Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta

Pendugaan fungsi respons produksi dengan metode 2SLS diperoleh hasil yang tercantum pada Tabel 6.1. Koefisien determinan R 2 sebesar 0.827, menunjukkan bahwa keragaman produksi sebesar 82.7 persen dapat dijelaskan oleh berapa luas areal, harga domestik, harga pupuk dan kondisi perekonomian Indonesia. Tabel 6.1 Hasil Penduga Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta Variable Parameter Estimate Standard Error t Value Pr |t| Esr Intercept 66582.15 224138.6 0.30 0.387 Luas Lahan 0.454324 0.229949 1.98 0.036 0.99 Harga Domestik 73.6408 28.06228 2.62 0.011 0.33 Harga Pupuk -3.32577 437.3229 -0.01 0.497 _ Dummy 200855.7 43214.76 4.65 0.0002 _ R-Square 0.82703 F Value 14.34 Dari empat peubah yang dimasukkan dalam model fungsi respons produksi, tiga peubah mempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi pada taraf 5 persen, yaitu luas lahan, harga domestik dan kondisi perekonomian Indonesia. Elastisitas luas lahan terhadap produksi sebesar 0.99 berarti dengan anggapan faktor-faktor lain tetap, maka jika luas lahan meningkat 10 persen maka produksi akan meningkat sebesar 9.9 persen. Hal ini menyebabkan bahwa faktor 36 lahan masih merupakan faktor produksi yang dominan dalam peningkatan produksi kopi robusta. Dari Tabel 6.1 juga terlihat bahwa elastisitas harga kopi domsetik adalah inelastis, yaitu sebesar 0.33. Nilai elastisitas ini menunjukkan jika faktor-faktor lain tetap maka peningkatan harga kopi domestik sebesar 10 persen dan menyebabkan produksi meningkat sebesar 3.3 persen. Sementara itu harga pupuk tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap produksi kopi robusta. Harga pupuk yang masuk dalam model adalah harga kopi pada tahun bersangkutan. Perubahan harga pupuk mempunyai pengaruh terhadap jumlah pupuk yang digunakan, tetapi perubahan jumlah pupuk yang digunakan ternyata tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi pada tahun bersangkutan. Pengaruh pemupukan terhadap produksi kemungkinan baru terjadi pada tahun berikutnya atau bahkan 2 tahun berikutnya. Nilai koefisien kondisi perekonomian Indonesia sebesar 200855 ton berarti bahwa pada saat terjadi krisis ekspor kopi lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis. Pada saat krisis, nilai rupiah terdepresiasi. Walaupun harga kopi dalam mata uang US relatif tetap, tetapi dalam mata uang rupiah harga kopi setelah krisis jadi lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis. Hal ini menyebabkan harga kopi relatif lebih murah di negara-negara pengimpor. Akhirnya permintaan dari negara-negara pengimpor pun meningkat. Ini mendorong adanya produksi kopi bertambah untuk mengimbanginya.

6.2 Model Fungsi Permintaan Domestik Kopi Robusta