Distribution of Population and Habitat Characteristics of Long-tailed macaques in Gunung Merapi National Park

(1)

SEBARAN POPULASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT

MONYET EKOR PANJANG

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI

TRI CAHYA NUGROHO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Sebaran Populasi dan Karakteristik Habitat Monyet Ekor Panjang di Taman Nasional Gunung Merapi“ adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Tri Cahya Nugroho NRP. E353100135


(3)

TRI CAHYA NUGROHO. Distribution of Population and Habitat Characteristics of Long-tailedmacaques in Gunung Merapi National Park. Supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and DONES RINALDI.

Long-tailed macaque (Macaca fascicularis) is a widely distributed primate species which experiencing rapid population decline due to habitat loss and degradation, pharmaceutical usage and conflicts with human. Many researches regarding this species has been carried out, but not a particular topic on how volcanic eruptions affected its habitat. Gunung Merapi, a volcano located in Yogyakarta Province and was known as long-tailed macaque habitat, erupted in 2010 and made a massive destruction to the forest ecosystem. This research was aimed to identify the distribution of population, habitat characteristic and the correlation of habitat components to the existence of this monkey in Gunung Merapi forest ecosystem after the eruption took place. Spatial analysis was used to describe the distribution of population, while habitat characteristic was identified using vegetation analysis followed by chi square test. The result showed that 5 groups of this macaque were found spreading in 5 resorts of Gunung Merapi of which these regions were classified as slightly-damaged and moderately-damaged habitat. As for the diversity of plant species, an amount of 85 species was able to be identified and these species were found at the slightly-damaged and moderately-damaged habitats within a group of 82 and 29 species respectively. Of all these species only 21 and 11 species in each group were identified as the macaques’ diet. The result of Chi square test suggested a significant correlation between the existence of long-tailedmacaque with habitat components of altitude, temperature, humidity, distance to farm, distance to water, plant species for diet, the number of vegetation species, and vegetation density (seedlings, saplings and trees).

Keywords: long-tailedmacaque, Gunung Merapi National Park, distribution, habitat


(4)

TRI CAHYA NUGROHO. Sebaran Populasi dan Karakteristik Habitat Monyet Ekor Panjang di Taman Nasionan Gunung Merapi. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan DONES RINALDI.

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan spesies primata yang umum ditemukan di Asia Tenggara. Monyet ekor panjang oleh IUCN dikategorikan sebagai spesies Berisiko Rendah (Least Concern), untuk status perdagangan oleh CITES dimasukan ke dalam Appendix II. Monyet ekor panjang merupakan satwa liar yang memiliki sebaran yang sangat luas akan tetapi monyet ekor panjang telah mengalami penurunan populasi yang cepat dikarenakan degradasi dan hilangnya habitat, pemanfaatan dalam farmasi, konflik dengan manusia sehingga status spesies tersebut perlu dikaji ulang (Whitten et al. 2000, Eudey 2008). Salah satu contoh penyebab perubahan habitat adalah erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 yang telah menghancurkan ekosistem hutan pegunungan seluas 2000-2500 ha (31-39%) dari luas total 6.410 ha (TNGM 2011a).

Penelitian tentang monyet ekor panjang telah banyak dilakukan tetapi penelitian tentang dampak erupsi gunung berapi terhadap habitat monyet ekor panjang belum pernah dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk mengidentifikasi lokasi dan potensi dalam kawasan konservasi Gunung Merapi yang masih sesuai untuk dijadikan habitat berbagai spesies satwaliar.

Penelitian dilakukan di Balai Taman Nasional Gunung Merapi Propinsi D.I. Yogyakarta. Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan April hingga Mei 2012 selama ± satu bulan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, binokuler, altimeter, kompas, thermo-hygro meter, kamera digital, dan pita ukur. Data yang dikumpulkan adalah data sebaran dan habitat monyet ekor panjang. Pengumpulan data sebaran dan habitat monyet ekor menggunakan metode garis berpetak (Indriyanto 2006) dan pencatatan titik kordinat serta jumlah individu monyet ekor panjang. Pengamatan dilakukan pada lima resort yaitu Resort Turi-Cangkringan-Pakem, Resort Dukun, Resort Kemalang, Resort Musuk-Cepogo dan Resort Selo.

Pengolahan data ketinggian tempat, jarak ke sumber air dan jarak pertanian, suhu dan kelembaban diolah dengan menggunakan analisis spasial dan kuantitatif kemudian ditabulasikan. Pengolahan data sebaran monyet ekor panjang diolah dengan analisis spasial. Pengolahan data habitat menggunakan perhitungan indeks nilai penting (Soerianegara & Indrawan 1998), indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Ludwig & Reynold 1988), indeks kesamaan Jaccard (Maguran 1988). Pemilihan habitat dan uji hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor dominan penentu penggunaan habitat dilakukan dengan menggunakan Chi Square Test (Johnson & Bhattacharyya 1987).

Monyet ekor panjang yang dijumpai selama pengamatan terdapat pada habitat kerusakan ringan dan sedang tersebar kedalam 5 resort yaitu Resort Turi-Cangkringan-Pakem, Resort Dukun, Resort Kemalang, Resort Musuk-Cepogo dan Resort Selo. Monyet ekor panjang lebih banyak dijumpai di habitat kerusakan


(5)

informasi masyarakat dan disebutkan dalam laporan monitoring habitat dan populasi primata yang dilakukan oleh TN Gunung Merapi pada tahun 2010.

Hasil pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian menemukan 85 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 34 famili. Jumlah jenis yang paling banyak ditemukan adalah pada famili Euphorbiaceae dan Moraceae dengan masing-masing famili 9 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan yang ditemukan dalam habitat kerusakan ringan adalah sebanyak 82 jenis dengan jumlah 32 famili. Famili dengan jumlah jenis tumbuhan yang paling banyak adalah Famili Euphorbiaceae dengan 9 jenis tumbuhan. Jumlah jenis tumbuhan pada habitat kerusakan sedang tergolong dalam 16 famili dengan 29 jenis tumbuhan. Famili dengan jumlah jenis terbanyak adalah Moraceae dengan 6 jenis tumbuhan.

Habitat kerusakan ringan pada tingkat semai didominasi oleh kaliandra (INP= 68,05%), pancang oleh kaliandra (INP= 42,73%), tingkat tiang oleh bambu petung (INP= 85,97%), dan tingkat pohon oleh puspa (INP= 52,42%). Habitat kerusakan sedang pada tingkat semai didominasi oleh akasia dekuren (INP= 77,66%), tingkat pancang oleh akasia dekuren (INP= 139,08%), tingkat tiang oleh puspa (INP= 216,39%), dan tingkat pohon oleh pinus (INP = 181,79%).

Hasil analisis yang dilakukan menunjukan bahwa di habitat kerusakan ringan nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) untuk tingkat semai sebesar 2,33, tingkat pancang sebesar 2,59, tingkat tiang sebesar 2,20, dan tingkat pohon sebesar 2,47. Untuk habitat kerusakan sedang nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) untuk tingkat semai sebesar 1,85, tingkat pancang sebesar 0,74, tingkat tiang sebesar 1,04, dan tingkat pohon sebesar 1,00. Indeks kesamaan komunitas Jaccard (Cj) antara habitat kerusakan ringan dan habitat kerusakan sedang paling besar terdapat pada tingkat pohon sebesar 0,28. Nilai indeks kesamaan komunitas untuk tingkat semai adalah 0,23, pada tingkat pancang adalah 0,18, dan pada tingkat tiang adalah 0,12.

Jumlah jenis tumbuhan pakan di habitat kerusakan ringan adalah 21 jenis sedangkan tumbuhan pakan di habitat kerusakan sedang adalah 11 jenis. Bagian tumbuhan yang dimakan oleh monyet ekor panjang yang paling besar adalah bagian buah sebanyak 13 jenis. Pakan monyet ekor panjang pada bagian daun berjumlah 3 jenis, bagian tunas berjumlah 2 jenis, bagian buah dan daun berjumlah 2 jenis, bagian daun dan bunga berjumlah 1 jenis, bagian buah, bunga dan daun berjumlah 1 jenis.

Tumbuhan pakan di habitat kerusakan ringan pada tingkat semai didominasi oleh kaliandra (INP= 68,05%), tingkat pancang oleh kaliandra (INP= 42,73%), tingkat tiang oleh belimbing kosek (INP= 85,97%), dan tingkat pohon oleh puspa (INP= 52,42%). Tumbuhan pakan di habitat kerusakan sedang pada tingkat semai didominasi oleh akasia dekuren (INP= 77,66%), tingkat pancang oleh akasia dekuren (INP= 139,08%), tingkat tiang oleh puspa (INP= 216,39%), dan tingkat pohon oleh pinus (INP= 181,79%).

Hasil analisis menunjukan bahwa monyet ekor panjang dalam melakukan aktivitas hariannya tidak melakukan pemilihan habitat. Monyet ekor panjang menggunakan habitat kerusakan ringan maupun kerusakan sedang. Letusan


(6)

panjang di TNGM mempunyai hubungan dengan jumlah jenis vegetasi, jumlah jenis pakan, kerapatan vegetasi tingkat semai, tingkat pancang, dan tingkat pohon. Keberadaan monyet ekor panjang juga mempunyai hubungan dengan ketinggian tempat, jarak ke pertanian, jarak ke sumber air, suhu, dan kelembaban. Faktor dominan yang tidak mempunyai hubungan dengan keberadaaan monyet ekor panjang adalah kerapatan vegetasi pada tingkat tiang.

Berdasarkan hasil-hasil di atas maka: (1) sebaran monyet ekor panjang di TN Gunung Merapi terdapat di Resort Turi-Cangkringan-Pakem, Resort Dukun, Resort Kemalang, Resort Musuk-Cepogo, dan Resort Selo; (2) karakteristik habitat kerusakan ringan didominasi oleh kaliandra (Calliandra calothyrsus) pada tingkat semai dan pancang, bambu petung (Dendrocalamus asper) pada tingkat tiang dan puspa (Schima wallichii) pada tingkat pohon, sedangkan untuk habitat kerusakan sedang pada tingkat semai dan pancang didominasi oleh akasia dekuren (Acacia decurens), tingkat tiang oleh puspa (Schima wallichii), dan tingkat pohon oleh pinus (Pinus merkusii). Jumlah jenis pakan di habitat kerusakan ringan lebih banyak (21 jenis) dibandingkan jumlah jenis pakan di habitat kerusakan sedang (11 jenis); (3) faktor dominan penentu penggunaan habitat yang mempunyai hubungan dengan keberadaan monyet ekor panjang adalah ketinggian tempat, jarak ke pertanian, jarak ke sumber air, suhu, kelembaban, jumlah jenis vegetasi, jumlah jenis pakan, kerapatan vegetasi tingkat semai, tingkat pancang, dan tingkat pohon.

Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan rehabilitasi dengan penanaman jenis-jenis tanaman yang menjadi pakan monyet ekor panjang. Perlu dilakukan penjarangan terhadap akasia dekuren dan kaliandra agar jenis tumbuhan asli TNGM mendapatkan ruang untuk tumbuh dan berkembang, selain itu perlu juga dilakukan pengkayaan jenis untuk kawasan yang dulunya berupa hutan produksi dengan jenis-jenis asli TNGM seperti dadap (Erythrina lythosperma), puspa (Schima wallichii), manisrejo (Vaccinium varingiaefolium) dan anggrung (Trema orientalis).

Kata kunci: monyet ekor panjang, TN Gunung Merapi, habitat, sebaran, pemilihan habitat


(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

MONYET EKOR PANJANG

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI

TRI CAHYA NUGROHO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(9)

Nama : Tri Cahya Nugroho

NRP : E.353100135

Program Mayor : Konservasi Keanekaragaman Hayati

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F.

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Konservasi Keanekaragaman Hayati

Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

NIP: NIP:


(10)

rahmat dan hidayah-Nya maka tesis dengan judul “Sebaran Populasi dan Karakteristik Habitat Monyet Ekor Panjang di Taman Nasional Gunung Merapi” dapat diselesaikan. Tesis ini digunakan sebagai prasyarat dalam penyelesaian pendidikan Pascasarjana IPB.

Banyak pihak telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini. Untuk itu dengan segala kerendahan dan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu dan Bapak atas doa, semangat dan nasehat-nasehatnya.

2. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F selaku dosen pembimbing yang memberikan arahan dan bimbingan selama dalam penyusunan tugas akhir ini.

3. Ir. Kuspriadi Sulistyo,M.P. selaku Kepala Balai TN Gunung Merapi, Mbak Ruki Umaya, Mbak Silvi, Gunawan, Bangun, Sita, Sulfi, Vita, dan para staf TN Gunung Merapi yang telah membantu dalam pengambilan data di lapangan.

4. Warga masyarakat di sekitar lereng Gunung Merapi yang telah menjadi penunjuk jalan dan pengenal jenis tumbuhan dalam pengambilan data di lapangan.

5. Keluarga Besar KKH 2010, I will miss you all.

6. Pak Sopwan, Bik Uum, Pak Udin selaku staf KKH yang senantiasa membantu dalam penyelenggaraan perkuliahan.

7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Bogor, Oktober 2012

Tri Cahya Nugroho E.353100135


(11)

Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Bapak Sudarto dan Ibu Yulikah. Pada tahun 1993 menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SDL Pangudi Luhur Muntilan, tahun 1996 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Muntilan. Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri I Muntilan dan pada tahun yang sama lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Universitas Gadjah Mada. Penulis memilih jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 2005.

Sejak tahun 2006 sampai sekarang penulis bekerja di Taman Nasional Tanjung Puting sebagai Penelaah dan Penyusun Rencana Program dan Kegiatan. Pada tahun 2010 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementrian Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati, Fakultas Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB, penulis melakukan penelitian tentang “Sebaran Populasi dan Karakteristik Habitat Monyet Ekor Panjang di Taman Nasional Gunung Merapi” yang dibimbing oleh Dr.Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si sebagai Ketua dan Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F sebagai Anggota Komisi Pembimbing.


(12)

(i)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian... ... 2

1.3. Manfaat Penelitian ... 2

1.4. Perumusan Masalah ... 3

1.5. Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persebaran Monyet Ekor Panjang ... 6

2.2. Habitat Monyet Ekor Panjang ... 6

2.3. Teritori dan Wilayah Jelajah... 8

2.4. Pakan ... 10

2.5. Seleksi Habitat ... 11

2.6. Kerusakan Vegetasi Gunung Merapi Pasca Letusan 2010 ... 11

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Sejarah Kawasan ... 13

3.2. Letak dan Luas ... 15

3.3. Topografi ... 15

3.4. Geologi ... 16

3.5. Iklim ... 17

3.6. Hidrologi ... 18

3.7. Flora Fauna ... 18

IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

4.2. Bahan dan Alat ... 19

4.3. Metode Pengumpulan Data ... 20

4.3.1. Karakteristik Habitat ... 20

4.3.2. Identifikasi Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat . 22 4.4. Analisis Data ... 25

4.4.1. Sebaran Monyet Ekor Panjang ... 25

4.4.2. Karakteristik Habitat ... 25

4.4.3. Identifikasi Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat .. 27

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil ... 29

5.1.1. Sebaran Monyet Ekor Panjang ... 29

5.1.2. Karakteristik Habitat ... 31

5.1.3. Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat ... 36


(13)

(ii)

5.2.1. Sebaran Monyet Ekor Panjang ... 38

5.2.2. Karakteristik Habitat ... 40

5.2.3. Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat ... 42

5.2.4. Implikasi Pengelolaan ... 45

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 5.1. Simpulan ... 48

5.2. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49


(14)

(iii)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Luas home range monyet ekor panjang ... 10

2. Data luas area berdasar tipe kerusakan vegetasi di TNGM ... 12

3. Luas wilayah berdasarkan kemiringan lereng tempat di TNGM (TNGM 2011) ... 16

4. Sebaran unit contoh pengamatan karakteristik habitat monyet ekor panjang ... 20

5. Peubah faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat.. ... 22

6. Lokasi perjumpaan monyet ekor panjang di TNGM ... 29

7. Jumlah perjumpaan monyet ekor panjang di TNGM ... 30

8. Jenis tumbuhan dominan pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada habitat kerusakan ringan di TNGM ... 32

9. Jenis tumbuhan dominan pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada habitat kerusakan sedang di TNGM ... 33

10. Jenis pakan monyet ekor panjang di TNGM... 34

11. Jumlah jenis dan bagian tumbuhan yang dimakan oleh monyet ekor panjang di TNGM ... 35

12. Indeks Nilai Penting jenis pakan tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada habitat kerusakan ringan ... 35

13. Indeks Nilai Penting jenis pakan tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada habitat kerusakan sedang... 36

14. Chi square test untuk menentukan adanya pemilihan habitat ... 37

15. Selang kelas untuk setiap faktor dominan penentu penggunaan habitat .. 37

16. Chi square test hubungan keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor dominan penentu penggunaan habitat ... 38


(15)

(iv)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 5

2. Kondisi kerusakan vegetasi TNGM pasca erupsi tahun 2010 (TNGM 2011b) ... 12

3. Batas administrasi dan pemerintahan TNGM ... 14

4. Ketinggian tempat di TNGM ... 16

5. Lokasi penelitian ... 19

6. Penempatan unit contoh karakteristik habitat ... ... 21

7. Metode garis berpetak untuk pengamatan vegetasi ... 21

8. Bentuk unit contoh untuk pengamatan komponen abiotik dan vegetasi . 23 9. Persebaran monyet ekor panjang di TNGM... 30


(16)

(v)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Daftar jenis tumbuhan di habitat kerusakan ringan ... 53 2. Daftar jenis tumbuhan di habitat kerusakan sedang ... 56 3. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat

kerusakan ringan tingkat semai ... 57 4. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat

kerusakan ringan tingkat pancang ... 59 5. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat

kerusakan ringan tingkat tiang ... 63 6. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat

kerusakan ringan tingkat pohon ... 65 7. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat

kerusakan sedang tingkat semai ... 67 8. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat

kerusakan sedang tingkat pancang ... 68 9. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat

kerusakan sedang tingkat tiang ... 69 10. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat

kerusakan sedang tingkat pohon ... 70 11. Jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di habitat kerusakan ringan

TNGM ... 71 12. Jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di habitat kerusakan sedang

TNGM ... 73 13. Uji hubungan antara keberadaan monyet dengan faktor-faktor dominan


(17)

1.1. Latar Belakang

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan spesies primata yang umum ditemukan di Asia Tenggara dan persebarannya meliputi Vietnam, Indocina, Semenanjung Malaysia, Philipina dan Indonesia. Monyet ekor panjang termasuk dalam kategori berisiko rendah (Least Concern) menurut IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources); sedangkan status perdagangan menurut CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) termasuk dalam Appendix II yang berarti perdagangannya diatur dengan kuota. Menurut Whitten et al. (2000), monyet ekor panjang merupakan satwa liar yang memiliki sebaran yang sangat luas karena monyet ekor panjang dapat hidup di pepohonan maupun di atas tanah, mempunyai variasi makanan yang sangat banyak mulai dari kepiting, rayap bahkan makanan manusia seperti roti dan kacang, mempunyai laju reproduksi yang tinggi, dan dapat beradaptasi dengan kehadiran manusia. Walaupun persebarannya luas, spesies ini cenderung mengalami penurunan populasi yang cepat akibat degradasi dan hilangnya habitat, perdagangan dan penangkapan untuk bahan penelitian, pengujian, dan pengembangan dalam farmasi, serta konflik dengan manusia sehingga status spesies tersebut perlu dikaji ulang (Eudey 2008).

Perubahan habitat akibat penebangan liar dan kehilangan pakan alami merupakan isu yang muncul sebagai salah satu penyebab penurunan populasi monyet ekor panjang di Pulau Jawa. Di sisi lain, penurunan kualitas habitat alami bagi monyet ekor panjang mengakibatkan timbulnya gangguan berupa serangan hama pada lahan pertanian. Bentuk-bentuk gangguan yang dilakukan oleh monyet ekor panjang umumnya berupa pencurian bahan makanan.

Data Citra IKONOS liputan November 2010 menunjukkan bahwa erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 yang telah menghancurkan ekosistem hutan pegunungan seluas 2000-2500 ha. Kejadian ini merupakan salah satu contoh faktor alam yang mengakibatkan perubahan habitat satwaliar, termasuk monyet ekor panjang.


(18)

Perubahan kualitas habitat akibat erupsi Gunung Merapi menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan areal habitat oleh monyet ekor panjang. Berdasarkan survei Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang dilakukan pada tahun 2011 diketahui bahwa setelah terjadinya erupsi Gunung Merapi, monyet ekor panjang merupakan jenis mamalia yang paling banyak dijumpai yaitu sebesar 62,50% dari semua jenis mamalia hasil survey (TNGM 2011a).

Penelitian tentang monyet ekor panjang telah banyak dilakukan tetapi penelitian tentang dampak erupsi gunung berapi terhadap habitat monyet ekor panjang belum pernah dilakukan. Oleh karena itu studi tentang sebaran populasi dan karakteristik habitat monyet ekor panjang di kawasan TNGM pasca erupsi Gunung Merapi sangat penting untuk dilakukan.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang sebaran populasi dan karakteristik habitat monyet ekor panjang dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Mengidentifikasi lokasi persebaran populasi monyet ekor panjang di Taman Nasional Gunung Merapi pasca letusan Gunung Merapi tahun 2010 berdasarkan tingkat kerusakan habitat.

2. Mengidentifikasi karakteristik habitat monyet ekor panjang.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor dominan yang menentukan penggunaan habitat oleh monyet ekor panjang.

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan memberikan manfaat bagi Balai Taman Nasional Gunung Merapi selaku pengelola kawasan konservasi Gunung Merapi dan pengembangan ilmu pengetahuan terutama untuk:

1. Pembinaan habitat satwaliar termasuk didalamnya monyet ekor panjang pasca letusan Gunung Merapi tahun 2010.

2. Perancangan pengelolaan habitat satwa liar terutama untuk kelestarian spesies dan populasi monyet ekor panjang di Taman Nasional Gunung Merapi.


(19)

1.4. Perumusan Masalah

Berdasarkan informasi Balai TNGM tahun 2011 ekosistem hutan pegunungan di kawasan TNGM dihuni oleh berbagai spesies satwaliar termasuk monyet ekor panjang. Namun letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 mengakibatkan terjadinya perubahan lanskap serta kerusakan habitat berbagai jenis satwaliar tersebut. Survei yang dilakukan oleh Balai TNGM (2011b) mengklasifikasikan tipe kerusakan yang terjadi pada ekosistem hutan pegunungan tersebut kedalam tiga tipe, yakni: a) kerusakan ringan; vegetasi masih hidup, relatif utuh, namun tertutup abu vulkanik, b) kerusakan sedang; vegetasi masih tersisa namun kondisinya rusak, menyisakan tonggak-tonggak yang kering, dan c) kerusakan berat; vegetasi rusak total dan tidak menyisakan bagian sedikitpun. Perubahan kondisi habitat menyebabkan monyet ekor panjang yang berada dalam kawasan Gunung Merapi mencari habitat baru untuk kemudian beradaptasi demi kelangsungan hidupnya. Ada beberapa pertanyaan yang timbul dengan adanya perubahan habitat monyet ekor panjang di Gunung Merapi diantaranya adalah: 1. Bagaimanakah sebaran monyet ekor panjang di TNGM setelah terjadi erupsi

Gunung Merapi?.

2. Bagaimanakah karakter habitat yang digunakan oleh monyet ekor panjang di TNGM setelah erupsi Gunung Merapi?.

3. Faktor-faktor apa saja yang menentukan dalam penggunaan habitat oleh monyet ekor panjang?.

Untuk menjawab beberapa pertanyaan yang timbul seperti tersebut diatas maka dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai:

1. Sebaran monyet ekor panjang pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010. 2. Karateristik habitat yang digunakan oleh monyet ekor panjang pada setiap

tipe habitat seperti struktur vegetasi, jenis-jenis pakan, serta perbedaan tiap tipe habitat.

3. Faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat oleh monyet ekor panjang dan hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan peubah fisik dan bioktiknya di setiap titik perjumpaan monyet ekor panjang.


(20)

1.5. Kerangka Pemikiran

Taman Nasional Gunung Merapi sebagai salah satu kawasan konservasi di Indonesia ditetapkan dengan fungsi perlindungan bagi flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Salah satu satwaliar yang menghuni kawasan TNGM adalah monyet ekor panjang. Dalam perkembangan kawasan TNGM mengalami gangguan baik oleh manusia maupun alam. Gangguan yang baru saja terjadi pada tahun 2010 adalah letusan Gunung Merapi yang mengakibatkan rusaknya habitat yang selama ini menjadi habitat monyet ekor panjang. Kerusakan habitat akibat erupsi Gunung Merapi telah diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: a) kerusakan ringan, b) sedang, dan c) berat (TNGM 2011b) Kerusakan yang yang terjadi akibat erupsi Gunung Merapi secara langsung adalah matinya tumbuhan yang menjadi habitat dan sumber pakan serta menyempitnya habitat monyet ekor panjang karena terfragmentasi akibat tertutupnya kawasan TNGM oleh pasir dan batu.

Perubahan habitat ini menyebabkan monyet ekor panjang berpindah dan memilih daerah yang lebih aman untuk menyelamatkan diri dan bertahan hidup. Hal ini sesuai dengan pernyataan Alikodra (2010) bahwa satwaliar mempunyai naluri mengetahui akan terjadinya suatu bencana alam sehingga satwaliar akan melarikan diri mencari daerah yang aman. Perubahan habitat yang terjadi diduga mengakibatkan monyet ekor panjang mencari habitat yang sesuai untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya terutama pakan seperti yang terjadi pada spesies primata colobus (Colobus palliatus angolensis) di Kenya (Anderson etal. 2007). Selain itu perubahan habitat akibat fragmentasi diduga mempengaruhi kelimpahan, pergerakan dan ketahanan monyet ekor panjang seperti halnya beberapa spesies primata di Amazon Brasil (Michalski & Peres 2005)

.

Karakteristik habitat dan sebaran monyet ekor panjang pasca erupsi Gunung Merapi perlu diketahui untuk pembinaan habitat dan sumber informasi dalam perancangan pengelolaan habitat oleh pengelola TNGM. Pengumpulan data sebaran dan habitat monyet ekor panjang dilakukan dengan survey lapangan menggunakan metode garis berpetak (Indriyanto 2006), pencatatan titik kordinat serta jumlah individu monyet ekor panjang. Kombinasi data dan informasi tentang karakteristik habitat dan sebaran monyet ekor panjang diharapkan dapat memberi


(21)

kontribusi terhadap rencana pengelolaan TNGM pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010.

Gambar 1. Kerangka pemikiran

Taman Nasional Gunung Merapi

Habitat monyet ekor panjang

Berat

Kerusakan Habitat

Ringan Letusan Merapi

Sedang

Faktor-faktor dominan yang menentukan penggunaan

habitat

Analisis Chi square

Pengelolaan

Taman Nasional Gunung Merapi Sebaran monyet ekor panjang

Karakteristik habitat Survey lapangan

Perjumpaan Langsung

Perjumpaan tak


(22)

2.1. Persebaran Monyet Ekor Panjang

Monyet ekor panjang merupakan satwaliar yang dapat hidup dimana-mana, mempunyai persebaran yang luas di Asia tenggara meliputi Myanmar, Kamboja, Thailand, Laos, Vietnam, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Di Indonesia persebarannya cukup luas meliputi Kalimantan, Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumba, dan Flores (Supriatna 2000). Persebaran yang luas tersebut disebabkan antara lain karena monyet ekor panjang dapat hidup di pepohonan maupun di atas tanah, mempunyai variasi makanan yang sangat banyak mulai dari kepiting, rayap bahkan makanan manusia seperti roti dan kacang, mempunyai laju reproduksi yang tinggi, dan tidak takut akan kehadiran manusia (Whitten et al. 2000).

Keys et al. (2011) menyatakan bahwa beberapa lokasi persebaran monyet ekor panjang yang pernah dijumpai di Pulau Jawa diantaranya terdapat di Gunung Mas, CA Telaga Warna, Puncak Pass, Maribaya, Curug Omas, Cisarua, Garut, Cimanggu, Cikakak, Kaligondang, Maja Singi, Wanagama, Tawangmangu, Tulung Agung, Bektiharjo, Sumber Semen, Colo, Goa Kreo, Kutosari, Jati Barang, Cirebon, Cibubur, TN Ujung Kulon, TN Gunung Halimun, CA Gunung Simpang, TN Gunung Gede Pangrango, CA Leuweung Sancang, Gunung Slamet. Monyet ekor panjang tersebar diantara lahan pertanian, daerah hutan dan kadang berada di tempat tinggal manusia sehingga sering timbul konflik dengan manusia. 2.2. Habitat Monyet Ekor Panjang

Habitat adalah suatu lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak. Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat adalah kompleksitas berbagai komponen antara lain iklim, fisiografi, vegetasi dan kuantitasnya dan merupakan tempat hidup organisme. Menurut Djuwantoko (1986) habitat merupakan suatu daerah yang sangat penting bagi populasi satwa agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan cover. Untuk dapat mengetahui bagaimana habitat dapat mempengaruhi populasi satwa, maka harus diketahui komponen dasar habitat satwa seperti pakan, pelindung, air dan ruang.


(23)

a. Pakan

Pakan merupakan komponen habitat yang nyata merupakan sumber nutrisi dan energi. Energi dari makanan digunakan untuk bahan bakar proses metabolisme sedangkan nutrisi digunakan sebagai pendukung pertumbuhan dan perbaikan tubuh (Bolen & Robinson 2003). Ketersediaan pakan berhubungan erat dengan perubahan musim, dimana disatu musim pakan berlimpah, dimusim yang lain sangat kekurangan (Bailey 1984). Ketersedian pakan satwa karnivora ditentukan oleh kelimpahan dan ketersedian mangsa, sebaliknya hewan herbivora ketersediaan pakan tergantung terhadap kelimpahan dan disribusi tumbuhan pakan (Bailey 1984). Bagi herbivora pakan bisa menjadi faktor pembatas dalam dua hal yaitu kurangnya jumlah pakan dan rendahnya kualitas pakan (Bolen & Robinson 2003). Tiap jenis satwa mempunyai kesukaan untuk memilih pakannya. Pakan yang disukai merupakan pakan yang tinggi kualitasnya karena berkaitan dengan proses reproduksi dan bertahan hidup (Bailey 1984).

b. Cover

Komponen habitat yang mampu memberikan perlindungan dari cuaca, predator dan musuh lainnya disebut cover (Bolen & Robinson 2003). Cover digunakan sebagai tempat untuk melarikan diri dari predator, berlindung dari panas, hujan, angin, ataupun kehilangan panas tubuh pada malam hari.

c. Air

Air dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh satwa. Kebanyakan satwa mencukupi kebutuhan air dengan minum air permukaan (Bailey 1984). Kebutuhan air bervariasi, ada yang tergantung air, ada yang tidak. Perubahan ketersediaan air akan mengubah kondisi habitat yang secara langsung ataupun tidak mempengaruhi kehidupan satwa.

d. Ruang

Individu-individu satwa membutuhkan variasi luasan ruang untuk mendapatkan cukup pakan, pelindung, air dan tempat untuk kawin. Luasan ruang dalam habitat yang memadai tergantung ukuran populasi yang diinginkan. Ukuran


(24)

populasi tergantung besarnya satwa, semakin besar ruang yang dibutuhkan, jenis pakan, produktivitas dan keragaman habitat.

Habitat satwa sering secara sederhana diinterpretasikan sebagai tipe vegetasi karena umumnya syarat-syarat hidup suatu jenis satwa selalu melibatkan aspek vegetasi (Dasmann 1981). Bailey (1984) menyatakan bahwa tipe habitat dicirikan oleh vegetasi utama (primarily vegetation) yang merupakan faktor kesejahteraan satwa. Vegetasi diartikan sebagai kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri atas beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Di dalam habitat terdapat interaksi yang erat baik antara individu-individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan satwa yang hidup bersamanya sehingga merupakan suatu ekosistem hidup yang dinamis (Djuwantoko 1986).

Habitat klasik monyet ekor panjang adalah hutan mangrove, tetapi dapat juga dijumpai dalam hutan primer dan sekunder sampai ketinggian 2000 m dpl. Monyet ini sangat tertarik dengan daerah pemukiman karena mereka beradaptasi dengan manusia. Di daerah pemukiman mereka mencari makan dengan mendatangi tempat-tempat sampah. Di Lopburi Thailand, sekelompok monyet yang jumlahnya cukup besar hidup di pelataran candi. Mereka diberi makan oleh biarawan, orang-orang setempat dan wisatawan (Lekagul & McNeely 1977).

Menurut Galdikas (1978), monyet ekor panjang biasanya terdapat di sepanjang sungai-sungai dan rawa-rawa yang langsung berbatasan dengan sungai serta hutan-hutan tanah kering. Di beberapa hutan monyet ekor panjang lebih banyak ditemukan di hutan-hutan sekunder, dan di kawasan hutan yang berbatasan dengan tempat pemukiman (Soutwick & Cadigan 1972).

2.3. Teritori dan Wilayah Jelajah

Menurut Bolen & Robinson (2003) yang dimaksud teritori adalah daerah yang ditempati satwa dan dipertahankan dari satwa lainnya dan biasanya merupakan bagian dari unit yang lebih luas yang disebut home range. Bentuk teritori satwa bervariasi tergantung dari tujuan penggunaannya. Delany & Whitten (1982), diacu dalam Alikodra (2002) menjelaskan bahwa daerah tempat satwa membuat sarang, tempat tidur, tempat istirahat dan mencari pakan disebut daerah kekuasaan (teritori). Teritori mempunyai luasan yang bervariasi dari beberapa


(25)

meter persegi sampai beberapa km persegi. Luas teritori juga dipengaruhi oleh jenis satwa dan keadaannya (Bolen & Robinson 2003).

Teritori merupakan salah satu kunci status kekeluargaan sehingga pertahanan terhadap teritori sangat penting karena teritori dapat menyediakan tempat berbiak, perawatan anak, tempat pemeliharaan satwa muda, cadangan pakan, tempat bertahan dan berlindung dari predator (Bailey 1984). Satwa akan berjuang keras untuk mempertahankan daerah kekuasaan yang terbaik, jika seekor saingan masuk ke daerahnya satwa tersebut dihalau keluar teritori (Bolen & Robinson 2003). Hal ini disebabkan terbatasnya wilayah dan pakan yang tersedia sehingga satwa tersebut harus mampu mempertahankan daerahnya agar tetap hidup. Tuntutan daerah teritori jelas nampak pada monyet ekor panjang dan dalam mempertahankan daerah tersebut menjadi tugas monyet jantan dewasa, salah satu cara mempertahankan adalah dengan mengeluarkan suara keras serta membesarkan diri agar nampak menakutkan dengan mengembangkan bulu-bulu pada daerah tertentu (Napier & Napier 1985).

Suatu daerah tertentu dimana satwa melakukan pergerakan normal dan kegiatan hidupnya disebut wilayah jelajah atau home range (Bailey 1984). Perbedaan home range dengan teritori adalah bahwa teritori dipertahankan dari satwa lain tetapi tidak demikian dengan home range bahkan antar satwa liar dapat berbagi area home range (Bolen & Robinson 2003). Apabila home range-nya telah dikenal dengan baik oleh individu yang tinggal didalamnya, maka individu tersebut akan mampu mendapatkan makanan dan menjauhi pemangsa yang berada dalam area tersebut (Napier & Napier 1985). Home range luasannya bervariasi tergantung jenis satwa (Sanderson 1966). Pada umumnya karnivora mempunyai home range yang lebih lebih luas dari herbivora jika keduanya mempunyai ukuran tubuh yang sama begitu pula home range satwa jantan biasanya lebih luas dibandingkan satwa betina pada spesies yang sama (Bailey 1984).

Home range untuk daerah yang kering seperti daerah gurun mempunyai ukuran yang besar sedangkan untuk daerah hutan tropis mempunyai ukuran yang kecil. Perbedaan ukuran luas tersebut dikarenakan hutan tropis kaya akan jenis pakan dan berbentuk seperti ruang tiga dimensi dimana pohon di hutan topis dapat mencapai ketinggian 80 m sehingga pergerakan harian satwa bisa secara vertikal


(26)

dan horisontal (Napier & Napier 1985). Home range monyet ekor panjang di beberapa tipe habitat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas home range monyet ekor panjang

Daerah Home range (ha) Sumber

Hutan primer Hutan bakau

10,00-80,00 125,00

Supriatna (2000) Supriatna (2000)

CA Pangandaran 23,20 Mukhtar (1982)

Hutan Jati Pasar Sore Cepu 46,50 – 89,20 Djuwantoko et al. (1993)

CA Pangandaran 13,06 Hendratmoko (2009)

2.4. Pakan

Secara umum, primata dapat dibedakan berdasarkan jenis pakannya kedalam frugivorous, folivorous dan insectivorous (Clutton-Brock & Harvey 1977). Pemilihan buah-buahan sebagai pakan mungkin berkaitan dengan tingkat kemasakannya, ukuran, keasaman, kandungan kimiawi, ukuran butiran dan penyebarannya (Ungar 1995, Peres 1996). Pakan monyet ekor panjang terdiri dari buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak, kadal dan moluska (Lekagul & McNeely 1977). Lucas & Corlett (1998) menyatakan bahwa daun yang umum dimakan oleh monyet ekor panjang di Suaka Alam Bukit Timah Singapura adalah Moraceae (Artocarpus elastica Reinw, Ficus spp, dan Streblus elongatus Miq), Anacardiaceae [Gluta wallichii (Hook.f) Dip Hou], Polygalaceae (Xantophyllum maingayi Hook), Rubiaceae (Urophyllum spp.) dan Symplococaceae (Symplocos fasciculate Zoll).

Jenis tumbuhan yang tergolong sering dimakan oleh monyet ekor panjang di Pulau Tinjil adalah peuris (Antidesma montanum Blume), songgom (Melanorhoea wallichii Hook.f), butun [Barringtonia asiatica (L.) Kurz], waru (Hibiscus tiliaceus L), jambu klampok (Eugenia cymosa Lamarck), ketapang (Terminalia catapa L), kiampelas (Ficus ampelas Burm), kopeng (Ficus variegata Blume) dan kiara (Ficus glomerata Roxb). Dari jenis-jenis tersebut tumbuhan yang paling disukai adalah butun (Santoso 1996).

Menurut Yeager (1996), urutan bagian tumbuhan yang paling banyak dimakan berturut-turut adalah buah, daun, bunga, serangga dan kulit. Hadi et al. (2007) menyatakan bahwa jenis buah yang paling disukai oleh monyet ekor panjang di Taman Monyet Cikakak adalah sadang (Corypha utan Lamarck) dan


(27)

bulu (Ficus virens Aiton). Menurut Hadinoto (1993), kebutuhan pakan monyet ekor panjang setiap ekor perhari sebanyak 4% dari bobot tubuhnya, serta memerlukan air untuk minum sebanyak 1 liter per ekor setiap harinya.

2.5. Seleksi Habitat

Seleksi merupakan proses satwa memilih komponen-komponen habitat yang digunakan (Johnson 1980). Pemilihan habitat yang sesuai merupakan suatu tindakan yang dilakukan satwaliar dalam rangka memperoleh serangkaian kondisi yang menguntungkan bagi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidupnya (Bolen & Robinson 2003). Satwa memilih habitat melalui sebuah hierarki keruangan, yaitu seleksi pada skala jelajah geografis, seleksi pada skala melakukan aktivitasnya (dalam home range), seleksi pada komponen tertentu dalam wilayah jelajah satwa, serta seleksi pada saat satwa memilih bagaimana mereka akan memperoleh sumberdaya dan lokasi mikro-nya (Johnson 1980, Hutto 1985).

Seleksi terhadap suatu tipe habitat terkait erat dengan sumberdaya yang tersedia di dalamnya. Manly et al. (2002) menyatakan bahwa seleksi sumberdaya merupakan suatu kesatuan konsep untuk menjelasan pemilihan terhadap beberapa tipe habitat. Satwaliar tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif. Adapun pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni: ketersediaan mangsa (pakan), menghindari pesaing dan menghindari predator (Morris 1987). 2.6. Kerusakan Vegetasi Gunung Merapi Pasca Letusan 2010

Berdasarkan survei kondisi lahan dan pengukuran pemetaan lokasi restorasi yang dilakukan oleh TN Gunung Merapi pada tahun 2011 kerusakan yang terjadi paling luas pada kerusakan ringan (41,40%) dan paling sedikit pada kerusakan sedang (19,66%). Kerusakan vegetasi yang terjadi akibat letusan Gunung Merapi disajikan pada Gambar 2 (TNGM 2011b).


(28)

Berdasarkan survei tersebut dengan menggunakan citra satelit ASTER perekaman pasca letusan Gunung Merapi dan setelah dilakukan pemeriksaan lapangan dapat diketahui bahwa tidak seluruh kawasan TNGM terkena dampak erupsi merapi dan diperoleh informasi bahwa dari luas total (6.410,00 ha) kawasan TNGM yang mengalami rusak berat adalah seluas 1.242,16 ha atau 20,21% (Tabel 2).

Tabel 2. Data luas area berdasar tipe kerusakan vegetasi di TNGM

Klasifikasi Kerusakan Luas (ha) Persentase (%)

Kerusakan ringan 2.543,94 41,40

Kerusakan sedang 1.207,91 19,66

Kerusakan berat 1.242,16 20,21

Medan lava dan lahar 1.151,46 18,74

Total 6.410,00 100,00

Gambar 2. Kondisi kerusakan vegetasi TNGM pasca erupsi tahun 2010 (TNGM 2011b)


(29)

3.1.Sejarah Kawasan

Gunung Merapi terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), termasuk gunung api yang paling aktif di dunia. Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi merupakan gabungan dari Taman Wisata Alam, Cagar Alam, dan Hutan Lindung. Sejarah kawasan TN Gunung Merapi sebelum ditunjuk menjadi Taman Nasional adalah sebagai berikut:

1). Kawasan hutan Gunung Merapi seluas 6.472,10 ha ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung sejak jaman Pemerintahan Belanda. Penetapan tersebut didasarkan atas Gouvernements Besluit Nomor: 4197/b tanggal 4 Mei 1931. Berdasarkan administrasi pemerintahan RI maka areal seluas 228,50 ha dari seluruh kawasan fungsi lindung termasuk dalam wilayah Provinsi DIY. Daerah tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting, tidak hanya dari segi fungsi hidroorologis, tetapi juga dari segi botanis-historis dan estetika.

2). Berdasarkan fungsi tersebut diatas Menteri Pertanian melalui Surat Keputusan Nomor: 347/Kpts/Um/8/1975 tanggal 20 Agustus 1975 menetapkan sebagian hutan lindung Gunung Merapi yang terletak di Kaliurang DIY seluas 198,50 ha sebagai Cagar Alam Plawangan Turgo, dan seluas 30 ha sebagai Taman Wisata Alam Plawangan Turgo.

3). Pada tahun 1975 melalui Surat Keputusan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor: 6/1975 tanggal 16 Februari 1975 menetapkan Dusun Kumpulrejo dan Patuk Kalurahan Girikerto Kecamatan Turi Kabupaten Sleman sebagai daerah tertutup dan terlarang, baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai tempat kediaman.

4). Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 155/KPts-II/1984 tanggal 4 Agustus 1984 memperluas wilayah Taman Wisata Alam Plawangan Turgo dari 30 ha menjadi 31 ha.


(30)

5). Selanjutnya melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 758/Kpts-II/1989 tanggal 16 Desember 1989, kawasan Plawangan Turgo seluas 282,25 ha ditetapkan sebagai Cagar Alam dan Taman Wisata Alam

6). Pemerintah Provinsi DIY melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor: 5/2000 tanggal 20 Januari 2000 menetapkan daerah yang dulunya merupakan Dusun Kumpulrejo dan Dusun Patuk seluas 233,48 ha, pengelolaan dan penggunaannya diserahkan kepada Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan DIY untuk dijadikan hutan lindung.

7). Dusun Kumpulrejo dan Dusun Patuk oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Surat Keputusan Menteri Nomor: 201/Kpts-II/2000 tanggal 12 Juli 2000 ditetapkan sebagai hutan dengan fungsi hutan lindung.

Kawasan Gunung Merapi kemudian ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) berdasarkan SK Menhut Nomor: 134/Kpts-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 yang berisi tentang penunjukan kawasan Gunung Merapi menjadi Taman Nasional dan perubahan luas kawasan TNGM menjadi 6.410 ha. Luas kawasan TNGM tersebut terbagi menjadi dua yaitu 1.283,99 ha di DIY dan 5.126,01 ha di Jateng. Batas administrasi pemerintahan disajikan pada Gambar 3.


(31)

3.2. Letak dan Luas

Kawasan TNGM merupakan bagian dari kawasan Gunung Merapi. Kawasan TNGM terletak di tengah pulau, sebagian berada dalam wilayah administratif Provinsi DIY dan sebagian lagi berada dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah dengan luas total 6.410,00 ha (1.283,99 ha di DIY dan 5.126,01 ha di Jawa tengah). Secara fisik batas-batas kawasan Gunung Merapi adalah sebagai berikut:

1). Bagian utara dilingkupi oleh pegunungan yang merupakan pertemuan antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi sendiri. Batas alam ini dibentuk dari hulu Sungai Pepe di wilayah timur dan hulu Sungai Pabelan di wilayah barat. Secara adminitratif masuk dalam Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. 2). Kaki gunung bagian timur dan selatan merupakan wilayah yang datar yang

dan merupakan persawahan dengan kesuburan tanah yang tinggi. Bagian timur ini membentang sampai bertemu dengan Sungai Bengawan Solo dan bagian selatan bertemu dengan hulu Sungai Dengkeng.

3). Hulu Sungai Progo menjadikan batas alam gunung di bagian barat. 3.3. Topografi

Secara topografi, kerucut (cone) Gunung Merapi berada pada ketinggian berkisar antara 50-2.968 m dpl. Dalam kerucut itu, Kabupaten Magelang berada pada ketinggian 200–1.350 m dpl, Kabupaten Sleman berada pada ketinggian antara 100 –1.500 m dpl. Kabupaten Klaten terletak antara 50–1.000 m dpl, dan Kabupaten Boyolali antara 400–1.500 m dpl. Ketinggian tempat di TN Gunung Merapi adalah antara 600–2.968 m dpl seperti disajikan pada Gambar 4. Berdasarkan hasil analisis peta kemiringan lereng yang dilakukan oleh BKSDA DIY (2004) dapat diketahui bahwa kemiringan lereng kawasan Gunung Merapi adalah seperti disajikan pada Tabel 3.


(32)

Gambar 4. Ketinggian tempat di TNGM

Tabel 3. Luas wilayah berdasarkan kemiringan lereng tempat di TNGM (TNGM 2011)

Kemiringan Kabupaten Total

(ha) Sleman

(ha)

Magelang (ha)

Klaten (ha)

Boyolali (ha)

8-15% 1.623,93 2.664,89 - - 4.288,82

15-25%. - - 859,54 - 859,54

25- 40% - - - 1.467,50 1.467,50

3.4. Geologi

Kawasan Gunung Merapi terletak pada potongan antara dua sesar, yaitu sesar transversal dan sesar longitudinal Pulau Jawa. Tubuh Gunung Merapi bagian atas cukup dinamis. Gunung Merapi memiliki tipe batuan yang berasal dari aktivitas gunung api. Batuan yang ada di Gunung Merapi sebagian besar adalah piroklastik basa dengan kandungan SiO2 lebih dari 50%. Batuan utama penyusun

Gunung Merapi terdiri dari dua fase yaitu:

1. Endapan vulkanik Gunung Merapi Muda, yang tersusun oleh tufa, lahar, breksi dan lava andesitic hingga basalitis yang penyebarannya merata.


(33)

2. Endapan vulkanik kwarter tua terdapap pada topografi perbukitan kecil di sekitar Merapi Muda sebagai bagian dari aktivitas Merapi Tua, yaitu terdapat di Bukit Gono, Turgo, Plawangan, Maron dan dinding timur terdapat Geger Boyo.

Berdasarkan peta tanah skala 1:250.000 tahun 2000, di wilayah Provinsi DIY memiliki jenis tanah regosol. Tanah ini berkembang pada fisiografi berupa lereng vulkan. Bahan induk tanah adalah material vulkanis hasil dari aktivitas vulkanis Gunung Merapi. Tanah regosol merupakan tanah yang tergolong muda sehingga belum mengalami perkembangan profil. Tanah ini dicirikan oleh warna tanah kelabu sampai kehitaman dengan tekstur tanah tergolong kasar, yaitu pasiran. Adapun struktur tanah juga belum terbentuk sehingga termasuk tekstur granular. Jenis tanah yang dapat dijumpai di kawasan Gunung merapi adalah: regosol, andosol, alluvial, dan litosol.

3.5. Iklim

Secara klimatologis, keberadaan kawasan TNGM masuk wilayah iklim muson tropis, yang dicirikan dengan hujan dengan intensitas yang tinggi pada musim hujan (November-April) yang kemudian berganti dengan bulan-bulan kering (April-Oktober). Curah hujan bervariasi dengan curah hujan terendah sebesar 875 mm/tahun dan curah hujan tertinggi sebesar 2.527 mm/tahun. Tipe iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt-Fergusson termasuk tipe C atau agak basah. Rata-rata curah hujan tahunan di TN Gunung Merapi untuk tiap kabupaten adalah sebagai berikut:

1. Kabupaten Magelang : 2.252–3.627 mm/tahun 2. Kabupaten Boyolali : 1.856–3.136 mm/tahun 3. Kabupaten Klaten : 902–2.490 mm/tahun 4. Kabupaten Sleman : 1.869–2.495 mm/tahun

Variasi hujan di sepanjang lereng Gunung Merapi dipengaruhi oleh hujan orografis. Seperti juga wilayah muson tropis lainnya, variasi suhu dan kelembaban udara pada dasarnya tidaklah menyolok. Suhu berkisar antara 20o-33oC dan kelembaban udara bervariasi antara 80% - 99%.


(34)

3.6. Hidrologi

Daerah hulu ini merupakan daerah resapan air yang menjadi komponen air tanah dan aliran dasar (base flow). Daerah Gunung Merapi bagian selatan mempunyai kemiringan terjal hingga mendekati datar yang menyebabkan banyak terbentuknya sungai di bagian selatan. Sungai-sungai tersebut di bagian hulu bersifat epemeral (mengalir di musim hujan) dan memiliki kemiringan dasar yang tinggi, tetapi sebagian juga bersifat perennial (mengalir sepanjang tahun), walaupun di musim kemarau mengalami penurunan debit. Porositas batuan yang besar juga mempengaruhi keringnya sungai di bagian hulu. Sumberdaya air dalam kawasan TNGM secara wilayah hidrologis terbagi ke dalam tiga DAS yaitu: DAS Progo (sisi barat), DAS Opak Oyo (sisi selatan), dan DAS Bengawan Solo (sisi utara dan timur).

3.7. Flora dan Fauna

Berdasar data yang dihimpun oleh TNGM hingga tahun 2009 di kawasan TNGM terdapat lebih kurang 57 jenis anggrek (lima di antaranya endemik Jawa), 10 jenis rumput, 93 jenis jamur, 24 jenis paku, 13 jenis bambu, hampir 100 jenis pohon, terdapat pula jenis palm, lumut dan lainnya. Satwa liar yang ada tercatat 9 jenis mamalia yang terdiri dari mamalia besar yaitu macan tutul (Panthera pardus melas Cuvier), babi hutan (Sus scrofa Linnaeus), rusa (Cervus timorensis Blainville), serta mamalia lainnya seperti musang (Paradoxurus hermaphrodites Pallas), kucing hutan (Felis sp), bajing (Lariscus insignis Cuvier). Jenis primata seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raflles) dan lutung kelabu (Trachypithecus auratus E.Geoffroy) serta jenis reptil seperti ular sowo (Dytas coros), ular gadung (Trimeresurus albobabris Gray) dan bunglon (Goneochepalus sp.). Di kawasan TNGM terdapat 159 jenis burung dan 32 di antaranya adalah endemik Jawa, salah satunya adalah satwa terancam punah dan dilindungi serta merupakan satwa dirgantara nasional yaitu elang jawa (Nisaetus bartelsi Stresemann) yang diperkirakan hanya ada lebih kurang 6 individu.


(35)

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Resort Turi-Cangkringan-Pakem, Resort Dukun, Resort Kemalang, Resort Musuk-Cepogo dan Resort Selo Taman Nasional Gunung Merapi Kabupaten Sleman Propinsi DIY (Gambar 5). Pengambilan data dilakukan pada bulan April hingga Juni 2012 selama ± dua bulan dan analisis data dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2012.

4.2. Bahan dan Peralatan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, binokuler, altimeter, kompas, tally sheet, tali tambang, alat tulis, thermo-hygro meter, kamera digital, pita ukur, Peta RBI TN Gunung Merapi. Perangkat lunak yang digunakan adalah ArcGIS 9.3, Microsoft Word, dan Microsoft Excel dan komputer.

Gambar 5. Lokasi penelitian


(36)

4.3. Metode Pengumpulan Data 4.3.1. Karakteristik Habitat

Pengumpulan data untuk mengetahui informasi sebaran dan karakteristik habitat monyet ekor panjang dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan. Pengamatan langsung ini dilakukan guna memperoleh data dan informasi tentang keberadaan, komponen fisik, dan biotik habitat monyet ekor panjang.

Penentuan jumlah unit contoh dilakukan dengan metode stratified sampling with random start dengan pendekatan metode alokasi proporsional. Penempatan unit contoh mewakili tipe-tipe kerusakan yang terjadi pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yaitu pada areal tipe kerusakan vegetasi ringan dan tipe kerusakan vegetasi sedang dengan luas 3.751,85 ha. Pada tipe kerusakan vegetasi berat tidak dilakukan pengamatan karena tidak terdapat vegetasi yang tersisa. Unit contoh pengamatan karakteristik habitat yang digunakan berukuran 500 m x 20 m. Intensitas sampling yang digunakan sebesar 1% sehingga total unit contoh pengamatan sebanyak 38. Pengamatan dilakukan pada lima resort yaitu Resort Turi-Cangkringan-Pakem, Resort Dukun, Resort Kemalang, Resort Musuk-Cepogo dan Resort Selo. Sebaran unit contoh pengamatan karakteristik habitat monyet ekor panjang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Sebaran unit contoh pengamatan karakteristik habitat monyet ekor panjang

Resort Jumlah jalur pada tipe kerusakan Jumlah

Ringan Sedang

Turi-Cangkringan-Pakem 10 3 13

Kemalang 7 1 8

Musuk-Cepogo 3 0 3

Selo 3 1 4

Dukun 3 7 10

Jumlah 26 12 38

Penempatan unit contoh pada setiap resort mengikuti grid satwaliar yang dibuat oleh TNGM (2010) dengan jarak antar jalur 1 km. Penempatan jalur pengamatan seperti disajikan pada Gambar 6.


(37)

TN Gunung Merapi memiliki berapa tipe vegetasi yang dibedakan menurut struktur dan komposisi vegetasi. Pengukuran dilakukan dengan metode garis berpetak (Indriyanto 2006). Metode ini dilakukan dengan membuat petak ukur dengan ukuran 20 m x 20 m untuk vegetasi tingkat pohon (A), 10 m x 10 m untuk tingkat tiang (B), 5 m x 5 m untuk tingkat pancang (C) dan 2 m x 2 m untuk tingkat semai (D). Ukuran unit contoh yang digunakan adalah 500 m x 20 m. Bentuk unit contoh pengamatan vegetasi disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Metode garis berpetak untuk pengamatan vegetasi Gambar 6. Penempatan unit contoh karakteristik habitat


(38)

4.3.2. Identifikasi Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat

Pengumpulan data faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat oleh monyet ekor panjang dilakukan pada lokasi ditemukannya populasi monyet ekor panjang. Pada titik ditemukannya populasi monyet ekor panjang dilakukan pencatatan posisi GPS, jumlah individu dalam setiap kelompok, dan jumlah kelompok monyet ekor panjang jika lebih dari satu kelompok. Selain karakteristik umum kelompok, juga dilakukan pengamatan data karakteristik biotik dan abiotik yang diperlukan guna menjelaskan faktor-faktor penentu sebaran monyet ekor panjang. Data yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Peubah faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat.

No Jenis Peubah Peubah Yang Diukur Notasi

1 Peubah Tak Bebas Jumlah Kehadiran Monyet ekor panjang Y1

2 Peubah Bebas Ketinggian Tempat X1

Jarak ke sumber air X2

Jarak pertanian X3

Suhu udara X4

Kelembaban udara X5

Jumlah jenis vegetasi X6

Jenis tumbuhan pakan X7

Kerapatan vegetasi X8

Pengumpulan data vegetasi dan peubah abiotik yang mempengaruhi penggunaan habitat dilakukan dengan membuat petak ukur dengan ukuran 20 m x 20 m untuk vegetasi tingkat pohon (A), 10 m x 10 m untuk tingkat tiang (B), 5 m x 5 m untuk tingkat pancang (C) dan 2 m x 2 m untuk tingkat semai (D). Pada setiap perjumpaan dengan monyet ekor panjang dilakukan pengukuran karakteristik abiotik. Petak ukur dibuat sebanyak 5 buah dengan posisi penempatan petak ukur seperti disajikan pada Gambar 8.


(39)

Metode pengumpulan data komponen abiotik dan vegetasi habitat monyet ekor panjang tersebut adalah sebagai berikut:

4.3.2.1. Komponen Abiotik Habitat

Komponen fisik habitat monyet ekor panjang meliputi ketinggian tempat, jarak ke sumber air, jarak pertanian, suhu, dan kelembaban.

a. Ketinggian tempat

Menurut Lekagul & McNeely (1977) monyet ekor panjang dapat ditemukan di hutan primer dan sekunder sampai dengan ketinggian 2000 mdpl. Ketinggian tempat penelitian diukur dengan menggunakan altimeter.


(40)

b. Jarak ke sumber air

Alikodra (2002) menyatakan satwaliar membutuhkan air untuk pencernaan makanan dan metabolisme dengan kebutuhan yang berbeda untuk tiap jenis satwaliar. Identifikasi jarak ke sumber air dilakukan dengan GPS dimana titik koordinat ditemukan monyet ekor panjang diplotkan ke peta RBI, kemudian dari titik tersebut ditarik garis ke titik koordinat sumber air terdekat. Panjang garis diukur menggunakan ArcGIS 9.3.

c. Jarak pertanian

Pengukuran jarak pertanian dilakukan karena monyet ekor panjang sering ditemukan disekitar daerah pertanian dan habitat tepi (edge) dibandingkan didalam hutan (Lekagul & McNeely 1977). Pengukuran jarak keberadaan monyet ekor panjang ke pertanian dilakukan dengan memasukan titik koordinat GPS lokasi ditemukan monyet ekor panjang ke dalam Peta RBI kemudian ditarik garis ke titik koordinat lahan pertanian terdekat. Panjang garis diukur menggunakan ArcGIS 9.3.

d. Suhu dan kelembaban udara

Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan menggunakan thermo-hygrometer. Pegukuran dilakukan sekali pada lokasi dan saat monyet ekor panjang ditemukan. Pengukuran ini dilakukan karena berdasarkan penelitian Santoso (1996) suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap perilaku harian monyet ekor panjang.

4.3.2.2. Komponen Vegetasi

Pengamatan dilakukan disetiap titik perjumpaan monyet ekor panjang. Metode yang digunakan dalam pengamatan komponen vegetasi adalah seperti disajikan pada Gambar 7. Komponen yang diukur adalah sebagai berikut:

a. Jumlah jenis vegetasi

Vegetasi di lokasi ditemukannya monyet ekor panjang dicatat jenis dan jumlahnya. Hasanbasri et al. (1996) menyebutkan bahwa potensi pakan monyet ekor panjang ada dalam setiap tingkatan vegetasi baik pohon, tiang, pancang, dan semai.


(41)

b. Jenis tumbuhan pakan

Tumbuhan pakan yang dimakan monyet ekor panjang pada saat penelitian dicatat jenis, jumlah dan bagian yang dimakan. Menurut Yeager (1998), urutan bagian tumbuhan yang paling banyak dimakan berturut-turut adalah buah, daun dan bunga.

c. Kerapatan vegetasi.

Alikodra (2002) menyebutkan bahwa struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung baik sebagai tempat persembunyian atau penyesuaian terhadap temperatur.

4.4. Analisis Data

4.4.1. Sebaran Monyet Ekor Panjang

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software ArcGIS 9.3. Peta sebaran dibuat dengan memplotkan titik koordinat perjumpaan monyet ekor panjang dengan peta kawasan TN Gunung Merapi.

4.4.2. Karakteristik Habitat

Komponen fisik habitat monyet ekor panjang yang berupa ketinggian tempat, jarak ke sumber air dan jarak pertanian diolah dengan menggunakan analisis spasial, kemudian ditabulasikan. Komponen fisik suhu dan kelembaban dianalisis secara kuantitatif kemudian ditabulasikan.

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui tingkat dominansi suatu jenis tumbuhan yang menempati suatu daerah. Data lapangan hasil plot pengamatan dianalisis untuk mengetahui jenis tumbuhan yang dominan yang dilakukan dengan menghitung nilai penting (NP). Nilai penting suatu jenis tumbuhan dalam suatu areal sama dengan jumlah nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif. Menurut Soerianegara & Indrawan (1998) nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kerapatan (K)=Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh


(42)

Kerapatan Relatif (KR)= Kerapatan suatu jenis

Kerapatan seluruh jenisx 100%

Frekuensi (F)= Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot dalam unit contoh

Frekuensi Relatif (FR)= Frekuensi suatu jenis

Frekuensi seluruh jenisx100%

Dominansi suatu jenis (D)=Luas bidang dasar suatu jenis Luas unit contoh

Luas bidang dasar suatu jenis =¼ D 2 Keterangan:

D = Diameter setinggi dada

Dominansi Relatif= Dominansi suatu jenis

Dominansi seluruh jenis x 100%

Indeks Nilai Penting (INP) untuk tingkat tiang dan pohon = KR +FR + DR, sedangkan untuk tingkat semai dan pancang INP = KR + FR. Analisis untuk mengetahui tingkat keanekaragaman tumbuhan pada setiap tipe habitat menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dengan persamaan sebagai berikut (Ludwig & Reynolds 1988):

H'= - (Piln Pi s

i=1

)

Nilai Pi diperoleh dengan menggunakan rumus:

Pi=

banyaknya individu spesies ke-i total individu dari seluruh spesies

Indeks kesamaan Jaccard ( ) digunakan untuk menganalisis tingkat kesamaan komunitas antar tipe habitat. Tingkat kesamaan komunitas semakin besar jika nilai indeks Jaccard semakin besar. Indeks kesamaan Jaccard dihitung dengan persamaan (Maguran 1988):


(43)

Cj= c

(a+b-c)

Keterangan:

c = Jumlah sepesies yang di temukan di kedua habitat a = jumlah spesies yang ditemukan di habitat A b = Jumlah spesies yang ditemukan di habitat B

4.4.3. Identifikasi Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat

Pemilihan habitat oleh monyet ekor panjang diketahui dengan membandingkan luas tipe habitat dengan intensitas penggunaannya. Satwaliar didefinisikan mempunyai sifat selektif jika memanfaatkan habitat dengan tingkat yang tidak proporsional dengan ketersediannya. Habitat dibedakan menjadi dua yaitu tipe habitat kerusakan vegetasi ringan dan tipe habitat kerusakan vegetasi sedang. Pengujian dilakukan dengan Chi Square Test untuk membandingkan frekuensi hasil observasi (observed) kehadiran satwaliar dengan dengan frekuensi yang diharapkan (expected). Frekuensi hasil observasi merupakan nilai proporsi antara used plot pada tiap tipe habitat dengan total used plot. Frekuensi yang diharapkan merupakan nilai perkalian proporsi area (availability) tiap-tiap tipe habitat dengan jumlah total used plot. Availability merupakan proporsi area masing-masing tipe habitat yang tersedia bagi monyet ekor panjang.

Hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor dominan penentu penggunaan habitat diuji dengan menggunakan Chi Square Test. Dalam pengujian ini setiap faktor dominan penentu penggunaan habitat dibagi dalam beberapa kelas. Frekuensi hasil observasi (observed) merupakan jumlah individu monyet ekor panjang yang dijumpai pada setiap kelas. Frekuensi yang diharapkan (expected) untuk setiap kelas dianggap sama. Selang kelas untuk setiap faktor dominan penentu penggunaan habitat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

L=R K

Keterangan: L = Selang kelas

R = Selisih antara nilai maksimum dengan minimum faktor dominan penentu penggunaan habitat


(44)

Chi Square Test untuk menguji adanya pemilihan habitat dan hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor-faktor dominan penentu pengggunaan habitat dirumuskan sebagai berikut (Johnson & Bhattacharyya 1987):

²= (Oi-Ei)² Ei Keterangan:

² = Chi Square hasil perhitungan

Oi= Frekuensi hasil observasi (observed) Ei= Frekuensi yang diharapkan (expected)

Hipotesis yang dibangun untuk menguji ada tidaknya pemilihan habitat oleh monyet ekor panjang adalah:

Ho : Habitat dipilih secara acak. Hi : Habitat dipilih secara tidak acak.

Hipotesis yang dibangun untuk menguji hubungan antara keberadaan monyet dengan faktor dominan penentu penggunaan habitat adalah:

Ho : Tidak ada hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat

Hi : Ada hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat.

Keputusan diambil jika nilai ² hitung ²(0,05,n-1) , maka terima H0 (tolak H1) begitupun sebaliknya, jika nilai ² hitung > ²(0,05,n-1) maka terima H1 (tolak H0).


(45)

5.1. Hasil

5.1.1. Sebaran Monyet Ekor Panjang

Monyet ekor panjang yang dijumpai selama pengamatan baik secara langsung maupun tidak langsung terdapat dalam 10 lokasi. Lokasi penyebarannya meliputi lima resort yaitu Resort Turi Cangkringan Pakem, Resort Dukun, Resort Kemalang, Resort Musuk-Cepogo dan Resort Selo (Tabel 6).

Tabel 6. Lokasi perjumpaan monyet ekor panjang di TNGM

Desa Resort Kordinat

X Y

Purwobinangun Turi Cangkringan Pakem 437.317 9.160.869 Purwobinangun Turi Cangkringan Pakem 436.712 9.162.067

Ngargomulyo Dukun 430.913 9.163.602

Ngargomulyo Dukun 431.494 9.164.153

Ngargomulyo Dukun 432.461 9.165.667

Tegalmulyo Kemalang 441.281 9.162.422

Tegalmulyo Kemalang 442.388 9.164.089

Mriyan Musuk-Cepogo 442.457 9.165.936

Mriyan Musuk-Cepogo 441.791 9.166.086

Suroteleng Selo 441.848 9.168.476

Monyet ekor panjang yang dijumpai secara langsung berada di semua resort dengan jumlah kelompok bervariasi seperti disajikan pada Tabel 7. Jumlah anggota kelompok yang paling besar ditemukan dalam pengamatan berada di Resort Kemalang dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 26 ekor, sedangkan jumlah anggota kelompok yang paling kecil ditemukan di Resort Dukun sebanyak 5 ekor. Perjumpaan tidak langsung ditentukan dengan indikator bekas pakan monyet ekor panjang yang berupa patahan daun dan bunga serta sisa buah pakan. Jumlah perjumpaan monyet ekor panjang didalam jalur pengamatan sebanyak 5 kali dengan perjumpaan langsung 2 kali dan perjumpaan tidak langsung 3 kali. Perjumpaan langsung monyet ekor panjang selama pengamatan sebanyak 7 kali dimana perjumpaan langsung diluar kawasan TNGM sebanyak 2 perjumpaan sedangkan didalam kawasan TNGM 5 perjumpaan.


(46)

Tabel 7. Jumlah perjumpaan monyet ekor panjang di TNGM

No Resort frekuensi Jumlah individu

A Perjumpaan Langsung

1 Turcangkem 1 22

2 Dukun 2 12

3 Kemalang 2 46

4 Musuk-Cepogo 1 7

5 Selo 1 9

B Perjumpaan Tidak Langsung

1 Turcangkem 1 -

2 Dukun 1 -

3 Musuk-Cepogo 1 -

Lokasi perjumpaan monyet ekor panjang berdasarkan tipe kerusakan habitat hanya terdapat 1 kelompok yang ditemukan di habitat kerusakan sedang yaitu di Resort Dukun, sedangkan untuk habitat kerusakan ringan ditemukan 4 kelompok. Lokasi penyebaran monyet ekor panjang di TNGM disajikan pada Gambar 9.


(47)

5.1.2. Karakteristik Habitat 1). Vegetasi

a). Habitat Kerusakan Ringan

Kerusakan habitat yang terjadi akibat erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 telah diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu kerusakan ringan, sedang dan berat. Lokasi penelitian adalah habitat tipe kerusakan ringan dan kerusakan sedang. Hasil pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian menemukan 85 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 34 famili. Jumlah jenis yang paling banyak ditemui adalah pada famili Euphorbiaceae dan Moraceae dengan masing-masing famili 9 jenis tumbuhan. Jumlah jenis yang ditemukan pada tingkat semai adalah 47 jenis, tingkat pancang adalah 72 jenis, tingkat tiang adalah 43 jenis, dan pada tingkat pohon sebanyak 40 jenis.

Jenis tumbuhan yang ditemukan dalam habitat kerusakan ringan adalah sebanyak 82 jenis dengan jumlah famili 32. Famili dengan jumlah jenis tumbuhan yang paling banyak adalah famili Euphorbiaceae dengan 9 jenis tumbuhan. Jumlah jenis tumbuhan untuk tingkat semai adalah 46 jenis, tingkat pancang adalah 70 jenis, tingkat tiang adalah 40 jenis dan tingkat pohon sebanyak 39 jenis. Jenis tumbuhan habitat kerusakan ringan secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.

Hasil analisis yang dilakukan pada habitat kerusakan ringan menunjukan bahwa tingkat pancang memiliki keanekaragaman tertinggi dan paling rendah adalah tingkat tiang. Nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) untuk tingkat semai adalah 2,33, tingkat pancang adalah 2,59, tingkat tiang adalah 2,20 dan tingkat pohon adalah 2,47. Nilai indeks tersebut menunjukan bahwa tingkat keanekaragaman jenis pada setiap tingkatan vegetasi tergolong dalam kategori sedang.

Berdasarkan hasil analisis pada habitat kerusakan ringan dapat diketahui bahwa kerapatan tertinggi pada tingkat semai adalah jenis kaliandra (Calliandra calothyrsus) sebanyak 1.564 ind/ha, kerapatan tertinggi pada tingkat pancang adalah kaliandra (C.calothyrsus) sebanyak 472 ind/ha, kerapatan tertinggi pada tingkat tiang adalah bambu petung (Dendrocalamus asper) sebanyak 83 ind/ha,


(48)

dan kerapatan tertinggi tingkat pohon adalah puspa (Schima wallichii) sebanyak 22 ind/ha. Selain mempunyai kerapatan tertingggi keempat jenis tersebut juga merupakan jenis tumbuhan yang dominan dengan INP seperti disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Jenis tumbuhan dominan pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada habitat kerusakan ringan di TNGM

Tingkat Nama Jenis Nama Ilmiah FR KR DR INP

Semai Kaliandra C.calothyrsus 19,15 48,90 68,05

Wilodo Ficus sp 6,91 8,02 14,93

Kina Cinchona succirubra 6,38 6,21 12,60 Salam Syzygium polyanthum 6,38 2,81 9,19 Pancang Kaliandra C.calothyrsus 9,45 33,29 42,73 Akasia dekuren Acacia decurens 17,04 24,46 41,50

Puspa S.wallichii 8,42 4,92 13,34

Pasang Lithocarpus sundaicus 5,54 3,98 9,52 Tiang Bambu Petung D.asper 9,72 38,33 37,92 85,97 Akasia dekuren A.decurens 19,12 17,98 22,80 59,90 Pasang L.sundaicus 12,85 11,55 9,61 34,01 Puspa Schima wallichii 11,29 7,62 6,29 25,20 Pohon Puspa S.wallichii 12,79 20,34 19,29 52,42 Pinus Pinus merkusii 10,48 18,93 21,86 51,27 Pasang L.sundaicus 12,08 14,11 11,13 37,32 Dadap Erythrina variegata 11,19 6,47 10,04 27,70 Keterangan: FR = Frekuensi Relatif (%); KR = Kerapatan Relatif (%); DR = Dominansi Relatif;

INP = Indeks Nilai Penting (%)

a). Habitat Kerusakan Sedang

Jumlah jenis tumbuhan pada habitat kerusakan sedang tergolong dalam 16 famili dengan 29 jenis tumbuhan. Famili dengan jumlah jenis terbanyak adalah Moraceae dengan 6 jenis tumbuhan. Jumlah jenis tumbuhan pada tingkat semai adalah 12 jenis, tingkat pancang adalah 17 jenis, jumlah tumbuhan tingkat tiang adalah 8 jenis, dan jumlah jenis tingkat pohon adalah 12 jenis. Jumlah jenis tumbuhan habitat kerusakan sedang secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.

Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa di habitat kerusakan sedang keanekaragaman tertinggi terdapat pada tingkat semai dan terendah terdapat pada tingkat pancang. Nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) untuk tingkat semai adalah 1,85, tingkat pancang adalah 0,74, tingkat tiang adalah 1,04, dan tingkat pohon adalah 1,00. Nilai indeks tersebut menunjukan bahwa pada tingkat semai, tiang, dan pohon keanekaragaman jenisnya termasuk dalam kategori sedang, sedangkan untuk tingkat pancang tergolong kategori rendah.


(49)

Hasil analisis di habitat kerusakan sedang menunjukkan bahwa kerapatan tertinggipada tingkat semai terdapat pada akasia dekuren (A.decurens) sebanyak 389 ind/ha, tingkat pancang terdapat pada akasia dekuren (A.decurens) sebanyak 798 ind/ha, tingkat tiang terdapat pada puspa (S.wallichii) sebanyak 19 ind/ha, dan tingkat pohon terdapat pada pinus (P.merkussii) sebanyak 63 ind/ha. Keempat jenis tersebut juga merupakan jenis tumbuhan yang dominan dengan INP disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Jenis tumbuhan dominan pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada habitat kerusakan sedang di TNGM

Tingkat Nama Jenis Nama Ilmiah FR KR DR INP Semai Akasia Dekuren A.decurens 32,50 45,16 77,66

Wilodo Ficus sp 17,50 17,74 35,24

Puspa S.wallichii 10,00 6,45 16,45

Jambu biji Psidium guajava 7,50 4,84 12,34 Pancang Akasia Dekuren A.decurens 53,40 85,68 139,08

Puspa S.wallichii 11,65 4,77 16,42

Mlandingan Leucaena glauca 5,83 1,67 7,50 Anggrung Trema orientalis 4,85 1,19 6,05 Tiang Puspa S. wallichii 69,77 72,92 73,70 216,39 Akasia dekuren A. decurens 11,63 10,42 8,26 30,30 Berasan Crytocarya ferrea 6,98 6,25 5,58 18,81

Pinus P.merkusii 2,33 2,08 3,86 8,26

Pohon Pinus P. merkusii 40,44 66,57 74,78 181,79 Puspa S.wallichii 31,69 22,39 15,15 69,23 Akasia Dekuren A.decurens 12,02 6,33 6,09 24,44

Dadap E.variegata 8,74 2,36 2,27 13,37

Keterangan: FR = Frekuensi Relatif (%); KR = Kerapatan Relatif (%); DR = Dominansi Relatif; INP = Indeks Nilai Penting (%)

Indeks kesamaan komunitas Jaccard (Cj) antara habitat kerusakan ringan dan habitat kerusakan sedang paling besar terdapat pada tingkat pohon sebesar 0,28. Nilai indeks kesamaan komunitas untuk tingkat semai adalah 0,23, pada tingkat pancang adalah 0,18, dan pada tingkat tiang adalah 0,12.

2). Pakan

Jumlah jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di habitat kerusakan ringan terdiri dari 21 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 14 famili. Jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat tiang adalah sebanyak 16 jenis, tingkat pancang sebanyak 18 jenis, tingkat tiang sebanyak 10 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 7 jenis. Jumlah jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang yang terdapat pada habitat kerusakan sedang terdiri dari 11 jenis yang tergolong dalam


(50)

8 famili. Jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat semai adalah sebanyak 7 jenis, tingkat pancang sebanyak 7 jenis, tingkat tiang sebanyak 3 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 5 jenis. Jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di TN Gunung Merapi disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Jenis pakan monyet ekor panjang di TNGM

Nama Lokal Nama Ilmiah Bagian yang dimakan

Buah Daun Bunga Tunas

Akasia dekuren A. decurens ×

Bambu Apus Gigantochloa apus ×

Bambu petung D. asper ×

Belimbing Kosek Acronychia trifoliata ×

Duwet Syzygium cummini ×

Jambu Biji P.guajava ×

Kaliandra C.calothirsus × × ×

Kayu manis Cinnamomun burmanni ×

Kemadoh Laportea stimulans ×

Kina C.succirubra ×

Kopeng Ficus sp × ×

Kopi Coffea sp ×

Mangga Mangifera indica ×

Mlandingan L.glauca ×

Nangka Arthocarpus heterophyllus ×

Pinus P.merkusii ×

Puspa S.wallichii ×

Salam Syzygium polyanthum × ×

Sengon Paraserianthes falcataria ×

Sirsak Annona muricata ×

Wuni Antidesma bunius ×

Keterangan: x = bagian tumbuhan yang dimakan oleh monyet ekor panjang

Jumlah jenis tumbuhan pakan yang paling banyak adalah jenis tumbuhan yang dimakan buahnya saja, sedangkan jenis tumbuhan pakan paling sedikit adalah jenis tumbuhan yang dimakan bagian buah, bunga, dan daun. Jumlah jenis dan bagian tumbuhan yang dimakan oleh monyet ekor panjang pada habitat kerusakan ringan dan habitat kerusakan sedang disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Jumlah jenis dan bagian tumbuhan yang dimakan oleh monyet ekor panjang di TNGM

Bagian Tumbuhan Tingkat kerusakan

Ringan Sedang

Buah 13 7

Daun 3 2

Tunas 2 -

Buah, daun 1 -

Daun, Bunga 1 1

Buah, bunga, daun 1 1


(51)

Kerapatan vegetasi tumbuhan pakan di habitat kerusakan ringan pada tingkat semai adalah 2327 ind/ha, tingkat pancang adalah 1076 ind/ha, tingkat tiang adalah 153 ind/ha, dan tingkat pohon adalah 59 ind/ha. Tumbuhan pakan yang mendominasi pada habitat kerusakan ringan pada tingkat semai dan pancang adalah kaliandra (C.calothyrsus) dengan INP= 68,05% dan 42,73%, tingkat tiang adalah belimbing kosek (A.trifoliata) dengan INP= 85,97%, dan tingkat pohon adalah puspa (S.wallichii) dengan INP= 52,42%. Jenis tumbuhan pakan yang mendominasi untuk setiap tingkatan disajikan pada Tabel 12. Indeks nilai penting dan kerapatan tumbuhan pakan pada habitat kerusakan ringan secara lengkap disajikan pada Lampiran 11.

Tabel 12. Indeks Nilai Penting jenis pakan tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada habitat kerusakan ringan

Tingkat Nama Lokal Nama Latin Kerapatan (ind/ha) INP (%)

Semai Kaliandra C.calothyrsus 1564,00 68,05

Kina C.succirubra 199,00 12,60

Salam S.polyanthum 90,00 9,19

Kopi Coffea sp 147,00 6,74

Pancangg Kaliandra C.calothyrsus 472,00 42,73

Akasia dekuren A.decurens 347,00 41,50

Puspa S.wallichii 70,00 13,34

Kina C.succirubra 51,00 7,31

Tiang Belimbing Kosek A.trifoliata 83,00 85,97

Akasia dekuren A.decurens 39,00 59,90

Puspa S.wallichii 16,00 25,20

Sengon P. falcataria 7,00 11,43

Pohon Puspa S.wallichii 22,00 52,42

Pinus P. merkusii 21,00 51,27

Akasia dekuren A.decuren 8,00 19,39

Nangka A. heterophyllus 5,00 12,81

Kerapatan vegetasi tumbuhan pakan monyet ekor panjang di habitat kerusakan sedang pada tingkat semai adalah 639 ind/ha, tingkat pancang adalah 878 ind/ha, tingkat tiang adalah 23 ind/ha, dan tingkat pohon adalah 90 ind/ha. Tumbuhan pakan pada habitat kerusakan sedang yang mendominasi pada tingkat semai dan pancang adalah akasia dekuren dengan INP= 77,66% dan 139,08%, tingkat tiang adalah puspa dengan INP= 216,39%, dan tingkat pohon adalah pinus dengan INP= 181,79%. Jenis tumbuhan pakan yang mendominasi untuk setiap tingkatan disajikan pada Tabel 13. Kerapatan vegetasi dan Indeks nilai penting tumbuhan pakan pada habitat kerusakan sedang secara lengkap disajikan pada Lampiran 12.


(1)

Lampiran 11. Jenis pakan monyet ekor panjang pada habitat kerusakan ringan di TNGM

Jenis pakan tingkat semai pada habitat kerusakan ringan

No Nama Lokal Nama Latin Kerapatan (ind/ha) INP (%)

1 Kaliandra Calliandra calothyrsus 1564,10 68,05

2 Kina Cinchona succirubra 198,72 12,60

3 Salam Syzygium polyanthum 89,74 9,19

4 Kopi Coffea sp 147,44 6,74

5 Puspa Schima wallichii 51,28 4,26

6 Kopeng Ficus sp 38,46 3,86

7 Kemadoh Laportea stimulans 44,87 3,53

8 Nangka Arthocarpus heterophyllus 38,46 3,33

9 Duwet Syzygium cummini 32,05 3,13

10 Kayu manis Cinnamomun burmanni 32,05 3,13

11 Akasia dekuren Acacia decurens 44,87 3,00

12 Jambu biji Psidium guajava 12,82 1,46

13 Wuni Antidesma bunius 12,82 1,46

14 Mangga Mangifera indica 6,41 0,73

15 Mlandingan Leucaena glauca 6,41 0,73

16 Sengon Paraserianthes falcataria 6,41 0,73

Total 2326,92

Jenis pakan tingkat pancang pada habitat kerusakan ringan

No Nama Lokal Nama Latin Kerapatan (ind/ha) INP (%) 1 Kaliandra Calliandra calothyrsus 471,79 42,73

2 Akasia dekuren Acacia decurens 346,67 41,50

3 Puspa Schima wallichii 69,74 13,34

4 Kina Cinchona succirubra 51,28 7,31

5 Salam Syzygium polyanthum 18,46 4,59

6 Sengon Paraserianthes falcataria 20,51 3,91

7 Kemadoh Laportea stimulans 21,54 3,37

8 Kopeng Ficus sp 18,46 3,15

9 Kayu manis Cinnamomun burmanni 10,26 2,37

10 Duwet Syzygium cummini 8,21 2,02

11 Nangka Arthocarpus heterophyllus 7,18 1,94

12 Kopi Coffea sp 7,18 1,53

13 Mlandingan Leucaena glauca 4,10 1,11

14 Wuni Antidesma bunius 6,15 1,05

15 Pring apus Gigantochloa apus 7,18 0,71

16 Jambu biji Psidium guajava 3,08 0,63

17 Belimbing kosek Acronychia trifoliata 2,05 0,56

18 Sirsak Annona muricata 2,05 0,35


(2)

Lampiran 11 lanjutan

Jenis pakan tingkat tiang pada habitat kerusakan ringan

No Nama Lokal Nama Latin Kerapatan (ind/ha) INP (%) 1 Belimbing kosek Acronychia trifoliata 82,56 85,97

2 Akasia dekuren Acacia decurens 38,72 59,90

3 Puspa Schima wallichii 16,41 25,20

4 Sengon Paraserianthes falcataria 7,18 11,43

5 Nangka Arthocarpus heterophyllus 2,56 4,70

6 Pring petung Dendrocalamus asper 2,31 4,51

7 Pinus Pinus merkusii 1,79 3,85

8 Kayu manis Cinnamomum burmannii 0,77 1,17

9 Kemadoh Laportea stimulans 0,51 0,75

10 Kina Cinchona succirubra 0,26 0,52

Total 153,08

Jenis pakan tingkat pohon pada habitat kerusakan ringan

No Nama Lokal Nama Latin Kerapatan (ind/ha) INP (%)

1 Puspa Schima wallichii 22,18 52,42

2 Pinus Pinus merkusii 20,64 51,27

3 Akasia dekuren Acacia decuren 7,56 19,39

4 Nangka Arthocarpus heterophyllus 5,32 12,81

5 Sengon Paraserianthes falcataria 3,08 11,31

6 Belimbing kosek Acronychia trifoliata 0,06 0,31

7 Kina Cinchona succirubra 0,06 0,28


(3)

Lampiran 12. Jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang pada habitat kerusakan sedang di TNGMi

Jenis pakan tingkat semai pada habitat kerusakan sedang

No Nama Lokal Nama Latin Kerapatan (ind/ha) INP (%)

1 Akasi dekuren Acacia decurens 388,89 77,66

2 Puspa Schima wallichii 55,56 16,45

3 Jambu biji Psidium guajava 41,67 12,34

4 Salam Syzygium polyanthum 41,67 12,34

5 Sengon Paraserianthes falcataria 41,67 12,34

6 Kaliandra Callyandra calothirsus 41,67 7,34

7 Pinus Pinus merkusii 27,78 5,73

Total 638,89

Jenis pakan tingkat pancang pada habitat kerusakan sedang

No Nama Lokal Nama Latin Kerapatan (ind/ha) INP (%)

1 Akasia dekuren Acacia decurens 797,78 139,08

2 Puspa Schima wallichii 44,44 16,42

3 Mlandingan Leucaena glauca 15,56 7,50

4 Sengon Paraserianthes falcataria 13,33 5,32

5 Kaliandra Callyandra calothirsus 2,22 1,21

6 Kemadoh Laportea stimulans 2,22 1,21

7 Nangka Arthocarpus heterophyllus 2,22 1,21

Total 877,78

Jenis pakan tingkat tiang pada habitat kerusakan sedang

No Nama Lokal Nama Latin Kerapatan (ind/ha) INP (%)

1 Puspa Schima wallichii 19,44 216,39

2 Akasia dekuren Acacia decurens 2,78 30,30

3 Pinus Pinus merkusii 0,56 8,26

Total 22,78

Jenis pakan tingkat pohon pada habitat kerusakan sedang

No Nama Lokal Nama Latin Kerapatan (ind/ha) INP (%)

1 Pinus Pinus merkusii 62,78 181,79

2 Puspa Schima wallichii 21,11 69,23

3 Akasia dekuren Acacia decurens 5,97 24,44

4 Sengon Paraserianthes falcataria 0,28 0,96

5 Kina Cinchona succirubra 0,14 0,75


(4)

Lampiran 13. Uji hubungan antara keberadaan monyet dengan faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat.

Uji hubungan antara keberadaan monyet dengan jumlah jenis vegetasi

Jumlah jenis vegetasi (jenis)

Jumlah Rendah Sedang Tinggi

Oi Oi

51,00 7,00 22,00 80,00

Ei Ei

26,67 26,67 26,67

Kai-kuadrat

Kai-kuadrat

22,20 14,50 0,82 37,53

Kai-kuadrat-tabel Kai-kuadrat-tabel

5,99

Uji hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan suhu Suhu ºC Jumlah Rendah Sedang Tinggi

Oi Oi

26,00 42,00 12,00 80,00

Ei Ei

26,67 26,67 26,67

Kai-kuadrat

Kai-kuadrat

0,02 8,82 8,07 16,90

Kai-kuadrat-tabel Kai-kuadrat-tabel

5,99

Uji hubungan keberadaan monyet ekor panjang dengan kelembaban

Kelembaban %

Jumlah Rendah Sedang Tinggi

Oi Oi

7,00 47,00 26,00 80,00

Ei Ei

26,67 26,67 26,67

Kai-kuadrat

Kai-kuadrat

14,50 15,50 0,02 30,03

Kai-kuadrat-tabel Kai-kuadrat-tabel

5,99

Uji hubungan keberadaan monyet ekor panjang dengan ketinggian tempat

Ketinggian tempat (m dpl)

Jumlah Rendah Sedang Tinggi

Oi Oi

12,00 22,00 46,00 80,00

Ei Ei

26,67 26,67 26,67

Kai-kuadrat

Kai-kuadrat

8,07 0,82 14,02 22,90

Kai-kuadrat-tabel Kai-kuadrat-tabel


(5)

Lampiran 13 lanjutan

Uji hubungan keberadaan monyet ekor panjang dengan jarak ke sumber air

Jarak ke sumber air (m)

Jumlah Rendah Sedang Tinggi

Oi Oi

12,00 26,00 42,00 80,00

Ei Ei

26,67 26,67 26,67

Kai-kuadrat

Kai-kuadrat

8,07 0,02 8,82 16,90

Kai-kuadrat-tabel Kai-kuadrat-tabel

5,99

Uji hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan jarak ke pertanian

Jarak ke pertanian (m)

Jumlah Rendah Sedang Tinggi

Oi 27,00 5,00 48,00 80,00

Ei Ei

26,67 26,67 26,67

Kai-kuadrat

Kai-kuadrat

0,01 17,60 17,07 34,68

Kai-kuadrat-tabel Kai-kuadrat-tabel

5,99

Uji hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan jumlah tumbuhan pakan

Jumlah tumbuhan pakan (jenis)

Jumlah Rendah Sedang Tinggi

Oi Oi

53,00 27,00 0,00 80,00

Ei Ei

26,67 26,67 26,67

Kai-kuadrat

Kai-kuadrat

26,00 0,01 26,67 52,68

Kai-kuadrat-tabel Kai-kuadrat-tabel

5,99

Uji hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan Kerapatan vegetasi tingkat semai N_Semai Jumlah Rendah Sedang Tinggi

Oi 26,00 7,00 47,00 80,00

Ei Ei

26,67 26,67 26,67

Kai-kuadrat

Kai-kuadrat

0,02 14,50 15,50 30,03

Kai-kuadrat-tabel Kai-kuadrat-tabel


(6)

Lampiran 13 lanjutan

Uji hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan Kerapatan vegetasi tingkat pancang

N_Pancang

Jumlah Rendah Sedang Tinggi

Oi Oi

42,00 5,00 33,00 80,00

Ei Ei

26,67 26,67 26,67

Kai-kuadrat

Kai-kuadrat

8,82 17,60 1,50 27,93

Kai-kuadrat-tabel Kai-kuadrat-tabel

5,99

Uji hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan Kerapatan vegetasi tingkat tiang

N_Tiang

Jumlah Rendah Sedang Tinggi

Oi 27,00 22,00 31,00 80,00

Ei Ei

26,67 26,67 26,67

Kai-kuadrat

Kai-kuadrat

0,01 0,82 0,70 1,53

Kai-kuadrat-tabel Kai-kuadrat-tabel

5,99

Uji hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan Kerapatan vegetasi tingkat pohon

N_Pohon

Jumlah Rendah Sedang Tinggi

Oi 38,00 0,00 42,00 80,00

Ei 26,67 26,67 26,67

Kai-kuadrat 4,82 26,67 8,82 40,30