g. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai
faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder Browning,
1997. Penelitian pada pasangan kembar, kembar monozygot memiliki riwayat
otitis media yang lebih besar dibandingkan kembar dizygot, yang kemungkinan oleh karena komponen genetik yang lebih kuat. Faktor genetik pada otitis media
bersifat komplek dengan kontribusi dari banyak gen Rovers et al, 2004.
h. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis media kronis Browning, 1997. Akinpelu et al 2008 dari 160
pasien OMSK, 2,5 dengan penyakit imunodefisiensi, sedangkan Weber et al 2006 meneliti 459 anak dengan HIV terdapat 14,2 yang menderita OMSK.
i. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang bukan alergi Browning, 1997. Susilo 2010 di Medan
memeriksa 54 objek dan mendapatkan reaksi alergi pada penderita OMSK tubotimpanal lebih besar dibandingkan dengan reaksi alergi pada penderita non
OMSK yaitu sebesar 741 pada kelompok penderita OMSK tipe tubotimpanal dan 407 pada kelompok non OMSK.
Lasisi et al 2007 mendapatkan dari 189 anak dengan OMSK sebanyak 28 menderita alergi. Lasisi et al 2008 melakukan tes kulit kepada 20 pasien
Universitas Sumatera Utara
dengan OMSK, sebanyak 80 tes kulit positif terhadap satu atau lebih jenis alergen.
2.2.3. Klasifikasi
Secara klinis OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu : tipe tubotimpanal tipe mukosa = tipe benigna dan tipe atikoantral tipe tulang = tipe maligna.
Penyakit tubotimpanal ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dengan gejala klinik yang bervariasi dari luas serta tingkat keparahan penyakit.
Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba Eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang
gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta
migrasi sekunder dari epitel skuamous Dhingra, 2007. Secara klinis penyakit tipe tubotimpanal terbagi atas: penyakit aktif dan
tidak aktif. Pada yang aktif terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba Eutachius atau
setelah berenang, kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar jarum
sampai perforasi subtotal pada pars tensa. Jarang di temukan polip yang besar pada liang telinga luar. Sedangkan yang tidak aktif, pada pemeriksaan telinga
dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai
seperti vertigo, tinitus,atau suatu rasa penuh dalam telinga Dhingra, 2007. Pada tipe atikoantral ditemukan adanya kolesteatom yang berbahaya.
Penyakit atikoantral lebih sering mengenai pars flaksida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi yang terdapatnya tumpukan keratin yang sampai
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan kolesteatom. Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega dan berwarna putih. Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :
kolesteatom kongenital dan kolesteatom didapat. Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut Derlaki dan Clemis 1965 adalah:
Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh, tidak ada riwayat otitis media sebelumnya, dan pada mulanya dari jaringan embrional dari
epitel skuamous atau dari epitel undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan Mills, 1997.
Kolesteatom didapat terbagi atas primary acquired cholesteatoma dimana kolesteatom terjadi pada daerah atik atau pars flaksida, dan secondary
acquired cholesteatoma yang berkembang dari suatu kantong retraksi yang disebabkan peradangan kronis, biasanya bagian posterosuperior dari pars tensa.
Khasnya perforasi marginal pada bagian posterosuperior Meyer, 2006.
2.2.4. Patogenesis
Patogenesis OMSK benigna terjadi karena proses patologi telinga tengah, pada tipe ini didahului oleh kelainan fungsi tuba, maka disebut juga
sebagai penyakit tubotimpanal. Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai setelah dewasa Helmi, 2005.
Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke telinga
tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan Djaafar, 2007. Kadang-kadang infeksi berasal dari telinga
luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran timpani, maka terjadilah proses inflamasi. Bila terbentuk pus akan terperangkap didalam
kantong mukosa telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat dan adekuat dan
Universitas Sumatera Utara
dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, biasanya proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal Helmi, 2005.
Pada primary acquired cholesteatoma tidak ditemukan riwayat penyakit
otitis media atau perforasi membran timpani sebelumnya. Kolesteatom ini timbul akibat terjadi proses invaginasi dari membran timpani pars flaksida
karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba Dhingra, 2007; Djaafar, 2007.
Pada secondary acquired cholesteatoma, kolesteatom yang terbentuk
setelah adanya perforasi membran timpani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi
membran timpani ke telinga tengah atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama Dhingra, 2007; Djaafar,
2007.
2.2.5. Gambaran Klinis
OMSK memiliki beberapa gambaran klinis, antara lain :
a. Telinga berair sekret
Sekret bersifat purulen kental atau mukoid seperti air dan encer tergantung stadium peradangan. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-
abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap Dhingra, 2007. Suryanti
2002 di Surabaya mendapatkan keluhan yang paling sering adalah otore sebanyak 75,83, dan Akinpelu 2008 mendapatkan gambaran klinis terbanyak
adalah otore dengan perforasi sentral 86,6.
Universitas Sumatera Utara
b. Gangguan pendengaran
Dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran bervariasi namun jarang melebihi 50 dB Dhingra, 2007. Tala
2010 di Medan memeriksa 64 telinga OMSK, tuli konduktif 40 telinga, tuli saraf 1 telinga dan tuli campur 23 telinga. Olateke memeriksa 52 liang telinga
dengan OMSK, 38,5 memiliki tuli konduktif ringan dan 26,9 dengan tuli konduktif sedang Olateke et al, 2008.
c. Perforasi
Pada yang jinak biasanya sentral, bisa di anterior, posterior atau inferior dari malleus. Pada yang ganas di daerah atik atau posterosuperior Dhingra,
2007. Tala 2010 di Medan mendapatkan 36 telinga perforasi total, perforasi sentral sebanyak 26 telinga, perforasi subtotal dan atik masing-masing 1 telinga.
Ologe dan Nwawolo mendapatkan 6 siswa SD negeri di desa dengan OMSK yang ditandai dengan perforasi persisten membran timpani lebih dari 3 bulan
Ologe dan Nwawolo, 2003.
d. Mukosa kavum timpani
Tampak pada perforasi membran timpani yang besar. Secara normal warnanya merah muda, saat terjadi inflamasi warnanya menjadi merah, udem
dan lunak. Kadang-kadang tampak polip Dhingra, 2007.
2.2.6. Diagnosa
Diagnosis OMSK dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan otoskopi, pemeriksaan audiometri, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan
bakteriologi. Melalui anamnesa dapat diketahui tentang awal mula penyakit, riwayat penyakit terdahulu, faktor risiko, gejala klinis serta hal-hal lainnya yang
mengarah ke diagnosis yang mungkin terjadi. Diagnosis pasti OMSK dapat
Universitas Sumatera Utara
ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya Mills, 1997; Telian, 2002; Kenna dan Latz, 2006.
Pada pemeriksaan otoskopi dapat dibedakan jenis OMSK berdasarkan perforasi pada membran timpani, yang terdiri dari perforasi sentral, marginal dan
atik. Gambaran yang terlihat dengan otoskopi pada perforasi sentral adalah tampak perforasi yang letaknya sentral pada pars tensa, dapat berbentuk bundar,
oval, bentuk ginjal atau hati. Perforasinya dapat subtotal atau total, masih terlihat pinggir membran timpani annulus timpanikus, melalui perforasi tampak
mukosa kavum timpani bewarna pucat, bila ada eksaserbasi akut maka warna mukosa menjadi merah dan jarang terdapat granulasi atau polip. Gambaran
otoskopi pada perforasi marginal adalah tampak perforasi yang letaknya marginal, pada pars tensa belakang atas biasanya besar, atau pada pars flaksida
muka atau belakang kecil, prosesnya bukan hanya pada mukosa kavum timpani dan tulang-tulang pendengaran ikut rusak, sering terdapat granulasi atau
polip, annulus timpanikus tidak terlihat lagi dan terlihat gambaran nekrosis tulang. Sedangkan gambaran pada perforasi atik adalah perforasi yang letaknya
di pars flaksida Mills, 1997; Telian, 2002; Kenna dan Latz, 2006. Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli
konduktif, tetapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensorineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan
dan mobilitas sistim penghantaran suara ditelinga tengah Mills, 1997; Telian, 2002; Kenna dan Latz , 2006.
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis nilai diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri.
Pemeriksaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik,
Universitas Sumatera Utara
lebih kecil dengan pneumatisasi lebih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi
kesan kolesteatom Mills, 1997; Telian, 2002; Kenna dan Latz, 2006. Pemeriksaan bakteriologi sekret telinga penting untuk menentukan
bakteri penyebab OMSK dan antibiotika yang tepat Mills, 1997; Telian, 2002; Kenna dan Latz, 2006.
2.2.7. Komplikasi
Komplikasi OMSK terbagi dua, yaitu komplikasi intratemporal komplikasi ekstrakranial dan komplikasi ekstratemporal. Komplikasi
intratemporal terdiri dari parese n. fasial dan labirinitis. Komplikasi ekstratemporal komplikasi intrakranial terdiri dari abses ekstradural, abses
subdural, tromboflebitis sinus lateral, meningitis, abses otak dan hidrosefalus otitis. Pada OMSK ini walaupun telinga berair sudah bertahun-tahun lamanya
telinga tidak merasa sakit, apabila didapati telinga terasa sakit disertai demam, sakit kepala hebat dan kejang menandakan telah terjadi komplikasi ke
intrakranial Kenna dan Latz, 2006.
2.2.8. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan OMSK dapat dibagi atas penatalaksanaan medis dan bedah. Penatalaksanaan medis adalah aural toilet, yaitu pembersihan telinga
dari sekret, dan terapi antimikroba topikal, yaitu pemberian tetes telinga antibiotik topikal Mills, 1997.
Penatalaksanaan bedah dari OMSK adalah operasi mastoidektomi, yang terdiri dari mastoidektomi sederhana yang bertujuan untuk mengevakuasi
penyakit yang hanya terbatas pada rongga mastoid, dan mastoidektomi radikal yang bertujuan untuk mengeradikasi seluruh penyakit di mastoid dan telinga
Universitas Sumatera Utara
tengah, di mana rongga mastoid, telinga tengah, dan liang telinga luar digabungkan menjadi satu ruangan sehingga drainase mudah. Untuk kasus-kasus
yang akan dilakukan perbaikan fungsi pendengaran dilakukan timpanoplasti Johnson, 2003.
2.3. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kepustakaan diatas diusunlah kerangka teori sebagaimana tertera pada gambar berikut:
FAKTOR RISIKO
‐ Lingkungan
‐ Sosial Ekonomi
‐ Gangguan Fungsi Tuba
‐ Otitis Media sebelumnya
‐ ISPA
‐ Genetik
‐ Infeksi bakteri, virus
‐ Alergi
‐ Autoimun
Disfungsi Tuba Eustachius Gangguan Ventilasi Telinga Tengah
Tekanan Negatif Telinga Tengah Udem dan Inflamasi Mukosa
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS
Tubotimpanal Atikoantral
PENANGANAN ‐
Medikamentosa ‐
Pembedahan ‐
Alat Bantu Dengar ABD Gambar 4. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian