Penerapan Asas Berwawasan Lingkungan Pada Penanaman Modal Asing di Bidang Usaha Perikanan Menurut Hukum Positif di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdurrachman, A. Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, cetakan keenam, Jakarta: Pradnya Paramita,1991
Adisasmita, Rahardjo.Pembangunan Kelautan dan kewilayahan, Cetakan Pertama, Yokyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Arrasjid, Chainur.Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2004 Dahuri, Rokhimin, dkk. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001 Daliyo, J.B.Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prenhallindo: 2001
Dirjosisworo, Soedjono. Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal Di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1999
Downes, John dan Goodman, Jorda Elliot. Kamus Istilah Keuangan dan Investasi, Jakarta: Elex Media Komputendo,1994
Erawaty, A F Elly dan Badudu, J S. Kamus Hukum Ekonomi Indonesia Inggris, Jakarta: Balai Pustaka, 2005
Gillis, Malcolm, dkk. Economics of Development, New York: Norton & Company, 1987.
Harjono, Dhaniswara K. Hukum penanaman Modal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007
Haryati, Tri. dkk. Konsep Penguasaan Negara Di Sektor Sumber Daya Alam Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS FHUI, 2005
Hatta, Mohammad.Penjabaran Pasal 33 UUD 1945, Jakarta: Mutiara, 1980 Husin, Sukanda. Peranan Hukum Pidana dalam Memerangi Kejahatan
Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1995 Ishaq. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Kelsen, Hans. General theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, New York: Russell & Russell, 1961
(2)
Koeswadji, Hermien Hadiati. Hukum Pidana Lingkungan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993
Mahadi.Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Bandung: Alumni,1991
Muchtar, Masrudi. Sistem Peradilan Pidana Di Bidang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup,Jakarta: Jakarta Pusaka, 2015
Paulson, Stanley L. “On Kelsen’s Place in Jurispruden, Intruduction to Hans Kelsen,” Introduction To The Problems Of Legal Theory; A Translation of the First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law, Translated by: Bonnie Litcheweski Paulson and Stanley L. Paulson, Oxford: Clarendon Press, 1992
Poerwadarminta,W.J.S. Kamus Hukum, Jakarta: Balai Pustaka, 1976
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Cetakan kelima, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000
Rahmadi, Takdir. Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Surabaya: Airlangga University Press, 2003
Ramlan. Konsep Hukum Tata Kelola Perikanan Perlindungan Hukum Industri Perikanan dari Penanaman Modal Asing di Indonesia, Malang, Setara Press, 2015
Rochyat,Deni Dj. Bahari Nusantara Untuk Kesejahteraan Masyarakat dan Ketahanan Nasional, Cetakan Pertama, Jakarta: The Media of Social and Cultural Communication (MSCC), 2009
Saleh, K Wantjik. Kitab Himpunan Lengkap Ketetapan MPRS/MPR, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981
Salvatore, Dominick. Ekonomi Internasional (international economics), Jakarta: Erlangga, 1997
Sembiring, Sentosa. Hukum Investasi, Bandung, Nuansa Aulia, 2010
Sihombing, Jonker. Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Edisi Pertama, Bandung: Alumni, 2009
Sumartono. Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal/Problem of Investment In Equities and in Securities, Bandung: Binacipta, 1990 Tribawono H. Djoko. Hukum Perikanan Indonesia, Bandung: Citra Aditya
(3)
Untung, Hendri Budi. Hukum Investasi, cetakan pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Winardi. Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), Cetakan Kedelapan, Bandung: Alumni,1982
B. Peraturan-Peraturan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 04 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 Tentang Usaha Perikanan Peraturan Presiden No 44 Tahun 2016 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2006 Tentang Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan
Peraturan Menteri kelautan Dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif Di Bidang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peraturan Presiden No 36 Tahun 2010 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal
(4)
Ketetapan MPRS Nomor XXIII Tahun 1966 tentang Pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan.
C. JURNAL
Departemen Kelautan dan Perikanan, Analisis Potensi Ekonomi Maritim Dalam Rangka Perumusan Kebijakan Ekonomi Maritim Indonesia, Jakarta: tp., 2007
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi keempat. (Jakarta: Balai Pustaka, 1995),
Juergensmeyer, Julian Conrad.Control of Air Pollution Through the Assertion of Private Right, Duke Law Jurnal 1126, 1967.
Siombo, Marhaeni Ria. Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan
terhadap Pengetahuan Tentang Penangkapan Ikan Ramah
Lingkungan (Eksperimen Pada nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara, 2008), Sinopsis Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 2009
Nurmaningsih dan Shobar Wiganda. Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Ikan (studi Kasus Pengolahan Abon Ikan di KUB Hurip Mandiri di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi), Majalah Forum Ilmiah Unija, Vol. 14 No. 04, April 2010,
D. SKRIPSI, TESIS DAN DISERTASI
Atamimi, A. Hamid S. “peranan Keputusan presiden Republik Indonesia Dalam penyelenggaraan Pemerintah Negara suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurung Waku Pelita I – Pelita IV”, Disertasi, Pascasarjana, Jakarta, 1990
Chandra, Derry. “penerapan prinsip kelangsungan usaha dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (studi kasus putusan Mahkamah Agung
Nomor 156 PK/Pdt.Sus/2012)”, Skripsi, Medan, 2014
E. WEBSITE
Abidin, Nur.Http://nurabidinabitia.blogspot.com/2013/03/bab-1-arti-penting-norma-dan-hukum-bagi.html (Diakses Pada Tanggal 03 april 2016) Krisanto, Yakub Adi.http://gubugpengetahuan.blogspot.com(Diakses Pada
(5)
BAB III
PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG USAHA PERIKANAN DI INDONESIA
A. Penanaman Modal Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
1. Latar belakang pembentukan undang-undang penanaman modal
Dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dirasakan perlu pembangunan secara menyeluruh. Namun untuk melaksanakan pembangunan tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jika hanya mengandalkan modal dalam negeri, tentu tidak memadai. Oleh karena itu, timbul pemikiran untuk mencari modal dari luar negeri sebagai alternatif untuk mengatasi masalah kebutuhan dan dalam melaksanakan pembangunan, yakni dengan mengundang investor asing.
Kehadiran investor diharapkan dapat membawa dampak signifikan tidak hanya bagi masyarakat setempat tetapi juga secara nasional, terlebih lagi investor yang menanamkan modalnya berorientasi ekspor. Jadi semakin tampak, bahwa untuk membangun perekonomian nasional dalam rangka mencapai tujuan nasional sangat diperlukan dana yang tidak sedikit. Maka perlu dicari sumber-sumber dana pembangunan dari berbagai sumber. Dalam hal ini Gillis menyatakan:54
54 Gillis, Malcolm, dkk., Economics of Development, (New York: Norton & Company, 1987), hlm 189, Lihat juga Dominick Salvatore, Ekonomi Internasional (international economics), (terjemah Haris Munandar), (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm. 468.
(6)
Modal asing memberi dampak positif, antara lain termasuk peningkatan produktivitas, transfer teknologi , pengetahuan akan proses baru, keahlian manajerial, pengetahuan pada pasar domestik, pelatihan karyawan, jaringan produk intenasional dan akses menuju pasar internasional.
Dalam mengundang investor asing, maka diperlukan landasan hukum formal yang mengatur masalah investasi asing. Untuk itu, Majelis Permusawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menerbitkan Ketetapan MPRS Nomor XXIII Tahun 1966 tentang Pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan.55 Apa yang digariskan TAP MPRS tersebut sudah tersirat dengan jelas, yakni perlunya pembaharuan kebijakan di bidang ekonomi.
Pasal 9 Ketetapan MPRS Nomor XXIII Tahun 1966 menentukan:
“pembangunan ekonomi terutama mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan teknolog, penambahan pengetahuan peningkatan keterampilan, penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen.”
Lalu dalam Pasal 10 Ketetapan MPRS Nomor XXIII Tahun 1966 menyebutkan:
“penangulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan lebih lanjut dari potensi ekonomi harus didasarkan kapada kemapuan serta kesanggupan rakyat Indonesia sendiri. Akan tetapi asas ini tidak boleh menimbulkan keengganan untuk memanfaatkan potensi-potensi modal, teknologi dan skill yang tersedia dari luar negeri, selamabantuan itu benar-benar diabdikan kepada kepentingan ekonomi tanpa mengabaikan ketergantungan terhadap laur negeri.”
Selanjutnya dalam Pasal 62 Ketetapan MPRS Nomor XXIII Tahun 1966 menyebutkan:
55 K. Wantjik Saleh, Kitab Himpunan Lengkap Ketetapan MPRS/MPR, (Jakarta: Ghalia
(7)
“mengingat terbatasnya persediaan modal di dalam negeri dibandingkan dengan kebutuhan pembangunan nasional, maka perlu segera ditetapkan
Undang-undang mengenai modal asing, termasuk domestik asing.”
Guna memantapkan payung hukum dalam berinvestasi di Indonesia, pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tantang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Setelah cukup lama berlaku, akhirnya ketentuan investasi yang selama empat puluh tahun diatur dalam dua undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tantang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM).
Jika dirunut kebelakang tampak bahwa pembahasan terhadap pembaharuan ketentuan investasi memakan waktu yang cukup lama. Hal ini dapat dimaklumi karena UUPM yang menganut paham liberal tidak serta merta diterima oleh berbagai pihak. Namun seiring perjalanan waktu, akhirnya berbagai masukan yang diberikan berbagai pihak yang mempunyai perhatian pengaturan hukum investasi dirangkum dalam semangat yang ada dalam UUPM yang ada saat ini.
2. Pengertian Penanaman Modal
Dalam berbagai kepustakaan hukum ekonomi dan/atau hukum bisnis, terminologi penanaman modal dapat berarti penanaman modal yang dilakukan secara langsung oleh investor lokal (domestic investor), investor asing (foreign
(8)
direct invesment) dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak asing (foreign indirect investment). Untuk yang terkahir ini dikenal dengan istilah penanaman modal dalam bentuk Portofolio yaitu pembelian efek lewat Lembaga Pasar Modal (capital market).
Dalam kamus istilah keuangan dan investasi digunakan istilah investment (investasi) yang mempunyai arti:56
“penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke resiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Investasi dapat pula berarti menunjuk ke suatu investasi keuangan (dimana investor menempatkan uang ke dalam suatu negara) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seseorang yang ingin memetik keuntungan dari keberhasilan investasi.”
Dalam kamus hukum ekonomi menggunakan termonologi investment yang berarti:57
“penanaman modal yang biasanya dilakukan untuk jangka panjang misalnnya berupa pengadaan aktiva tetap perusahaan atau membeli sekuritas dengan maksud untuk memperoleh keuntungan.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan:58
“investasi berarti pertama, penanaman uang atau modal di suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan; dan kedua jumlah uang atau uang yang ditanam”
Penanaman modal (investasi) juga dapat diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan dana yang dimiliki dengan menanamkannya ke usaha/proyek yang
56 John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan & Investasi, (alih bahasa Soesanto Budhidarmo), (Jakarta: Elex Media Komputendo, 1994), hlm. 300.
57
A. F. Elly Erawaty dan J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Indonesia Inggris, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 69.
58 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm 441.
(9)
produktif baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan harapan salin mendapatkan pengembalian modal awalnya dikemudian hari, tentunya pemilik modal juga akan mendapat sejumlah keuntungan dari penanaman modal dimaksud.59
Paul M. Jhonson60 mengatakan investasi adalah selutuh pendapatan yang dibelanjakan oleh perusahaan atau lembaga pemerintah untuk barang-barang modal yang akan digunakan dalam akktivitas peroduktif. Reilly & Brown61 mengatakan investasi adalah komitmen untuk mengikatkan aset saat ini untuk beberapa periode waktu ke masa depan guna mendapatkan penghasilan yang mampu mengkompensasikan pengorbanan investor berupa; a) keterikatan aset pada waktu tertentu, b) tingkat inflasi, dan c) ketidaktentuan penghasilan di masa mendatang.
Sedangkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 sendiri dalam Pasal 1 butir 1 menyebutkan penanaman modal adalah:62
“Segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia.”
59 Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Edisi Pertama, (Bandung:
Alumni, 2009), hlm. 15. 60
Hendri Budi Untung, Hukum Investasi, cetakan pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 63.
61 Ibid.
(10)
3. Tujuan penanaman modal
Adapun tujuan diselenggarakannya penanaman modal, dijabarkan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPM sebagai berikut:
a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; b. Menciptakan lapangan kerja;
c. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
d. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; e. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; f. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
g. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan
h. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Mencermati tujuan diselenggarakannya penanaman modal dalam Pasal 3 atau (2) di atas, tampak bahwa pembentuk undang-undang telah menggariskan suatu kebijakan jangka panjang yang harus diperhatikan oleh berbagai pihak terkait dengan penanaman modal. Dalam ketentuan tersebut telah dijabarkan secara limitatif, tujuan yang hendak dicapai.
Namun, suatu hal yang harus disadari dalam mengelola penanaman modal, kebutuhan investor tidak hanya pada waktu hendak melakukan penanaman modal, akan tetapi jangka panjang yakni selama investor tersebut melakukan kegiatannya.
(11)
Menurut Soedjono Sirdjosisworo, banyak faktor yang mempengaruhi PMA ketika akan menginvestasikan modalnya, seperti:63
a. Sistem politik dan ekonomi negara yang bersangkutan;
b. Sikap rakyat dan pemerintahnya terhadap orang asing dan modal asing;
c. Stabilitas politik, stabilitas ekonomi, dan stabilitas keuangan; d. Jumlah dan daya beli penduduk sebagai calon konsumennya;
e. Adanya bahan mentah atau bahan penunjang untuk digunakan dalam pembuatan hasil produksi;
f. Adanya tenaga buruh yang terjangkau untuk produksi;; g. Tanah untuk tenpat usaha;
h. Struktur perpajakan, pabean dan cukai; dan
i. Perundang-undangan dan hukum yang mendukung jaminan usaha.
Oleh karena itu, tujuan penyelenggaraan penanaman modal tersebut hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain dengan: 64
a. Perbaikan koordinasi antara instansi pemerintahan pusat dan daerah; b. Penciptaan birokrasi yang efisien;
c. Kepastian hukum di bidang penanaman modal; d. Biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi; dan
63
Soedjono Dirjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal Di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 226
64 Dhaniswara K. Harjono, Hukum penanaman Modal, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.107.
(12)
e. Iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha.
4. Hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanaman modal
Pasal 14 UUPM menentukan bahwa setiap penanam modal berhak untuk mendapatkan:
a. Kepastian hak, hukum, dan perlindungan;
b. Informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankan; c. Hak pelayanan; dan
d. Berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kepastian hak adalah jaminan pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melakukan kewajibannya. Kepastian hukum adalah jaminan pemerintah untuk menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama dalam setiap tindakan dan kebijakanbagi penanam modal. Sedangkan kepastian perlindungan adalah jaminan pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal.65
Setelah jaminan berbagai hak yang akan diterima penanam modal dari pemerintah, maka penanam modal jugam memiliki kewajiban yang harus mereka laksanakan. Kewajiban penanaman modal tersebut adalah: 66
65 Op. Cit., Ramlan, hlm 63.
(13)
a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c. Membuat laporan tentangg kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada BKPM;
d. Menghormati tradisi budaya msyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan
e. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam penjelasan Pasal 15 UUPM dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Selain itu, penanam modal harus membuat laporan kegiatan penanaman modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan kendala yang dihadapi penanam modal. Selanjutnya disampaikan secara berkala kepada BKPM dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal.
Selain kewajiban di atas, bagi penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, maka memiliki kewajiban untuk mengalokasikan dana secara bertahap bagi pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.67 Hal ini dimaksud untuk
(14)
mengantisipasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penanaman modal.
Lebih lanjut penanam modal juga memiliki tanggung jawab untuk:
a. Menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Menciptakan iklim usaha persaingan sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara;
d. Menjaga kelestarian lingkungan;
e. Menciptakan keselamtan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan
f. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Fasilitas penanaman modal
Fasilitas penanaman modal diberikan dengan pertimbangan tingkat daya saing perekonomian dan kondisi keuangan negara serta harus promotif dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan. Pemberian fasilitas penanaman modal juga dilakukan dalam upaya mendorong penyerapan tenaga kerja, ketertarikan pembangunan ekonomi dengan perlakuan ekonomi kerakyatan, orientasi ekspor dan insentif yang lebih menguntungkan kepada penanaman
(15)
modal yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan produksi dalam negeri, serta fasilitas terkait dengan lokasi penanaman modal daerah tertinggal dan daerah dengan insfratruktur terbatas.
Dapat dikatakan bahwa tujuan pemberian fasilitas-fasilitas yang bersifat insentif adalah: 68
a. Untuk mempercepat penyebaran penanaman modal keseluruh pelosok tanah air, karena dengan adanya penanaman modal terjadi pertumbuhan ekonomi, dengan adanya pertumbuhan ekonomi, akan ada peningkatan kesejahteraan.
b. Insetif atau fasilitas diberikan agar ada percepatan dari sektor ekonomi. Perekonomian pasti tumbuh apabila sektor-sektor di bawahnya bekerja degan baik, termasuk sisi sektor produksi, yaitu industri.
Agar tujuan penanaman modal tersebut dapat tercapai, berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUPM, pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal. Fasilitas tersebut diberikan kepada:
a. Penanam modal yang melakukan perluasan usaha; dan b. Penanam modal yang melakukan penanaman modal baru.
(16)
Bagi penanam modal yang melakukan penanaman modal baru akan memperoleh fasilitas penanaman modal apabila sekurang-kurangnya memenuhi salat satu kreteria sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (3) UUPM, yaitu:
a. Menyerap banyak tenaga kerja; b. Termasuk skala perioritas;
c. Termsuk pembangunan insfrastruktur; d. Melakukan alih teknologi;
e. Melakukan industri pionir;
f. Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu;
g. Menjaga kelestarian lingkungan hidup;
h. Melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi; i. Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; dan j. Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan
yang di produksi di dalam negeri.
Bentuk-bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanam modal yang memenuhi kreteria di atas, dapat berupa:
a. Fasilitas perpajakan dan pungutan lain.
Fasilitas perpajakan menurut pasal 18 ayat (4) dapat berupa:
1) Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam jumlah tertentu;
(17)
2) Pembebasan atau keringanan bea masuk atau impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;
3) Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;
4) Pembebasan dan/atau penangguhan pajak pertambahan nilai atas impor barang modal atau mesin atau peraltan untuk keperluan produksi yang belum dapat di produksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu;
5) Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan
6) Keringanan pajak bumi dan bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. b. Fasilitas perizinan, sesuai dengan standar-standar penanaman modal,
yaitu admission, ditentukan bahwa harus ada pelayanan perizinan yang pasti dan jelasyang aspek prosedur dan persyaratan, biaya, dan waktu yang dikelola secara terpadu oleh suatu instansi dalam suatu penanaman modal di suatu negara. Di Indonesia sendiri perizinan penanaman modal diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanaman modal dalam
(18)
memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas, fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal69.
B. Penanaman Modal Asing Di Bidang Usaha Perikanan Di Indonesia
1. Usaha Perikanan
Usaha perikanan dalam UU Nomor 31 Tahun 2004 diatur diatur dalam Pasal 25 yang menyatakan bahwa usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran. Secara faktual yang paling banyak melakukan usaha di bidang perikanan adalah usaha perorangan. Oleh karena itu, upaya maksimal yang perlu dilakukan adalah bagaimana agar perorangan yang terlibat dalam usaha perikanan ini perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah, khususnya dalam pengurusan perizinan perikanan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 25 Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 yang telah di ubah oleh Pasal 25 Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 yang ditambah satu pasal, bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri ayat (2).70
Peranan usaha perikanan dalam pembangunan bangsa dan negara sangatlah penting, sehinggal Pasal 25 ditambah lagi dengan tiga pasal, yaitu pasal 25A, 25B dan 25C. Dalam pasal 25A dinyatakan bahwa pelaku usaha perikanan
69
Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
70 Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 268
(19)
dalam melaksanakan bisnis perikanan harus memperhatikan standar mutu hasil perikanan (ayat (1)). Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan menfasilitasi pengembangan usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan (ayat (2)). Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu hasil perikanan diatur dalam Peraturan Menteri (ayat(3)).
Selain itu, pemerintah mempunyai kewenangan untuk mendorong penyelenggaraan pemasaran usaha perikanan ke luar negeri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 25B, bahwa pemerintah berkewajiban menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan pemasaran usaha perikanan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri (ayat (1)). Pengeluaran hasil produksi usaha perikanan dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional (ayat (2)). Pemerintah berkewajiban menciptakan iklim usaha perikanan yang sehat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (ayat (3)).
Selain itu, pemerintah juga membina dan memfasilitasi berkembangnya industri perikanan di dalam negeri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 25C, bahwa pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri perikanan nasional dengan mengutamakan penggunaan bahan baku dan sumber daya manusia dalam negeri (ayat (1)). Pemerintah membina terselenggaranya kebersamaan kemitraan yang sehat antara industri perikanan, nelayan dan/atau koperasi perikanan (ayat (2)). Ketentuan mengenai pembinaan, pemberian fasilitas, kebersamaan dan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
(20)
ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (ayat (3)).
Menyadari akan begitu pentingnya menggerakkan sektor usaha perikanan yang merupakan salah satu usaha yang banyak digeluti oleh nelayan di seluruh nusantara, maka pemerintah melalui Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.18/Men/2006 tentang Skala Usaha Pngelolaan Hasil Perikanan. Dalam diktum pertimbangan keberatan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan ini dinyatakan bahwa dalam rangka mendorong peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan melalui udaha perikanan yang dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran, perlu membangun dan mengembangkan usaha pengolahan hasil perikanan.
Salah satu yang menjadi fokus perhatian peraturan ini, menyangkut mengenai usaha pengolahan perikanan sebagimana yang diatur dalam Pasal 1 Permen Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.18/Men/2006 Tentang Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan, bahwa usaha pengolahan hasil perikanan dibedakan menjadi:
a. Usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro; b. Usaha pengolahan hasil perikanan skala kecil;
c. Usaha pengolahan hasil perikanan skala menengah; dan d. Usaha pengolahan hasil perikanan skala besar.
(21)
Untuk membedakan antara usaha pengolahan yang satu dengan yang lainnya tergantung pada aset setiap usaha tersebut. Hal itu sesuai ketentuan dalam Pasal 2, bahwa pembedaan skala usaha pengolahan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ditetapkan berdasarkan parameter:
1) Omset; 2) Aset;
3) Jumlah tenaga kerja;
4) Status hukum dan perizinan; 5) Penerapan teknologi; dan
6) Teknik dan manajerial (ayat (1)).
Pengertian masing-masing aspek dalam parameter sebagimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagimana tercantum dalam Lampiran 1, (ayat (2)). Masing-masing parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi bobot, indikator dan skala serta nilai kumulatif sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2, (ayat (3)). Sementara itu, usaha pengolahan memiliki nilai kumulatif masing-masing. Hal ini diatur dalam Pasal 3 Permen kelautan dan Perikanan Nomor: Per.18/Men/2006 yang menyatakan bahwa nilai kumulatif untuk masing-masing parameter skala usaha pengolahan hasil peerikanan sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:
a) Usaha pengolahan hasil perikanan skala;
b) Usaha pengolahan hasil perikanan skala kecil memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 45-69;
(22)
c) Usaha pengolahan hasil perikanan skala menengah memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 70-89;
d) Usaha pengolahan hasil perikanan skala besar memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 90-100.
Tabel 1: Parameter skala usaha pengolahan hasil perikanan Parameter Indikator
Parameter Bobot (B) Skala (S) Nilai (BxS)/5 Omset Aset
Jumlah tenaga kerja
Status hukum dan perizinan
Penerapan
< 100 juta/ tahun 100 juta – 1M/ tahun 1M – 3 M/ tahun 3M – 5M/ tahun > 5M/ tahun
Tidak dipisahkan dengan kekayaan rumah tangga, 100 juta
100 juta – 1 M 1M – 5M 5M – 10 M 10 M
< 10 orang 11 – 19 orang 20 – 49 orang 50 – 100 orang > 100 orang
Tidak berbadan hukum Berbadan hukum
Berbadan hukum dan mempunyai perizinan Manual Semi mekanik 25 20 20 10 10 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 3 5 1 3 5 10 15 20 25 4 8 12 16 20 4 8 12 16 20 2 6 10 2 6
(23)
teknologi teknis dan manajerial
Mekanik
Belum memiliki SKP Memiliki SKP
Memiliki SKP dan Sertifikat
PMMT/HACCP
15
5 1 3 5
10 3 9 15
Sumber : Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 268.
2. Persyaratan Usaha Perikanan
Pasal 26-28 UUP 2004 menentukan bahwa setiap orang yang melakukan usaha perikanan wajib memiliki surat izin usaha perikanan(SIUP), surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan(SIKPI).
Hal ini dipertegas kembali dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2002, bahwa perusahaan yang melakukan usaha perikanan, wajib memiliki SIUP. Terhadap kapal perikanan berbendera indonesia yang melakukan penangkapan ikan atau kapal perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib melengkapi dengan SIPI, dan terhadap kapal perikanan yang berfungsi sebagai kapal pengangkut ikan dalam satu kesatuan armada pengangkapan ikan wajib dilengkapi dengan SIKPI.
Proses pengurusan SIUP, SIPI dan SIKPI dalam usaha perikanan, lebih lanjut dapat dilihat dalam uraian berikut :
a. Syarat memperoleh SIUP, SIPI dan SIKPI bagi usaha pembudidayaan ikan.
(24)
Pasal 2 Permen KP Nomor 12 Tahun 2007 menentukan bahwa jenis perizinan usaha di bidang pembudidayaan ikan meliputi SIUP di bidang pembudidayaan ikan, dan SIKPI di bidang pembudidayaan ikan.
1) SIUP di bidang pembudidayaan ikan. Pasal 14-16 Permen KP Nomor 12 Tahun 2007 menentukan bahwa untuk memperoleh SIUP, maka setiap orang wajib mengajukan permohonan kepada Dirjen dengan melampirkan:
a) Rencana usaha; b) NPWP
c) Foto copy akta pendirian perusahaan berbadan hukum/koperasi yang menyebutkan bidang usaha di bidang pembudidayaan ikan yang telah disahkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang hukum/koperasi;
d) Surat keterangan domisili perusahaan/koperasi;
e) Foto copy KTP penanggung jawab perusahaan/koperasi;
f) Pas foto berwarna penanggung jawab perusahaan/koperasi sebanyak 4 (empat) lembar ukuran 4x6 cm; dan
g) Analisis mengenai dampak lingkungan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yabgn berlaku. 2) SIKPI di bidang pembudidayaan ikan. Pasal 18-21 Permen KP
Nomor 12 tahun 2007 menentukan bahwa untuk memperoleh SIKPI, maka bagi kapal pengangkut berbendera Indonesia dan
(25)
dikelola oleh perusahaan di bidang pembudidayaan ikan, wajib mengajukan permohonan kepada Dirjen dengan melampirkan: a) Foto copy SIUP atau surat persetujuan penanaman modal izin
usaha yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di bidang penanaman modal;
b) Rekomendasi hasil pemeriksaan fisik dan dokumen kapal perikanan dari pejabat yang ditunjuk oleh Dirjen yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan oleh petugas pemeriksa fisik kapal;
c) Surat perjanjian kerja sama pengangkutan antara perusahaan pengelola kapal pengangkut ikan hasil pembudidayaan dengan pembudi daya ikan, kecuali digunakan untuk mendukung operasi pembudidayaan ikan milik sendiri; dan
d) Foto copy KTP penanggung jawab perusahaan atau pemilik kapal.
Untuk memperoleh SIKPI, bagi kapal pengangkut ikan berbendera asing dan dikelola oleh perusahaan di bidang pembudidayaan ikan, wajib mengajukan permohonan kepada Dirjen dengan melampirkan:
a) Foto copy SIUP atau surat persetujuan penanaman modal izin usaha yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di bidang penanaman modal;
(26)
c) Foto copy paspor atau buku pelaut (seaman book) nahkoda; d) Rekomendasi hasil pemeriksaan fiisk dan dokumen kapal
perikanan dari pejabat yang ditunjuk oleh Dirjen yang dibuat beradasarkan hasil pemeriksaan leh petugas pemeriksa fisik kapal;
e) Surat perjanjian kerja sama pengangkutan antara perusahaan pengelola kapal pengangkutan ikan hasil pembudidayaan dengan pembudidaya ikan, kecuali digunakan untuk mendukung operasi pembudidayaan ikan milik sendiri;
f) Foto copy surat perjanjian sewa kapal perikanan; g) Rekomendasi pengawakan tenaga kerja asimg;
h) Foto copy KTP atau paspot penanggung jawab perusahaan atau pemilik kapal; dan
i) Pas foto berwarna nakhoda sebanyak 2 (dua) lembar, ukuran 4x6 cm.
Adapun untuk memperoleh SIUP, bagi kapal pengangkut ikan berbendera indonesia dan dageni oleh perusahaan bukan perusahaan perikanan, maka setiap orang wajib mengajukan permohonan kepada Dirjen dengan melampirkan:
a) Foto copy surat izin usaha pelayaran angkatan laut (SIUPAL); b) Foto copy sertifikat kelaikan dan pengawakan;
(27)
d) Rekomendasi hasil pemeriksaan fisik dan dokumen kapal perikanan dari pejabat yang ditunjuk oleh Dirjen yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan oleh petugas pemeriksa fisik kapal;
e) Surat perjanjian kerja sama pengangkutan antara perusahaan pengelola kapal pengangkutan ikan hasil pembudidayaan dengan pembudidaya ikan, kecuali digunakan untuk mendukung operasi pembudidayaan ikan milik sendiri;
f) Foto copy surat perjanjian sewa kapal perikanan;
g) Foto cop KTP penanggung jawab perusahaan atau pemilik kapal; dan
h) Pas foto berwarna nakhoda sebanyak 2 (dua) lemabt, ukuran 4x6 cm.
Sedangkapn untk memperoleh SIKPI, bagi kapal pengangkut ikan berbendera asing dan dikelola oleh perusahaan bukan perusahaan perikanan, setiap orang wajib mengajukan permohonan kepada Dirjen dengan melampirkan:
a) Foto copy SIUPAL;
b) Foto copy paspor atau buku pelaut (seaman book) nakhoda; c) Foto copy penunjukkan keagenan (letter of appointment); d) Rekomendasi hasil pemeriksaan fisik dan dokumen kapal
(28)
berdasarkan hasil pemeriksaan oleh petugas pemeriksa fisik kapal;
e) Surat perjanjian kerja sama pengangkutan antara perusahaan pengelola kapal pengangkutan ikan hasil pembudidayaan denan pembudidaya ikan, kecuali digunakan untuk mendukung operasi pembudidayaan ikan milik sendiri;
f) Foto copy surat perjanjian sewa kapal perikana;
g) Foto copy KTP atau paspor penanggung jawab perusahaan atau pemilik kapal; dan
h) Pas foto berwarna nakhoda sebanyak 2 (dua) lembar, ukuran 4x6 cm.
3) RPIPM di bidang pembudidayaan ikan. Berdasarkan Pasal 22-25 Permen KP Nomor 12 Tahun 2007 bahwa bagi perusahaan pembudidayaan ikan dengan fasilitas penanaman modal (baik PMDN maupun PMA), wajib mengajukan permohonan izin usaha kepada instansi yang berwenang di bidang penanaman modal. Permohonan izin usaha, wajib dilengkapi rekomendasi pembudidayaan ikan penanaman modal (RPIPM) yang diterbitkan oleh Dirjen, dengan melampirkan persyaratan identitas perusahaan, rencana usaha dan rekomendasi lokasi dari gubernur, walikota/bupati atau pejabat yang ditunjuk.
(29)
RPIPM dapat juga diajukan oleh perusahaan pembudidayaan ikan langsung kepada Dirjen dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud diatas.
b. Syarat utuk memperoleh SIUP, SIPI dan SIKPI bagi usaha perikanan tangkap di WPPRI.
Pasal 11-12 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012, menentukan bahwa setiap orang yang melakukan usaha perikanan tangkap di WPPRI, wajib memiliki izin usaha perikanan tangkap, yang meliputi:
1) Izin usaha perikanan yang diterbitkan dalam bentuk SIUP, terdiri dari:
a) SIUP perorangan; b) SIUP perusahaan; dan c) SIUP penanaman modal.
2) Izin penangkapan ikan yang diterbitkan dalam bentuk SIPI, terdiri dari:
a) SIPI untuk kapal penangkap ikan yang dioperasikan secara tunggal;
b) SIPI untuk kapal penangkap ikan yang dioperasikan dalam satuan armada penangkap ikan;
c) SIPI untuk kepal pendukung operasi penangkap ikan; dan d) SIPI untuk kapal latih atau penelitian/eksplorasi perikanan.
(30)
3) Izin kapal pengangkutan ikan yang diterbitkan dalam bentuk SIKPI, terdiri dari:
a) SIKPI untuk kapal pengangkut ikan dari sentra nelayan;
b) SIKPI untuk kapal pengangkut ikan dari pelabuhan pengkalan kepelabuhan muat;
c) SIKPI untuk kapal pengangkut ikan dengan pola kemitraan; d) SIKPI untuk kapal pengangkut ikan tujuan ekspor;
e) SIKPI untuk kapal pengangkut ikan berbendera asing yang diageni oleh perusahaan bukan perusahaan perikanan; dan f) SIKPI untuk kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang
diageni oleh perusahaan bukan perusahaan perikanan.
Kewajiban memiliki SIUP dikecualikan bagi nelayan kecil, dan pemerintah, pemerintah daerah atau perguruan tinggi untuk kepentingan pelatihan dan penelitian/eksporasi perikanan. Kewajiban memiliki SIPI dan SIKPI, dikecualikan juga bagi nelayan kecil dan kewajiban tersebut diganti dengan barang bukti pencatatan kapal. Waktu berlakunya SIUP selama orang melakukan kegiatan usaha perikanan tangkap, sedangkan SIPI, SIKPI dan bukti pencatatan kapal berlaku selama 1 (satu) tahun.
3. Usaha perikanan yang diperbolehkan dikelola pemodal asing
Merujuk kepada Pasal 29 ayat (1) UUP 2004 bahwa usaha perikanan di WPPRI hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun ketentuan ini tidak mutlak, sepanjang hal tersebut
(31)
menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku, maka terhadap orang asing atau badan hukum asing diperbolehkan melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI.71 Hal ini diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintahan Reepublik Indonesia untuk jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya72. Bahkan, ketentuan tersebut sangat jelas apabila dilihat dari ruang lingkup berlakunya UUP, di mana UUP berlaku untuk:73
a. Setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di WPPRI.
b. Setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan berbendera asing, yang melakukan kegiatan perikanan di WPPRI.
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 tersebut, terlihat dengan jelas bahwa usaha perikanan yang diperbolehkan dikelola pemodal asing hanya usaha penangkapan ikan di ZEEI. Hal ini dipertegas kembali dalam Lampiran II Perpres Nomor 36 Tahun 2010 pada bidang kelautan dan perikanan, yang menentukan bahwa usaha perikanan tangkap dengan menggunakan kapal penangkapan ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih besar di wilayah penangkapan ZEEI, yang
71
Op. Cit., Ramlan, hlm. 134. 72
Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 05 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
(32)
pelaksanaannya harus memenuhi persyaratan dan ketentuan yang telah diatur dengan Permen KP Nomor 30 Tahun 2012.74
Lebih lanjut Pasal 3 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012 menentukan jenis usaha perikanan tangkap terdiri dari; a) usaha penangkapan ikan, b) usaha penangkapan ikan, c) usaha penangkapan dan pengangkutan ikan, dan d) usaha perikanan tangkap terpadu, sedangkan bagi pemodal asing hanya diperbolehkan melakukan usaha pada jenis usaha perikanan tangkap terpadu. Hal ini dipertegas kembali pada Pasal 8 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012, yang menentukan bahwa usaha perikanan tangkap terpadu terdiri dari usaha perikanan tangkap dengan PMDN dan PMA, dan usaha perikanan tangkap non penanaman modal.
Usaha perikanan tangkap terpadu merupakan integrasi antara kegiatan penangkapan ikan, pengangkutan ikan dengan industri pengolahan ikan. Integrasi ditujukan untuk meningkatka mutu, nilai tambah dan daya saing produk perikanan Indonesia.75
Usaha perikanan tangkap terpadu dengan fasilitas PMA diharuskan menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 100 GT, dan bagi usaha perikanan tangkap terpadu ini, setiap pengusaha harus memiliki kapal perikanan dengan jumlah kumulatif di atas 2.000 GT. 76
74 Op. Cit., Ramlan, hlm. 134. 75
Pasal 9 Peraturan Menteri Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
76 Pasal 39 Peraturan Menteri Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan
(33)
Perusahaan perikanan dengan fasilitas PMA harus mengajukan permohonan rekomendasi alokasi penangkapan ikan penanaman modal (RAPIPM) kepada Dirjen melalui instansi yang berwenang di bidang penanaman modal, dengan melampirkan:77
a. Identitas perusahaan;
b. Wajib mendirikan perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Indonesia; dan
c. Rencana usaha yang meliputi rencana investasi, rencana kapal dan rencana operasional.
Berdasarkan surat persetujuan penanaman modal yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal, selanjutnya perusahaan perikanan mengajukan permohonan penerbitan SIUP kepada Dirjen dengan melampirkan persyaratan:78
a. Rencana usaha meliputi rencana investasi, rencana kapal dan rencana operasional;
b. Fotokopi NPWP perusahaan, dengan menunjukkan aslinya;
c. Fotokopi KTP/paspor penanggung jawab perusahaan, dengan menunjukkan aslinya;
d. Surat keterangan domisili usaha; e. Fotokopi pengesahan badan hukum;
77
Pasal 40 Peraturan Menteri Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
78 Pasal 41 Peraturan Menteri Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan
(34)
f. Surat pernyataan bermaterai cukup dari penanggung jawab perusahaan yang menyatakan; 1) kebenaran data dan informasi yang disampaikan, dan 2) kesediaan mematuhi dan melaksanakan semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagi perusahaan dengan fasilitas PMA yang menggunakan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dengan jumlah kumulatif diatas 2.000 GT harus melakukan pengolahan ikan dengan membangun atau memiliki UPI. Pembangunan UPI meliputi fasilitas, sarana pengolahan, kelayakan pengolahan, produksi, dan ketersediaan bahan baku. Pembangunan UPI tersebut, wajib direalisasikan 100&% (seratus persen) paling lama 1 (satu) tahun sejak SIPI dan/atau SIKPI ditebitkan.
Keberadaan UPI akan selalu dievaluasi oleh Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan khususnya yang terkait dengan fasilitas, sarana pengolahan, kelayakan pengolahan, produksi, dan ketersediaan bahan baku, serta operasionalisasi.79
Terhadap usaha perikanan tangkap terpadu dengan fasilitas PMA dapat diberikan insentif berupa: 80
a. Tambahan alokasi jumlah kapal tangkapan;
b. Perioritas pemanfaatan kawasan industri di pelabuhan perikanan;
79
Pasal 42 Peraturan Menteri Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
80 Pasal 9 ayat (3) Peraturan Menteri Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
(35)
c. Pemberian pelabuhan bongkar pada SIPI dan SIKPI sesuai UPI yang dimiliki;
d. Fasilitas promosi produk perikanan, baik di pasar lokal maupun pasar ekspor, dan/atau
e. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya alam.
Namun, pemberian insentif tersebut tetap mempertimbangkan ketersediaan sumber daya ikan, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh kementerian kelautan dan perikanan, pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota sesuai kewenangannya.
Insentif dapat juga diberikan kepada usaha penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan yang melakukan pengembangan usaha pengolahan ikan, berupa:81
a. Tambahan alokasi jumlah kapal perikanan;
b. Perioritas pemanfaatan kawasan industri di pelabuan perikanan; dan/atau
c. Pemberian pelabuhan bongkar pada SIPI dan SIKPI sesuai dengan UPI yang dimiliki.
Terhadap usaha pengolahan ikan yang melakukan pengembangan usaha penangkapan ikan dapat diberikan insentif berupa:
81 Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana Di Bidang Perikanan
(36)
a. Fasilitas promosi produk perikanan, baik di pasar lokal maupun pasar ekspor; dan/atau
b. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya alam.
Namun pemberian insentif tersebut tetap mempertimbangkan ketersediaan sumber daya ikan, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh KKP, pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota sesuai kewenangannya.
4. Usaha perikanan yang tidak diperbolehkan dikelola pemodal asing
Berdasarkan Perpres Nomor 39 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2016, maka usaha perikanan yang tidak diperbolehkan dikelola pemodal asing terdiri dari:
a. Perikanan tangkap dengan menggunakan kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 30 GT, di wilayah perairan sampai 12 mil atau kurang, dan pengolahan hasil perikanan yang dilakukan secara terpadu dengan penangkapan ikan di perairan umum. Usaha ini hanya dicadangkan untuk UMKMK.
b. Pembesaran ikan laut, pembenihan ikan laut, pembesaran ikan air payau, pembenihan ikan air payau, pembesaran ikan air tawar, pembenihan ikan air tawar, usaha pengolahan hasil perikanan, seperti industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya, industri pengasapan ikandan biota perairan lainnya. Usaha pengolahan hasil perikanan, seperti peragian, fermentasi, preduksian/pengekstaksian, pengolahan surimi dan jelly ikan, serta
(37)
usaha pemasaran, distribusi hasil perikanan, seperti perdagangan besar hasil perikanan dan perdagangan ekspor hasil perikanan. Usaha ini hanya diperbolehkan dilakukan dengan kemitraan.
c. Usaha perikanan tangkap dengan menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih besar di wilayah penangkapan ZEEI, usaha perikanan tangkap dengan menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih besar di wilayah penangkapan laut lepas, pemanfaatan dan peredaran koral/karang hias dari alam untuk akuarium dan pengangkatan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam. Usaha ini hanya diperbolehkan dilakukan dengan perizinan khusus.
d. Usaha perikanan tangkap dengan menggunakan kapal penangkapan ikan berukuran di atas 30 GT, di wilayah perairan di atas 12 mil, dan penggalian pasir laut. Usaha ini hanya diperbolehkan dilakukan oleh pemodal dalam negeri hingga besaran modal mencapai 100%.
Berdasarkan pengaturan yang ditentukan dalam Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tersebut, maka usaha perikanan yang tidak diperbolehkan dikelola pemodal asing dapat digolongkan kepada usaha pembudidayaan ikan dan usaha perikanan tangkap.
a. Usaha pembudidayaan ikan.
Usaha dibidang pembudidayaan ikan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran, serta
(38)
dilakukan di air tawar, air payau, dan di laut. Dalam Pasal 5 Permen KP Nomor 12 Tahun 2007 ditentukan bahwa usaha di bidang pembudidayaan ikan pada tahap:
1) Praproduksi meliputi pemetaan lahan, identifikasi lokasi, status kepemilikan lahan, dan/atau pencetakan lahan pembudidayaan ikan. 2) Produksi meliputi pembenihan, pembesaran, dan/atau pemanenan ikan. 3) Pengolahan meliputi penanganan hasil, pengolahan, penyimpanan,
pendinginan, dan/atau pengawetan ikan hasil pembudidayaan.
4) Pemasaran meliputi pengumpulan, penampungan, permuatan, pengangkutan, penyaluran, dan/atau pemasaran ikan hasil pembudidayaan.
Usaha-usaha di bidang pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan secara terpisah maupun secara terpadu. Usaha di bidang pembudidayaan ikan secara terpisah hanya boleh dilakukan pada tahap praproduksi dan produksi, sedangkan usah di bidang pembudidayaan ikan secara terpadu dapat dilakukan sebagai berikut: 82
1) Tahap praproduksi dan produksi dengan tahap pengolahan; 2) Tahap praproduksi dan produksi dengan tahap pemasaran; atau
3) Tahap praproduksi dan produksi, tahap pengolahan, dan tahap pemasaan.
82 Pasal 6 Peraturan Menteri Perikanan Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Perizinan Usaha
(39)
Setiap orang yang melakukan usaha di bidang pebudidayaan ikan di WPPRI pada tahap produksi, tahap pengolahan, dan/atau tahap pemasaran wajib memiliki SIUP di bidang pembudidayaan ikan. Kewajiban memiliki SIUP ini berlaku untuk usaha dibidang pembudidayaan ikan baik secara terpisah maupun secara terpadu. Di dalam SIUP ini akan dicantumkan jenis kegiatan usaha yang dilaksanakan, jenis ikan yang dibudidayakan, luas lahan atau perairan, dan letak lokasi pembudidayaan ikan.83
Usaha di bidang pembudidayaan ikan dapat menggunakan kapal pengangkutan untuk mengangkut sarana produksi dan/atau ikan hasil pembudidayaan. Kapal pengangkut ikan itu meliputi kapal,84 1) berbendera Indonesia atau berbendera asing dikelola oleh perusahaan di bidang pembudidayaan ikan, atau 2) berbendera Indonesia atau berbendera asing yang diageni oleh perusahaan bukan perusahaan perikanan, dan setiap kegiatan pengangkutan ikan tersebut wajib dilengkapi SIKPI di bidang pembudidayaan ikan.
b. Usaha perikanan tangkap.
Usaha perikanan tangkap terdiri dari; pertama, usaha perikanan tangkap dengan menggunakan kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 30 GT, di wilayah perairan sampai dengan 12 mil atau kurang. Usaha perikanan ini hanya dicadangkan untuk UMKMK, yang berwenang menerbitkan SIUP, SIPI, dan
83
Pasal 7 - 8 Peraturan Menteri Perikanan Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan
84 Pasal 9 Peraturan Menteri Perikanan Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Perizinan Usaha
(40)
SIKPI adalah bupati/walikota untuk kapal perikanan dengan ukuran sampai dengan 10 GT, sedangkan gubernur untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT.
Kedua, usaha perikanan tangkap degan menggunakan kapal penangkap ikan berukuran di atas 30 GT, di wilayah perairan di atas 12 mil. Usaha perikanan ini diperuntukan bagi modal dalam negeri hingga 100%, dan berwenang menerbitkan SIUP, SIPI, dan SIKPI adalah Dirjen. Hal tersebut berlaku juga terhadap usaha perikanan tangkap dengan menggunakan kapal penangkap ikan berukuran 100 GT dan/atau lebih besar di wilayah penangkapan laut lepas.85
Berdasarkan uraian diatas, maka usaha perikanan tangkap dapat digolongkan kepada usaha perikanan tangkap di WPPRI dan usaha perikanan tangkap di laut lepas.
1) Usaha perikanan tangkap di WPPRI. Pasal 3 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012 menentukan bahwa jenis usaha perikanan tangkap meliputi:
a) Usaha penangkapan ikan , terdiri dari; (1) usaha penangkapan ikan dengan menggunakan kapal penangkap ikan yang dioperasikan secara tunggal. Usaha ini dilakukan oleh kapal penangkap ikan yang sekaligus difungsikan sebagai kapal pengangkut ikan hasil tangkapan. (2) usaha penangkapan ikan dengan menggunakan kapal penangkap ikan yang dioperasikan dalam satuan armada penangkap ikan. Usaha ini dilakukan oleh kapal penangkap ikan, kapal pengangkut ikan, dan
85
(41)
kapal pendukung operasi penangkapan ikan yang merupakan satu kesatuan armada penangkapan ikan. (3) usaha penangkapan ikan dengan menggunakan kapal penangkap ikan yang dioperasikan secara tunggal dan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan kapal penangkap ikan yang dioperasikan dalam satuan armada penangkapan ikan. Usaha ini dilakukan dalam 1 (satu ) usaha.
b) Usaha pengangkutan ikan, terdiri dari; (1) usaha pengangkutan ikan di dalam negeri, yang terdiri dari; (a) pengangkutan ikan dari sentra nelayan, (b) pengangkutan ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan muat; dan (c) pengangkutan ikan dengan pola kemitraan. (2) usaha pengangkutan ikan untuk tujuan ekspor, merupakan kapal pengangkutan ikan yang digunakan untuk mengangkut ikan ke luar negeri. Terhadap usaha pengangkutan ikan untuk tujuan ekspor dan usaha pengangkutan ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan muat dapat dilakukan oleh perusahaan bukan perusahaan perikanan.
c) Usaha penangkapan dan pengangkutan ikan, usaha ini hanya dapat dilakukan dala satu perusahaan.
Pasal 4 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012 menentukan bahwa usaha perikanan tangkap dengan menggunakan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dengan jumlah kumulatif 200 GT ke atas hanya dapat dilakukan oleh perusahaan berbadan hukum. Usaha perikanan ini juga mendapat insentif seperti diatur dalam Pasal 10 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012.
(42)
Sejalan dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 3 Permen KP Nomor 30 Tahun 2012 tersebut diatas, maka secara spesifik dalam melakukan penangkapan ikan, memerlukan suatu teknik pengelolaan perikanan yang berkaitan dengan penangkapan ikan.
Beverton86 menyatakan bahwa mortalitas pada perikanan tertentu secara fungsional berhubungan dengan jumlah satuan penangkapan yang ikut serta menangkap, kemampuan menangkap, jumlah waktu penangkapan dan tersebarnya aktivitas penangkapan di daerah perikanan (fishing ground) pada musim tertentu.
2) Usaha perikanan tangkap dai laut lepas. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Jo. angka 12 Permen KP Nomor 12 Tahun 2012, bahwa usaha perikanan tangkap di laut lepas adalah; “usaha perikanan yang berbasis pada kegiatan penangkap ikan dan/atau kegiatan pengangkutan ikan, yang dilakukan di bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan perdalaman Indonesia”.
Pasal 3 Permen KP Nomor 12 Tahun 2012, membagi usaha perikanan tangkap di laut lepas, kepada usaha penangkapan ikan, dan/atau usaha pengangkutan ikan.
Laut lepassebagaimana dimaksud diatas, meliputi wilayah pengelolaan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) di Samudera Hindia dan
86 Smith Ian R dan Marahudin Firial, Ekonomi Perikanan Dari Pengelolaan
(43)
Samudera Pasifik. RMFO atau organisasi perikanan regional merupakan organisasi yang mengelola sediaan ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish) dan sediaan ikan yang beruaya terbatas (stradadling fish stock) di ZEE dan laut lepas.87
Usaha perikanan tangkap tersebut menggunakan kapal perikanan berbendera Indonesia dengan ukuran di atas 30 GT atau panjang seluruhnya (LOA) paling sedikit 15 meter.
Setiap orang yang akan melakukan usaha penangkapan ikan di laut lepas, dalam pengadaan kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan, harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari Dirjen. Persetujuan tertulis disampaikan kepada Dirjen dengan melampirkan:88
a) Untuk pengadaan kapal baru:
(1) Fotokopi SIUP, yang mencantumkan wilayah penangkapan dan pengangkutan ikan di laut lepas;
(2) Fotokopi gambar rencana umum kapal (general arrangement), termasuk spesifikasi alat penangkapan ikan;
(3) Fotokopi gambar rencana umum kapal (general arrangement), termasuk spesifikasi untuk kapal pengangkut ikan;
(4) Nama perusahaan, lokasi dan negara tempat pembangunan kapal; dan (5) Surat keterangan dari galangan kapal tempat kapal akan dibangun.
87
Pasal 3 ayar 2 Jo Pasal 1 angka 19 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Usaha perikanan
88 Pasal 50 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Usaha perikanan
(44)
b) Untuk pengadaan kapal bukan baru:
(1) Fotokopi SIUP yang mencantumkan wilayah penangkapan di laut lepas;
(2) Grosse akte;
(3) Fotokopi gambar rencana umum kapal (general arrangement), termasuk spesifikasi alat penangkap ikan;
(4) Fotokopi gambar rencana umum kapal (general arrangement), untuk kapal pengangkut ikan;
(5) Bendera kapal sebelumnya;
(6) Fotokopi tanda kebangsaan kapal; dan
(7) Surat pernyataan bahwa kapal tidak tercantum dalam IUU vessel list RFMO.
Pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan tersebut dapat dilakukan dari dalam negeri dan/atau luar negeri. Untuk kapal dari dalam negeri, dapat dilakukan dengan kapal berukuran di atas 30 GT, sedagkan untuk kapal dari luar negeri dapat dilakukan dengan kapal berukuran di atas 100 GT.
Untuk pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dari luar negeri, dilakukan dalam keadaan baru atas nama pemegang SIUP. Terhadap pengadaan kapal tersebut yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 500 GT sampai dengan 1.500 GT.89
89 Pasal 51 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Usaha perikanan
(45)
BAB IV
PENERAPAN ASAS BERWAWASAN LINGKUNGAN PADA PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG USAHA PERIKANAN DI
INDONESIA
A. Pengaruh Penanaman Modal Asing Terhadap Pengembangan Usaha Perikanan di Indonesia
Dalam melaksanakan tujuan negara kesejahteraan dan mewujudkan keadilan bagi masyarakat nelayan dan industri perikanan di Indonesia, maka pemerintah harus melaksanakan beberapa prinsip dari negara kesejahteraan. Pertama, cabang produksi yang penting menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ikan saat ini merupakan kebutuhan penting bagi gizi pertumbuhan tubuh masyarakat, untuk itu harus dikuasai oleh negara agar kebutuhan rakyat atas ikan daat diperoleh dengan harga yang terjangkau, tidak memberatkan kehidupan rakyat.
Kedua, usaha-usaha swasta diluar cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak diperbolehkan, tetapi negara melakkan pengaturan, sehingga tidak terjadi monopoli atau oligopoli terhadap perikanan Indonesia dari hulu hingga hilir, atau bentuk-bentuk lain yang merugikan kesejateraan masyarakat nelayan.
Ketiga, negara terlibat langsung dalam usaha-usah kesejahteraan masyarakat nelayan, seperti secaralangsung menyediakan berbagai bentuk peralatan nelayan, penunjang peningkatan industri perikanan dan lain-lain.
(46)
Keempat, mengembangkan sistem perpajakan progresig, yaitu sistem pajak yang mengenakan pajak persentasenya semakin tinggi (besar) bagi PMA bidang perikann.
Kelima, pembuatan kebijakan publik harus diakukan secara demokratis, dimana negara kesejahteraan menganut sistem demokrasi di dalam pengelolaan negaranya.90
Amanah dari Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-sebarnya kemakmuran rakyat, termasuk didalamnya sumber daya ikan. Oleh karena itu usaha pengelolaan perikanan haruslah diserahkan kepada masyarakat Indonesia sebagaimana amanah dari pasal 29 ayat (1) UUP yang menyebutkan usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Berdasarkan pasal 29 ayat (1) UUP diatas, maka seluruh kegiatan yang dilakukan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan di wilayah Indonesia meliputi penangkapan, praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia. Sedangkan warga negara asing hanya diperbolehkan melakukan usaha perikanan di wilayan ZEEI dengan berbagai persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUP yang menyebutkan bahwa pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
(47)
pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Keterlibatan pihak asing dalam usaha perikanan di Indonesia juga didasarkan pada Pasal 63 UUP yang menyebutkan pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil atau pembudi daya ikan kecil dalam kegiatan usaha perikanan. Pengusaha perikanan dalam hal ini termasuk didalamnya pemodal dalam negeri dan pemodal asing. Dengan ini, maka penanam modal asing dapat melakukan kemitraan dengan nelayan kecil atau pembudi daya ikan kecil dalam kegiatan usaha perikanan.
Namun dalam melakukan kemitraan, perlu juga memperhatikan ketentuan Pasal 2 Ayat (2) dan Ayat (4) Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang Usaha/Jenis Usaha yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan. Pasal 2 Ayat (2) menyebutkan bahwa bidang/jenis usaha terbuka untuk usaha menangah dan usaha besar dengan syarat kemitraan adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran II dari Keputusan Presiden ini. Lalu Pasal 2 Ayat (4) menyebutkan bidang/jenis usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula dilakukan oleh usaha menengah atau usaha besar yang dilakukan dalam rangka penanaman modal asing, kecuali untuk bidang/jenis usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing. Sedangkan Lampiran II menyebutkan bidang/jenis usaha yang terbuka bagi usaha menengah
(48)
atau usaha besar dengan syarat kemitraan di sektor perikanan budidaya meliputi pembesaran ikan kakap putih, kerapu, mutiara, bandeng, udang, labi-labi, nila dan kodok lembu.
Mengacu kepada konsep hukum perikanan nasional yaitu peningkatan taraf hidup bagi nelayan dan petani ikan kecil dan Pasal 33 UUD 1945, maka sumber daya perikanan yang menjadi salah satu kekayaan alam Indonesia haruslah dikuasai oleh negara dan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Dalam menafsirkan makna “ dikuasai oleh negara” dari Pasal 33 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi (MK) mengkonstruksikan 5 (lima) fungsi negara dalam menguasai cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup oang banyak serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Lima fungsi tersebut adalah: 91
1. Fungsi pengaturan (regelendaad) : fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah, dan regulasi pemerintah (eksekutif). Jenis peraturan yang dimaksud sebagiamana dinyatakan dalam Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, serta Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang bersifat mengatur (regelendaad)
2. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) : dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (shareholding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan kata
91 Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor
(49)
lain negara c.q. pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan untuk digunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
3. Fungsi kebijakan (beleid): dilakukan oleh pemerintah dengan merumuskan dan mengadakan kebijakan.\
4. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) : dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan, lisensi dan konsesi
5. Fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad): dilakukan oleh negara c.q. pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Termasuk dalam fungsi ini yaitu kewenangan pemerintah pusat melakukan pengujian Perda.
Lebih lanjut MK mengatakan bahwa penguasaan negara atas sumber daya alam lahir dari konsep hubungan publik. Dikatakan sebagai konsep hubungan publik karena konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 19945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi ( demokrasi ekonomi). Pandangan paham kedaulatan rakyat tersebut, menyatakan bahwa rakyatlah yang diakui sebaga sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan
(50)
untuk rakyat”. Pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakat secara kolektif.92
Mohammad Hatta merumuskan dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawah, ordernermen. Namun, kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal.93
Apabila dikaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan dungsi negara menurut W. Friendman,94 maka hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945 memposisikan sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilities dan public services.
Masuknya PMA bidang perikanan di Indonesia, bukan memberikan keuntungan kepada masyarakat malah sebaliknya merugikan, sehingga tujuan pengembangan industri perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya nelayan Indonesia tidak tercapai. Hal tersebut dapat dilihat pada data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 2004 yang melaporkan bahwa 3,91 juta KK atau 16,42 juta jiwa diantara 8.090 desa pesisir di Indonesia tergolong sebagai penduduk miskin dengan piverty headcount index sebesar 0,32%. Dan sampai tahun 2011, Indonesia yang memiliki 76.613 jumlah desa dan
92 Ibid. 93
Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 UUD 1945, (Jakarta: Mutiara, 1980), hlm 28.
94 Tri Haryati, dkk., Konsep Penguasaan Negara Di Sektor Sumber Daya Alam
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS FHUI, 2005), hlm. 17.
(51)
dari jumlah tersebut 10.639 desa dikategorikan sebagai desa pesisir, sebagian besar penduduknya hidup dalam garis kemiskinan, termasuk di Papua.95
Menurut BPS, nelayan Indonesia masuk dalam kategori kaum miskin di Indonesia yang jumlahnya pada 2010 hampir mencapai 31.3 juta jiwa. Sedangkan data dari Bank Dunia menyebut angka yang lebih besar yaitu 108,78 juta jiwa, dan sampai tahun 2011 jumlah nelayan miskin mencapai 7,87 juta orang atau 25,14% dari jumlah penduduk miskin Indonesia yang mencapai 31,02 juta orang.96
Berdasarkan uraian diatas,seharusnya negara mengatur tata tertib memanfaatkan sumber daya ikan tersebut, tata tertib penangkapan, tata tertib pengolahannya, tata tertib pemasarannya, dan tata tertib menjaga kualitas sumber daya ikan, dan diserahkan kepada masyarakat untuk mengelolanya sehingga masyarakat memiliki hak yang penuh atas pengelolaan perikanan di Indonesia dari hulu hingga hilir, dengan demikian dapat tercapai tujuan penggunaannya untuk kesejahteraan rakyat.
B. Penerapan Asas Berwawasan Lingkungan Pada Penanaman Modal Asing Di Bidang Usaha Perikanan Di Indonesia
Melihat kepada pengertian dari asas berwawasan lingkungan yang terdapat pada Pasal 3 UUPM beserta penjelasan menyebutkan bahwa asas berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memerhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan
95 Op. Cit., Ramlan, hlm. 200.
96
(52)
hidup97. Artinya bahwa penanaman modal asing di bidang usaha perikanan di Indonesia haruslah memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dijelaskan sebelumnya bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 29, bahwa usaha perikanan yang diperbolehkan dikelola pemodal asing hanya usaha penangkapan ikan di ZEEI98. Lalu Pasal 8 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.30/MEN/2012 menentukan bahwa usaha perikanan tangkap terpadu terdiri dari usaha perikanan tangkap dengan PMDN dan PMA, dan usaha perikanan tangkap non-penanaman modal99. Di Pasal 9 menyebutkan bahwa usaha perikanan terpadu merupakan integrasi antara kegiatan penangkapan ikan, pengangkutan ikan dengan industri pengolahan ikan. Adapun intergrasi ini untuk meningkatkan mutu, nilai tambah, dan daya saing produk perikanan di Indonesia.100
Dengan melihat hal di atas, maka penanaman modal yang dilakukan baik oleh pemodal dalam negeri maupun pemodal asing di bidang usaha perikanan haruslah memperhatikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Adapun tujuannya yaitu :101
97 Pasal 3 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
98 Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
99
Pasal 8 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
100
Pasal 9 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
101 Pasal 3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
(53)
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.
Penanaman modal asing di bidang usaha perikanan di Indonesia hanya diperbolehkan terhadap penangkapan ikan di ZEEI. adapun penangkapan ikan yang dilakukan oleh pemodal asing haruslah memperhatikan aspek lingkungan, baik asas penanaman modal maupun instrumen hukum lingkungan hidup yaitu UU PPLH.
Melihat kepada Pasal 4 UU PPLH yang menyebutkan, Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi pertama perencanaan, kedua pemanfaatan, ketiga pengendalian, keempat pemeliharaan, kelima pengawasan, dan keenam
(54)
penegakan hukum102. Maka Penangkapan ikan yang dilakukan oleh penanam modal asing haruslah memperhatikan ke-enam (6) aspek diatas.
Pertama perencanaan, penangkapan ikan yang dilakukan oleh penanam modal asing di Indonesia haruslah melalukan perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui tahapan :
a. inventarisasi lingkungan hidup; b. penetapan wilayah ekoregion; dan
c. penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup atau RPPLH.103
Kedua pemanfaatan, penangkapan ikan yang dilakukan oleh penanam modal asing di Indonesia haruslah melakukan pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan RPPLH. Adapun pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan :
a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; b. kebrlangsungan produktivitas lingkungan hidup; dan c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.104
Ketiga pengendalian, penangkapan ikan yang dilakukan oleh penanam modal asing di Indonesia haruslah melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam rangkat pelestarian fungsi lingkungan hidup.
102Pasal 4 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup 103
Pasal 5 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
104Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(55)
Adapun pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup meliputi :
a. pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan;
b. penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan; dan c. pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Keempat pemeliharaan, penangkapan ikan yang dilakukan oleh penanam modal asing di Indonesia juga harus melakukan pemeliharaan lingkungan hidup. Pemeliharaan lingkungan hidup adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia105. Pelestarian lingkungan hidup dilakukan melalui upaya :106
a. konservasi sumber daya alam, yaitu pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatan secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.107
konservasi sumber daya alam meliputi : 1) perlindungan sumber daya alam; 2) pengawetan sumber daya alam; dan
3) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.108
105
Penjelasan Pasal 57 (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
106Pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
107
Pasal 1 butir (16) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
108Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(1)
5. Bapak Dr. Jelly Leviza., SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Ibu Windha, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu yang sudah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini serta waktu bimbingan yang diberikan agar skripsi ini diselesaikan dengan baik; 7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof atas segala bantuan, kritikan, bimbingan, saran, dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini;
8. Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasihat Akademik penulis dari awal semester hingga akhir semester;
9. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama delapan semester dalam menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
10. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 11. Teristimewa dan terkhususkan untuk kedua orangtua penulis yang memiliki
peran besar bagi penulis berupa nasihat dan kasih sayang yang tak terhitungkan besarnya yaitu H.M. Nurdin Ahmad (ayah) dan Hj. Aminah Hasyim (ibu). Sungguh jasa kalian tak dapat dihitung kepada penulis.
12. Kepada abang, kakak, dan adik penulis yaitu bang Salim Fahri (iyong), kak Khairani Ulfa, kak Khumaira, bang Mhd Hafizuddin, kak Nurul Hafizah,bang
(2)
abdul salam, bang Mhd Fadlan dan yang terkecil adik kami Nur Annisa Fitri. Nasihat-nasihat kalian lah yang memotivasi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan ini;
13. Keluarga kecil penulis selama masa perkuliahan Ayu Kanda, Fadhillah Hafsah, Befry Sembiring, Dika Eka Putra, Jodie Ivan Randy. Tak terucapkan kata untuk mendeskripsikan kalian selama ini. Peran kalian yang cukup besar selama masa kuliah, kenangan, suka, duka dan rasa-rasa lainnya bercampur aduk. Semoga keluarga kecil kita akan terus berlanjut dikehidupan setelah masa kuliah ini.
14. Kawan-kawan seperjuangan di kampus selama masa kuliah, tia (tiyong), agung, amal, clinton, dede, iput, indah, liza, ririn, nanda, putri, kiki dan kawan-kawa lainnya yang tak tersebut disini;
15. Kawan-kawan Mts yang sampai sekarang masih menjalin komunikasi yang baik yang juga memotivasi penulis dalam menyelesaikan studi;
16. Kawan-kawan dari komunitas aliansi pemuda peduli, yang keren-keren yang memberikan motivasi bagi penulis terutama orang-orang keren “Generasi 4G”, bang ketua, nanda adek, indri, fira, mida, tasya, bibi, riza, resty, ade, devi, kris, rizka, kang udin, willy, bunga, lena, vina, widya dan bang sidik. Dan juga terkhusus untuk Stk terkece STK 2, kalian luar biasa;
17. Kawan-kawan dari komunitas Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI) regional Sumatera Utara yang menjadi wadah penulis dalam menyalurkan hasrat kepedulian terhadap lingkungan;
(3)
18. Kawan-kawan grup liqo 2012 yang memotivasi dan menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
19. Rekan-rekan penulis di Kepengurusan BTM Aladdinsyah SH, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara periode 2014-2015;
20. Adik-adik Pengurus BTM Aladdinsyah SH, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, semoga terus amanah dalam mensyiarkan dakwah;
21. Kawan-kawan mahasiswa stambuk 2012 terkhususkan kepada kawan-kawan Grup E 2012 yang menemani penulis selama masa perkuliahan;
22. Para penulis buku-buka dan artikel-artikel yang penulis jadikan referensi data guna pengerjaan skripsi ini;
23. Seluruh orang yang penulis kenal dan yang mengenal penulis; 24. Dan kawan-kawan lain yang tak bisa disebutkan namanya.
Penulis berharap kiranya skripsi ini tidak hanya berakhir sebagai tumpukan kertas yang tidak berguna, tetapi dapat dipakai oleh semua orang yang membutuhkan pengembangan pengetahuan mengenai penanaman modal asing di bidang usaha perikanan. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif terhadap skripsi ini. Atas segala perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.
Medan, 05 Mei 2016 Penulis,
(4)
ABSTRAK
PENERAPAN ASAS BERWAWASAN LINGKUNGAN PADA PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG USAHA PERIKANAN
MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA Muhammad Fadli. *
Budiman Ginting. ** Mahmul Siregar. ***
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi sumber daya laut yang melimpah. Untuk itu diperlukan modal yang cukup besar dari penanam modal. Namun sering kali usaha yang dilakukan pemodal tidak memperhatikan lingkungan. Untuk itulah diatur asas yang mendasarinya yaitu asas berwawasan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah Pertama, bagaimana pengaturan prinsip berwawasan lingkungan di Indonesia; Kedua, bagaimana pengaturan penanaman modal asing di bidang usaha perikanan di Indonesia; Ketiga, bagaimana penerapan prinsip berwawasan lingkungan pada penanaman modal aisng dibidang usaha perikanan di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan dengan metode analisis data kualitatif. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan.
Penanaman modal asing dibidang usaha perikanan di Indonesia hanya diperbolehkan terhadap penangkapan ikan di ZEEI dan laut lepas. Usaha perikanan yang dilakukan oleh pemodal asing haruslah memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, hal ini sesuai dengan penjelasan pengeretian asas berwawasan lingkungan pada Pasal 3 UU Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Asas ini diatur agar lingkungan Indonesia tidak mengalami pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Usaha perikanan yang dilakukan penanam modal haruslah melihat aspek pada UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu aspek perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Keenam aspek ini penting agar dalam usaha perikanan yang dilakukan penanam modal tidak melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
Kata Kunci : Asas Berwawasan Lingkungan, Penanaman Modal Asing, Usaha Perikanan.
_____________________________
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **Dosen Pembimbing I
(5)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... iii
ABSTRAKSI ... vii
DAFTAR ISI ... viii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9
D. Keaslian Penulisan ... 10
E. Tinjauan Kepustakaan ... 11
F. Metode Penelitian ... 15
G. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II : PENGATURAN ASAS BERWAWASAN LINGKUNGAN DALAM HUKUM INDONESIA ... 20
A. Keberadaan Asas Hukum Dalam Norma Hukum ... 20
B. Asas-Asas Umum Dalam Penanaman Modal ... 27
C. Pengaturan Mengenai Asas Berwawasan Lingkungan Di Indonesia ... 34
BAB III : PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG USAHA PERIKANAN DI INDONESIA ... 39
A. Penanaman Modal Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal ... 39
1. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Penanaman Modal .... 39
2. Pengertian Penanaman Modal ... 41
3. Tujuan Penanaman Modal ... 44
(6)
5. Fasilitas Penanaman Modal ... 48
B. Penanaman Modal Asing Di Bidang Usaha Perikanan Di Indonesia ... 52
1. Usaha Perikanan ... 52
2. Persyaratan Usaha Perikanan ... 57
3. Usaha Perikanan Yang Diperbolehkan Dikelola Pemodal Asing ... 64
4. Usaha Perikanan Yang Tidak Diperbolehkan Dikelola Pemodal Asing ... 70
BAB IV : PENERAPAN ASAS BERWAWASAN LINGKUNGAN PADA PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG USAHA PERIKANAN DI INDONESIA ... 79
A. Pengaruh Penanaman Modal Asing Terhadap Pengembangan Usaha Perikanan Di Indonesia ... 79
B. Penerapan Asas Berwawasan Lingkungan Pada Penanaman Modal Asing Di Bidang Usaha Perikanan Di Indonesia ... 85
C. Sanksi Administrasi Atas Pelanggaran Asas Berwawasan Lingkungan Pada Penanaman Modal Asing Di Bidang Usaha Perikanan Di Indonesia ... 91
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 97
A. Kesimpulan ... 97
B. Saran ... 99