: Austroeupatorium Spesies
: Austroeupatorium inulifolium Kunth R. M. King H. Rob
2.1.3. Morfologi
Kirinyuh adalah tumbuhan perdu dengan tinggi 1,5 – 2 meter dan kadang- kadang mencapai 6 – 7 m apabila terdapat pohon-pohon yang menompangnya.
Tumbuhan bersifat herba pada waktu masih muda, kemudian berkayu dan bercabang-cabang banyak. Batang hijau, berbentuk silindris dan sedikit berbulu.
Daun berhadapan, berbentuk bulat telur dengan ujung runcing, bergerigi kasar atau hampir rata dan permukaannya berbulu halus Tjitrosoedirdjo 1989.
Bunga kirinyuh tersusun dalam tipe malai rata, terdiri atas 25-30 kepala, bunga bertangkai 1-2 cm. Kelopak 5, bunga putih keunguan dan sedikit berbau.
Mahkota bunga seperti genta, berlobi 5, masing-masing lobi berbentuk segitiga. Putik berbelah 2 dan panjang. Buah bersudut, berukuran panjang 5 mm coklat
atau hitam dengan rambut-rambut pendek pada sudut-sudutnya. Kirinyuh berkembang biak dengan bijinya Tjitrosoedirdjo 1998. Pada
tingkat kepadatan yang tinggi, seperti di Pantai Gading, tumbuhan ini dapat menghasilkan sekitar 10
9
bijiha. Pelepasan buah sangat memerlukan kondisi
cuaca yang kering dan berangin. Penyebaran buah secara khas dilakukan oleh angin dan mungkin juga oleh binatang Binggeli 1997.
Gambar 2 Spesies tumbuhan asing invasif kirinyuh Austroeupatorium inulifolium Kunth R. M. King H. Rob
2.1.4. Ekologi dan Penyebaran
Kirinyuh merupakan tumbuhan asli Amerika bagian selatan McFadyen et al. 2003. Tumbuhan ini sengaja diintroduksi ke Calcuta India sebagai
tumbuhan hias pada tahun 1840-an yang kemudian menyebar ke Myanmar, Assam, Benggala dan Srilanka pada tahun 1920 Tjitrosemito 1997. Setelah itu
kirinyuh dengan cepat tersebar luas ke Asia Tenggara. Di Indonesia, kirinyuh pertama kali dilaporkan pada tahun 1934 dari koleksi herbarium di Lubuk Pakam
Sumatera Utara oleh Van Meer Mohr dan saat ini masih berada di Herbarium Bogoriense Bogor. Saat ini, peneybaran kirinyuh meliputi seluruh wilayah
Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah lainnya Tjitrosemito 1999.
Kirinyuh merupakan gulma penting bagi sistem produksi pertanian, tumbuhan budidaya dan hutan tumbuhan industri jati karena dapat berkompetisi
secara kuat dengan tumbuhan budidaya Setiadi 1989; Syamsudin et al. 1993; Tjitrosemito 1998. Di daerah pengembalaan hutan lindung Pananjung, Jawa
Barat dan Taman Nasional Baluran, keberadaan kirinyuh dapat mengurangi hamparan padang pengembalaan banteng dan rusa. Selain itu, kirinyuh juga dapat
menimbulkan keracunan pada hewan-hewan ternak yang memakannya karena kandungan nitrat yang sangat tinggi terutama pada tunas-tunas muda yang tumbuh
kembali sesudah pemangkasan Torres Paller 1989. Di Afrika bagian barat, tumbuhan ini mampu menekan regenerasi spesies pohon pada daerah yang
mengalami suksesi, sedangkan di Afrika bagian selatan, mengurangi keanekaragaman spesies dan merupakan ancaman pada daerah tepi hutan
Binggeli 1997. Dibalik kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan kirinyuh di suatu
tempat, kirinyuh juga ternyata memiliki sejumlah potensi besar yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Menurut Direktorat Perlindungan Perkebunan
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian 2012, dari pengolahan gulma kirinyuh dapat dihasilkan pupuk organik, biopestisida, obat, dan herbisida.
Daun segarnya dipakai untuk menyembuhkan luka-luka, mengobati malaria, serta gangguan maag dan mata. Selain itu kayu dan rantingnya yang ringan sangat
mudah dikeringkan untuk dijadikan kayu bakar. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan, sekaligus dapat mengurangi dampak buruk keberadaannya. .
2.2. Spesies Tumbuhan Asing Invasif
Indrawan et all. 2007 menyebutkan bahwa spesies asing atau eksotik adalah spesies yang terdapat di luar distribusi alaminya. Akibat kegiatan manusia
sebaran mereka meluas. Spesies asing yang dikenal dengan sebutan alien species, dibedakan atas dua kategori, yaitu spesies asing yang tidak bersifat invasif dan
spesies asing yang bersifat invasif. Di Asia Tenggara banyak spesies tumbuhan yang termasuk kategori spesies asing seperti karet Hevea brasiliensis, kelapa
sawit Elaeis guinensis, cabai Capssicum annum, jagung Zea mays dll, namun tidak bersifat invasif sehingga keberadaannya tidak menimbulkan ancaman
kerusakan bagi ekosistem, habitat dan spesies tumbuhan lokal yang ada di dalam suatu area Utomo 2006. Menurut Tjitrosemito 2004 a di pulau Jawa ditemui
tidak kurang dari 2.000 spesies tumbuhan eksotik dan beberapa di antaranya bersifat invasif.
Tjitrosemito 2004 b menyebutkan bahwa tumbuhan eksotik yang bersifat invasif atau lebih dikenal dengan invasive alien plant species IAS adalah spesies
tumbuhan yang tumbuh di luar habitat aslinya yang berkembang pesat dan menimbulkan gangguan dan ancaman kerusakan bagi ekosistem, habitat dan
spesies tumbuhan lokal dan berpotensi menghancurkan habitat tersebut. Tumbuhan-tumbuhan ini mempunyai karakter yang menyebabkan mampu
mendominasi kawasan tempat tumbuhnya yaitu : 1. Pertumbuhannya yang cepat
2. Cepat mengalami fase dewasa, sehingga cepat menghasilkan biji 3. Biji yang dihasilkan juga banyak sehingga cepat mendominasi areal
4. Metode penyebaran biji yang efektif, contoh kirinyuh Austroeupatorium inulaefolium dan babakoan Eupatorium sordidum yang bijinya ringan
sehingga mudah terbawa angin; kecubung Brugmansia suaveolens yang banyak menyebar melalui air
5. Beberapa spesies tumbuhan eksotik tidak begitu memerlukan serangga penyerbuk karena dapat berkembang secara vegetatif, contoh : kecubung
Brugmansia suaveolens , konyal Passiflora suberosa. 6. Mampu menggunakan penyerbuk lokal sehingga dapat memproduksi biji
7. Cepat membentuk nuangan, produksi bunga lebih cepat daripada tumbuhan lokal sehingga memberi perlindungan dan pangan bagi penyerbuk bila
sumber pangan dari spesies tumbuhan lokal belum tersedia. 8. Selain tajuk yang rapat, perakarannya juga banyak dan rapat sehingga
mendominasi perakaran di sekitarnya 9. Seringkali mempunyai allelopathy yang menghambat pertumbuhan spesies
lokal, contoh : seustreum Cestrum aurantiacum 10. Bebas hama karena berada di luar habitat alaminya.
Invasi adalah pergerakan satu atau beberapa spesies tumbuhan dari satu tempat ke tempat lain yang pada akhirnya tempat tersebut mereka kuasai Weafer
1938 diacu dalam Utomo 2006. Invasi merupakan proses yang kompleks dimana migrasi dan kompetisi memegang peran yang penting. Invasi ke tempat yang baru
dimulai dengan migrasi perpindahan tempat, diikuti dengan agregasi pengumpulan dan kompetisi persaingan. Invasi tumbuhan eksotik dan
dominasinya pada kawasan bekas hutan merupakan salah satu bentuk disklimaks dalam dinamika komunitas. Menurut Oosting 1948 disklimaks terjadi karena
adanya gangguan manusia pada suatu kawasan dan munculnya spesies yang
mendominasi. Spesies dominan ini muncul karena adanya kondisi yang tidak normal dan umumnya menginvasi kawasan yang relatif luas dan cepat.
2.3. Peraturan dan Kebijakan Terkait Spesies Asing Invasif
Beberapa upaya dalam pengelolaan keanekaragaman hayati didasarkan atas perjanjian internasional. Perjanjian multilateral yang telah diratifikasi oleh
Indonesia dan berhubungan dengan Spesies tumbuhan asing invasif antara lain adalah:
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora CITES: CITES atau konvensi perdagangan internasional untuk spesies-
spesies tumbuhan dan satwa liar, merupakan suatu pakta perjanjian yang berlaku sejak tahun 1975 dan merupakan satu-satunya perjanjian atau traktat treaty
global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang
mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan
Pemerintah No. 43 Tahun 1978. CITES telah terbukti efektif dalam memberikan kontribusi terhadap konservasi
flora fauna melalui sistem yang ketat terhadap izin dan penerbitan sertifikat. Hal ini juga efektif dalam hal kemampuan untuk mengendalikan perdagangan
komersial jika terbukti merugikan populasi spesies, oleh karena itu konvensi ini mendukung konservasi nasional dan penegakan hukum di negara-negara anggota.
Namun meskipun demikian, konvensi ini belum cukup efektif dalam mengendalikan pergerakan internasional flora fauna yang beresiko tinggi atau
berpotensi invasif, terutama spesies-spesies yang tidak termasuk dalam Appendix CITES.
Convention on Biodiversity CBD: Spesies tumbuhan asing invasif menjadi
ancaman penting bagi keanekaragaman hayati. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati tersebut melalui
UU No 5 Tahun 1994. Berikut ini adalah amanat yang dihasilkan dalam beberapa
pertemuan anggota CBD yang berhubungan dengan spesies tumbuhan asing invasif:
COP V Article 8 – In situ conservation: CBD pada pertemuannya di tahun 2000 COP V telah menghimbau negara-negara anggotanya untuk mencegah
pemasukan spesies-spesies tumbuhan asing invasif yang membahayakan ekosistem, habitat maupun spesies-spesies asli COP V article 8h.
COP VI Decision VI23 – Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or
species: Dalam pertemuannya di tahun 2002 negara-negara anggota telah
mengadopsi 15 kerangka acuan dan bimbingan untuk pencegahan, introduksi dan mitigasi dampak spesies asing yang invasive dan sejumlah keputusan lainnya
untuk mengimplementasikan Article 8h CBD secara efektif dan maksimal. COP VII Decision VII13 – Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or
species: Menghasilkan beberapa artikel penting yang berhubungan dengan penilaian resiko spesies asing invasive.
COP VIII Decision VIII27 – Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species: Menghasilkan rekomendasi yang berkaitan dengan beberapa jalur dan
cara yang harus diperhatikan dalam introduksi spesies tumbuhan asing invasif. COP IX Decision IX4 – In-depth review of ongoing work on alien species that
threaten ecosystems, habitats or species: Menghasilkan rekomendasi mengenai evaluasi jurang pemisah yang dimiliki antara negara maju dan berkembang
didalam teknologi identifikasi dini, ilmu taksonomi mengenai spesies-spesies tumbuhan asing invasif dan teknologi pengendalian Sastroutomo 2010.
COP X Decision X38 – Invasive Alien Species: Menghasilkan kerangka acuan tentang teknik penanganan spesies tumbuhan asing invasif sebagai hewan
peliharaan, akuarium dan terrarium spesies dan bahan umpan dan penghasil makanan.
Convention on Wetlands Ramsar: Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Ramsar melalui Keppres No 481991. Dalam Rencana Kerja Aksi Strategis Ramsar 2003-2008 disebutkan bahwa Sekretariat Ramsar memiliki mandat untuk
mengembangkan petunjuk dan mempromosikan protokol serta tindakan untuk mencegah, mengendalikan dan memberantas IAS dalam sistem lahan basah.
Sampai saat ini di Indonesia belum ada peraturan yang secara khusus mengatur tentang spesies tumbuhan asing invasif, meskipun banyak instansi yang
terlibat antara lain : Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, LIPI, Perguruan
Tinggi, dll. Peraturan dan kebijakan nasional yang sudah dikembangkan dan berhubungan dengan spesies tumbuhan asing invasif antara lain:
1. UU No. 51990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya: pada Bab IV Pasal 19 ayat 3 telah dijelaskan bahwa yang
dapat merubah keutuhan kawasan suaka alam salah satunya adalah menambah spesies tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Bab VII Pasal 33
ayat 2 menjelaskan bahwa menambahkan spesies tumbuhan dan satwa lain yang bukan tumbuhan dan satwa asli taman nasional merupakan salah satu
penyebab perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. 2. UU No. 121992 tentang Sistem Budidaya Tumbuhan: peraturan ini
menekankan pada perlindungan tumbuhan untuk mencegah kerugian akibat dampak dari gulma atau tumbuhan lain yang mengganggu dan tindakan
eradikasi untuk memusnahkan tumbuhan pengganggu tersebut yang mampu menyebar luas di lokasi tertentu dan menekan pertumbuhan spesies tumbuhan
lainnya Bab I Pasal 1 ayat 7,8,9, sedangkan pada Bab III pasal 10 dan 21 menjelaskan tentang mekanisme masuknya spesies asing serta monitoring dan
pengelolaan gulma dan spesies asing. 3. UU No 161992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan: mengatur
tugas pokok dan fungsi karantina hewan dan tumbuhan yang diterapkan di Bandar udara, pelabuhan, pos perbatasan negara dan pelabuhan antar pulau.
Tindakan karantina dilakukan pada komoditas pangan, produk hortikultura, perkebunan dan kehutanan. Tindakan ini menggunakan SPS kesepakatan
tentang penerapan tindakan sanitasi dan phytosanitary yang bertujuan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan hewan dan tumbuhan.